Sunday, February 2, 2020

Di dalam Lemari Vatikan – 22. Bab 20 – Wakil Paus


 

 

 DI DALAM LEMARI VATIKAN

Frếdếric Martel




KEKUASAAN

HOMOSEXUALITAS

KEMUNAFIKAN

 

  

DAFTAR ISI

CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT


Bab 1. Domus Sanctae Marthae
Bab 2. Teori Gender
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
Bab 4. Buenos Aires
Bab 5. Sinode
Bab 6. Roma Termini
BAGIAN II - PAULUS
Bab 7. Kode Maritain
Bab 8. Persahabatan Yang Penuh Cinta
BAGIAN III – YOHANES PAULUS
Bab 9. Kolese Suci
Bab 10. Legiun Kristus
Bab 11. Lingkaran Nafsu
Bab 12. Garda Swiss
Bab 13. Perang Salib Melawan Gay
Bab 14. Diplomasi Paus
Bab 15. Rumah Tangga Aneh
Bab 16. Rouco
Bab 17. CEI (Konferensi Episkopal Italia)
Bab 18. Seminaris
BAGIAN IV - BENEDICTUS
Bab 19. Pasif Dan Putih
Bab 20. Wakil Paus




  

BAGIAN IV

Benedictus





Bab 20


Wakil Paus



Foto itu sangat tidak nyata sehingga tampak seperti diedit dengan photoshop. Sekretaris utama negara Vatikan, Tarcisio Bertone, tampaknya dinobatkan dengan penuh keagungan: dia duduk di kursi yang tinggi di atas mimbar biru, mengenakan mitra kuning bergaris merah. Alasan yang dipentaskan tiga kali ini - mimbar, takhta, mitra - membuatnya tampak seperti raksasa yang sedikit menakutkan. Dia duduk kaku seperti seorang kaisar selama upacara sakral, kecuali bahwa dia menderita kelebihan kalsium dalam darahnya.

Di sebelah kanannya, Kardinal Jorge Bergoglio nampak sangat kecil: duduk di kursi logam biasa, di luar mimbar, dia hanya berpakaian putih. Jika Tarcisio Bertone mengenakan kacamata hitam penerbang, maka Bergoglio memakai kacamatanya yang biasa dan besar. Kasula Bertone yang berwarna emas bertepian renda putih mengingatkan saya pada serbet nenek saya. Di pergelangan tangannya ada sebuah jam tangan berkilau: sebuah Rolex, telah disematkan disitu. Ketegangan antara kedua pria itu jelas: Bertone menatap lurus ke depan dengan ekspresi ingin tahu, membeku seperti mummi. Sedangkan mulut Bergoglio terbuka seolah berisi alarm, mungkin karena dia melihat ‘sang Caesar’ yang agung ini.

Foto ini, yang mudah ditemukan di Google dan Instagram, berasal dari November 2007, diambil saat perjalanan oleh sekretaris negara ke Argentina untuk upacara beatifikasi. Pada saat itu, Bertone adalah sosok paling kuat di Gereja Katolik, setelah Benediktus XVI. Dia dikenal sebagai 'wakil paus.' Beberapa tahun kemudian, dia dipindahkan. Bergoglio akan dipilih menjadi paus dengan nama Francis.

Tarcisio Bertone lahir di Piedmont pada tahun 1934. Dia berbagi tempat asal ini - Italia Utara - dengan Angelo Sodano, pendahulunya di Sekretariat Negara Vatikan. Bersama dengan Sodano, dia adalah penjahat kedua dalam buku ini. Dan tentu saja, di ‘panggung besar teater Shakespeare’ yang selalu menjadi acuan Kuria Romawi, dua raksasa kesombongan dan kekakuan ini akan menjadi 'musuh komplementer.'

Sebagai putra petani gunung, Bertone adalah seorang Salesian, seorang anggota kongregasi Katolik yang didirikan di Italia, yang menempatkan pendidikan sebagai jantung dari misinya. Untuk waktu yang lama, karirnya cukup tenang. Selama 30 tahun dia jarang disebut-sebut: dia adalah seorang imam, dan dia mengajar. Tentu saja, secara diam-diam dia membentuk jejaring; hingga pada akhirnya dia diangkat, pada usia 56, sebagai Uskup Agung Vercelli di Piedmont, tempat kelahirannya.

Salah satu orang yang mengenalnya dengan baik saat ini adalah Kardinal Raffaele Farina, yang juga seorang Salesian, dan yang menyambut Daniele (pembantu peneliti saya) dan saya di apartemennya di Vatikan. Dari jendelanya, kami dapat melihat apartemen paus beberapa meter jauhnya, dan sedikit lebih jauh, ada teras-teras Kardinal Giovanni Battista Re dan Bertone yang spektakuler. Dan lebih jauh lagi, nampak teras penthouse Angelo Sodano. Semua orang-orang tua ini saling mengamati satu sama lain seperti anjing cina, dengan rasa iri hati dan permusuhan, dari jendela masing-masing. Itu bisa disebut sebagai ‘perang teras.’

"Saya bertanggung jawab atas Universitas Salesian ketika Bertone bergabung bersama kami," Kardinal Raffaele Farina menjelaskan. “Dia adalah deputi saya. Saya mengenalnya dengan baik, dan saya tidak akan pernah mengangkatnya sebagai menteri luar negeri Vatikan. Dia suka bepergian dan mengurus bisnisnya sendiri. Dia banyak bicara, terutama dalam bahasa Italia dan kadang-kadang dalam bahasa Perancis; dia memiliki banyak kontak internasional tetapi dia telah gagal di Universitas Salesian sebelum dia gagal dalam segala hal di Vatikan.”

Dan Kardinal Raffaele Farina menambahkan, seolah-olah dengan cara yang menyimpang: “Bertone selalu menggerakkan tangannya. Dia orang Italia utara yang berbicara dengan tangannya seperti orang Selatan!

Kardinal Farina tahu semua rahasia Vatikan. Dia diangkat sebagai kardinal oleh Benediktus XVI, kepada siapa dia sangat dekat, kemudian dia diangkat oleh Francis ke kursi pemipin dari sebuah komisi penting untuk melakukan reformasi Bank Vatikan. Antara keuangan, korupsi, dan homoseksualitas, dia tahu segalanya, dan kami berbicara panjang lebar tentang subyek-subyek ini dengan rasa kebebasan yang mencengangkan saya selama beberapa percakapan kami.

Di akhir salah satu pertemuan kami, kami menemani kardinal Farina ke tujuan berikutnya. Kami masuk ke mobil kecilnya, sebuah Volkswagen Up !, dan kami mengakhiri percakapan kami di dalam kendaraan diplomatik Vatikan ini, yang dia kemudikan sendiri pada usianya yang mencapai 85 tahun. Kami lewat di depan gedung apartemen tempat Tarcisio Bertone tinggal, lalu di depan Angelo Sodano. Kami berkendara di sepanjang jalan-jalan terjal Vatikan, di antara pohon-pohon ceri yang mekar, di bawah pengawasan ketat polisi yang mengetahui, dari pengalaman, bahwa Kardinal Farina tidak lagi awas matanya seperti sebelumnya. Di sini dia mengabaikan sebuah rambu untuk berhenti; kemudian dia salah jalan dengan menyusuri jalan satu arah; setiap kali, polisi hanya melambai padanya dan dengan sopan mengarahkannya ke arah yang benar. Aman dan dalam keadaan tetap sehat, meskipun setelah beberapa saat yang menegakkan bulu roma saya, kami mencapai Porta Santa Anna, lengkap dengan ingatan luar biasa dari sebuah diskusi dengan seorang kardinal yang telah banyak memberi tahu kami. Ya ampun, betapa banyak ingatannya!

Apakah kardinal Bertone seorang idiot? Itulah yang dikatakan semua orang di Vatikan saat ini. Sulit untuk menemukan seorang wali gereja atau nuncio (dubes) yang bersedia membelanya, bahkan jika kritikan yang penuh kemarahan itu, yang sekarang datang dari orang-orang yang sama yang membawa kardinal Bertone ke puncak jabatannya baru kemarin, namun lupakan saja kualitas langka dari kardinal Bertone ini. Di antaranya adalah: kapasitasnya yang besar untuk bekerja; kesetiaannya kepada rekan-rekannya; semangatnya membentuk jejaring di keuskupan Italia; dan dogmatisme Ratzingerian. Tetapi karena kekurangan otoritas alamiahnya, seperti banyak orang yang tidak kompeten sebelumnya, dia kemudian menjadi otoriter. Orang-orang yang mengenalnya di Genoa menggambarkannya sebagai seorang formalis; sebagai seseorang yang sangat arogan dan yang mengelilingi dirinya dengan orang-orang muda yang selibat dan para bujangan tua di istana di mana dia menerima para tamunya.

"Dia membuat kami menunggu seolah-olah kami mau audiensi dengan paus," mantan duta besar Perancis untuk Vatikan, Pierre Morel, mengatakan kepada saya, menggambarkan satu sifat dan peristiwa seperti itu.

Salah satu mantan siswa Bertone, ketika dia mengajar hukum dan bahasa Perancis, seorang imam yang saya temui di London, memberi tahu saya di sisi lain, bahwa 'kardinal Bertone adalah guru yang sangat baik dan sangat lucu. “Bertone suka mengutip,” sumber yang sama memberi tahu saya, “ide-ide dan ucapan Claudel, Bernanos dan Jacques Maritain.” Dalam wawancara tertulis, Bertone mengonfirmasi bahwa dia telah membaca karya para penulis ini, meminta maaf atas bahasa Perancisnya yang sedikit kuno, dan berterima kasih kepada saya karena 'menyegarkan' dengan memberinya sebuah buku -- buku putih kecil saya yang terkenal.

Bagi banyak orang, Tarcisio Bertone mencapai tingkat ketidakmampuannya ketika berada di Sekretariat Negara. Kardinal Giovanni Battista Re, mantan 'menteri' dalam negeri untuk Yohanes Paulus II dan musuh Bertone, menyampaikan komentarnya dengan hati-hati tentang Bertone: “Bertone sangat pandai di Kongregasi untuk Ajaran Iman, tetapi dia tidak siap untuk pos menteri luar negeri.”

Don Julius, seorang bapa pengakuan di St. Peter, yang banyak berhubungan dengan Bertone dan mungkin telah melayaninya mengaku dosa, menambahkan: “Dia sombong; dia adalah guru hukum kanon yang buruk.”

Para bapa pengakuan di St. Peter, dimana sebagian besar mereka adalah homofil, adalah sumber informasi yang menarik di Vatikan. Bertempat di sebuah bangunan kuno di Piazza Santa Marta, mereka hidup di sel-sel individual dengan ruang makan kolektif yang indah. Saya sering mengadakan pertemuan di sana, di parlatorio yang, meskipun terletak di pusat syaraf Tahta Suci, tetapi itu adalah tempat yang diam-diam seperti yang diharapkan: tidak ada yang mengganggu seorang bapa pengakuan yang melayani pengakuan dosa - atau dia sendiri yang mengaku dosa.

Dari pos pengamatan antara Istana Pengadilan dan kantor polisi Vatikan, sepelemparan batu dari kediaman Paus Francis dan menghadap apartemen kardinal Bertone, para bapa pengakuan bisa melihat dan mengetahui segalanya. Di sinilah Paolo Gabriele ditempatkan dalam tahanan setelah peristiwa VatiLeaks: untuk pertama kalinya, hingga sel-sel itu menjadi penjara yang sebenarnya.

Dengan jaminan anonimitas, para bapa pengakuan di St. Petrus menceritakan semuanya kepada saya. Mereka tahu kardinal mana saja yang terlibat dalam skandal korupsi; siapa yang tidur dengan siapa; dimana asistennya yang ganteng bergabung dengan bosnya di apartemen mewahnya di malam hari; siapa saja yang menyukai para Pengawal Swiss, atau siapa saja yang lebih suka dengan polisi yang lebih jantan.

Salah satu imam-imam itu, yang seharusnya menjaga rahasia pengakuan dosa, memberi tahu saya: “Tidak ada kardinal yang korup yang pernah memberi tahu kami dalam pengakuan dosa bahwa dia korup! Tidak ada kardinal homofilik yang mengakui kecenderungan homofiliknya! Mereka berbicara kepada kita tentang hal-hal yang nampak bodoh, tentang perincian dosanya yang tidak penting. Namun kita tahu mereka sangat busuk perbuatannya sehingga mereka tidak lagi tahu apa itu korupsi dan kebusukan. Mereka bahkan berbohong dalam pengakuan dosa."

Karier kardinal Bertone benar-benar meningkat ketika Joseph Ratzinger menunjuknya sebagai orang nomor dua di Kongregasi (yang penting) untuk Ajaran Iman. Ini terjadi pada 1995; dia berusia 60 tahun.

Bagi seorang pria yang kaku, diangkat ke jabatan paling doktriner di seluruh Gereja adalah sebuah berkat. "Kekakuan kuadrat," kata seorang pastor Kuria. Di sinilah kardinal Bertone memperoleh reputasi buruk sebagai anggota ‘polisi pemikir.’

Mgr. Krzysztof Charamsa, yang telah bekerja di Istana Tahta Suci selama bertahun-tahun, membandingkannya dengan sebuah 'cabang KGB,' sistem totaliter nyata yang menindas yang 'mengendalikan jiwa dan kamar tidur.' Apakah Bertone memberikan tekanan psikologis pada para uskup homoseksual tertentu? Apakah dia memberi tahu kardinal tertentu bahwa ada file tentang dirinya dan bahwa dia harus menjaga hidungnya tetap bersih? Mgr. Krzysztof Charamsa tetap mengelak ketika saya bertanya kepadanya.

Faktanya adalah tetap, bahwa cara bekerja di Kongregasi untuk Doktrin Iman ini membuat kardinal Bertone mendapat julukan Hoover.

"Namun, dia adalah Hoover yang kurang cerdas," kata seorang uskup agung yang mengungkapkan julukan ini kepada saya menambahkan seolah mau mengoreksi.

J. Edgar Hoover, yang mengelola Biro Investigasi AS dan badan penggantinya, FBI, selama hampir lima puluh tahun, menggabungkan pemahaman yang cerdas tentang orang-orang dan situasi dengan organisasi ketat dari keberadaannya yang tertutup. Bertempur tanpa henti dan seperti iblis melawan dirinya sendiri, dia membuat file rahasia dari kehidupan pribadi para tokoh publik dan politisi Amerika yang tak terhitung jumlahnya. Kita tahu sekarang bahwa kemampuan luar biasa untuk bekerja seperti ini, selera yang keliru untuk berkuasa, obsesi anti-komunis ini, hidup berdampingan dengan sebuah rahasia: dia juga seorang homoseksual. Pria yang suka berdandan sebagai seorang wanita secara pribadi ini, menjalani sebagian besar hidupnya yang penuh kontradiksi dengan wakil kepala Clyde Tolson, yang dia tunjuk sebagai wakil direktur FBI sebelum menjadikannya sebagai pewarisnya.

Perbandingannya dengan kardinal Bertone terpecah pada titik-titik tertentu, salinannya mungkin berbeda dari contoh modelnya, tetapi sisi psikologisnya ada. Bertone adalah seorang ‘Hoover’ yang gagal.

Pada tahun 2002, Tarcisio Bertone diangkat menjadi Uskup Agung Genoa oleh John Paul II kemudian menjadi kardinal atas dukungan Ratzinger. Beberapa bulan setelah pemilihannya, Benediktus XVI memanggilnya untuk menggantikan Angelo Sodano sebagai sekretaris negara: maka Bertone menjadi 'perdana menteri' paus.

Karir yang sukses ini sekarang memiliki segala kekuatan dan kekuasaan. Sama seperti Sodano yang benar-benar menjadi wakil paus selama sepuluh tahun terakhir kepausan John Paul II karena sakitnya Bapa Suci yang cukup lama, maka Bertone juga menjadi wakil paus berkat kurangnya minat Benediktus XVI dalam pengelolaan urusan negara.

Menurut beberapa sumber, kardinal Bertone menerapkan sistem kontrol internal yang terdiri dari sinyal, peringatan, dan pemantauan, atas seluruh rantai komando yang sampai kepadanya, untuk melindungi rahasia-rahasia Vatikan. Sistem ini seharusnya memungkinkan dia untuk tetap berkuasa untuk waktu yang lama, jika dia tidak mengalami dua komplikasi yang tidak terduga dalam karirnya yang tanpa cacat itu: kasus VatiLeaks, yang lebih dulu, dan kemudian, yang lebih tak terduga: 'turun tahtanya' Benediktus.

Kurang terorganisir daripada Hoover, kardinal Bertone tahu, seperti Hoover, bagaimana memperbaiki kekurangannya dalam memilih orang. Maka dia menjadi dekat dengan seorang ‘Domenico Giani’ tertentu, yang dia tunjuk sebagai kepala Corpo della gendarmeria Vatikan, terlepas dari penentangan sengit dari Kardinal Angelo Sodano, yang berharap bahwa dia sendiri akan dapat terus memainkan peran. Di dalam kepala dari seratus polisi, inspektur dan petugas polisi, mantan perwira Garda Italia di Finanza ini menjadi bayang-bayang Bertone dalam semua urusan dan misi rahasia.

Kepala polisi Italia ini sangat kritis terhadap polisi Vatikan, yang menolak untuk bekerja sama dengan kami, dimana para polisi Vatikan banyak menggunakan zona ekstrateritorialitas dan kekebalan diplomatik untuk menutupi skandal tertentu. “Hubungan menjadi semakin tegang," kata seorang polisi senior Italia kepada saya.

Dalam sebuah buku yang kontroversial tetapi berisi informasi yang disediakan oleh Georg Gänswein dan seorang asisten Bertone, penulis esai Nicolas Diat mengatakan bahwa Domenico Giani tunduk pada pengaruh-pengaruh dari  luar, tanpa menyatakan apakah ini mungkin berasal dari freemasonry, lobi gay atau dinas rahasia Italia. Seorang kardinal yang dia kutip, menganggap bahwa dia 'bersalah atas pengkhianatan tingkat tinggi,' dan bahwa ini adalah salah satu 'contoh infiltrasi paling serius di Tahta Suci.’ (Tuduhan serius ini tidak pernah terbukti; hal itu dengan tegas ditolak oleh juru bicara Benediktus XVI; dan Paus Francis memperbarui kepercayaannya kepada Domenico Giani.)

Dengan bantuan Domenico Giani dan layanan teknis Vatikan, kardinal Bertone menjaga Kuria di bawah pengawasannya. Ratusan kamera dipasang di mana-mana; komunikasi disaring. Bahkan ada rencana untuk mengesahkan hanya satu model telepon seluler yang aman. Keributan terjadi di antara para uskup! Mereka menolak untuk dimonitor! Upaya untuk menyelaraskan smartphone ini gagal, tetapi pemeriksaan tetap dilakukan. (Kardinal Jean-Louis Tauran mengkonfirmasi hal ini.)

“Sarana komunikasi, telepon dan komputer, disaring dan diperiksa dengan cermat oleh Vatikan. Dengan begitu mereka tahu semua yang terjadi di Tahta Suci dan, jika perlu, mereka memiliki bukti terhadap siapa pun yang mungkin menyebabkan masalah. Tetapi secara umum mereka menyimpan semuanya untuk diri mereka sendiri," demikian saya diberitahu oleh mantan pastor, Francesco Lepore, yang dirinya sendiri harus diawasi secara ketat sebelum pemecatannya.

Mantan 'menteri' John Paul II dari ‘orang dalam,’ Giovanni Battista Re, yang saya ajak bicara mengenai hal ini, di hadapan Daniele, masih ragu bahwa Vatikan akan mampu melakukan pengawasan pada tingkat ini. “Menurut definisi, di Vatikan, sekretaris negara mengetahui segalanya dan, tentu saja, memiliki file dari setiap orang. Tapi saya pikir Bertone tidak ‘secanggih’ itu, meski dia punya file dari semua orang."

Seperti kebanyakan sistem pengintaian, sistem Bertone dan Giani mendorong strategi penghindaran dari para uskup kuria. Sebagian besar dari mereka mulai menggunakan aplikasi yang aman seperti Signal atau Telegram. Mereka juga membeli sendiri ponsel pribadi kedua, yang dengan alat itu mereka dapat dengan aman berbicara buruk tentang menteri sekretaris negara, mendiskusikan desas-desus tentang rekan religius mereka atau berhubungan dengan orang luar melalui aplikasi Grindr. Di dalam Vatikan, tempat penggunaan internet dipantau dan disaring secara khusus, telepon kedua itu memungkinkan mereka untuk melewati firewall ke alamat terlarang, seperti situs-situs erotis.

Pada suatu hari, ketika saya berada di apartemen pribadi seorang pastor, dimana saya tinggal bersama orang dalam di Vatikan, kami melakukan sebuah percobaan. Kami menguji beberapa situs erotis yang diblokir oleh pesan: ‘Jika Anda ingin membuka blokir situs ini, silakan hubungi nomor internal 181, sebelumnya 83511, atau 90500.' Kalimat ini bicara tentang adanya ‘keharusan kontrol dari orangtua’!

Saya melakukan percobaan yang sama lagi beberapa bulan kemudian dari apartemen seorang uskup, masih di dalam Vatikan, dan kali ini saya membaca di layar bahwa 'akses ke halaman web yang diminta' diblokir atas inisiatif 'polisi keamanan' dari Vatikan. Satu alasan diberikan: 'Konten dewasa.' Saya hanya perlu memencet ‘kirim’ untuk memintanya agar dibuka blokirnya.

“Tokoh senior Vatikan berpikir mereka dapat lolos dari pengawasan ini. Mereka diizinkan untuk melanjutkannya; tetapi jika suatu hari mereka menjadi ‘penghalang,’ maka apa yang diketahui atas diri mereka dapat digunakan untuk mengendalikan mereka," jelas Francesco Lepore.

Pornografi, yang pada dasarnya adalah pornografi gay, adalah fenomena yang sering terjadi di Vatikan sehingga sumber-sumber saya berbicara tentang 'masalah kecanduan serius di antara para uskup Kuria.' Beberapa imam bahkan telah menggunakan layanan khusus untuk memerangi kecanduan ini, seperti NoFap, sebuah situs spesialis yang berbasis di sebuah gereja Katolik di Pennsylvania.

Pengawasan internal ini ditingkatkan selama kepausan Benediktus XVI, karena skandal, desas-desus dan, tentu saja, kasus VatiLeaks pertama berkembang biak. Tarcisio Bertone sendiri terjebak dalam kebocoran ini, dan paranoia-nya berlipat ganda. Dia mulai mencari mikrofon di apartemen-apartemen pribadi, mencurigai para kolega, dan bahkan memberhentikan sopirnya, yang dia curigai memberi tahu Kardinal Sodano.

Sementara itu, ‘mesin’ Vatikan ini (Bertone) dibungkam. Bertanggung jawab atas hubungan internasional, tetapi miskin dalam berbicara bahasa asing, Bertone menjadi terisolasi dari keuskupan lokal dan mulai membuat kesalahan demi kesalahan. Seorang diplomat yang buruk, dia berkonsentrasi pada apa yang dia tahu paling baik, yaitu politik Italia dan hubungan dengan para penguasa negara itu, yang dia harapkan bisa dia kendalikan secara langsung (hal ini dikonfirmasi oleh dua presiden CEI, Kardinal Ruini dan Bagnasco, kepada saya ).

Sekretaris negara masa Benediktus XVI juga mengelilingi dirinya dengan rekan-rekannya yang tidak istimewa, hingga memicu sejumlah desas-desus. Ini termasuk Lech Piechota yang terkenal, asisten favorit Bertone, yang sepertinya tidak dapat dipisahkan, seperti Ratzinger dengan Georg Gänswein atau John Paul II dengan Stanisław Dziwisz.

Saya mencoba mewawancarai Piechota, tetapi tidak berhasil. Sejak akhir kepausan Benediktus XVI, saya diberitahu bahwa imam Polandia ini telah dipindahkan ke Dewan Kepausan bidang Kebudayaan. Dalam salah satu dari banyak kunjungan saya ke kementerian itu, saya bertanya kepada Piechota dan mencoba mencari tahu dengan mukjizat apa – padahal dia tidak pernah memiliki minat sedikit pun pada seni – hingga dia bisa bertugas di bagian itu. Apakah dia memiliki bakat artistik yang tersembunyi? Apakah dia sedang disingkirkan? Saya mencoba memahami hal ini dengan polos.

Maka saya mewawancarai direktur Departemen Kebudayaan hingga dua kali tentang Piechota. Apakah dia ada di sana? Balasannya sangat membingungkan: “Saya tidak tahu siapa yang Anda bicarakan. Dia tidak ada di sini."

Suatu penyangkalan yang aneh. Lech Piechota muncul dalam the Annuario Pontificio sebagai pejabat kebijakan untuk Dewan Kepausan bidang Kebudayaan, di samping nama-nama Pastor Laurent Mazas, pastor Pasquale Iacobone dan Uskup Agung Carlos Azevedo, ketiganya telah saya wawancarai. Dan ketika saya memencet papan tombol dari kementerian itu, saya terhubung ke Piechota. Kami berbicara secara singkat, tetapi, anehnya, mantan asisten 'perdana menteri' itu, seorang pria yang biasa berbicara setiap hari dengan puluhan kardinal dan kepala pemerintahan dari seluruh dunia, tidak bisa berbahasa Perancis, Inggris, maupun Spanyol.

Jadi Piechota adalah petugas kebijakan di Kementerian Kebudayaan, tetapi mereka tampaknya lupa bahwa dia ada di sana. Apakah dia mendapat masalah sejak namanya bocor dalam skandal VatiLeaks? Apakah sekretaris pribadi Kardinal Bertone ini perlu dilindungi? Mengapa pastor Polandia ini, Piechota, menjaga dirinya sedemikian rupa? Mengapa dia kadang-kadang meninggalkan kantornya di Dewan Kepausan urusan Kebudayaan ketika Bertone menyuruhnya melakukan hal itu (menurut dua saksi)? Mengapa kita melihatnya mengemudi mobil besar resmi: sebuah mobil mewah Audi A6, dengan jendela gelap dan kaca depan belakang juga gelap,dan memakai plat diplomatik Vatikan? Mengapa Piechota masih tinggal di Istana Tahta Suci, di mana saya telah menabraknya beberapa kali, dan di mana mobil besar ini diparkir di tempat parkir istimewa di mana tidak ada orang lain yang diizinkan untuk parkir? Dan ketika saya menyampaikan pertanyaan ini kepada anggota Kuria, mengapa mereka hanya tersenyum? Mengapa? Mengapa?

Harus dikatakan bahwa Tarcisio Bertone memiliki banyak musuh. Di antara mereka, ada Angelo Sodano, yang tinggal di dalam tembok-tembok Vatikan pada awal kepausan Benediktus XVI. Dari Kolese Ethiopia-nya, yang telah dipulihkannya dengan biaya besar, mantan menteri sekretaris negara itu terperangkap dalam penyergapan. Dia tentu saja telah dilucuti dari tanggung jawabnya, tetapi dia tetap menjadi kepala di Kolese para Kardinal: gelar ini memberinya otoritas yang lebih besar atas para pemilih dalam konklaf, yang masih melihatnya sebagai seorang ‘pembuat paus.’ Karena Sodano telah menjalankan kekuasaan untuk waktu yang lama, dia juga memiliki kebiasaan buruknya: dari lemarinya yang berlapis emas, dia mengacak-acak jabatan banyak orang dan arsip tentang orang-orang itu, seolah-olah dia masih memegang kendali. Bertone terlambat untuk menyadari bahwa Sodano adalah salah satu dari pemimpin dinasti kepausan Benediktus XVI.

Semuanya dimulai, seperti yang sering terjadi, dengan sebuah penghinaan. Mantan kardinal sekretaris negara zaman John Paul II itu, melakukan segala yang dia bisa untuk tetap menjabat. Dalam tahun pertama masa pemerintahannya, paus mempertahankan Sodano pada jabatannya demi kepentingan formasi personil, dan untuk alasan lain yang lebih penting: tidak ada orang lain yang layak! Memang, Joseph Ratzinger tidak pernah menjadi kardinal politik: dia tidak punya geng, tidak ada tim, tidak ada yang menempatkan atau mempromosikan dirinya kecuali Georg Gänswein, asisten pribadinya. Tetapi Ratzinger selalu sangat curiga kepada Sodano, seperti juga terhadap orang lain, dari siapa Sodano telah menerima informasi yang mengejutkan. Ratzinger terperangah dengan apa yang dikatakan Sodano tentang masa lalu dirinya di Chili, sehingga Ratzinger tidak ingin mempercayai rumor itu.

Mengambil keuntungan dari usianya yang menginjak 79 tahun, Benediktus XVI akhirnya berpisah dengan Sodano. Menurut memoarnya, itu terjadi sebagai berikut: “Dia seusia dengan saya. Jika paus sudah tua, karena dia dipilih ketika sudah menjadi tua, maka sekretaris negara, setidaknya, haruslah dalam kondisi prima."

Membuat seorang kardinal yang hampir pensiun pada usia delapan puluh: Sodano tidak tahan dengan hal itu. Tanpa menunggu, dia bangkit, memberontak, mulai melemparkan berbagai umpatan. Dia menolak. Ketika dia mengerti bahwa permainan sudah habis, dia menuntut untuk dapat memilih penggantinya (anak didiknya dan wakilnya, Giovanni Lajolo, mantan anggota APSA yang merupakan nuncio di Jerman), tetapi tidak berhasil. Dan ketika akhirnya dia mengetahui nama penggantinya, Uskup Agung Genoa Tarcisio Bertone, dia merasa ngeri: “Seharusnya dia bisa menjadi deputi saya! Dia bahkan bukan seorang nuncio! Dia bahkan tidak bisa berbahasa Inggris! Dia bukan bagian dari aristokrasi berjubah!” (Dalam pembelaannya, Bertone berbicara bahasa Perancis dan Spanyol yang cukup baik, serta Italia, seperti yang sudah saya cek sendiri.)

Sekarang mulailah sebuah episode fitnah, gosip, dan balas dendam dari jenis yang tidak dikenal di Italia sejak zaman Julius Caesar, ketika sang kaisar menghukum prajuritnya karena menghinanya dengan memanggilnya 'Ratu'!

Tentu saja, gosip selalu memainkan peran besar dalam sejarah Tahta Suci. Ini adalah 'racun gay' yang dibicarakan penyair, dan 'penyakit rumor, fitnah, dan gosip' yang dikecam oleh Paus Francis. Gosip semacam ini adalah tipikal kehidupan homoseksual sebelum zaman 'pembebasan gay.' Ini terdiri dari kiasan yang sama, lelucon yang sama, fitnah yang sama, yang digunakan para kardinal saat ini untuk melukai dan menyakiti - dengan harapan untuk bisa menyembunyikan kehidupan ganda diri mereka sendiri.

“Vatikan adalah sebuah pengadilan dengan seorang raja. Dan seperti halnya para klerus, tidak ada pemisahan antara kehidupan pribadi dan publik, tidak ada keluarga, semua orang hidup dalam suatu komunitas, semuanya diketahui, semuanya dicampuradukkan. Begitulah desas-desus, gosip, dan fitnah menjadi sebuah sistem,” kata seorang ahli tentang Vatikan, Romilda Ferrauto, yang sejak lama menjadi salah satu direktur Radio Vatikan, kepada saya.

Rabelais, seorang mantan rahib, telah menyadari kecenderungan ini di antara para uskup di dewan kepausan, yaitu suka 'mengutuk semua orang' sambil dirinya sendiri berzina seperti orang gila. Mengenai 'tamasya nafsu,' senjata homofob yang mengerikan, hal itu selalu dihargai tinggi oleh kaum homoseksual sendiri, di klub-klub gay tahun 1950-an, seperti di kerajaan Vatikan saat ini.

Paus Francis, seorang pengamat tentang Kuria, tidak salah ketika dia menyebutkan dalam pidatonya, di antara '15 penyakit Kurial’: adalah skizofrenia eksistensial; anggota istana yang 'membunuh dengan darah dingin' yang merupakan reputasi dari rekan-rekan kardinal mereka; 'terorisme gosip' dan para uskup yang 'menciptakan dunia paralel untuk diri mereka sendiri, di mana mereka mengesampingkan semua ajaran yang mereka berikan dengan keras kepada orang lain, dan mulai menjalani kehidupan yang tersembunyi dan seringkali menjalani kehidupan yang cabul dan keji.’ Mungkinkah hal ini bisa lebih jelas? Hubungan antara fitnah dan kehidupan ganda sekarang dibangun oleh saksi yang paling tak terbantahkan, yaitu: paus.

Meskipun demikian, mantan menteri sekretaris negara, Angelo Sodano, mengatur balas dendamnya pada Bertone dengan sangat terperinci: setelah berlatih di Pinochet Chili, dia tahu skornya, rumor soal pembunuhan dan metode-metode yang kejam. Pertama-tama, dia menolak untuk meninggalkan apartemen mewahnya, yang harus diperbaiki Bertone. Lagipula, sekretaris negara yang baru harus puas dengan pied-à-terre sementara penthouse baru Sodano sedang dipugar dan direnovasi.

Di sisi perlawanan, Sodano yang pemarah membuat jaringannya di dalam Kolese para Kardinal dan ‘mesin’ rumor. Bertone bertindak lambat dalam mengambil tindakan yang tepat dari pertempuran ‘ego langit.’ Pada saat dia melakukannya, setelah merebaknya kasus VatiLeaks, sudah terlambat baginya. Pada saat itu, semua orang sudah diberikan pensiun dini, bersama dengan paus!

Salah satu kaki tangan dekat Sodano adalah seorang uskup agung Argentina yang menjadi nuncio di Venezuela dan Meksiko: Leonardo Sandri, yang telah kami sebutkan di atas. Paus baru, yang curiga kepadanya seperti halnya dia terhadap Sodano, memilih untuk berpisah dengan orang Argentina yang bermasalah ini. Dia benar-benar menghormati adat: dia menjadikan Sandri sebagai kardinal pada tahun 2007 dan menempatkannya sebagai penanggung jawab Gereja-Gereja Timur. Tetapi itu tidak cukup bagi lelaki macho yang egois ini, yang tidak tahan dengan kenyataan bahwa dirinya dicopot dari jabatannya sebagai 'menteri dalam negeri' dari paus. Pada gilirannya, dia bergabung dengan Sodano dalam melakukan perlawanan, seorang prajurit rendahan dalam pasukan gerilya kecil di Sierra Maestra dari Vatikan.

Tahta Suci tidak pernah terhindar dari adegan perselisihan rumah tangga dan keluarga. Di tengah lautan ambisi, penyimpangan, dan fitnah yang mengalir terus di Vatikan, banyak paus berhasil mengatasi angin kencang yang berbahaya. Sekretaris negara Vatikan yang lain mungkin bisa mengarahkan kapal Vatikan ke pelabuhan yang aman - bahkan dengan Benediktus XVI. Paus yang lainnya, jika dia merawat Kuria, akan mampu mengapungkan kapal Vatikan lagi - bahkan dengan Bertone. Tetapi hubungan antara seorang paus yang digerakkan secara ideologis dan seorang kardinal yang tidak mampu mengelola Kuria, yang begitu penuh dengan kepentingan dirinya sendiri dan begitu menginginkan pengakuan, hal itu tidak dapat bekerja. Pasangan kepausan itu adalah tim yang sangat rentan dan goyah sejak awal, dan kegagalannya dengan cepat terbukti. "Kami saling percaya, kami baik-baik saja, jadi saya tidak akan melepaskannya," kata paus emeritus, yang nantinya akan mengkonfirmasi dengan niat baik dan kemurahan hati, untuk berbicara tentang Bertone.

Kontroversi muncul satu demi satu, dan dengan kecepatan dan kekerasan yang mengejutkan: selama pidatonya di Regensburg, paus memprovokasi skandal internasional dengan menyatakan bahwa Islam pada dasarnya adalah keras, sehingga dia membatalkan semua upaya dialog antaragama oleh Vatikan (pidatonya tidak dibaca, dan pada akhirnya paus harus meminta maaf); dengan cepat dan tanpa syarat merehabilitasi kaum ultra-fundamentalis Lefebvrist, termasuk seorang anti-Semit dan revisionis yang terkenal jahat, paus dituduh mendukung sayap kanan dan memasuki kontroversi besar dengan orang-orang Yahudi. Kesalahan komunikasi yang mendasar dan penting ini dengan cepat melemahkan Bapa Suci. Dan, tak terhindarkan, masa lalunya di organisasi Hitler Youth, dimunculkan ke permukaan.

Kardinal Bertone segera menjadi pusat skandal properti besar. Pers, mengambil informasi dari VatiLeaks, menuduhnya telah merebut sebuah penthouse, seperti Sodano - 350 meter persegi di Palazzo San Carlo, yang dibangun dengan meruntuhkan bersama dua apartemen sebelumnya - dan menambahkan teras yang luas, yang berukuran 300 meter persegi. Pekerjaan restorasi palazzo-nya, sebesar 200.000 euro, dikatakan telah dibiayai oleh yayasan Rumah Sakit Anak Bambino Gesù. (Paus Francis meminta Bertone untuk mengembalikan jumlah ini, dan persidangan oleh Vatikan diumumkan terhadap kardinal mewah luar biasa itu.)

Hanya sedikit yang diketahui tentang hal itu, tetapi di latar belakang, seorang camarilla gay sedang membangkitkan persekongkolan dan intrik seperti orang gila. Di antara mereka, para kardinal dan uskup, semuanya ‘berlatih homosexual,’ sedang melakukan manuver. Perang saraf yang sesungguhnya dimulai, ditujukan kepada Bertone dan tentu saja, melalui dia, juga tertuju kepada paus. Latar belakang komplotan ini terdiri dari begitu banyak kebencian yang dikobarkan kembali, dibumbui fitnah, desas-desus, relasi, perpisahan yang telah lama terjadi dan kadang-kadang juga kisah cinta, sehingga sulit untuk mengurai masalah interpersonal dari berbagai pertanyaan mendasar yang sebenarnya. (Dalam ‘Testimonianza’-nya, Uskup Agung Viganò, menduga Kardinal Bertone ‘terkenal karena mempromosikan kaum homoseksual kepada posisi yang memegang tanggung jawab besar di Vatikan.’)

Dalam konteks yang buruk ini, pengungkapan baru dan serius atas skandal pelecehan seksual mencapai Tahta Suci dari beberapa negara lain. Sudah di ambang ledakan, Vatikan akan terhanyut oleh gelombang besar ini, yang dari kasus itu, lebih dari sepuluh tahun kemudian, luka itu masih belum pulih.

Juga seorang homofobia seperti Sodano, Bertone memiliki teorinya sendiri dalam masalah pedofil, yang akhirnya dia sampaikan kepada publik dan pers selama perjalanannya ke Chili, di mana dia tiba dengan penuh semangat dan diapit oleh asisten favoritnya. Sekretaris negara itu menyatakan dirinya secara resmi di sini, pada bulan April 2010, tentang psikologi para pastor pedofil. Kontroversi global baru akan segera meletus.

Inilah yang dikatakan Kardinal Bertone: “Banyak psikolog, banyak psikiater, telah menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara selibat (imam) dengan pedofilia; tetapi banyak orang lain telah menunjukkan, saya telah diberitahu baru-baru ini, bahwa ada hubungan antara homoseksualitas dan pedofilia. Itu benar. Itulah masalahnya.”

Intervensi resmi ini, yang dilakukan oleh orang nomor dua di Vatikan, tidak luput dari perhatian. Kalimat ini, yang diucapkan secara samar-samar, memicu kemarahan internasional: dari ratusan tokoh, termasuk kaum militan LGBT, dan juga para utusan dari Eropa dan para teolog Katolik, mengecam perkataan wali gereja yang tidak bertanggung jawab itu. Untuk pertama kalinya, deklarasi itu membawa penolakan yang bijaksana dari dinas pelayanan pers Vatikan, yang disahkan oleh paus. Bahwa Benediktus XVI muncul dari bayang-bayang untuk mengungkapkan sedikit ketidaksepakatan dengan 'perdana menteri' yang homofobia ini, bukanlah tanpa ironi tertentu. Ini adalah momen yang serius.

Bagaimana Bertone bisa muncul dengan bahasa yang absurd seperti itu? Saya telah mewawancarai beberapa kardinal dan wali gereja tentang hal ini: mereka menyatakan kesalahan komunikasi atau kecanggungan. Hanya satu yang memberi saya penjelasan yang menarik. Menurut pastor kuria ini, yang bekerja di Vatikan di bawah Benediktus XVI, sikap Bertone tentang homoseksualitas itu strategis, tetapi juga mencerminkan esensi pemikirannya. Strategis, terutama, karena itu adalah teknik yang dicoba dan diuji untuk melemparkan kesalahan pada domba yang hilang yang tidak punya urusan di Gereja, bukannya mempertanyakan tentang selibat imamat. Pernyataan sekretaris negara itu juga mencerminkan pemikiran yang mendasarinya, karena, menurut sumber yang sama, hal itu mencerminkan pemikiran para teoretikus yang dekat dengan Bertone, seperti Kardinal Alfonso López Trujillo atau pastor psikoanalis Tony Anatrella. Keduanya berpraktik sangat aktiv sebagai homoseksual.

Untuk ini kami juga harus menambahkan beberapa konteks yang saya temukan selama perjalanan saya ke Chili. Yang pertama adalah bahwa kongregasi yang paling terpengaruh oleh pelecehan seksual di Chili adalah yang dari tempat itu Bertone sendiri muncul: kongregasi Salesian dari Don Bosco.

Kemudian, dan ini menimbulkan banyak kegembiraan: ketika Bertone berbicara di depan umum untuk mengecam homoseksualitas sebagai templat bagi pedofilia, dia dikelilingi oleh ratusan foto oleh setidaknya dua imam homoseksual yang terkenal kejam. Maka pernyataannya 'kehilangan kredibilitas' sebagai hasil dari fakta sederhana itu, demikian beberapa sumber mengindikasikan.

Akhirnya, Juan Pablo Hermosilla, salah satu pengacara utama Chili dalam skandal pelecehan seksual Gereja, khususnya tentang pastor Fernando Karadima, seorang pedofil aktiv, memberi saya penjelasan berikut tentang kaitan antara homoseksualitas dan pedofilia, yang menurut saya cukup relevan.

“Teori saya adalah bahwa para imam pedofil menggunakan informasi yang dimiliki hierarki Katolik untuk melindungi dirinya sendiri. Ini adalah bentuk tekanan atau pemerasan. Para uskup yang memiliki hubungan homoseksual sendiri wajib untuk tidak berkata apapun. Hal ini menjelaskan mengapa Karadima dilindungi oleh para uskup dan uskup agung: bukan karena mereka sendiri adalah pedofil, dan kebanyakan dari mereka bukan, tetapi untuk menghindari penemuan homoseksualitas mereka sendiri. Bagi saya, itu adalah sumber sebenarnya dari kebusukan yang ditutup-tutupi oleh Gereja.”

Kita bisa melangkah lebih jauh dari itu. Banyak ekses Gereja, banyak sikap diam, banyak misteri, dijelaskan oleh aturan sederhana dari Lemari: 'semua orang saling memperhatikan.' Mengapa para kardinal tidak mengatakan apa-apa? Mengapa mereka semua menutup mata? Mengapa Paus Benediktus XVI, yang tahu tentang banyak skandal seksual, tidak pernah dibawa ke pengadilan? Mengapa Kardinal Bertone, yang hancur oleh serangan Angelo Sodano, tidak mengeluarkan file yang dia miliki tentang musuhnya? Berbicara tentang orang lain berarti bahwa mereka berbicara tentang Anda. Itu adalah kunci dari omertà (sikap diam, yang banyak dilakukan oleh anggota mafia) dan kebohongan umum dari Gereja. Vatikan dan lemari Vatikan adalah seperti Fight Club - dan aturan pertama dari Fight Club adalah: Anda tidak boleh berbicara tentang Fight Club.

Sikap homofobia Bertone tidak menghentikannya membeli sebuah tempat sauna gay di pusat kota Roma. Dalam konteks seperti itulah, setidaknya, pers menyajikan berita yang luar biasa ini.

Untuk memahami skandal baru ini, saya pergi ke tempat yang dimaksud, Via Aureliana nmr. 40, sauna Europa Multiclub. Salah satu tempat gay paling populer di Roma. Ini adalah tempat ‘olahraga-dan-jelajah nafsu’ dengan sauna dan hammam. Bermain-main adalah dimungkinkan dan legal di sana, karena klub dianggap sebagai wilayah 'pribadi.' Anda memerlukan kartu keanggotaan untuk masuk, seperti di sebagian besar tempat gay di Italia – sebuah kekhasan nasional. Untuk waktu yang lama, kartu keanggotaan itu didistribusikan oleh asosiasi Arcigay; sekarang dijual seharga 15 euro oleh Anddos, semacam kelompok lobi untuk pelanggan organisasi gay.

“Kartu keanggotaan adalah wajib untuk bisa masuk ke sauna, karena undang-undang melarang hubungan seksual di tempat umum. Kami adalah tempat pribadi," kata Mario Marco Canale, manajer Europa Multiclub, mengatakan dengan sikap pembenaran diri.

Dia adalah manajer Europa Multiclub dan presiden asosiasi Anddos. Dia menerima saya ‘mengenakan kedua topi’ di lokasi penuh kontroversi itu.

Dia melanjutkan, kali ini mengenakan topi asosiasinya: "Kami memiliki hampir 200.000 anggota di Italia karena sejumlah besar bar, klub, dan sauna membutuhkan kartu Anddos untuk masuk."

Sistem kartu keanggotaan untuk tempat-tempat gay ini adalah unik di Eropa. Awalnya, dalam anti-gay, macho Italy tahun 1980-an, aturan itu dirancang untuk membuat tempat-tempat homoseksual aman, menjaga pelanggan mereka tetap setia dan melegalkan seksualitas di tempat itu. Saat ini, ia bertahan karena alasan yang kurang penting, di bawah tekanan manajer dari 70 klub yang membentuk asosiasi Anddo, dan mungkin juga karena memungkinkan asosiasi untuk berjuang melawan AIDS dan menerima subsidi publik dari pemerintah.

Untuk beberapa militan gay yang saya ajak bicara, "kartu ini adalah sisa-sisa zaman kuno dan sudah saatnya dibuang." Terlepas dari kemungkinan pengawasan terhadap homoseksual di Italia (yang dengan tegas ditolak oleh Anddo), menurut seorang aktivis, kartu ini adalah simbol 'homoseksualitas yang tertutup dan memalukan, dan yang berupaya untuk menjadikan hal itu sebagai urusan pribadi.'

Saya mewawancarai Marco Canale tentang kontroversi ini dan banyak artikel pers yang menyajikan Europa Multiclub sebagai tempat yang dikelola oleh Vatikan, dan tentu saja: oleh Kardinal Bertone sendiri.

“Di Roma, Anda harus ingat bahwa ada ratusan bangunan milik Tahta Suci,” Canale memberi tahu saya, tanpa dengan jelas menyangkal informasi tersebut.

Bahkan, bangunan di sudut Via Aureliana dan Via Carducci, tempat sauna itu berada, dibeli oleh Vatikan seharga 20 juta euro pada Mei 2008. Kardinal Bertone, pada waktu itu menjadi 'perdana menteri' dari Paus Benediktus XVI, yang mengawasi dan mencap stempel operasi keuangan. Menurut informasi saya, sauna itu hanya mewakili bagian dari kompleks properti yang luas, juga termasuk apartemen dari sekitar dua puluh imam dan bahkan satu apartemen kardinal. Beginilah cara pers berhasil menyatukan ‘dua dengan dua’ dan mendapatkan tajuk utama yang menarik: "Kardinal Tarcisio Bertone telah membeli sauna gay terbesar di Italia!"

Tetapi skandal itu tetap bersifat amatir, karena sekretaris negara dan kantornya mampu memberikan lampu hijau untuk pembelian properti besar ini tanpa ada yang menyadari bahwa tempat itu merupakan sauna gay terbesar di Italia, yang terlihat dan diketahui oleh semua orang dan terbuka ke semua jalan. Adapun harga yang dibayarkan oleh Vatikan, tampaknya tidak biasa: menurut sebuah survei oleh surat kabar Italia La Repubblica, bangunan itu sebelumnya telah dijual dengan harga 9 juta euro, dan oleh karena itu Vatikan telah dikalahkan 11 juta untuk operasi keuangan ini!

Ketika kami bertemu, Marco Canale merasa terhibur oleh kontroversi itu, dimana dia juga mengungkapkan adanya motivasi rahasia lain di baliknya: “Di Europa Multiclub kami menerima banyak pastor dan bahkan kardinal. Dan setiap kali ada acara yubileum, sinode, atau konklaf, kami segera sadari: sauna lebih penuh dari biasanya. Terima kasih untuk semua pastor yang berkunjung!”

Menurut sumber lain, jumlah imam yang tergabung dalam asosiasi gay Anddo sangat besar. Dimungkinkan untuk mengetahuinya, karena untuk menjadi anggota Anda harus menyediakan dokumen identifikasi yang valid; dan profesi orang tersebut muncul pada setiap ID Italia bahkan meski namanya segera dianonimkan (disamarkan) oleh sistem komputer.

“Tapi kami bukan polisi. Kami tidak mengawasi siapa pun. Kami memiliki banyak anggota yang adalah pastor, itu saja!” kata Conc Canale menyimpulkan.

Kasus lain yang dipermainkan di bawah Benediktus XVI dan Bertone, tetapi itu hanya akan terungkap di bawah Francis, menyangkut 'pesta-pesta seks-kimiawi.' Saya telah mendengar sejak lama bahwa pesta-pesta seperti ini biasa terjadi di dalam Vatikan itu sendiri, pesta pora kolektif yang nyata, di mana seks dan narkoba digabungkan dalam koktail yang kadang-kadang sangat berbahaya ('chem' di sini berarti 'bahan kimia' untuk obat-obatan sintetis, seringkali MDMA, GHB, DOM, DOB dan DiPT).

Untuk sementara waktu, saya pikir ini hanyalah rumor saja, yang memang ada begitu banyak di Vatikan. Dan kemudian, tiba-tiba, pada musim panas 2017, pers Italia mengungkapkan bahwa monsignore, pastor Luigi Capozzi, yang telah menjadi salah satu asisten kepala Kardinal Francesco Coccopalmerio, telah ditangkap oleh polisi Vatikan karena mengorganisir pesta-pesta seks di apartemen pribadinya di Vatikan. (Mengenai hal ini saya menanyai seorang pastor Kuria yang mengenal Capozzi dengan baik, dan saya juga bertemu dengan Kardinal Coccopalmerio.)

Dekat dengan Tarcisio Bertone, dan sangat dihargai oleh Kardinal Ratzinger, Capozzi tinggal di sebuah apartemen di Istana Tahta Suci, dikelilingi oleh empat kardinal, beberapa uskup agung dan sejumlah wali gereja, termasuk Lech Piechota, asisten Cardinal Bertone, dan Josef Clemens, yang mantan sekretaris pribadi Kardinal Ratzinger.

Saya tahu gedung ini dengan baik, karena saya memiliki kesempatan untuk makan di sana puluhan kali: salah satu pintu masuknya ada di wilayah Italia, yang lain di wilayah Vatikan. Capozzi memiliki sebuah apartemen yang berlokasi ideal untuk mengatur pesta pora yang mengejutkan dan sekaligus memalukan itu, karena dia dapat memperoleh keduanya: polisi Italia tidak dapat menggeledah apartemennya atau kendaraan diplomatiknya, karena dia tinggal di dalam Vatikan; tetapi dia dapat meninggalkan rumahnya dengan kebebasan diplomatik, tanpa melewati pemeriksaan yang dilakukan oleh Tahta Suci atau digeledah oleh Garda Swiss, karena pintu yang terbuka langsung ke Italia. Seluruh ritual yang dilakukan di dalam: 'pesta sex dan narkoba kimia' berlangsung dalam cahaya merah yang redup, dengan mengkonsumsi sejumlah besar obat-obatan keras, gelas-gelas cannabis vodka dan tamu-tamu yang sangat penuh dengan nafsu bejat. 'Malam-malam neraka' yang sesungguhnya!

Menurut para saksi yang saya wawancarai, homoseksualitas Capozzi telah menjadi pengetahuan umum - dan oleh karena itu juga diketahui oleh atasannya, oleh Kardinal Coccopalmerio dan Tarcisio Bertone – terlebih lagi mengingat pastor Capozzi tidak sungkan-sungkan lagi untuk pergi ke klub-klub gay Roma atau, di klub musim panas, menghadiri pesta-pesta besar LGBT yang diadakan di Fantasia Gay Village di selatan ibukota.

"Selama pesta-pesta chem-sex itu, ada juga imam-imam dan karyawan Vatikan," kata satu saksi menambahkan, seorang monsignore, yang ikut serta dalam pesta-pesta ini.

Sejak fakta ini, Luigi Capozzi telah dirawat di rumah sakit di Klinik Pius XI, dan belum boleh berkomunikasi dengan dunia luar. (Dia masih dianggap tidak bersalah, karena persidangannya atas tuduhan penggunaan dan kepemilikan obat-obat terlarang belum terjadi.)

Jadi, kepausan Benediktus XVI mulai berjalan dan berkembang dengan proliferasi skandal yang sangat cepat dan tak terkendali. Atas masalah gay, perang melawan kaum homoseksual berlanjut tanpa henti, seperti pada zaman Yohanes Paulus II, dan kemunafikan menjadi lebih dari saat sebelumnya di jantung dari sistem. Kebencian terhadap homoseksual di luar; homofilia dan kehidupan ganda di dalam. Sirkus ini terus berlanjut.

'Kepausan paling gay dalam sejarah,' ungkapan ini berasal dari mantan wali gereja Krzysztof Charamsa. Ketika saya mewawancarainya di Barcelona, ​​dan kemudian di Paris, imam ini yang telah bekerja di samping Joseph Ratzinger untuk waktu yang lama, mengulangi ungkapan tentang Benediktus XVI ini beberapa kali: ‘kepausan paling gay dalam sejarah.’ Imam Kuria, Don Julius, yang mencatat bahwa 'sulit untuk menjadi heteroseksual di bawah pemerintahan Benediktus XVI,' bahkan jika ada beberapa pengecualian langka, dia menggunakan ekspresi kuat untuk menggambarkan rombongan paus: 'lima puluh (persen) bernuansa gay.'

Francis sendiri, yang jelas lebih langsung daripada pendahulunya, menekankan paradoks rombongan yang tidak wajar ini, dengan menggunakan frasa yang tajam untuk menyerang Ratzingerians: 'narsisme teologis.' Kode lain yang dia gunakan untuk menyiratkan homoseksualitas adalah 'referensi diri.' Sikap kaku seseorang, seperti yang kita tahu, seringkali menyembunyikan kehidupan ganda.

"Saya merasakan kesedihan yang mendalam ketika memikirkan tentang kepausan Benediktus, salah satu momen paling gelap bagi Gereja, di mana sikap homofobia merupakan upaya terus-menerus dan putus asa untuk menyembunyikan keberadaan homoseksualitas," kata Charamsa kepada saya.

Selama masa kepausan Benediktus XVI, semakin tinggi hierarki Vatikan yang Anda tuju, semakin banyak homoseksual yang Anda temukan. Mayoritas kardinal yang diangkat paus, dikatakan paling tidak: adalah seorang homofil, dan beberapa bahkan sangat 'berlatih’ atau aktiv.

“Di bawah Benediktus XVI, seorang uskup homoseksual yang tampak seperti orang suci, memiliki peluang lebih besar untuk menjadi seorang kardinal daripada seorang uskup heteroseksual,” demikian saya diberitahu oleh seorang biarawan Dominikan yang terkenal, seorang pengagum pikiran Ratzingerian yang tajam, yang mempertahankan tahta Benediktus XVI di Regensburg.

Setiap kali dia bepergian, paus ditemani oleh beberapa kolaborator terdekatnya. Di antara mereka ada seorang wali gereja terkenal yang dijuluki Mgr. Jessica oleh pers, yang mengklaim dia memanfaatkan kunjungan rutin Bapa Suci ke gereja Saint Sabina di Roma, yang menjadi markas besar kaum Dominikan, dan kemudian memberikan kartu kunjungannya kepada para biarawan muda. 'Jalur penjemputan'-nya dibahas oleh seluruh dunia ketika terungkap dalam sebuah laporan oleh majalah Vanity Fair, bahwa dia berusaha untuk mengusulkan para seminaris dengan menyarankan agar mereka pergi dan melihat ranjang John XXIII!

“Dia sangat ‘sensitif’ dan sangat akrab dengan para seminaris," kata pastor Urien, yang menyaksikan Mgr. Jessica beraksi.

Dua uskup yang sangat gay lainnya ditugaskan membantu paus, dan menyelimuti Ratzinger dengan kasih sayang mereka dan dekat dengan menteri luar negeri Bertone, yang juga senang dalam mengejar anak laki-laki. Setelah mengasah teknik mereka di bawah Yohanes Paulus II, mereka terus menyempurnakan ‘keahlian’ mereka di bawah Ratzinger. (Saya bertemu keduanya, bersama dengan Daniele, pembantu saya dalam menulis buku ini, dan salah satu dari mereka mendatangi kami dengan tekun.)

Di Vatikan, semua ini menjadi topik perbincangan yang begitu dominan sehingga beberapa pastor menjadi jengkel. Jadi, misalnya, uskup agung dan nuncio Angelo Mottola, yang memegang jabatan di Iran dan Montenegro, berbicara kepada Kardinal Tauran dalam salah satu kunjungannya ke Roma dan berkata (menurut seorang saksi mata): "Saya tidak mengerti mengapa paus ini [Benediktus XVI] mengutuk kaum homoseksual ketika dia sendiri mengelilingi dirinya dengan semua ‘ricchioni’ ini (kata Italia, sulit diterjemahkan, tetapi kata 'homo' akan menjadi makna yang terdekat).

Paus tidak mengindahkan desas-desus, dan hanya mengejar tujuannya sendiri. Ketika lukisan Santo Yohanes Pembaptis karya Leonardo da Vinci ditampilkan di Palazzo Venezia di Roma, selama tur panjang yang diselenggarakan oleh Louvre setelah restorasi, dia memutuskan untuk pergi ke sana dengan segala kebesarannya. Benediktus XVI, dikelilingi oleh rombongannya, melakukan perjalanan khusus. Apakah androgyne dengan rambut pirang-keriting Venesia yang menariknya, atau jari telunjuk tangan kiri 'putra guntur' ini menunjuk ke surga? Direstorasi dan nampak megah, lukisan Santo Yohanes Pembaptis itu baru saja keluar, dan paus tidak mau ketinggalan acara. (Model untuk lukisan Santo Yohanes Pembaptis diyakini adalah Salai, seorang bocah miskin dan nakal dengan kecantikan malaikat dan androgini yang intens, yang kebetulan ditemui Leonardo da Vinci di jalan-jalan Milan pada 1490: 'setan kecil' ini dengan rambut ikal panjang tetap menjadi kekasihnya untuk waktu yang lama.)

Di lain waktu, pada 2010, saat audiensi umum, paus menyaksikan pertunjukan tarian singkat di Aula Paul VI: empat pemain akrobat seksi naik ke atas panggung dan, di depan mata kagum Bapa Suci itu, tiba-tiba mereka membuka pakaian dan melepaskan kaus mereka. Bertelanjang dada, penuh dengan semangat kaum muda dan kecantikan, mereka kemudian menampilkan nomor ceria yang dapat ditemukan di YouTube. Duduk di atas takhta kepausan putihnya yang besar, Bapa Suci bangkit secara spontan, kewalahan, untuk memberi hormat kepada mereka. Di belakangnya, ada Kardinal Bertone dan Georg Gänswein bertepuk tangan dengan antusias. Belakangan diketahui bahwa rombongan kecil itu memiliki kesuksesan yang sama di Gay Pride (acara pawai kaum gay) di Barcelona. Mungkinkah seorang anggota rombongan paus telah melihatnya di sana?

Tak satu pun dari semua ini menghentikan paus, sekali lagi, dalam melipatgandakan serangannya terhadap kaum gay. Ketika baru terpilih, dan dengan mempertimbangkan fakta bahwa 'budaya homoseksual terus berkembang,’ Benediktus XVI, pada akhir 2005, sudah meminta Kongregasi Doktrin Iman untuk menulis teks baru yang mengutuk homoseksualitas bahkan lebih keras lagi. Ada perdebatan sengit di antara rombongannya untuk memutuskan apakah itu harus berupa ensiklik atau 'dokumen' biasa. Teks itu akhirnya diselesaikan dalam versi yang sangat halus, yang diedarkan untuk mengundang komentar, karena sudah menjadi aturan, di antara anggota Dewan Kongregasi untuk Ajaran Iman (salah satu imam yang membantu Kardinal Jean-Louis Tauran memiliki akses kepada dokumen ini dan menjelaskannya kepada saya secara rinci). Kejahatan dari teks itu sangat mengejutkan, menurut imam ini, yang juga membaca pendapat para konsultan dan anggota Kongregasi, di antara mereka adalah Kardinal Jean-Louis Tauran sendiri, mengenai file tersebut (termasuk yang dari para uskup dan kardinal masa depan Albert Vanhoye dan Giovanni Lajolo, dan Uskup Enrico Dal Covolo, ketiganya sangat homofobik dalam komentar mereka.) Pastor itu ingat akan istilah abad pertengahan tentang 'dosa yang tidak wajar,' 'keburukan' kaum homoseksual dan, tentunya juga, 'kekuatan dari lobi gay internasional.'

“Beberapa orang yang dimintai konsultasi berpendapat untuk melakukan intervensi yang kuat dalam bentuk ensiklik; yang lain merekomendasikan pembuatan dokumen yang kurang penting; yang lain lagi menyarankan, mengingat risiko konsekuensi kontraproduktif, untuk tidak kembali kepada pertanyaan ini,” kata imam itu.

Pilihan menerbitkan ensiklik akhirnya ditinggalkan, rombongan paus sekali lagi membujuknya untuk kembali kepada topik semula – sudah terlalu sering? Tetapi semangat dari teks itu akan terus hidup.

Dalam sebuah konteks yang menandai sebuah akhir dari suatu era, setelah kurang dari lima tahun masa kepausan, mesin Vatikan terhenti hampir sepenuhnya. Benediktus XVI mundur, menjadi malu dan bahkan mulai sering menangis. Wakil paus, Bertone, yang secara alami merasa curiga, menjadi benar-benar paranoid. Dia melihat adanya plot atau persekongkolan di mana-mana, intrik, serba tersembunyi! Menanggapi hal ini dia dikatakan telah mengintensifkan pengawasannya, rumor bekerja lembur, file-file terisi penuh dan ada peningkatan jumlah penyadapan oleh polisi Vatikan.

Di kementerian dan pada berbagai kongregasi di Vatikan, ada banyak yang mengundurkan diri, baik sukarela atau dipaksa. Di Sekretariat Negara, pusat kekuatan saraf Vatikan, Bertone bertanggung jawab secara pribadi atas proses ‘pembersihan personil’ di musim semi, sehingga menyulut kecurigaan bahwa dia adalah pengkhianat terhadap lebih banyak karakter pintar yang mungkin telah mampu mengalahkannya. Jadi, ada banyak Yudas, Petrus dan Johanes, yang semuanya tinggal di bawah satu atap, yang diminta untuk meninggalkan ‘Perjamuan Malam Terakhir.’

Tarcisio Bertone menyingkirkan dua nuncio paling berpengalaman di Sekretariat Negara: Mgr. Gabriele Caccia, diasingkan ke Lebanon (tempat saya bertemu dengannya); dan Pietro Parolin dikirim ke Venezuela.

“Ketika Caccia dan Parolin pergi, Bertone ditinggalkan sendirian. Sistem, yang secara serius sudah tak berfungsi, runtuh dengan kejam," demikian kata seorang pengamat Vatikan Amerika, Robert Carl Mickens.

Banyak orang mulai meminta audiensi dengan paus tanpa harus melalui sekretaris negara yang sedang bermasalah. Sodano melaporkan semua yang dia miliki di hatinya kepada paus; dan Georg Gänswein, yang didekati langsung untuk membuat hubungan pintas dengan Bertone, menerima semua ketidakpuasan ini, yang membentuk antrian panjang di luar kantornya. Dan sementara kepausan berada dalam pergolakan kematian, empat kardinal penting - Schönborn, Scola, Bagnasco dan Ruini - tiba-tiba muncul untuk meminta audiensi dengan Benediktus XVI. Para ahli intrik Vatikan ini, penikmat rakus dari kebiasaan buruk kuria, mengusulkan agar Bertone segera diganti. Dan seolah-olah secara kebetulan, aksi mereka bocor kepada pers. Paus tidak mau mendengar sepatah katapun, dan memotongnya. Bertone berdiri kaku, cukup!’

Tidak diragukan bahwa homoseksualitas telah menjadi jantung dari banyak intrik dan skandal dalam kepausan. Tetapi akan menjadi kesalahan di sini jika kita menentang kedua kubu, seperti yang dilakukan beberapa pihak: yang satu 'ramah' (homofil) dan yang lain homofobik, atau yang satu 'tertutup' versus heteroseksual ‘murni dan terbuka.’ Kepausan Benediktus XVI, dimana skandal-skandalnya, di satu sisi, adalah produk 'lingkaran nafsu' yang mulai bersinar sejak Yohanes Paulus II, sebenarnya menentang beberapa klan homoseksual yang semuanya memiliki sikap homofobia yang sama. Di bawah kepausan ini, semua, atau hampir semua, adalah lempengan dari blok yang sama.

Perang dilancarkan melawan kaum gay, kondom, dan perkawinan sipil. Tetapi sementara pada 2005, dengan terpilihnya Joseph Ratzinger, pernikahan gay masih merupakan fenomena yang sangat terbatas. Delapan tahun kemudian, pada saat pengunduran diri Benediktus XVI, pernikahan gay itu menjadi hampir universal di seluruh Eropa dan Amerika Latin. Kepausan yang singkat ini dapat dikatakan sebagai bentuk serangkaian kekalahan yang luar biasa dari pertempuran-pertempuran sebelumnya. Tidak ada paus dalam sejarah modern yang begitu anti-gay; dan tidak ada paus yang secara tak berdaya menyaksikan momentum semacam itu demi hak-hak kaum gay dan lesbian. Segera, hampir tiga puluh negara mengakui pernikahan sesama jenis, termasuk Jerman, tempat  kelahiran Paus, yang pada tahun 2018, oleh mayoritas parlemen yang sangat besar, bersedia menerima undang-undang yang telah ditolak Joseph Ratzinger sepanjang hidupnya.

Namun, Benediktus XVI tidak pernah berhenti berjuang. Daftar ‘lembu jantan dan celana pendek,’ intervensinya, surat-suratnya, pesan-pesannya, dalam menentang pernikahan gay, tidak ada habisnya. Dalam penghinaan terbuka terhadap pemisahan antara Gereja dan Negara, dia sering melakukan intervensi dalam debat publik, dan di latar belakang, Vatikan tampak memanipulasi semua demonstrasi anti-pernikahan-gay. Itu adalah kegagalan yang sama setiap saat. Tapi yang sangat terang di sini, lagi, adalah bahwa banyak dari mereka yang terlibat dalam pertempuran itu, mereka sendiri adalah homofilik, mereka menyukai homosex, orang-orang 'di dalam lemari' atau ‘sedang berlatih.’ Mereka sering berasal 'dari dalam paroki.'

Perang gerilya melawan pernikahan gay dilakukan, di bawah otoritas paus, oleh sembilan orang: Tarcisio Bertone, sekretaris negara, dibantu oleh wakilnya Leonardo Sandri, sebagai pengganti atau 'menteri' dalam negeri, Fernando Filoni, dan Dominique Mamberti, sebagai 'menteri' urusan luar negeri, serta oleh William Levada dan kemudian Gerhard Müller, yang menjabat sebagai kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman. Giovanni Battista Re dan Marc Ouellet memainkan peran yang sama dalam Kongregasi untuk Para Uskup. Dan, tentu saja, Kardinal Alfonso López Trujillo, kepala Dewan Kepausan untuk Keluarga, yang sangat marah terhadap pernikahan gay.

Mari kita ambil contoh lain dari Ratzingerian, kardinal Swiss Kurt Koch, seorang uskup dari Basel, yang dipanggil paus bergabung kedalam Kuria pada tahun 2010. Pada saat yang sama, jurnalis Michael Meier, seorang spesialis pertanyaan keagamaan di Tages-Anzeiger, dimana surat kabar utama Swiss berbahasa Jerman, menerbitkan laporan panjang tentang kardinal Koch berdasarkan beberapa pernyataan saksi mata dan dokumen asli. Di dalamnya, Meier mengungkapkan keberadaan sebuah buku yang diterbitkan oleh Koch, tetapi yang anehnya telah hilang dari bibliografinya, Lebensspiel der Freundschaft, Meditativer Brief an meine Freund (secara harfiah berarti : Permainan Persahabatan: Sebuah Surat Permenungan untuk Teman Saya). Buku ini, saya punya salinannya, dibaca sebagai surat cinta sejati untuk seorang teolog muda. Meier juga menggambarkan secara rinci rombongan kardinal yang sensitif. Dia mengungkapkan adanya sebuah apartemen rahasia yang seharusnya dibagi antara kardinal Koch dengan pastor lain, dan menyiratkan bahwa kardinal Koch menjalani kehidupan ganda. Dan Koch tidak pernah secara terbuka menentang hal ini.

"Semua orang mengerti bahwa kardinal Koch tidak nyaman di kulitnya," kata Michael Meier pada beberapa wawancara di apartemennya di Zurich. Sepengetahuan saya, artikel Meier tidak pernah dikritik oleh Koch; dia tidak pernah menggunakan haknya untuk membalas.

Apakah Koch adalah korban pengaduan fitnah oleh rombongannya? Faktanya tetap bahwa Ratzinger membawa kardinal Koch kedalam Kuria-nya. Dengan menjadikannya sebagai kardinal dan kemudian menjadikannya sebagai menteri ‘ekumenisme,’ maka dia bisa dengan lembut memerasnya untuk keluar dari Basel. (Kardinal Koch menolak untuk menjawab pertanyaan saya, tetapi di Roma saya menanyai salah satu wakilnya, Pastor Hyacinthe Destivelle, yang dengan panjang lebar menggambarkan 'Schülerkreis,' lingkaran murid Ratzinger yang menjadi tanggung jawab Koch.)

Namun, di Italia, sikap homofobia keras dari Benediktus XVI mulai menjengkelkan lingkungannya yang ramah-gay. Itu semakin tidak sesuai dengan opini publik (orang Italia mengerti logikanya!) dan para aktivis LGBT melawan. Waktu terus berubah. Paus akan mengetahui ini karena kerugian yang dialaminya.

Dengan secara tragis melawan pertempuran yang salah – paus pada dasarnya menyerang homoseksualitas, sementara itu dia hampir tidak menghadapi pedofilia sama sekali – Bapa Suci pertama kali kehilangan kampanye moral. Dia akan diserang sampai pada tingkat pribadi lebih dari paus lain yang berkuasa sebelum dia. Saat ini sulit untuk membayangkan kritik yang diarahkan kepada Paus Benediktus XVI selama masa kepausannya. Dijuluki, dalam istilah yang luar biasa, 'Passivo e Bianco' oleh kalangan homoseksual Italia, dia secara teratur dikecam sebagai orang 'di dalam lemari,' dan kemudian berubah menjadi simbol homofobia yang diinternalisasi. Dia secara efektif ‘disalibkan’ oleh aktivis LGBT dan media.

Dalam arsip asosiasi gay Italia, di internet dan di web, saya telah menemukan banyak artikel, traktat, dan foto-foto yang menggambarkan perang gerilya ini. Kemungkinan besar tidak ada paus yang begitu dibenci dalam sejarah modern Vatikan.

“Saya belum pernah melihat yang seperti ini. Itu benar-benar banjir artikel yang terus menerus bermunculan, desas-desus, serangan dari semua pihak, artikel kekerasan oleh blogger, surat penghinaan, dalam setiap bahasa, dari semua negara. Kemunafikan, kepalsuan, ketidaktulusan, transaksi ganda, homofobia yang diinternalisasi, dia dituduh melakukan semua hal yang memuakkan ini," saya diberitahu oleh seorang pastor yang bekerja di kantor pers Vatikan pada waktu itu.

Pada demonstrasi kaum gay yang mendukung perkawinan sipil di Italia pada 2007, saya melihat plakat bertuliskan:: Joseph e Georg, Lottiamo anche per voi ’(Joseph Ratzinger dan Georg Gänswein, kami juga berjuang untuk Anda). Atau tulisan ini: ‘Il Papa è Gay come Noi’ (Paus adalah gay seperti kita).

Dalam sebuah buku kecil yang cukup sukses, tetapi hal itu mengejutkan orang-orang karena keberaniannya, jurnalis anarkis dan tokoh terkenal di panggung bawah tanah Italia, Angelo Quattrocchi, benar-benar mengalahkan Benediktus XVI. Berjudul: ‘Paus BUKAN Gay.’ Buku itu, ironisnya, menyatukan banyak foto feminin dan banci dari paus dan anak didiknya, Georg Gänswein. Teks buku itu sendiri biasa-biasa saja dan penuh dengan kesalahan faktual, dan tidak termasuk bukti apa yang disarankan atau informasi baru; tetapi foto-foto itu menggambarkan bromance (relasi erat antara dua pria) mereka dan sangat lucu. Dengan julukan 'Paus Merah Muda,' (merah muda adalah warna khas dari kelompok gay) Ratzinger ditampilkan dari setiap sudut.

Pada saat yang sama, nama panggilan Benediktus XVI berkembang biak, masing-masing lebih kejam daripada yang terakhir: salah satu yang terburuk, selain nama julukan 'Passivo e bianco', adalah 'La Maledetta' ('yang dikutuk,' dan sebuah permainan pada kata 'Benedetto') .

Mantan teman sekelas atau siswa yang mengenal paus juga mulai berbicara, seperti penulis Jerman Uta Ranke-Heinemann, yang belajar bersamanya di Universitas Munich. Pada usia 84 dia menyatakan bahwa, dalam pandangannya, paus adalah gay. (Namun dia tidak memberikan bukti selain kesaksian verbalnya sendiri.)

Semua orang di dunia, lusinan asosiasi LGBT, berbagai outlet media gay, serta pers tabloid di Inggris dan di tempat-tempat lain, ikut terjun ke dalam kampanye gila-gilaan guna melawan Ratzinger. Dan betapa tajamnya para kolumnis selebriti dalam menggunakan kata sindiran dan cemoohan, kata-kata yang terselubung serta permainan kata yang cerdas, untuk mengatakan sesuatu yang buruk tanpa benar-benar mengatakannya!

Seorang blogger Amerika yang terkenal, Andrew Sullivan - seorang polemik konservatif yang terkenal dan aktivis gay sejak lama - menyerang paus dalam sebuah artikel yang kemudian mendapatkan kesuksesan besar. Dampak serangannya semakin besar bagi Sullivan (dirinya sendiri beragama Katolik.) Bagi Sullivan, tidak ada keraguan bahwa paus itu gay, meskipun dia tidak bisa memberikan bukti apa pun di luar perlengkapan Benediktus XVI yang mewah dan relasinya yang amat erat dengan Georg Gänswein.

Setiap kali, kampanye ini secara khusus menargetkan Georg Gänswein, yang umumnya digambarkan sebagai 'favorit' Ratzinger, 'rumor pacar’ dan 'mitra hidup Bapa Suci.' Di Jerman, Georg dijuluki, dalam pengucapan nama depannya: ‘gay.org’.

Begitu kasarnya tuduhan-tuduhan itu hingga ada salah satu pastor gay yang dituduh melakukan kebiasaan ‘berlayar’ di taman-taman kota Roma dan memperkenalkan dirinya sebagai ‘Georg Gänswein, sekretaris pribadi paus,' Ini adalah sebuah tuduhan ngawur, tentu saja, tetapi mungkin membantu memperkuat rumor yang telah ada. Ceritanya mengingatkan kita tentang teknik penulis hebat André Gide, yang setelah bercinta dengan cowok-cowok cantik di Afrika Utara, berkata kepada mereka (menurut salah satu penulis biografinya): “Ingatlah bahwa Anda pernah tidur dengan salah satu penulis Perancis terhebat: François Mauriac!”

Bagaimana kita bisa menjelaskan penganiayaan yang kasar seperti itu? Pertama-tama, ada wacana anti-homoseksual dari Benediktus XVI, yang secara alami mengundang serangan seperti itu, karena, sebagaimana ungkapan itu, dia seakan telah menciptakan tongkat untuk dipukulkan pada punggungnya sendiri.

Itu adalah fakta: Paus telah melupakan Injil Lukas: “Jangan menghakimi, agar kamu tidak dihakimi; jangan menghukum, agar kamu tidak dihukum.”

Mantan pastor Kuria, Francesco Lepore, dalam salah satu bukunya memuat kata pengantar yang ditulis oleh Joseph Ratzinger, dan dia mengatakan kepada saya: “Sudah jelas bahwa seorang paus yang begitu halus, begitu banci dan sangat dekat dengan sekretaris pribadinya yang luar biasa, menjadi sasaran empuk bagi aktivis gay. Tetapi terutama karena sikapnya yang sangat homofobik, hingga serangan-serangan ini diarahkan kepadanya. Banyak orang mengatakan bahwa dia adalah seorang homoseksual yang tertutup, tetapi tidak ada yang bisa memberikan bukti. Secara pribadi saya pikir dia homofilik, karena ada begitu banyak petunjuk ke arah itu, tetapi pada saat yang sama saya pikir dia tidak pernah melakukannya."

Seorang pastor Italia lainnya yang bekerja di Vatikan menempatkan sudut pandang ini dalam perspektif. “Gambar-gambar itu memang ada, dan memang benar bahwa setiap gay yang melihat foto-foto Benediktus XVI, senyumnya, kiprahnya, sikapnya, mungkin berpikir bahwa dia adalah homoseksual. Semua penolakan di dunia tidak akan menggoyahkan keyakinan mendalam yang dimiliki orang-orang. Selain itu - dan inilah jebakannya - sebagai seorang pastor dia tidak dapat menyangkal rumor ini, karena dia tidak dapat memiliki istri atau wanita simpanan. Seorang pastor tidak akan pernah bisa membuktikan bahwa dia heteroseksual!”

Federico Lombardi, juru bicara Benediktus XVI dan direktur Yayasan Ratzinger saat ini, tidak tergerak oleh gelombang kritik yang berlanjut hingga hari ini. “Anda tahu, saya hidup melewati krisis Irlandia, krisis Jerman, krisis Meksiko ... Saya pikir sejarah akan memberikan penghormatan kepada Benediktus XVI atas masalah pedofilia, di mana dia mengklarifikasi posisi Gereja dan mengecam pelecehan seksual. Dia lebih berani daripada siapa pun."

Semua ini memberi kita dengan fakta mengenai 'lobi gay,' yang meracuni kepausan dan merupakan obsesi sejati Ratzinger. Baik nyata atau pun yang hanya dibayangkan, Benediktus XVI masih merasa bahwa dia ditaruh dalam posisi yang sulit oleh 'lobi' ini, yang, dalam Perjanjian Terakhirnya, dia dengan cepat memberi selamat kepada dirinya sendiri karena telah berhenti menjadi paus! Francis, juga mengecam 'lobi gay' dalam jawabannya yang terkenal: 'Siapakah saya hingga berhak menghakimi?' (dan juga dalam percakapan pertamanya dengan Jesuit Antonio Spadaro).

Atas dasar ratusan wawancara yang dilakukan untuk buku ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa lobi (gay) semacam itu tidak ada dalam arti yang tepat dari istilah tersebut. Jika ya, freemasonry rahasia semacam ini harus berhasil karena suatu alasan, dalam hal ini: untuk promosi kaum homoseksual. Tidak ada hal seperti itu di Vatikan. Jika lobi gay memang ada di sana, itu tidak akan sesuai dengan namanya, karena sebagian besar kardinal dan uskup homoseksual di Tahta Suci umumnya bertindak melawan kepentingan kaum gay.

"Saya pikir, berbicara tentang lobi gay di Vatikan adalah sebuah kesalahan," kata mantan pastor Kuria, Francesco Lepore, membenarkan. Lobi itu akan menyiratkan adanya struktur kekuasaan yang secara diam-diam berusaha mencapai sebuah tujuan. Hal itu adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal. Kenyataannya adalah bahwa di Vatikan ada mayoritas homoseksual yang berkuasa. Karena malu, karena kekuasaan, tetapi juga karena karier, para kardinal ini, para uskup agung ini, para imam ini, ingin melindungi kekuasaan mereka dan kehidupan rahasia mereka. Orang-orang ini tidak punya niat melakukan apa pun terhadap kaum homoseksual. Mereka membohongi orang-orang lain, dan terkadang mereka membohongi diri mereka sendiri. Tapi, memang tidak ada lobi sama sekali."

Di sini saya akan mengedepankan konsep lain yang menurut saya memberikan citra yang lebih baik, bukan sekadar 'lobi' tetapi tentang kehidupan gay di Vatikan: yaitu 'rimpang'. Dalam ilmu botani, rimpang adalah tanaman yang tidak hanya memiliki akar bawah tanah tetapi juga vegetasi yang kaya dengan konsekuensi horisontal dan vertikal, berkembang biak ke mana-mana, ke titik yang orang tidak lagi tahu apakah tanaman itu di bawah atau di atas tanah, atau mana akar dan mana batang atas. Pada tingkat sosial, 'rimpang' (gambaran yang saya pinjam dari buku A Thousand Plateaux oleh para filsuf Gilles Deleuze dan Félix Guattari) adalah jaringan hubungan dan penghubung yang sepenuhnya terdesentralisasi, tidak teratur, tanpa permulaan atau batasan; setiap cabang rimpang dapat terhubung dengan yang lain, tanpa hierarki atau logika, tanpa pusat.

Kehidupan homoseksual di Vatikan, dan lebih luas di Gereja Katolik, berbentuk persekutuan bawah tanah, dan bagi saya hal itu tampak terstruktur sebagai rimpang. Dengan dinamika internalnya sendiri, yang energinya berasal dari hasrat sexual dan kerahasiaan, homoseksualitas menghubungkan ratusan uskup dan kardinal dengan cara yang lolos dari pantauan hierarki dan kode-kodenya sendiri.

Berdasarkan fakta ini - yang melibatkan multiplisitas, akselerasi, derivasi - ia menciptakan hubungan multi arah yang tak terhitung jumlahnya: hubungan cinta, para penghubung seksual, perpisahan emosional, pertemanan, pengaturan timbal balik, situasi ketergantungan dan promosi profesional, penyalahgunaan posisi yang dominan dan pembongkaran ‘hak dari para tuan besar;’ namun demikian garis-garis sebab-akibat, percabangan dan hubungan-hubungan tidak dapat secara jelas dibangun atau diurai dari luar.

Setiap 'cabang' dari rimpang, masing-masing 'fragmen' dari Karya Besar, sering mengabaikan seksualitas pada cabang-cabang lain: itu adalah homoseksualitas pada tingkat yang berbeda, 'laci yang terisolasi’ dari lemari yang sama (ahli teologi Amerika, Mark Jordan, memilih sebuah gambaran yang berbeda, membandingkan Vatikan dengan ‘sarang lebah lemari': ini dibangun dari begitu banyak lemari-lemari kecil, setiap pastor homoseksual akan terisolir sampai pada batas ruangannya sendiri). Jadi Anda tidak boleh meremehkan buramnya individu tertentu, dan isolasi yang mereka rasakan, bahkan ketika mereka adalah bagian dari rimpang. Sekumpulan makhluk lemah yang persatuannya tidak menghasilkan kekuatan, itu adalah jaringan di mana setiap orang menjadi rentan dan sering tidak bahagia. Dan dengan cara ini, kita dapat menjelaskan mengapa beberapa uskup dan kardinal yang saya wawancarai, bahkan ketika mereka sendiri adalah seorang gay, merasa sangat terkejut demi menyadari tingkat homoseksualitas yang ada di dalam Vatikan.

Pada akhirnya, ribuan kontingen homoseksual yang kuat di Vatikan, rimpang yang sangat padat dan rahasia ini, lebih dari sekadar 'lobi.' Itu adalah sebuah sistem. Ini adalah template dari lemari Vatikan.

Apakah Cardinal Ratzinger memahami sistem itu? Tidak mungkin bisa dikatakan. Di sisi lain, jelas bahwa Paus Francis menemukan adanya sumber daya dan merebaknya ‘rimpang,’ ketika dia naik ke Tahta Santo Petrus. Dan kita tidak dapat memahami VatiLeaks, perang terhadap Francis, budaya diam tentang ribuan kasus pelecehan seksual, homofobia para kardinal yang terus berulang, atau memang pengunduran diri Benediktus XVI, jika kita tak bisa mengukur tingkat dan kedalaman dari rimpang.

Jadi tidak ada 'lobi gay'; tetapi ada sesuatu yang lain di Vatikan: jaringan hubungan polimorfik yang homofilik atau homoseksual, tanpa memiliki sebuah pusat, tetapi didominasi oleh kerahasiaan, kehidupan ganda dan kebohongan, dibangun sebagai sebuah 'rimpang'. Yang bisa kita sebut juga sebagai: Lemari.


*****


PESTA GAY DAN COCAIN DI VATIKAN: SEORANG MGR (MONSIGNOR) TERLIBAT

Silakan lihat disini, atau disini, atau disini.

No comments:

Post a Comment