Friday, January 6, 2023

Dokumen Sinode Secara Radikal Menjungkirbalikkan Ajaran Kristen

  

 


Kuda Troya: Sinode tentang Sinode

  

Dokumen Sinode Secara Radikal Menjungkirbalikkan Ajaran Kristen

 https://catholicherald.co.uk/the-vaticans-new-synod-document-radically-overturns-christian-teaching/ 

By Gavin Ashenden 

 

November 1, 2022 at 8:39 am 

“Dokumen Kerja untuk Tahap Kontinental dari Jalan Sinode saat ini harus diekspos sebagai kuda Troya kesesatan,” demikian tulis Gavin Ashenden. 

“Yang saya butuhkan hanyalah selembar kertas dan sesuatu untuk menulis, dan kemudian saya dapat memutarbalikkan dunia,” demikian kata Nietzsche. 

Perang budaya bukanlah teman dari nilai-nilai Katolik. Mereka mewarisi dari Nietzsche keasyikannya dengan "kekuasaan" sebagai kekuatan pendorong utama dan "nilai tertinggi". Mereka bertekad untuk mencapai perubahan dalam nilai dan pengaruh kita. 

Cara mereka melakukannya adalah dengan cara mempermainkan kata-kata. Triknya sangat sederhana. Ia berangkat untuk menggunakan kata-kata yang terlihat sangat menarik pada pandangan pertama, tetapi mengandung pemutarbalikkan dan pemelesetan makna yang tersembunyi, sehingga pada akhirnya bisa berarti sesuatu yang berbeda, bahkan mungkin sebaliknya. 

“Keanekaragaman”, “inklusi” dan “kesetaraan” hanyalah kata-kata seperti itu, tetapi “inklusi” adalah salah satu yang muncul dengan sendirinya untuk diurai hari ini, karena telah diambil oleh penulis sebuah dokumen yang dimaksudkan untuk menginformasikan cara Sinode, yang disebut "Dokumen Kerja untuk Tahap Kontinental". (DCS) 

Dokumen itu dirilis pada Kamis 27 Oktober 2022 di saat Konferensi Pers Vatikan. Hanya setebal 45 halaman, dokumen itu sejatinya bertujuan untuk menjungkirbalikkan Gereja Katolik (secara diam-diam menggunakan pemikiran Nietzsche sebagai model). 

Dokumen itu diberi judul ‘Perbesar ruang tendamu’ (dari Yesaya 54.2.) Ide pengendalian yang ingin diterapkan adalah “inklusi radikal”. Kata ‘Tenda’ ini disajikan sebagai tempat inklusi radikal di mana tidak ada orang atau golongan yang dikecualikan, dan gagasan ini berfungsi sebagai kunci hermeneutis untuk menafsirkan keseluruhan dokumen.

(Menurut Palmer, hermeneutika adalah sebuah teori yang mengatur tentang metode penafsiran, yaitu interpretasi terhadap teks dan tanda- tanda lain yang dapat dianggap sebagai teks. Perluasan makna teks ini berimbas kepada interpretasi wacana-wacana lain selain teks yang tertulis itu sendiri. Orang menjadi bebas untuk memaknai sesuatu sesuka hatinya) 

Trik kata-kata ini mudah dijelaskan. Hubungan dengan kata ‘dikucilkan’ adalah kata ‘tidak dicintai.’ Karena Tuhan adalah cinta, Dia jelas tidak ingin siapa pun mengalami ‘keadaan tidak dicintai’ hingga orang tersebut dikucilkan; jadi, Tuhan, yang adalah Cinta, harus mendukung inklusi radikal. 

Konsekuensinya, bahasa dari neraka serta penghakiman dalam Perjanjian Baru harus menjadi semacam hiperbola aberrasional yang tidak boleh dianggap serius, karena gagasan tentang Tuhan sebagai kasih yang inklusif harus diutamakan. Dan karena kedua konsep ini saling bertentangan, maka salah satu tema harus dihilangkan. Inklusi harus tetap ada, sedangkan penghakiman dan neraka harus dihilangkan. Ini adalah merupakan cara lain untuk mengatakan "Yesus harus pergi dan Marx (tokoh komunis) harus tetap ada." 

Hal ini kemudian diterapkan untuk menjungkirbalikkan semua ajaran dogmatis dan etis Gereja. 

Perempuan tidak lagi dikecualikan dari penahbisan imamat (artinya perempuan diijinkan untuk menjadi imam), hubungan LGBT diakui sebagai pernikahan; dan kemudian perluasan nyata dari ambisi progresif muncul ke permukaan karena ada anggapan bahwa para poligami harus dipeluk dan ditarik “ke dalam tenda Gereja”. 

Merupakan kesalahan serius jika tidak menyadari bahwa pola pikir liberal progresif ini ingin mengubah etika keimanan. Jadi itu sama dengan menggantikan kategori "kesucian dan dosa" dengan kata "penyertaan dan keterasingan". Akar penggunaan istilah keterasingan ini tentu saja ditemukan dalam ide-ide Marx. Tetapi ketika masyarakat kita menjadi lebih terbiasa dengan bahasa kecemasan eksistensial, kata ‘keterasingan’ telah menjadi teror baru, semboyan baru. Dosa dan keterpisahan dari Tuhan tidak begitu mengkhawatirkan seperti keterasingan, kecemasan, dan keterpisahan dari masyarakat. Hal-hal yang supranatural digantikan oleh politik. 

Bab-bab paling awal dari Kitab Kejadian terungkap untuk menunjukkan kepada kita bahwa keterasingan kita yang terdalam bukanlah keterasingan dari satu sama lain. Itu adalah gejala dari sesuatu yang lebih mendasar dan kausal: keterasingan kita dari Tuhan. Dengan kata lain, makna supernatural dan metafisik haruslah lebih diprioritaskan daripada makna politik. 

Pelatihan spiritual yang terkandung dalam Hukum dan Para Nabi menggunakan kata pemisahan, dan pemisahan sebagai konsep penting dalam perjalanan kita menuju kesucian. 

Pengalaman orang-orang Yahudi sebagai umat percobaan Allah adalah untuk belajar membedakan antara yang suci dan yang profan, antara yang sakral dan sekuler. Perpecahan ada di mana-mana sebagai sarana untuk membedakan antara kekudusan Tuhan dengan materi dan aliansi yang tidak didedikasikan kepada-Nya. Apa pun yang terpisah dari-Nya tidak memiliki kehidupan. Putusnya tali pusar kesucian yang merupakan obat terhadap dosa, ternyata berakibat fatal. Maka seluruh hidup orang Yahudi terjebak dalam pembagian antara apa yang dianggap suci dalam pelayanan kepada Tuhan, dengan apa yang tidak melayani Tuhan. 

Meskipun Yesus harus menyatakan semua makanan adalah bersih, namun drama pemisahan bergeser dari keterasingan materi menjadi pemberontakan roh. 

Yesus melakukan penyerangan dan penolakan terhadap semua yang jahat. St Yohanes mengatur drama Injil dalam penggambaran yang paling jelas antara kegelapan dan terang, Baik dan jahat. 

Narasi menyeluruh umat manusia adalah tugas untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat. Itu semua didasarkan pada karunia kehendak bebas. Kita menjadi bermartabat dengan adanya hadiah kebebasan yang menakutkan. Umat manusia diberi kemampuan untuk melepaskan diri dari kungkungan ketundukan yang terprogram untuk mengalami Kasih Tuhan, yang berwujud pemujaan dan pujian kepada Tuhan. Tetapi karunia dan tanggung jawab kehendak bebas inilah yang memungkinkan kejahatan masuk ke dunia kita. 

Menjalankan kemungkinan untuk membuat pilihan melawan Tuhan adalah apa yang memicu pemberontakan, dan kemudian kekacauan dalam pengalaman intelektual, fisik dan spiritual kita. 

Belajar membedakan, memisah-misahkan, membedakan yang baik dari yang jahat, pro-Tuhan dari anti-Tuhan, adalah inti dari perjalanan pulang kita menuju keabadian, sebuah perjalanan yang diterangi dan dimungkinkan berhasil oleh Yesus. 

Yesus sendiri berurusan dengan perpecahan dan pembedaan sepanjang pelayanan-Nya dan mencapai puncaknya dengan pemisahan domba dan kambing pada akhir zaman ketika Anak Manusia datang untuk menghakimi. 

Tuhan sering disalahartikan secara samar-samar sebagai kasih; tapi Dia adalah juga adil. Kejahatan harus diperhitungkan dan kebaikan harus diakui. Ini adalah masalah keadilan dan juga kasih. Keadilan dan realitas juga membutuhkannya. Jadi pembagian dan pembedaan adalah inti dari proyek yang dimulai dengan kehendak bebas dan diakhiri dengan pengampunan, menanggung dosa-dosa kita, dan kebebasan dari neraka saat kita disambut di Surga. 

Jadi praktik diskriminasi sangat penting untuk pelaksanaan pilihan moral dan juga integritas kemanusiaan kita. 

Efek dari pelarangan diskriminasi dan perpecahan sosial dan budaya yang diluncurkan oleh kaum Kiri progresif dan politik memiliki konsekuensi yang mengerikan. Ini bukan hanya sebuah proyek untuk menggantikan yang spiritual dengan yang politis. Ini juga memiliki efek mengaburkan tugas kritis manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat. 

Apa yang disamarkan sebagai kebaikan, undangan tanpa syarat kepada setiap orang ke Gereja, secara fatal telah mengabaikan satu-satunya syarat yang diberlakukan Injil – pertobatan. Orang boleh ke Gereja asal bertobat. Ini yang banyak dilupakan dan diabaikan. 

Penghapusan tindakan tobat adalah tanda bahwa agama yang berbeda sedang diterapkan. Itu adalah salah satu yang didasari oleh campuran truisme terapeutik populer dan kiasan politik populis. 

Gereja harus cukup cerdik untuk menyadari bahwa setiap kali ada serangan terhadap konsep diskriminasi, setiap kali ia dihadapkan pada inklusi, keragaman dan kesetaraan, maka agama lain sedang dipromosikan. Itu bukanlah Katolik. Itu bukanlah kekristenan. 

'Dokumen Kerja sinode kali ini untuk Tahap Kontinental' (DCS) dari Jalan Sinode layaklah jika ia disebut sebagai kuda Troya kesesatan.

 

----------------------------------

 

Silakan membaca artikel lainnya di sini:

 

Ahli Sejarah: Kepausan Francis Adalah Paling Buruk Dalam Sejarah Gereja

LDM, 27 Desember 2022

Pasangan Lesbian Berpidato Dalam Sebuah Misa Di Gereja Italia

PAUS BENEDIKTUS XVI SUDAH ADA DI SURGA

Pedro Regis, 5381 - 5385

Giselle Cardia, 3 Januari 2023

LDM, 4 Januari 2023