Wednesday, July 29, 2020

Uskup Agung VIGANÒ: RENCANA UNTUK MENDIRIKAN SEBUAH TATA DUNIA BARU...


Archbishop Carlo Maria Viganò speaks at the Rome Life Forum in May 2018

 


Uskup Agung VIGANÒ:
RENCANA UNTUK MENDIRIKAN SEBUAH TATA DUNIA BARU HARUS
DIBUKA KEDOKNYA, DIPAHAMI DAN DIUNGKAPKAN



"Gagasan untuk mendirikan Tata Dunia Baru, di mana negara-negara dan warga masyarakat biasa melihat identitas mereka dicuri oleh para elit yang berkuasa mungkin tampak tidak masuk akal pada beberapa tahun yang lalu."

Thu May 14, 2020 - 2:39 pm EST 


By Archbishop Carlo Maria Viganò


14 Mei 2020 (Veritasliberabitvos)  - Pada 8 Mei 2020, tiga orang Kardinal dan sembilan Uskup, bersama dengan banyak dokter, jurnalis, pengacara, pemikir, dan profesional dari seluruh dunia meluncurkan seruan untuk meningkatkan kesadaran publik di antara orang-orang, pemerintah, ilmuwan dan media, tentang bahaya serius terhadap kebebasan individu yang disebabkan oleh dan selama penyebaran Covid-19.

Bahaya-bahaya ini telah dirasakan lebih parah di beberapa negara daripada negara yang lain, tetapi perhatian umat Katolik dan orang-orang yang berkehendak baik seharusnya disebarkan kemana-mana sehingga kita semua dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi: jika kita hanya melihat sisi kesehatan saja dari epidemi ini - dan tidak bisa memahami implikasi sosial, ekonomi, politik, dan religiusnya – maka kita semua akan berada di jalan menuju sebuah masa depan di mana pemerintah-pemerintah dan hierarki Gereja akan ditarik oleh kekuatan dan kekuasaan yang menganggap bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada diri mereka sendiri, dan yang tujuan mereka adalah sangat tidak jelas.

Gagasan dan rencana untuk mendirikan sebuah Tata Dunia Baru di mana negara-negara dan warga biasa akan melihat identitas mereka diambil begitu saja oleh kaum elit yang kuat, mungkin tampak tidak masuk akal pada beberapa tahun yang lalu. Namun sekarang semua rencana ini sedang dilaksanakan, dan memang, hal itu pada awalnya didorong sebagai hal yang baik bagi masyarakat dan individu. Rencana-rencana ini, sebagaimana dipromosikan oleh kelompok-kelompok elit internasional, harus dibuka kedoknya, dipahami, dan diungkapkan. Dalam masa-masa biasa, hal itu akan menjadi tugas dari media, untuk membuat kita masing-masing sadar akan apa yang terjadi sehingga kita dapat berbicara menentangnya, sebagai orang beriman, secara individu dan anggota suatu komunitas.

Ini adalah tujuan dari Seruan ini: untuk memecah keheningan media massa yang kita lihat saat ini, terutama dalam hal kurangnya diskusi tentang kebebasan dan hak individu. Kebebasan ini sekarang sedang dibungkam, disensor dan dikendalikan. Kami juga ingin meminta anggota komunitas ilmiah untuk membahas masalah ini tanpa tekanan yang diterapkan oleh kepentingan ekonomi atau ideologis, dan untuk mengingatkan pemerintah-pemerintah tentang tanggung jawab mereka demi kebaikan semua.

Seruan ini telah menyulut sejumlah diskusi dan debat. Di Jerman, banyak Uskup hanya berbicara tentang "teori konspirasi," dan mereka telah gagal sepenuhnya untuk menyangkal salah satu dari klaim kami. Dengan demikian mereka telah ikutan naik ‘kereta ideologi’ yang sedang berjalan saat ini. Selama wawancara baru-baru ini dengan majalah mingguan Katolik Jerman Die Tagespost, Cardinal Müller (salah satu penandatangan Seruan ini) dengan berani mengatakan bahwa "tren modern adalah menuduh siapa pun yang berpikir sesuatu dengan cara yang berbeda, sebagai seorang penganut teori konspirasi."

Cardinal Müller juga mengatakan:

Mereka yang tidak bisa membedakan antara kesesuaian dan bahaya globalisasi, akan menyangkal kenyataan ini. Ketika Alberto Fujimori menjadi presiden Peru, saya berbicara dengan banyak wanita dan pria yang telah disterilisasi tanpa disadari, dan yang telah ditipu dengan sejumlah besar uang dan janji-janji tentang perawatan kesehatan dan kehidupan yang lebih baik. Apakah ini semacam teori konspirasi? Hal yang sama harus dikatakan tentang tuduhan teori konspirasi mengenai diskusi vaksinasi atas tujuh miliar orang, meskipun vaksin itu belum diuji dengan benar dan hak-hak dasar warga negara dapat diabaikan bagi siapa pun yang menolak divaksinasi. Tidak ada orang yang dapat dipaksa untuk percaya bahwa beberapa orang dermawan miliarder memiliki rencana terbaik untuk meningkatkan segala sesuatu di seluruh dunia hanya karena mereka telah mampu mengumpulkan uang dalam jumlah sangat besar.

Kami telah mendengar hal yang sama dari Uskup Agung Athanasius Schneider: “Sungguh menakjubkan bahwa Gereja, politik, dan pendirian media massa, sebagian besar berusaha untuk mendiskreditkan - sejalan dengan tren arus utama - kegelisahan yang diungkapkan dalam Seruan ini, dengan argumen mereka yang asal comot saja dari teori konspirasi, sehingga setiap perdebatan lebih lanjut segera ditolak dan diabaikan. Saya ingat reaksi dan bahasa yang sama di bawah kediktatoran Soviet, ketika para pembangkang dan pengkritik terhadap ideologi utama dan rezim politik, dituduh terlibat dengan 'teori konspirasi' di barat kapitalis (lihat di sini)."

Harus juga dikatakan bahwa Seruan ini, meski banyak kritik yang dibuat oleh mereka yang ingin menutupi keganjilan yang tak terhitung jumlahnya dalam hal-hal yang dapat kita saksikan dengan mata kita sendiri, telah didukung oleh banyak umat awam yang penting serta banyak perwakilan terkemuka dari dunia sains dan media. Robert Francis Kennedy Jr telah berbicara mendukung Seruan ini. Dalam waktu kurang dari satu minggu Seruan telah mengumpulkan hampir 40.000 tanda tangan, dan sekarang sedang dibaca di dunia Timur.

Jelas bahwa ada keretakan yang dalam di antara Hierarki, dan Seruan ini telah membuat kita semua melihat hal ini. Bukti ini dapat dilihat pada alasan kaum globalis yang jelas untuk mengadakan Hari Doa untuk Kemanusiaan yang diprakarsai oleh Komite Persaudaraan di Uni Emirat Arab yang meminta agar pandemi dan segala efeknya segera berakhir, yang segera disejutui oleh Takhta Suci.

Tren ini, yang baru-baru ini diratifikasi dalam Deklarasi Abu Dhabi, jelas mengambil inspirasi dari ideologi kaum relativis di balik pemikiran paham masonik. Karena itu sama sekali tidak ada ‘aroma’ Katolik di dalamnya, dan sangat mengkhawatirkan bahwa Gereja telah membiarkan dirinya digunakan sebagai "kepanjangan-tangan" oleh Tata Dunia Baru (yang benar-benar dan sepenuhnya anti-Katolik).

*****




Tuesday, July 28, 2020

TUJUAN DARI MARXISME: ANTI KATOLIK SEJAK AWAL


Tujuan dari MARXISME: ANTI KATOLIK SEJAK AWAL






by Trey Brock  •  ChurchMilitant.com  •  July 26, 2020

 


Karena fondasi dari Marxisme adalah penolakan terhadap kebenaran, maka filsafat abad ke-19 ini berdiri bertentangan dengan fondasi kekristenan.

Sementara Marxisme berupaya memberantas penderitaan di dunia dengan cara menciptakan surga di bumi, maka agama Kristen mengajarkan kita untuk merangkul penderitaan sambil mencari kehidupan kekal di Surga.

Dalam minggu ini, Michael Voris mewawancarai Diana West, penulis buku The Red Thread: A Search for Drivers Ideologis Inside the Anti-Trump Conspiracy.






Karl Marx dan Friedrich Engels meletakkan dasar bagi Marxisme dalam Manifesto Komunis 1848 mereka. Manifesto mereka mengajarkan, "Komunis di mana-mana mendukung setiap gerakan revolusioner melawan tatanan sosial dan politik yang ada."

Lebih lanjut ia menyatakan "tujuan akhir mereka hanya dapat dicapai dengan menggulingkan secara paksa semua kondisi sosial yang ada."

Kondisi sosial saat ini yang ditargetkan oleh pemikiran Marxis adalah agama, dan lebih khusus: kekristenan. Karena alasan inilah Marx menulis semboyan agamanya yang terkenal, paling sering dikutip: "Agama adalah candu masyarakat."

Vladimir Lenin adalah seorang revolusioner awal abad ke-20 yang ideologinya adalah varian yang dibangun di atas paham Marxisme, yang disebut Leninisme-Marxisme. Di bawah pemerintahannya, Rusia (dan Uni Soviet yang lebih luas) menjadi negara satu partai: komunis.

Dari 1917 hingga 1922, selama Revolusi Rusia, Lenin memimpin pembunuhan sekitar 100.000–200.000 orang, dengan beberapa orang memperkirakan sampai jutaan orang.

Tujuan akhir dari Marxisme bukanlah pemusnahan mereka yang berseberangan; alih-alih, ini adalah penyimpangan pikiran ketika melakukan hal itu. Inilah alasan dari Antonio Gramsci, pemimpin Partai Komunis Italia, mengkritik Lenin.


Lenin memimpin pembunuhan atas sekitar 100.000–200.000 orang,
dengan beberapa orang memperkirakan sampai jutaan. Tweet


Sementara itu Gramsci menjanjikan dukungan penuh untuk tujuan Revolusi Rusia yang membunuh Lenin, dia mengatakan bahwa mereka "bukan Marxis" dalam arti yang ketat, karena mereka menolak untuk menganggap Marxisme sebagai "doktrin kecil eksternal yang penuh dengan pernyataan dogmatis dan tak terbantahkan."

Gramsci mengerti bahwa misi Gereja Katolik adalah untuk "menyebarkan agama Katolik di seluruh dunia." Ini mendorongnya untuk mendesak bahwa "Sosialisme adalah agama yang harus mengalahkan kekristenan."

Sosialisme dan komunisme adalah tahap terakhir dari Marxisme; mereka telah dikutuk berulang kali oleh Gereja Katolik.

Paus Pius XI menyatakan pada tahun 1931, "Sosialisme agama, sosialisme Kristen, adalah istilah yang kontradiktif, karena tidak ada yang bisa, pada saat yang sama, seorang Katolik yang baik dan sekaligus sebagai seorang sosialis sejati."

"Dekrit Melawan Komunisme" Paus Pius XII 1949 tlah menetapkan exkomunikasi terhadap semua umat Katolik yang bekerja sama atau memberikan suara untuk organisasi-organisasi komunis.

Karena Marxisme telah menyebarkan kesalahannya di seluruh dunia, maka Gereja Katolik tetap menjadi ancaman terbesarnya.

*****



Saturday, July 25, 2020

VATICAN TENTANG PANDEMI: SEAKAN ‘TUHAN TELAH MATI’


VATICAN tentang PANDEMI: seakan tuhan telah mati








by Jules Gomes  •  ChurchMilitant.com  •  July 23, 2020

 


Kata ‘Tuhan,’ ‘Kristus’ atau ‘Gereja’ tidak disebutkan sama sekali dalam meditasi Vatikan sepanjang 4.000 kata.


VATICAN CITY (ChurchMilitant.com) - Sebuah dokumen Vatikan yang baru terbit, sepanjang 4.000 kata, tentang pandemi virus Wuhan, telah banyak mengundang celaan karena dokumen itu sama sekali tidak menyebut kata ‘Tuhan,’ ‘Yesus Kristus,’ ‘Gereja,’ ‘Injil,’ ‘Alkitab’ atau ‘sakramen-sakramen.’

Dokumen Vatikan itu yang sama sekali tidak berisi ajaran Katolik secara eksplisit, adalah laporan singkat mengenai koronavirus dari Akademi Kepausan untuk Kehidupan, yang diterbitkan hari Rabu, berjudul: "Humana Communitas in the Age of Pandemic: Untimely Meditations on Life's Rebirth."



Abp.. Vincenzo Paglia, president, Pontifical Academy for Life


Menyalahkan pandemi virus Wuhan atas "kerusakan bumi kita dan penghancuran nilai intrinsiknya" dokumen Vatikan itu bertanya "perubahan pemikiran dan tindakan apa yang kita siapkan dalam tanggung jawab kita bersama untuk keluarga umat manusia?"
Dokumen itu sama sekali tidak menyerukan "pertobatan kepada Kristus" tetapi mengajak pembaca untuk melakukan "pertobatan moral" dan "pertobatan" yang ditujukan kepada "tanggung jawab kita."

Hanya dua kali dokumen delapan halaman kepausan itu menyebutkan kata "spiritual," menjelaskan bahwa dalam "wajah kematian yang paling tragis," para korban virus telah mengalami "kesepian karena pemisahan fisik dan spiritual dari semua orang," bahkan mereka tidak dapat menerima "penguburan yang layak."

Pandemi "adalah gejala dari kelesuan bumi kita dan kegagalan kita untuk bersikap peduli; lebih lagi, ia adalah suatu tanda kelesuan spiritual kita sendiri," kata dokumen itu, mengutip ensiklik ramah lingkungan Paus Francis, Laudato Sí.

Berbicara kepada Church Militant, penulis populer Dcn. Nick Donnelly berkata bahwa "Renungan Kepausan untuk Meditasi Kehidupan tentang COVID-19 adalah dokumen yang hanya layak bagi filsuf atheis Friedrich Nietzsche, karena menurut Nietzsche, Tuhan sudah mati."

"Tidak ada penyebutan kata atau nama Tuhan, penyebutan tentang Allah kita, tidak ada penyebutan tentang Roh Kudus, penyebutan tentang Kerajaan," keluh wartawan dan komentator itu. "Sebaliknya, dokumen Vatikan itu bahkan melangkah lebih jauh dengan menyangkal asal usul kita sebagai ciptaan Tuhan dan tujuan supernatural kita di Surga dengan pernyataan ala Luciferian dan nihilistiknya: 'Kita muncul dari sebuah malam yang asal-usulnya misterius ... Sudah terlambat bagi kita untuk belajar menyetujui kegelapan dari mana kita berasal, dan ke arah mana akhirnya kita akan kembali.' "


Renungan Kepausan untuk Meditasi Kehidupan tentang COVID-19 adalah dokumen yang hanya layak bagi filsuf atheis Friedrich Nietzsche, karena karena menurut Nietzsche, Tuhan sudah mati." Tweet


"Dokumen Vatikan ini berbunyi seperti aliran arus omong kosong yang mengoceh serta penolakan terhadap Tuhan yang dapat membuat Anda takut dan menduga bahwa orang [yang menulisnya] telah kerasukan," kata Dcn. Nick Donnelly mengkritik.

Dokumen Vatikan ini berkutat pada perampasan "kegembiraan dari pelukan, kebaikan dari berjabat tangan, kasih sayang dari ciuman," tetapi dokumen itu gagal untuk memasukkan suara-suara umat Katolik yang setia yang telah berulang kali mengungkapkan rasa kesedihan mereka karena dirampas hak mereka untuk mendapatkan sakramen-sakramen, Misa Kudus. dan partisipasi secara teratur dalam ibadat.

"Selain dilarang menerima sakramen-sakramen melalui penutupan gereja-gereja serta tidak adanya bantuan para pastor selama pandemi, maka tanggapan dokumen Vatikan kali ini bisa diartikan sebagai tindakan menjauhkan umat beriman dari Firman Tuhan," demikian kata Donnelly.

Menganggap memiliki tempat istimewa di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), "Humana Communitas" menyerang "pikiran sempit kepentingan pribadi nasional yang telah membuat banyak negara membenarkan kebijakan kemerdekaan dan isolasi dari negara-negara lain untuk diri mereka sendiri," seolah-olah pandemi ini dapat dihadapi tanpa strategi global yang terkoordinasi "- sebuah referensi yang mungkin ditafsirkan sebagai polemik terhadap Presiden AS Donald Trump dan penarikan diri Amerika dari WHO.

Dokumen itu diakhiri dengan mengutip nasihat apostolik Paus Fransiskus Querida Amazonia, yang mengungkapkan harapan bahwa "mimpi yang baru-baru ini dibayangkan untuk kawasan Amazon dapat menjadi mimpi universal, mimpi bagi seluruh planet untuk "mengintegrasikan dan mempromosikan semua penghuninya, memungkinkan mereka untuk menikmati 'kehidupan yang baik.' "

Akademi Kepausan Di Bawah Kecaman
Di bawah kepausan saat ini, Akademi Kepausan untuk Kehidupan telah mendapat banyak kecaman karena menunjuk seorang eugenicist yang terlibat dalam penelitian sel induk, seorang filsuf pro-aborsi, seorang eugenicist pro-aborsi lainnya dan seorang imam pro-aborsi, yang juga mendukung eutanasia dengan cara membuat pasien kelaparan hingga mati, demikian Church Militant melaporkan.

Uskup Agung Vincenzo Paglia, presiden akademi itu, telah mengejutkan umat Katolik yang setia tahun lalu dengan mengklaim bahwa adalah bidaah jika mengatakan bahwa Yudas berada di dalam Neraka. Berarti dia tidak percaya bahwa Yudas berada di dalam neraka.

Pada bulan Maret, Paglia memberi Paus Francis sebuah dokumen tentang virus Wuhan berjudul "Global Pandemic and Universal Brotherhood." 

Dokumen sebelumnya telah mengajak umat Kristiani untuk "bersaksi" atas "Yesus yang Bangkit" dan mendengarkan Kitab Suci. Dan dokumen ini menyerukan "doa pengantaraan" dalam menghadapi pandemi, dengan mengamati bahwa "ajakan untuk melakukan doa pengantaraan dari umat beriman adalah tempat di mana kita dapat berdamai dengan misteri kematian yang tragis."

Ini juga mengutip surat St. Paulus kepada orang-orang Romawi yang menyatakan bahwa "seluruh ciptaan" sedang menjalani "rasa sakit melahirkan."


Pope Francis addresses the Pontifical Academy for Life


"Paus menyampaikan kepada saya dua keprihatinannya - bagaimana membantu sekarang, terutama mereka yang paling lemah; dan untuk masa depan, bagaimana keluar dari (krisis) ini yang diperkuat dalam solidaritas, termasuk pada tingkat global," kata Paglia, dimana hal ini mendorong para pengamat Vatikan menyimpulkan bahwa dokumen kedua kemungkinan besar disusun sebagai tanggapan atas instruksi khusus dari Paus Francis.


"Dokumen Vatikan ini berbunyi seperti aliran arus omong kosong yang mengoceh serta penolakan terhadap Tuhan yang dapat membuat Anda takut dan menduga bahwa orang [yang menulisnya] telah kerasukan." Tweet

Menggambarkan dokumen terbaru ini sebagai "perspektif mengejutkan Vatikan tentang pandemi," koresponden Vatikan, Phil Lawler (penulis buku The Lost Shepherd), mengatakan bahwa hal itu "sangat memalukan bagi umat beriman Katolik." Lawler mengecam deklarasi itu sebagai latihan dalam "perenungan hambar" yang merupakan "sikap sentimental (dan terlalu bertele-tele)."

"Akademi Kepausan untuk Kehidupan, Anda tahu, menganggap pandemi ini sebagai hukuman atas dosa manusia terhadap lingkungan," katanya. "Jelas itu bukan pernyataan ilmiah. Tapi itu bisa dianggap sebagai klaim agama jika agama yang dimaksud adalah paham environmentalisme (agama lingkungan hidup)."

"Ini jelas merupakan panggilan kepada pertobatan ideologis, bukan pertobatan agama," katanya.


*****





Thursday, July 23, 2020

Imam Italia Melakukan Pernikahan Sipil Gay Palsu - Dan Uskup Bagaimana?



en.news

Imam Italia Melakukan Pernikahan Sipil Gay Palsu - Dan Uskup Bagaimana?




Tentu saja, Bapa Suci tak bisa salah.
Tetapi kita, para kardinal yang memilih dia, bisa salah.


Pastor Emanuel Moscatelli melakukan pernikahan semu sesama jenis untuk dua wanita di balai kota Sant'Oreste, Italia, pada 11 Juli 2020.

Civita Castellana, Uskup Romano Rossi, mengumumkan pada 20 Juli - hari dimana media AdnKronos.com melaporkan skandal itu - bahwa pastor Moscatelli telah mengundurkan diri sebagai pastor paroki dan tidak akan kembali kepada pelayanan semula selama setahun. Namun, langkah ini tampaknya tidak terkait dengan insiden pernikahan semu yang dilakukannya.

Memang, Uskup memarahi pastor Moscatelli hanya karena telah bertindak dalam sebuah pelayanan publik sebagai utusan walikota di kota itu, Valentina Pina – dimana peran ini dilarang bagi seorang imam – dan bukan karena ikut serta dalam skandal perkawinan itu.

Dalam upacara itu, pastor Moscatelli tidak mengenakan jubah liturgi, tetapi hanya memakai selempang yang digunakan oleh walikota Italia.

Picture: Sant'Oreste © wikicommons, CC BY-SA#newsWyotimoxlv

*****




Apple, Google, Amazon, Walmart mendukung BLM dengan sumbangan jutaan dolar




Apple, Google, Amazon, Walmart mendukung BLM dengan sumbangan jutaan dolar

Corporate America sebagian besar telah memeluk gerakan Black Lives Matter dengan dukungan publik dan sumbangan besar-besaran


Wed Jul 22, 2020 - 2:35 pm EST
·        
· 
       

LOS ANGELES - MAY 30, 2020: Police Car Being Burned During Protest March Against Police Violence Over Death Of George Floyd.Hayk_Shalunts / Shutterstock.com

By Calvin Freiburger



22 Juli 2020 (LifeSiteNews) - Gerakan Black Lives Matter (BLM) ‘extrim kiri telah naik ke tingkat penerimaan oleh arus utama yang belum pernah terjadi sebelumnya selama beberapa bulan terakhir, karena tidak sedikit jumlah dukungan, dan pada saat-saat tertentu disertai dengan sumbangan besar yang telah diterima dari berbagai merek dan perusahaan besar.

Merek-merek yang mendukung BLM meliputi:
  • Viacom
  • Warner Bros
  • Netflix
  • Hulu
  • HBO
  • NFL
  • NBA 
  • Facebook 
  • Google 
  • Apple 
  • Microsoft 
  • Amazon 
  • Kroger 
  • Walmart 
  • Target 
  • Home Depot 
  • Gap 
  • Levi’s 
  • Warby Parker 
  • Nike 
  • Chick-fil-A 
  • McDonald’s 
  • Wendy’s 
  • Taco Bell 
  • Starbucks 
  • Coca-Cola 
  • UnitedHealth Group 
  • Peloton


Daftar di atas hanyalah beberapa nama terkemuka dalam bidang hiburan, olahraga, teknologi, ritel, makanan, pakaian, dan lebih banyak lagi yang mendukung BLM dengan menyebut namanya atau pernyataan yang mendukung kelompok BLM bahwa "rasisme sistemik" meresap ke lembaga-lembaga di Amerika.

Banyak dari perusahaan-perusahaan itu juga telah menjanjikan dana jutaan dolar kepada organisasi-organisasi sayap kiri lainnya, seperti American Civil Liberties Union (ACLU) dan Dana Pertahanan Hukum NAACP, serta kepada BLM sendiri, dengan alasan mempromosikan kesetaraan ras dan ‘mereformasi’ penegakan hukum.

Namun, besarnya dukungan kepada BLM ini mencerminkan nilai-nilai sebenarnya dari perusahaan-perusahaan tersebut dimana hal itu tetap menimbulkan pertanyaan terbuka. Sementara korporasi sering mengadopsi sudut pandang untuk tujuan hubungan masyarakat, dan perusahaan seperti Apple dan Google dijalankan oleh ideolog liberal yang secara alami selaras dengan BLM, maka gelombang dukungan terbaru ini bertepatan dengan gelombang kekerasan nasional dan intimidasi dari para demonstran pro-BLM.

“Perusahaan-perusahaan ini memiliki kehadiran yang luar biasa di komunitas kulit hitam dan sangat dekat dengan berbagai kerusuhan yang ada. Penampilan mereka tidak terbatas pada aset fisik yang mungkin dijarah atau dirusak; merek-merek mereka sendiri mungkin mengalami kehancuran reputasi,” demikian tulis Grant Baker di American Thinker. “Setelah seorang pengemudi mabuk berkulit hitam mengarahkan senjata curian kepada seorang petugas polisi ditembak mati di tempat parkir Wendy, restoran itu dibakar sebagai pembalasan mereka. Wendy's, logonya dalam bingkai setiap foto kejadian itu, dengan tegas mengumumkan sumbangan $ 500.000 untuk tujuan keadilan sosial dan menegaskan dukungannya untuk gerakan BLM.”

"Berbagai perusahaan memberi sumbangan ini sebagai uang perlindungan, berharap untuk menyuap pejabat organisasi yang berafiliasi BLM untuk mengarahkan massa menjauh dari toko mereka," kata Baker melanjutkan. “Massa BLM jauh dari orang-orang biasa; mereka adalah entitas korporat yang didanai dengan baik yang diambil dari rak dan diisi dengan aktivis profesional untuk menjalankannya. Para aktivis ini menggunakan platform mereka untuk menargetkan perusahaan lain dengan tindakan kerusuhan dan menekan mereka untuk memberi sumbangan. Perusahaan-perusahaan cepat menangkap ancaman yang tersirat dan segera mereka menyerah, dengan cara memberikan uang kepada para pemeras mereka.”

Apa pun motivasi mereka, banjir merek perusahaan yang meningkatkan ketenaran BLM di media tradisional dan sosial jelas telah mempengaruhi masyarakat umum. Sebuah jajak pendapat ABC News / Langer Research Associates yang dirilis Selasa menemukan bahwa 63% orang Amerika mendukung Black Lives Matter, termasuk 28% dari Partai Republik yang menggambarkan diri sendiri dan 34% dari kelompok konservatif yang mewakili dirinya sendiri (meskipun dukungan itu belum diterjemahkan ke dukungan mayoritas bagi kebijakan partai) seperti menggunduli institusi kepolisian atau menghapus patung-patung Konfederasi).

Sangat meragukan bahwa angka-angka itu akan tetap setinggi itu, atau bahwa banyak perusahaan akan tetap mendukungnya, jika pemahaman penuh atas tujuan sejati dari Black Lives Matter lebih diketahui secara luas.

Sementara popularitas yang dibingkai di media hanya sebagai gerakan untuk mempromosikan kesetaraan rasial dan mengakhiri kebrutalan polisi, BLM menyatakan di antara tujuan resminya “mengganggu  persyaratan struktur keluarga inti yang ditentukan oleh dunia Barat, dengan cara mendukung satu sama lain sebagai keluarga besar dan 'desa' yang secara kolektif peduli satu sama lain;” dan membina "jaringan pendukung ... dengan tujuan membebaskan diri dari cengkeraman kuat pemikiran heteronormatif."

Ini juga secara resmi mendukung ‘keadilan reproduksi,’ bahasa lain untuk ‘aborsi.’ Diperkirakan 40 persen dari semua aborsi di AS dilakukan oleh wanita kulit hitam, yang berarti bahwa Black Lives Matter mendukung penghapusan orang kulit hitam tahunan lebih dari 344.800 setiap tahun.

Adapun klaim yang memicu gelombang terbaru BLM ini, pembunuhan George Floyd di Minnesota, secara langsung dan dengan suara bulat dikutuk, dan petugas polisi yang terlibat telah didakwa dengan pembunuhan. Mengenai klaim BLM yang lebih luas tentang "rasisme sistemik" dalam penegakan hukum, penelitian sebenarnya menunjukkan bahwa polisi kemungkinan besar tidak menggunakan kekuatan mematikan yang berlebihan terhadap tersangka kulit hitam, tetapi pada kenyataannya lebih kecil kemungkinannya, karena polisi juga takut akan klaim rasisme.

*****