Sunday, November 29, 2020

RUU Baru Di Cina Akan Melarang Misionaris Asing Untuk Mewartakan Injil

 

RUU Baru Di Cina Akan Melarang Misionaris Asing Untuk Mewartakan Injil 

https://www.lifesitenews.com/news/new-bill-in-china-would-prohibit-foreign-missionaries-from-evangelizing 

 

Para pengunjung ke Cina akan dikenakan beberapa batasan signifikan terkait aktivitas keagamaan mereka.

 

Sat Nov 28, 2020 - 9:06 am EST

 

  

SHUTTERSTOCK.COM

 

By Dorothy Cummings McLean 

 

 

BEIJING, Tiongkok, 28 November 2020 (LifeSiteNews) - Orang asing tidak akan dapat berbicara dengan bebas tentang Tuhan di Cina, jika undang-undang komunis yang baru nanti disahkan.

 

Menurut AsiaNews.it, para pengunjung ke Cina akan dikenakan beberapa batasan signifikan terkait aktivitas keagamaan mereka. Rancangan undang-undang baru itu, yang berjudul "Kegiatan Keagamaan Asing di Republik Rakyat Cina," baru-baru ini dirilis oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama (SARA). Aturan ini melarang pekerjaan para misionaris dan bahkan ibadah keagamaan yang dilakukan oleh orang asing untuk warga negara Cina.

 

“Untuk meningkatkan rasa 'kemerdekaan' dan 'otonomi' agama-agama di Cina, kegiatan keagamaan oleh orang asing hanya boleh melibatkan orang asing saja, bahkan jika mereka dapat, kadang dan sementara, menggunakan 'kuil atau gereja' lokal, dan meminta personel Cina untuk melakukan ibadah dan pelayanan keagamaan atau pemberian sakramen-sakramen (Pasal 17 dan 20),” AsiaNews melaporkan.

 

"Orang asing juga tidak diperbolehkan mendirikan kelompok-kelompok agama, terlibat dalam kegiatan, atau membuka sekolah, melakukan pewartaan di antara warga negara Cina, merekrut pengikut, atau menerima sumbangan dari warga negara Cina (Pasal 21)."

 

Majalah berita online ini juga melaporkan bahwa SARA (Administrasi Negara untuk Urusan Agama) menentang segala jenis kepemimpinan asing pada agama-agama yang ada di Cina, termasuk Paus Roma kelahiran Argentina saat ini. “Berdasarkan Pasal 21 (1) draf tersebut, orang asing (seperti Paus) tidak boleh 'mencampuri dan mendominasi urusan kelompok-kelompok agama di Cina,'” kata AsiaNews.

 

Undang-undang yang diusulkan berisi 40 pasal yang merinci sejauh mana orang asing dan Cina dapat bertemu untuk membahas masalah agama, dan berbagi materi keagamaan. AsiaNews mengatankan bahwa draf tersebut memperlakukan para pejabat religius asing di Cina seolah-olah mereka adalah mata-mata.

 

"Bab 4 (Pasal 30-36) sangat mengesankan karena memuat 'hukuman' di bawah aturan hukum yang sah dan memberlakukan undang-undang dan peraturan yang mengatur kegiatan keagamaan dan keamanan publik serta undang-undang anti-spionase," tulis majalah berita itu.

 

"Proposal tersebut tampaknya disemangati oleh pandangan curiga bahwa kegiatan keagamaan oleh orang asing adalah bagian dari operasi 'spionase'."

 

Sementara SARA menunjukkan penghormatan terhadap keyakinan agama orang asing, namun SARA juga mengatur layanan keagamaan mereka sendiri, bahkan ketika mereka tetap terpisah dari warga negara Cina.

 

“Meskipun Pasal 4 menyatakan: 'Cina menghormati kebebasan beragama orang asing di wilayahnya dan melindungi aktivitas keagamaan orang asing di wilayah Cina sesuai dengan hukum,' tetapi setiap individu dan kelompok, dan setiap aktivitas, harus tunduk pada persyaratan yang sangat ketat, dan harus diverifikasi oleh Kantor Urusan Agama di tingkat kota, kabupaten, provinsi, dan nasional,” lapor AsiaNews.

 

Komunitas agama asing atau para petugas religius untuk orang asing akan dipaksa untuk mendaftar dan menunggu 20 hari untuk otorisasi dari SARA agar bisa melakukan kegiatan keagamaan. Anehnya, mereka harus mendaftar dalam bahasa Cina.

 

Sementara itu, juga akan ada batasan jumlah materi keagamaan yang boleh dibawa oleh orang asing ke Cina, misalnya, hanya 10 eksemplar buku, video, atau brosur. Ini juga harus menerima otorisasi dari pemerintah Cina. AsiaNews menulis bahwa Pasal 25 menetapkan bahwa untuk membawa materi tersebut ke dalam negeri, “pelamar harus memberikan dokumentasi yang menjelaskan isinya, yang tidak boleh 'membahayakan keamanan nasional Cina dan tidak boleh bertentangan dengan 'prinsip kemerdekaan dan pengelolaan diri dalam beragama dari masyarakat Cina.' ”

 

Undang-undang baru yang diusulkan ini mengantisipasi adanya ‘pertukaran budaya dan agama’ antara Cina dan dunia luar, dimana orang-orang asing banyak diundang kepada berbagai konferensi, kursus atau memberi khotbah. Namun, mereka harus menjaga lidah mereka dan menahan diri dari kegiatan yang dianggap oleh Partai Komunis Cina (PKC) sebagai ‘bermusuhan dengan Cina,’ dan juga menunggu izin dari SARA lebih dulu untuk bisa bekerja.

 

“Mengingat besarnya pembatasan dan birokrasi seperti itu, maka kelompok-kelompok agama asing harus berjuang untuk menginjakkan kakinya di Cina,” AsiaNews menyimpulkan.

 

“Berinteraksi dengan orang Kristen bawah tanah akan menjadi tidak mungkin dan ilegal. Berinteraksi dengan anggota Gereja Kristen resmi tanpa pengawasan SARA akan menjadi lebih sulit."

 

David Mulroney, Duta Besar Kanada untuk Cina antara 2009 dan pertengahan 2012, mengatakan kepada LifeSiteNews bahwa sikap xenofobia Cina terhadap agama sangat berbahaya bagi Katolik.

 

“Cina berusaha untuk merongrong universalitas kepercayaan agama dan komunitas agama, sesuatu yang menyerang jantung Katolik,” kata Mulroney melalui media sosial.

 

“Partai Komunis terus mewaspadai keyakinan agama yang melampaui batas negara, terutama di wilayahnya sendiri,” lanjutnya. “Itu berarti… Katolik, Islam, dan Buddha Tibet, sangat dicurigai.”

 

Mulroney juga menunjukkan bahwa sikap Cina terhadap gerakan keagamaan global adalah "ironis" mengingat partisipasinya yang sangat besar dalam komunisme internasional.

 

"Departemen Pekerjaan Front Bersatu yang kuat dari Partai Komunis Cina, menggunakan cara-cara gerakan bawah tanah untuk menyebarkan ‘Injil Marxisnya’ ke seluruh dunia," kata mantan duta besar itu.

 

Salah satu solusi untuk keberatan Cina atas kepemimpinan Paus "asing" mungkin adalah pemilihan kardinal Cina untuk menjadi paus. Mengingat pengaruh seorang paus Polandia (Yohanes Paulus II) dalam perjuangan abad ke-20 untuk kebebasan di Eropa Tengah dan Timur, maka pemilihan seorang paus dari Cina mungkin dianggap ideal. Tetapi Edward Pentin, penulis buku The Next Pope, berpendapat bahwa hal ini tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.

 

"Seorang paus Cina adalah mungkin, tetapi itu akan membutuhkan Paus yang menunjuk seorang uskup dari Cina dengan status dan kekuatan yang cukup besar," kata Edward Pentin dari LifeSiteNews melalui media sosial.

 

“Saat ini hanya ada dua kardinal Cina, John Hong Ton dan [Joseph] Zen Ze-kiun, keduanya emeritus Hong Kong, tetapi karena mereka berusia lebih dari 80 tahun, keduanya tidak mungkin terpilih menjadi paus."

 

Oleh karena itu, untuk menjadi paus Cina, maka paus Francis harus mengangkat seorang uskup Cina yang lebih muda kedalam College of Cardinals.

 

“Jika dia melakukannya, dia tidak diragukan lagi akan memilih seseorang yang setuju dengan Perjanjian Sementara dan bersahabat dengan PKC,” kata Pentin. “Saya tidak melihat seorang kardinal dari Cina yang bisa terpilih menjadi paus dalam sebuah konklaf, setidaknya tidak untuk saat ini.”

 

Rancangan undang-undang tersebut dipresentasikan tak lama setelah pembaruan perjanjian dua tahun antara pemerintah komunis dan atheis Cina dengan Tahta Suci pada bulan Oktober 2020. Ketentuan perjanjian, yang diduga memungkinkan pihak PKC untuk memilih calon uskup di Cina, sebagian besar tidak diketahui, karena dokumen tersebut tidak pernah dipublikasikan. Namun, keadaan agama minoritas di Cina, termasuk umat Katolik, hanya semakin memburuk saja sejak perjanjian itu ditandatangani.

 

Kardinal Joseph Zen, Uskup Emeritus Hong Kong dan pendukung demokrasi Hong Kong yang vokal, dengan keras menentang kesepakatan Vatikan-Cina tersebut.

 

*****

 

AS Berada Dalam Keadaan Terjun Bebas Secara Moral

Tanda Dari Binatang? Ribuan Orang Swedia Menerima Microchip

Pedro Regis 5046 - 5050

Francis Mencela Hukumnya Namun Mendukung Orang Yang Membuatnya

John Kerry: Kepresidenan Biden akan memajukan agenda Great Reset

Percayalah Bahwa Para Elit Global Akan Menggunakan Krisis COVID

Seorang Jurnalis Mengungkap Penyiksaan PKC Terhadap Seorang Pastor

 

 

Seorang Jurnalis Mengungkap Penyiksaan PKC Terhadap Seorang Pastor

@DALU_1989 / TWITTER 

 

Seorang Jurnalis Terkenal Mengungkap Penyiksaan PKC (Partai Komunis Cina) Terhadap Seorang Pastor, Ketika Negara (Cina) Menunjuk Uskup Baru 

https://www.lifesitenews.com/news/renowned-journalist-reveals-ccp-torture-of-catholic-priest-as-chinese-state-appoints-new-bishop

 

'Pastor Liu Maochun dari Keuskupan Mindong dilarang tidur, dia diculik, disiksa dan berulang kali dihukum karena penolakannya untuk bergabung dengan Asosiasi Katolik Patriotik China,' demikian pengungsi, jurnalis Katolik, Dalù, menjelaskan secara rinci dalam videonya yang baru.

 

Thu Nov 26, 2020 - 11:13 am EST   


By Michael Haynes 

 

CINA, 26 November 2020 (LifeSiteNews) - Pengungsi, jurnalis Katolik, Dalù, telah merinci penyiksaan terhadap pastor Katolik oleh Partai Komunis Cina (PKC), hanya beberapa hari setelah seorang uskup ditahbiskan oleh gereja yang disetujui PKC.

 

Dalù, nama samaran, adalah jurnalis dan pembawa acara radio yang mempublikasikan peristiwa pembantaian di Lapangan Tiananmen. Dalù kemudian dipecat dan melarikan diri ke Italia, dengan nyawanya terselamatkan hanya karena status publiknya sebagai wartawan.

 

Dia memposting video, di mana dia menggambarkan penyiksaan yang dilakukan pada seorang pastor, bernama pastor Liu Maochun: “Sebagai bentuk intimidasi dan bahkan penyiksaan. Polisi Tiongkok sering memukul gong besar dengan keras di dekat telinganya dan menyinari mata pastor Liu dengan cahaya yang sangat terang, dan mereka melakukan hal itu secara konsisten selama beberapa hari. Metode penyiksaan seperti ini disebut 'melelahkan seekor elang'.”

 

Dalù melanjutkan: “Melalui teknik itu, pastor Liu Maochun dari Keuskupan Mindong dilarang tidur, dia diculik, disiksa dan berulang kali dihukum karena penolakannya untuk bergabung dengan Asosiasi Katolik Patriotik Cina. Kebrutalan dan kejahatan Partai Komunis Cina berada di luar pemahaman."

 

Pastor Liu adalah bagian dari Gereja Katolik bawah tanah, dan karena itu tidak diakui oleh negara Cina, atau Asosiasi Katolik Patriotik Cina (CPCA). Pastor Liu mengunjungi orang tuanya di rumah sakit pada tanggal 1 September, ketika dia ditangkap dan "ditahan oleh Biro Urusan Agama selama 17 hari."

Berbicara kepada majalah kebebasan beragama, Bitter Winter, sumber dari Keuskupan Mindong berkata, “Pemerintah mengklaim bahwa pastor Liu Maochun telah melanggar aturan dan bertindak 'radikal secara ideologis'. "

 

Bitter Winter menegaskan bahwa pastor Liu terus-menerus dianiaya oleh PKC, bahkan pihak penguasa mengancam dan menekan para kerabatnya. Sumber itu menyebut “Pastor Liu Maochun adalah asisten Uskup Guo. Rezim Komunis menangkap dan ingin mengendalikan para pastor yang dekat dengan pastor Liu yang juga menolak untuk bergabung dengan CPCA."

 

Majalah itu juga mengatakan bahwa penangkapan dan penyiksaan pastor Liu adalah bagian dari investigasi untuk menemukan kebocoran berita terkait penyiksaan pastor Huang, pastor lain dari keuskupan itu, yang menolak bergabung dengan CPCA.

 

Pastor Liu adalah salah satu dari 20 imam di keuskupan itu yang telah "menolak bergabung dengan Asosiasi Patriotik Katolik Cina (CPCA) yang disetujui oleh negara" dan karenanya "dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional." Para pastor ini dianggap "'ilegal' dan 'subversi negara'.”

 

Uskup dari Keuskupan Mindong, Mgr. Vincenzo Guo Xijin, adalah salah satu “korban” dari kesepakatan Vatikan-Cina, karena keuskupan itu telah digunakan sebagai “proyek percontohan” untuk implementasi kesepakatan tersebut.

 

Uskup Guo diminta oleh paus Francis untuk mundur dan sebagai gantinya, paus mendukung uskup yang disetujui CPCA.

 

Beberapa hari yang lalu, CPCA mengumumkan penahbisan seorang uskup baru di Qingdao, Uskup Thomas Chen Tianhao, yang “sebelumnya menjabat sebagai presiden Asosiasi Patriotik Qingdao di Provinsi Shandong pada tahun 1998 dan sebagai anggota Komite Tetap Asosiasi Patriotik Nasional sejak 2010."

 

Asia News melaporkan bahwa Chen "dianggap sangat patuh pada kebijakan agama dari pemerintah." Tahun lalu, Chen memimpin sebuah komite untuk "mempelajari semangat" pidato Presiden Xi Jinping, ketika merayakan Departemen Pekerjaan Front Bersatu.

 

Beberapa minggu yang lalu, Vatikan memperbarui kesepakatannya dengan Cina. Kesepakatan itu berisi pernyataan bahwa Vatikan mengakui gereja yang disetujui negara Cina dan mengizinkan Partai Komunis Cina untuk menunjuk para uskup. Paus Francis seolah mempertahankan hak vetonya dalam pemilihan uskup, namun dalam praktiknya PKC-lah yang memegang kendali.

 

Hal ini juga diduga memungkinkan pemecatan uskup yang sah untuk digantikan oleh uskup yang disetujui oleh PKC. Namun, persyaratan sebenarnya dari kesepakatan itu tetap menjadi rahasia yang dijaga ketat.

 

Kardinal Zen, uskup emeritus Hong Kong, mengatakan bahwa melalui kesepakatan itu "Vatikan telah menjual Gereja Katolik di Cina". Dia juga menggambarkannya sebagai "pembunuhan Gereja di Cina oleh mereka yang seharusnya melindungi dan membela Gereja dari musuh-musuhnya."

 

*****

 

Bagaimana Cina Mengubah Miliarder Globalis dan Big Tecch Menjadi Juru Bicara ...

AS Berada Dalam Keadaan Terjun Bebas Secara Moral

Tanda Dari Binatang? Ribuan Orang Swedia Menerima Microchip

Pedro Regis 5046 - 5050

Francis Mencela Hukumnya Namun Mendukung Orang Yang Membuatnya

John Kerry: Kepresidenan Biden akan memajukan agenda Great Reset

Percayalah Bahwa Para Elit Global Akan Menggunakan Krisis COVID

 

 

 

 

 


Saturday, November 28, 2020

Percayalah Bahwa Para Elit Global Akan Menggunakan Krisis COVID


 
 

Percayalah Bahwa Para Elit Global Akan Menggunakan Krisis COVID

Untuk Meluncurkan 'Great Reset' Yang Radikal 

 

Dengan kata lain, para pemimpin dunia siap memanfaatkan peluang untuk menciptakan tatanan dunia baru berdasarkan prinsip sosialisme. 

https://www.lifesitenews.com/opinion/youd-better-believe-global-elites-will-use-covid-crisis-to-launch-radical-great-reset 

 

Thu Nov 26, 2020 - 7:39 pm EST 

By Chris Talgo

 

29 November 2020 (American Thinker) - Selama Resesi Hebat, Rahm Emanuel berkata, "Anda tidak ingin sebuah krisis yang serius terjadi dengan sia-sia. Dan yang saya maksud dengan itu adalah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang menurut Anda tidak dapat Anda lakukan sebelumnya.”

 

Kedengarannya hal ini sangat akrab dengan beberapa pernyataan dari kader elit global yang mendorong "Great Reset" yang dipimpin oleh Forum Ekonomi Dunia setelah munculnya krisis virus corona.

 

Misalnya, saat berbicara pada peluncuran gagasan Great Reset di Forum Ekonomi Dunia awal tahun ini, Pangeran Charles berkata, "Kita memiliki kesempatan emas untuk merebut sesuatu yang baik dari krisis ini -- gelombang kejut yang belum pernah terjadi sebelumnya mungkin membuat orang lebih bersedia menerima visi besar tentang perubahan."

 

Pangeran Charles menambahkan, "Saat kita beralih dari tindakan penyelamatan kepada tindakan pemulihan, kita memiliki jendela kesempatan yang unik yang dengan cepat menyusut, untuk mempelajari pelajaran dan mengatur ulang diri kita sendiri kepada jalur yang lebih berkelanjutan. Ini adalah kesempatan yang belum pernah kita miliki sebelumnya dan mungkin tidak akan pernah kita miliki lagi.. ."

 

Klaus Schwab, pendiri dan ketua eksekutif World Economic Forum (WEF), mengatakan dengan lebih blak-blakan: "The Great Reset akan mengharuskan kita untuk mengintegrasikan semua pemangku kepentingan masyarakat global ke dalam komunitas yang memiliki kepentingan, tujuan, dan tindakan bersama."

 

Dengan kata lain, Schwab dan yang disebut "pemangku kepentingan masyarakat global" ingin menggunakan krisis COVID-19 beserta segala akibatnya, untuk menerapkan tatanan dunia baru, yang disebut Great Reset.

 

Jadi, apa yang dibutuhkan oleh Great Reset ini?

 

Menurut Schwab, "Agenda Great Reset akan memiliki tiga komponen utama. Yang pertama akan mengarahkan pasar ke arah hasil yang lebih adil (.) ... Selain itu, pemerintah-pemerintah harus menerapkan reformasi yang telah lama tertunda yang mempromosikan hasil yang lebih adil. Bergantung pada negaranya, ini mungkin termasuk perubahan pada pajak kekayaan, penghapusan subsidi bahan bakar fosil, dan aturan-aturan baru yang mengatur kekayaan intelektual, perdagangan, dan persaingan."

 

Dengan kata lain, Great Reset akan mengantarkan kebijakan sosialistik dalam skala dunia.

 

Komponen kedua dari agenda Great Reset akan memastikan bahwa investasi bisa memajukan tujuan bersama, seperti kesetaraan dan keberlanjutan (.) ... Daripada menggunakan dana serta investasi dari entitas swasta dan dana pensiun, untuk mengisi celah-celah dari sistem di masa lalu, kita harus menggunakannya untuk membuat yang baru yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Ini berarti, misalnya, membangun infrastruktur perkotaan 'hijau' dan menciptakan insentif bagi industri-industri untuk meningkatkan rekam jejak mereka dalam urusan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).

 

Dalam aspek ini, Great Reset akan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan menyusun ulang prioritas mereka dari keuntungan, pertumbuhan, dan inovasi, untuk memenuhi satu standard untuk semua, dalam masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola yang sewenang-wenang.

 

Prioritas ketiga dan terakhir dari agenda Great Reset adalah memanfaatkan inovasi Revolusi Industri Keempat untuk mendukung kebaikan publik, terutama dengan menangani tantangan di bidang kesehatan dan sosial.

 

Meskipun hal ini kedengarannya seperti sesuatu yang kurang masuk akal, namun hal ini memberdayakan para elit global untuk menentukan apa yang menjadi kepentingan publik, menurut para elit global itu sendiri,  dan oleh karena itu mereka merasa memiliki hak untuk mengontrol penyebaran sumber daya untuk mengatasi apa yang mereka anggap sebagai "tantangan kesehatan dan sosial."

 

Jika diimplementasikan, Great Reset akan mengubah dunia seperti yang kita kenal. Kedaulatan Amerika akan dirusak, begitu pula kebebasan pribadi. Dan jika Anda berpikir ini adalah fantasi ‘kue-di- langit’ dengan sedikit peluang untuk menjadi kenyataan, cobalah untuk memikirkannya lagi.

 

Sejumlah lembaga dan pemimpin terkemuka telah mendukung Great Reset, termasuk PBB, Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, Greenpeace Internasional, Konfederasi Serikat Buruh Internasional, McKinsey & Company, John Kerry, Al Gore, Jack Ma, dll.

 

Tetangga Amerika di utara sudah bergabung. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau baru-baru ini berkata, "Kanada percaya bahwa respons yang kuat dan terkoordinasi di seluruh dunia dan lintas sektor, sangatlah penting. Pandemi ini telah memberikan kesempatan untuk melakukan pengaturan ulang (Great Reset). Ini adalah kesempatan kita untuk mempercepat upaya pra-pandemi kita untuk menata kembali sistem ekonomi yang benar-benar mampu mengatasi tantangan global, seperti kemiskinan ekstrem, ketidaksetaraan, dan perubahan iklim."

 

Tanda-tanda yang ada saat ini, menunjukkan bahwa administrasi Joe Biden juga ikut serta. Paket Biden's Build Back Better diambil langsung dari buku pedoman Great Reset. Selain itu, banyak penasihat dan calon anggota stafnya telah menyuarakan dukungan mereka untuk Great Reset, termasuk John Kerry, sekutu lama Biden dan kemungkinan menjadi anggota kabinetnya.

 

Begitulah, The Great Reset telah ada di sini, di hadapan kita semua. Hal itu sedang terjadi. Hanya waktu yang akan menjawab, apakah itu menjadi Tata Dunia Baru atau tidak.

 

*****

 

LDM, 21 Nopember 2020

Bagaimana Cina Mengubah Miliarder Globalis dan Big Tecch Menjadi Juru Bicara ...

AS Berada Dalam Keadaan Terjun Bebas Secara Moral

Tanda Dari Binatang? Ribuan Orang Swedia Menerima Microchip

Pedro Regis 5046 - 5050

Francis Mencela Hukumnya Namun Mendukung Orang Yang Membuatnya

John Kerry: Kepresidenan Biden akan memajukan agenda Great Reset

 

 

Friday, November 27, 2020

John Kerry: Kepresidenan Biden akan memajukan agenda 'Great Reset'

  

 

John Kerry: Kepresidenan Biden akan memajukan agenda 'Great Reset' para globalis dengan kecepatan yang besar 

https://www.lifesitenews.com/news/john-kerry-biden-presidency-would-advance-globalist-great-reset-with-speed

 

"Saya pribadi yakin ... kita sedang berada di awal dari sebuah masa yang sangat menyenangkan," kata utusan khusus presiden Joe Biden untuk masalah iklim ini.

 

Wed Nov 25, 2020 - 11:40 am EST ·        

 

By Patrick Delaney 

 

25 November 2020 (LifeSiteNews)- Mantan Menteri Luar Negeri AS John Kerry telah meyakinkan para elit World Economic Forum (WEF) bahwa kepresidenan Joe Biden akan dengan cepat memajukan agenda "Great Reset" kaum globalis "dengan kecepatan dan intensitas yang lebih besar daripada yang dibayangkan banyak orang."

 

Kerry membuat pernyataannya ini pada Selasa pekan lalu selama diskusi panel virtual "Platform Aksi COVID" yang diselenggarakan oleh WEF. Organisasi globalis telah menyambut kesempatan pandemi ini untuk memperkenalkan perubahan radikal pada ekonomi dunia.

 

Menurut James Delingpole dari Breitbart News, “COVID-19 telah memberikan alasan yang sempurna” untuk mengantarkan “pengambilalihan oleh para globalis” terhadap hampir setiap aspek kehidupan manusia.

 

“Sederhananya,” tulis Delingpole, Great Reset “adalah cetak biru untuk transformasi lengkap dari ekonomi dunia. Tidak akan ada uang, tidak ada properti pribadi, tidak ada demokrasi. Sebaliknya, setiap keputusan penting - apa yang Anda lakukan untuk mencari nafkah, berapa banyak barang yang Anda konsumsi, apakah Anda boleh berlibur - akan [diputuskan] bagi Anda oleh para elit 'ahli' yang berada jauh terpencil dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.”

 

Kerry, yang ditunjuk oleh Joe Biden sebagai utusan khusus presiden untuk masalah iklim awal pekan ini, menegaskan agenda utama WEF ini dalam komentarnya. "Gagasan reset lebih penting daripada saat-saat sebelumnya," katanya. "Saya pribadi percaya ... kita sedang berada di awal dari sebuah masa yang sangat menyenangkan."

 

Meskipun Breitbart melaporkan bahwa Perjanjian Iklim Paris akan merugikan Amerika Serikat sekitar 1,1 juta lapangan pekerjaan, namun Kerry menegaskan bahwa bergabung kembali itu adalah "tidak cukup."

 

“Saya tahu Joe Biden mempercayai ini. Tidaklah cukup hanya bergabung kembali dengan [Perjanjian Iklim Paris] untuk Amerika Serikat. Tidak cukup bagi kami untuk melakukan hal minimum yang disyaratkan oleh perjanjian itu,” tegasnya.

 

"Pemerintahan Biden," kata Kerry, "akan fokus pada setiap sektor ekonomi Amerika," termasuk percepatan "transformasi di sektor swasta."

 

Perjanjian Iklim Paris tidak hanya berfokus pada perubahan iklim. Bagi kelompok pro-kehidupan dan pro-keluarga, alasan utama mereka untuk mengecam perjanjian tersebut adalah bahasa yang “dirancang untuk mempromosikan aborsi dan kontrasepsi,” seperti yang dikatakan oleh Voice of the Family.

 

Selama kampanyenya, menjadi jelas bahwa Joe Biden menyelaraskan platform kampanyenya dengan "Great Reset" dari WEF. Dia menggunakan slogan yang sama - "Bangun Kembali Lebih Baik" - dan dengan percaya diri menggunakan bahasa kebijakan yang luas termasuk merujuk pada fenomena virus corona sebagai "peluang luar biasa ... untuk mengubah negara secara mendasar." Dia menyerukan "perubahan institusional yang revolusioner" pada bangsa, yang melibatkan "diakhirinya era kapitalisme pemegang saham."

 

Seperti yang diamati oleh Justin Haskins dari The Heartland Institute, mengakhiri "era kapitalisme pemegang saham," adalah "bagian utama dari proposal Great Reset yang akan mengubah cara perusahaan dievaluasi, mengangkat isu keadilan sosial dan kekhawatiran perubahan iklim di atas hak-hak properti pribadi."

 

Menunjukkan adanya penyamaran retoris dari tujuan Marxis, Haskins menulis, "Alih-alih mengkhawatirkan soal keuntungan, para penentang 'kapitalisme pemegang saham' berpendapat bahwa perusahaan harus dipaksa untuk fokus pada 'pemangku kepentingan,' yang hanyalah cara lain untuk mengatakan 'sistem kolektif.' "

 

Dalam surat terbuka baru-baru ini kepada Presiden Donald Trump, Uskup Agung Carlo Maria Viganò, mantan Duta Besar Apostolik untuk AS, memperingatkan bahwa "seluruh dunia sedang terancam oleh konspirasi global melawan Tuhan dan umat manusia ... yang disebut Great Reset." Penerapan sistem ini, yang dirancang oleh para elit global, berusaha untuk "menaklukkan seluruh umat manusia, menerapkan langkah-langkah paksaan yang dapat secara drastis membatasi kebebasan individu dan kebebasan seluruh populasi."

 

Pemilihan presiden masih belum diputuskan karena pengacara untuk kampanye Trump mengejar litigasi untuk mengungkap dan membalikkan "upaya besar-besaran dan terkoordinasi" untuk mencuri hasil pemilihan melalui penipuan suara (referensi khusus tambahan di sini, di sini, dan di sini).

 

Pada 7 November 2020, Presiden Donald Trump mengeluarkan pernyataan berjanji untuk memulai proses pengadilan.

 

"Kami yakin, rakyat Amerika berhak mendapatkan transparansi penuh atas semua penghitungan suara dan sertifikasi pemilu, dan ini bukan lagi tentang pemilihan tunggal," tulisnya. “Ini adalah tentang integritas dari keseluruhan proses pemilihan kami… Kami akan melanjutkan proses ini melalui setiap aspek hukum untuk menjamin bahwa rakyat Amerika memiliki kepercayaan pada pemerintah kami. Saya tidak akan pernah menyerah berjuang untuk Anda dan bangsa kita."

 

*****

 

Penyetelan Ulang Besar: Apa yang Direncanakan Para Tuan Globalis Kita ...

LDM, 21 Nopember 2020

Bagaimana Cina Mengubah Miliarder Globalis dan Big Tecch Menjadi Juru Bicara ...

AS Berada Dalam Keadaan Terjun Bebas Secara Moral

Tanda Dari Binatang? Ribuan Orang Swedia Menerima Microchip

Pedro Regis 5046 - 5050

Francis Mencela Hukumnya Namun Mendukung Orang Yang Membuatnya