Friday, August 13, 2021

Paus Yang Mematahkan Punggung Unta

 

 

 

TRADITIONIS CUSTODES

 

Paus Yang Mematahkan Punggung Unta 

(Ungkapan “Jerami yang mematahkan punggung unta” menggambarkan sebuah tindakan kecil atau rutin yang menyebabkan reaksi besar dan tiba-tiba secara tak terduga.) 

https://onepeterfive.com/the-pope-that-broke-the-camels-back/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+Onepeterfive+%28OnePeterFive%29 

 

Kennedy Hall August 12, 2021  

 

Kita telah menerima banyak masalah sebagai umat Katolik, dan kita semua memiliki titik batas dari kekuatan kita — pada saat yang berbeda-beda dan untuk alasan yang berbeda-beda pula, bagi setiap orang.

 

Ungkapan “Jerami yang mematahkan punggung unta” mengacu pada peningkatan beban pada binatang beban sampai “jerami terakhir” yang kemudian membuat binatang itu runtuh tak berdaya. “Binatang beban” disini adalah konsep kunci, karena kita berbicara tentang binatang yang tidak memiliki keberadaan dan posisi yang baik, yang sebenarnya ia tergolong kasar, namun unta pun memiliki batasnya. Selain itu, kita dapat membayangkan sebuah skenario di mana unta diperlakukan sedemikian rupa, di mana tuannya secara sadar memberikan beban yang semakin berat pada hewan itu, dan si tuan itu tahu sepenuhnya bahwa akhirnya beban maximal itu akan tercapai.

 

Ketika kita merenungkan kehidupan umat Katolik dalam beberapa dekade terakhir, maka “para tuan” kita, tampaknya, cenderung menempatkan semakin banyak beban di pundak kita, sambil berharap bahwa kita harus memikul beban berat dari satu kilogram ke kilogram berikutnya, secara terus-menerus. Mereka mengikat beban yang berat dan tidak dapat ditopang lagi, dan meletakkannya di atas bahu kita semua; meski jari para tuan itu sendiri tidak akan mau mengangkat beban itu (Mat. 23:4: Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.) Sama seperti unta yang terus berjalan dengan patuh meskipun keruntuhan struktural dirinya sudah dekat, maka kita juga harus menanggung beban berat yang membebani kita hingga kita tidak dapat melanjutkan.

 

Sangat sulit untuk menemukan umat Katolik yang sejati selama beberapa dekade. Ada banyak alasan untuk ini, yang tidak akan saya bahas di sini. Tapi saya pikir salah satu sumber kekecewaan terbesar kita adalah keadaan lembaga Kepausan itu sendiri.

 

Adalah hal yang baik dan tradisional bagi seorang Katolik untuk mencintai dan menghormati Paus. Tentu saja karena dia adalah Bapa Suci. Dia adalah Paus Roma. Oleh karena itu, sudah masuk akal bagi kita untuk dengan saleh memikirkan dia dalam terang yang terbaik. “Janganlah mengutuki raja umatmu” (Kel. 22:28). Tapi seperti unta, kita semua memiliki batas, dan sepertinya, paus Francis telah melewati batas ini dengan memberi dirinya keuntungan dari keraguan dan kebingungan kita semua, yang ditimbulkan olehnya.

 

Berpikir secara saleh yang terbaik tentang paus dapat berubah menjadi tindakan berlebihan yang melampaui segala alasan. “Penjelasan tentang paus” ini telah menyebabkan lebih dari cukup alasan di pihak umat Katolik yang saleh untuk hal-hal yang tidak dapat dimaafkan. Saya tidak menganjurkan pandangan negatif yang sewenang-wenang terhadap paus mana pun; dia adalah paus, jika dia melakukan sesuatu yang baik, maka kita harus bersukacita. Tetapi saya pikir apa yang terjadi dengan paus Francis ini telah membuat banyak umat Katolik untuk berkata CUKUP !!! — dimana hanya beberapa saat yang lalu umat yang setia masih bisa menerima kesalahan kepausan apa pun dari pihak paus.

 

Hampir seolah-olah kepausan Paulus VI, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI tidak “cukup buruk.” Apakah Paulus VI telah mampu melihat awal dari penghancuran otomatis terhadap Liturgi? Tentu! tapi dia juga mengeluarkan semacam Credo guna melawan aliran sesat dan tentu saja, melalui Humanae Vitae. Hal ini memungkinkan seorang Katolik konservatif untuk berpikir dalam hati, “Ya, segala sesuatunya tidak baik, tetapi Paus jelas-jelas bersikap ortodoks.” Bagaimana dengan Yohanes Paulus II? Dia mungkin telah ceroboh dalam kasus Marcel Lefebvre dan tampaknya dia telah berpartisipasi — setidaknya secara materi — dalam peristiwa-peristiwa ketidakpedulian agama. Tetapi Yohanes Paulus II masih berbicara dengan keras dan berani menentang Komunisme, dan dia menulis dokumen-dokumen yang bijaksana yang meneguhkan hati banyak umat beriman. Dan Paus Benediktus? Dia mungkin kurang efektif daripada yang kita semua harapkan dalam membersihkan Gereja, dan dia mengundurkan diri pada saat kita paling membutuhkan dirinya. Namun, Paus Benediktus tampaknya membela Marcel Lefebvre pada tahun 2007 dengan menegaskan bahwa Misa Latin "tidak pernah dibatalkan secara yuridis dan, akibatnya, pada prinsipnya, Misa itu selalu diizinkan," selain menghasilkan beberapa karya teologis lainnya yang sangat baik.

 

Tetapi dengan paus Francis ini adalah cerita yang sama sekali berbeda. Memang, dia membuka lebih banyak kebebasan bagi SSPX untuk berjalan dan mengklarifikasi bahwa umat beriman dapat mengakses Sakramen-sakramen melalui mereka. Paus Francis memang memulai tahun Santo Yosef, dan telah mengucapkan pernyataan aneh dalam sebuah wawancara atau homili yang dianggap terlepas dari ortodoksi. Namun, dengan manuvernya baru-baru ini, di mana dia berusaha untuk menggeser umat Katolik tradisional ke “pinggiran yang dikehendakinya,” dan tampaknya kebaikan apa pun yang mungkin dia lakukan hanyalah sebagai upaya peredaan politis, pemanis bibir. Isyaratnya terhadap SSPX nampak bagus, tapi jelas dia tidak peduli dengan Tradisi — atau bahkan tidak peduli terhadap para penggemar tradisi — jika kita mempertimbangkan tindakannya baru-baru ini.

 

Beban dari seorang paus Francis pada awalnya mudah bagi banyak umat Katolik. Berbagai wawancaranya di pesawat lebih layak dianggap sebagai kalimat non-doktrinal. Wawancaranya yang sangat mengganggu, dengan surat kabar Italia La Repubblica, dapat diartikan dengan jelas sebagai ocehan seorang jurnalis atheis tua yang tidak pantas untuk dicatat.

 

Tetapi beban bagi umat Katolik untuk memahami sikap paus Francis mulai tumbuh ketika umat Katolik konservatif — yang secara politik berhaluan kanan — “dipaksa untuk mengasah pasak besi bentuk bulat menjadi bentuk segi empat,” untuk menyamakan antara paham lingkungan paus Francis dengan doktrin Katolik yang telah kita anut selama berabad-abad. Sungguh pemandangan yang menakjubkan untuk melihat seorang pembela Katolik dari Partai Republik, yang mencintai bahan bakar fosil, harus menenun jalinan benang yang ruwet dan kacau, untuk menjelaskan mengapa seorang paus harus menegur umat beriman karena mengemudikan kendaraan pribadi dan menggunakan AC.

 

Tetapi hal-hal ini hanyalah permulaan. Seiring berjalannya waktu, beban semakin berat dan bahkan nama-nama orang konservatif seperti Edward Feser dan Eduardo Echeverria bergabung dengan Prof. Roberto de Mattei dan lain-lainnya dalam mengajukan permintaan banding kepada para Kardinal Gereja Katolik tentang paus Francis dan masalah hukuman mati.

 

Namun, kita melihat berapa lama para pembela itu harus berjalan untuk memahami interpretasi ortodoks dari Amoris Laetitia. Tetapi kemudian Francis mengizinkan interpretasi heterodoks, dan mengatakan “tidak ada interpretasi lain.” Dengan demikian beban menjadi terlalu berat bagi para teolog konservatif besar seperti Pastor Aidan Nichols, yang menandatangani kontrak wawancara dengan Prof. Peter Kwasniewski, dalam "menuduh paus Francis melakukan delik bidaah kanonik."

 

Kemudian datanglah penghormatan yang diberikan paus Francis kepada berhala Pachamama. Lebih dan lebih lagi, beban dari paus ini menjadi terlalu berat bagi banyak umat Katolik.

 

Kemudian melalui Traditionis Custodes, Paus Roma saat ini telah menambahkan, seolah-olah, “beban jerami terakhir,” untuk menghancurkan kita. Sekarang setelah dia memperjelas pemikirannya tentang Katolik ortodoks dan Ritus Romawi Tradisional, saya pikir banyak yang setuju bahwa paus Francis ini akan tercatat dalam sejarah sebagai “Paus yang mematahkan punggung unta.” Jadi, tidak boleh ada lagi tuntutan paus yang harus dilakukan saat ini. Ini sudah terakhir!

 

Akan tetapi, kita harus bersukacita dalam hal ini, karena garis pertempuran telah ditarik untuk dilihat oleh semua orang, dan semakin banyak umat Katolik menjadi sadar akan kenyataan bahwa sebenarnya pertempuran telah berlangsung lama, dan bahwa kita harus meninggalkan sikap ketaatan berlebihan terhadap kepausan, sebuah doktrin yang salah dari Roh Vatikan I”.

 

Ini adalah saat-saat yang menyusahkan, tetapi juga saat-saat yang menyenangkan. Apa pun yang terjadi, kita bisa berhenti untuk berpura-pura — setidaknya untuk saat ini — bahwa Roma akan melakukan apa saja untuk menolong kita. Kita harus berpegang teguh pada iman nenek moyang kita, tidak pernah meletakkan rosario kita, dan menghadiri Misa di mana saja kita bisa dan kita sadar bahwa kita harus melakukannya. Jumlah penderitaan hanya akan terus bertambah ketika paus Francis melanjutkan jalan ini melawan tradisi.

 

 

Photo Credit: Wikipedia Commons. 

 

Kennedy Hall 

Kennedy Hall is the author of two books. He is the host of the Conservative talk-radio show, The Kennedy Profession on the Crusade Channel. He is married with four children and lives in Ontario, Canada. You can find his work at kennedyhall.ca. 

 

------------------------------ 

 

 

--------------------------------------

 

Silakan membaca artikel lainnya di sini: 

Metode Francis: Sistem Mata-Mata...

Great Reset: Rencana Elite Global Untuk Mengubah Kehidupan...

Ned Dougherty – 2 Agustus 2021

Francis, Si Penghancur, Dan Nubuat St.Franciscus

Umat Awam Meminta Paus Untuk Mengakhiri 'Perang Ideologis'

Nubuat, Wahyu Dan Covid

LDM, 9 Agustus 2021