Monday, December 28, 2015

Hak dan kewajiban

Hak dan kewajiban untuk menolak seorang paus

“Jika ada seorang paus masa mendatang yang mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan Iman Katolik, janganlah mengikuti dia.”
Pope Pius IX



Para paus, para kudus, para Bapa Gereja, para Doktor Gereja serta para teolog yang telah diakui oleh Gereja Katolik Roma, mengajarkan kepada kita selama berabad-abad ini, bahwa seorang paus bisa saja menjadi seorang bidaah melawan Iman Katolik Roma dan berusaha menghancurkan Gereja melalui tindakan-tindakannya yang tidak pantas. Paus semacam ini sudah sepantasnya tidak dipatuhi dan ditolak, sebagai sebuah kewajiban dari umat.

PERINTAH St.PETRUS
Paus pertama St. Peter († 67) Dia memberi kita sebuah prinsip umum untuk tidak mematuhi, dan menolak, hirarki-hirarki yang buruk beserta perintah-perintah mereka, ketika dia dilarang, oleh orang-orang Yahudi yang murtad, untuk mewartakan tentang Kristus. Ketika terjadi konflik antara keinginan dari seorang pemimpin religius dengan kehendak Allah, maka kita harus mematuhi Allah.

Dari Kis 5:29
Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, katanya: "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.

Saint Thomas Aquinas O.P (Doctor Gereja) († 1274) menggunakan kejadian ini sebagai sebuah indikasi bahwa pemimpin religius tidak usah dipatuhi jika perintah-perintah mereka berlawanan dengan Kehendak Allah.
Ada tertulis : ’Kita harus mematuhi Allah dan bukan manusia.’
(Kis 5:29) Kadang-kadang sesuatu yang diperintahkan oleh seorang atasan bertentangan dengan Allah. Karena itu para atasan seperti ini tidak usah dipatuhi dalam segala hal.” (Summa Theologiae, IIa IIae, Q. 104, A. 5) 

Juan Cardinal De Torquemada O.P. (teolog) († 1468) mengatakan bahwa kutipan Kitab Injil meminta kewajiban kita untuk menolak seorang paus yang sesat :
"Cukup jelaslah bahwa dalam keadaan tertentu paus kadang-kadang dapat berbuat salah, dan memerintahkan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan, maka kita jangan hanya patuh saja kepadanya dalam segala hal, dimana tindakan kita ini tidak menunjukkan bahwa dia tidak harus dipatuhi oleh semua umat ketika perintah-perintahnya tidak benar. Untuk mengetahui dalam hal apa dia harus dipatuhi dan dalam hal apa dia tidak usah dipatuhi, dikatakan dalam Kisah Para Rasul: ‘Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia’; karena itu jika paus memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan Kitab Suci, atau artikel iman, atau kebenaran dari Sakramen-sakramen, atau perintah-perintah dari hukum alam atau hukum ilahi, maka dia tidak usah dipatuhi, dan perintah-perintah seperti itu diabaikan saja.” (Summa de Ecclesia)

CONTOH DARI St. PAULUS  

Galatians 2:11
Tetapi waktu Kefas (Petrus) datang ke Antiokhia, aku (Paulus) berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. (Galatians 2:11)
Para Bapa Gereja mengatakan jika kutipan ini menunjukkan kepada kita betapa bisa dibenarkan untuk menolak para rohaniwan, bahkan paus sekalipun.

Cornelius a Lapide (seorang komentator Kitab Suci terkenal) († 1637) menulis sebagai berikut : 

Para atasan bisa saja ditegur oleh bawahannya dengan segala kerendahan hati dan kemurahan hati, agar kebenaran bisa dibela dan dipertahankan : inilah dasar (Galatians 2, 11) dimana St. Augustine, St. Cyprian, St. Gregory, St. Thomas dan beberapa orang kudus lainnya mendukung pendapat ini. Orang-orang kudus itu mengajarkan dengan tegas bahwa St.Peter meskipun kewenangannya lebih tinggi dari pada St.Paulus, tetapi dia ditegur dan diperingatkan oleh St.Paulus. St.Gregorius mengatakan :”Petrus tetap bersikap diam, sehingga sebagai orang pertama dalam hirarki para rasul tetapi dia juga menjadi yang pertama dalam hal kerendahan hatinya.” St.Agustinus menulis :”Dengan memperlihatkan bahwa para atasan mengakui bahwa mereka bisa ditegur oleh bawahan mereka, maka St.Petrus memberikan kepada keturunan berikutnya sebuah contoh kekudusan yang lebih nyata dari pada yang diberikan oleh St.Paulus, meskipun St.Paulus menunjukkan bahwa adalah mungkin bagi bawahan untuk berkeras hati menolak atasan mereka tanpa rasa takut, ketika dengan segala kemurahan hati mereka ingin membela kebenaran.” (Commentary Ad Gal., II, 11.)  Begitulah Doktor St.Agustinus mengatakan kepada kita bahwa kita musti ‘berkeras hati’ menolak para atasan, termasuk paus, tanpa ‘rasa takut’ ketika kita harus membela Iman.”

St. Thomas Aquinas menulis bahwa kutipan Kitab Suci memperlihatkan dengan jelas jika seorang paus melakukan kesalahan dan menyimpang dari Iman, haruslah dia ditolak secaca terbuka karena bahaya yang ada bagi umat beriman untuk menjadi rusak dan dituntun kepada kesesatan.

Jika terdapat ancaman terhadap Iman, maka para uskup harus ditanya, oleh umat mereka, terutama secaca terbuka. Begitulah St.Paulus yang saat itu menjadi bawahan dari St.Petrus, bertanya kepadanya secaca terbuka tentang adanya bahaya ancaman skandal terhadap Iman. Dan seperti disampaikan didalam Glossa dari St.Agustinus (Ad Galatas2.14) :”St.Petrus sendiri memberi contoh kepada mereka yang memerintah agar jika suatu saat mereka menyimpang dari jalan yang benar, mereka tidak akan menolak teguran yang datang, dengan menuduhnya sebagai tidak layak, meskipun teguran itu berasal dari bawahan mereka.” (SummaTheologiae, IIa IIae, Q. 33, A. 4)  

Dia juga berkata :
"Celaan itu adalah adil dan bermanfaat, dan alasan untuk itu tidaklah ringan : karena ada bahaya bagi pelestarian kebenaran Injil. [...] Cara dari teguran itu disampaikan adalah tepat, karena hal itu disampaikan secaca terbuka dan nyata. Karena alasan inilah maka St. Paulus menulis: 'Aku berkata kepada Kefas,' yaitu, Peter, 'di hadapan semua orang,' karena simulasi yang dilakukan oleh St. Peter itu adalah penuh dengan bahaya bagi semua orang." (Super Epistulas S. Pauli, AdGalatas, 2, 11-14 (Taurini/ Rome: Marietti, 1953), lec. III, nn. 83f.)  

CATATAN : Begitulah seorang paus yang berbuat salah dan kesalahan itu hendaknya ditolak dengan ‘keras hati’, ‘tanpa rasa takut’, ‘terbuka’ dan ‘di hadapan setiap orang’. Itulah ajaran dari para Bapa Gereja dan para Doktor Gereja.

Perintah dari para paus terdahulu
Berbagai paus juga mengatakan kepada kita bahwa paus bisa berbuat kesalahan dan menyimpang dari Iman, dan mereka harus ditolak.

Pope Innocent III († 1216) : mengatakan bahwa seorang paus bisa ‘menjadi layu dan menjadi bidaah’ dan ‘tidak percaya’ kepada Iman :

"Paus tidak sepatutnya menyanjung dirinya sendiri tentang kekuasaannya, atau dia dengan gegabah menghormati kemuliaannya dan status sosialnya yang tinggi, karena semakin sedikit dia dihakimi oleh manusia, semakin banyak dia dihakimi oleh Allah. Dan tidak kurang pula kemuliaan dari Uskup Roma, karena dia dapat dihakimi oleh manusia, atau lebih tepatnya, dia terbukti sudah dihakimi, jika misalnya dia terpaksa menjadi layu dan menjadi bidaah, karena ‘barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman’  (St. Yohanes 3:18) Dalam kasus seperti ini, bisa dikatakan tentang dia : 'Jika garam telah kehilangan rasa asinnya, maka ia tak bisa digunakan untuk apapun selain dibuang dan diinjak-injak oleh orang-orang". (Sermo 4)

Pope Adrian VI († 1523)  mengatakan memang sulit dibayangkan bahwa seorang paus ‘bisa salah dalam masalah yang menyangkut Iman’, dan dia bisa ‘mengajarkan bidaah melalui keputusan-keputusannya.

"Jika yang dimaksud dengan Gereja Roma adalah kepala atau Paus, maka sulit dibayangkan bahwa dia dapat berbuat salah terutama dalam masalah yang menyangkut iman. Dia melakukan kesalahan ini ketika dia mengajarkan kesesatan melalui penilaian atau keputusannya sendiri. Sebenarnya, banyak Paus Roma yang telah bertindak sesat. Yang terakhir dari mereka adalah Paus Yohanes XXII († 1334)."(Quaest. in IV Sent.; quoted in Viollet, Papal Infallibility and the Syllabus, 1908).*

(* According to the 1907 Catholic Encyclopedia, this work was published in 1512 from the notes of his student and without his supervision, but as it saw “many editions” it would appear that the pope did not repudiate the passage as not his own, in a work attributed to him.) 

Venerable Pope Pius IX († 1878) menyadari adanya bahaya bahwa seorang paus masa mendatang akan menjadi seorang bidaah dan memberikan ‘ajaran yang bertentangan dengan Iman Katolik‘ hingga Paus Pius IX memerintahkan kita : ‘jangan mematuhi dia’

“Jika ada seorang paus masa mendatang yang mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan Iman Katolik, janganlah mematuhi dia.”
(Surat Pope Pius IX kepada Uskup Brizen) 

Pope Adrian II († 872) mengakui bahwa kesesatan seorang paus layak untuk menerima penolakan, yang sah menurut hukum, dari para bawahannya, dan para bawahan berhak menolak ajaran-ajaran yang buruk dari paus.

"Kita baca bahwa Paus Roma selalu memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian pada kepala semua Gereja (yaitu, para patriark dan uskup), tetapi kita tidak melihat atau membaca bahwa dia juga bisa menjadi sasaran penilaian oleh orang lain. Memang benar bahwa (Paus) Honorius secara anumerta telah dikutuk oleh gereja-gereja Timur, tetapi harus diingat bahwa dia juga telah dituduh melakukan bidaah, dimana dia layak untuk menerima ‘perlawanan yang sah dari bawahan kepada atasan mereka, dan penolakan bawahan terhadap ajaran-ajaran yang merusak dari atasan mereka’.

Namun, saya tidak setuju dengan Paus Adrianus ketika dia mengatakan bahwa bidaah adalah satu-satunya pelanggaran yang membenarkan penolakan kita terhadap atasan karena para kudus dan para Doktor Gereja telah mengatakan yang sebaliknya kepada kita, seperti yang akan kita lihat.

Selanjutnya, Paus Honorius I († 638) tidak hanya "dituduh sesat" atau "dikutuk oleh Gereja-gereja  Timur": dia juga dikutuk sebagai sesat oleh Konsili ekumenis Konstantinopel III, dimana tindakan itu dikonfirmasi oleh Paus Leo II († 683).

"Kita bisa menduga, bersama-sama dengan mereka, juga Honorius, bahwa sebelum Paus dari Old Roma, yang diusir dari Gereja Katolik Allah yang Kudus dan dikutuk, karena kita telah menemukan dalam tulisan-tulisannya yang dikirim kepada Sergius (yang sesat) , bahwa dia mengikuti cara berpikir Sergius dalam segala hal, dan melanjutkan kaidah-kaidahnya yang fasik. [...] Bagi Sergius, yang sesat itu, terkutuklah dia! Bagi Cyrus, yang sesat itu, terkutuklah! Bagi Honorius, yang sesat itu, terkutulah! "

CATATAN: Kita bisa melihat bahwa para paus telah mengatakan kepada kita bahwa seorang paus dapat "tunduk kepada bidaah" dan menjadi "tidak percaya"kepada  Iman; dan bahwa          "adalah di luar kebiasaan" jika seorang paus dapat "berbuat salah dalam hal Iman", dia bisa "mengajarkan ajaran sesat" melalui perintah-perintahnya; bahwa "banyak Paus Romawi yang sesat"; bahwa paus mungkin saja bertindak sesat dan "mengajar [...] sesuatu yang  bertentangan dengan iman Katolik", dan dalam hal ini kita harus mengikuti instruksi "jangan mematuhinya"; dan bahwa kepausan yang bidaah "layak mendapatkan penolakan yang sah dari bawahan kepada atasan mereka, dan penolakan bawahan terhadap ajaran-ajaran yang merusak dari atasan."

Ajaran dari para kudus dan para teolog Gereja

Para kudus dan para teolog Gereja telah membuat pernyataan yang sama selama berabad-abad ini : kita tidak usah mematuhi, bahkan menolak, para paus yang bertindak sesat beserta jajaran hirarki mereka.

St. Athanasius († 373), Doctor pertama dari Gereja, mengatakan kepada kita bahwa umat Katolik yang setia kepada Tradisi jumlahnya bisa menjadi sangat sedikit. Dia menulis, selama krisis Arian dulu, ketika kepausan global memihak kepada Arianisme dan Paus Liberius († 366) menjadi bidaah, dimana dia menanda-tangani sebuah kredo Arian yang sesat serta memberikan hukuman (yang salah) exkomunikasi kepada St. Athanasius, seperti halnya yang dilakukan oleh uskup-uskup sesat dari Timur.

“Meskipun umat Katolik yang tetap setia kepada Tradisi jumlahnya hanya sedikit sekali, namun mereka itu adalah merupakan Gereja Yesus Kristus yang sejati.” (Epistle to the Catholics)

St. Vincent of Lerins († 445) adalah Bapa Gereja yang sering dihubungkan dengan pembelaan terhadap tradisi doktrinal yang tak berubah. Hal ini merupakan pokok bahasan dalam risalahnya yang berjudulthe Commonitory’. Dia mengatakan bahwa jika seluruh Gereja berjalan menuju kesesatan, tetapi kita harus tetap mempertahankan tradisi Iman yang diwariskan oleh para Bapa Gereja.

“Lalu apa yang harus dilakukan seorang Katolik jika beberapa bagian dari Gereja melepaskan diri dari persekutuan dengan Iman yang universal? Pilihan apa yang bisa dia lakukan jika beberapa penyakit menular baru berusaha untuk meracuni, bukan lagi bagian kecil saja dari Gereja, tetapi seluruh Gereja sekaligus? Maka perhatiannya yang besar harus tertuju pada ‘menyandarkan’ dirinya kepada tradisi kuno yang tidak lagi dapat disesatkan oleh kebohongan didalam hal-hal yang baru.” (Commonitory)  

CATATAN: kebobrokan menyeluruh dari hirarki Gereja telah diramalkan dan telah terjadi pada saat-saat sebelumnya dan orang-orang kudus telah mengatakan kepada kita bagaimana kita menanggapinya : kita harus menjaga Iman Katolik tradisional dan benar yang telah diwariskan oleh para Bapa Gereja dan menolak "kebohongan didalam hal-hal yang baru" dari paus dan hirarki Gereja.

Sylvester Prieras, O.P. (Teolog),  († 1523)  membicarakan penolakan terhadap seorang paus yang sesat. Dia bertanya :”Apa yang harus dilakukan jika ada paus yang menghancurkan Gereja melalui perbuatan-perbuatannya yang sesat?” dan “Apa yang harus dilakukan jika paus mau membatalkan, dengan alasan yang tak masuk akal, hukum-hukum Gereja atau negara?”. Jawabannya adalah :

"Dia pasti berdosa, dan adalah melanggar hukum jika membiarkan dia untuk bertindak seperti itu, dan juga untuk mematuhinya dalam hal-hal yang sesat; sebaliknya, ada kewajiban untuk menentangnya sambil memberikan sebuah teguran yang sopan".

"Jadi, jika dia berharap untuk membagikan kekayaan Gereja, atau Warisan Peter diantara saudara-saudaranya sendiri; atau jika dia berharap untuk menghancurkan gereja atau melakukan tindakan lain yang serupa besarnya dengan hal itu, maka ada kewajiban bagi bawahan untuk mencegahnya, dan juga kewajiban untuk menentangnya dan melawannya. Alasannya adalah bahwa dia tidak memiliki kewenangan untuk menghancurkan (gereja), dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika dia melakukan hal itu adalah sah untuk melawan dia."

"Hal ini jelas dari kenyataan sebelumnya bahwa, jika Paus dengan perintah-perintahNya, memerintahkan atau dengan tindakannya berusaha menghancurkan gereja, dia bisa ditolak dan tidak dilaksanakan perintah-perintahnya. Hak untuk melawan secara  terbuka atas penyalah-gunaan otoritas oleh wali gereja ini juga berasal dari hukum alam." (Dialogus de Potestate Papae)  

CATATAN: "Adalah melanggar hukum jika kita membiarkan dia bertindak sedemikian rupa, tanpa ada perlawanan dari kita, apalagi jika kita juga mematuhinya. Ada kewajiban untuk mencegah dia, dan juga kewajiban untuk menentangnya dan melawannya. Karena dia memiliki kuasa kepausan hanya untuk membangun Gereja dan tidak untuk menghancurkannya, maka adalah sah untuk menentangnya. Dia harus ditentang dan pemenuhan perintah-perintah-Nya harus dicegah. Penolakan secara terbuka adalah hak dan kewajiban".

Tommaso Cardinal de Vio Gaetani Cajetan O.P. (Teolog)  († 1534) mengatakan :”Adalah sebuah keharusan untuk menolak seorang paus yang secara terang-terangan mau menghancurkan Gereja.” (De Comparata Auctoritate Papae et Concilio).

Paus seperti ini haruslah ditolak, kebijakan-kebijakannya ditentang dan dicegah, dan Iman Katolik yang sejati haruslah dipertahankan. Penolakan haruslah dilakukan dan diusahakan.

Fr. Francisco de Victoria, O.P. (Ahli hukum Canon dan teolog)  († 1546) mengatakan:
"Menurut hukum alam, kekerasan bisa ditentang, secara sah, dengan kekerasan. Kini, dengan melalui berbagai tindakan sesat yang dibiarkan saja dan dengan perintah-perintah sejenis dengan yang sedang dibicarakan disini, berarti paus melakukan tindakan kekerasan, karena dia bertindak bertentangan dengan apa yang sah. Oleh karena itu adalah sah untuk menentangnya secara terbuka. Cajetan juga mengatakan hal ini janganlah ditafsirkan bahwa siapapun bisa menilai dan menghakimi paus, atau menganggap memiliki otoritas atas diri paus, melainkan bahwa adalah sah untuk membela diri terhadap paus yang bertindak seperti itu. Setiap orang, pada kenyataannya, memiliki hak untuk menentang tindakan yang tidak adil dan mencegah, jika dia mampu, kesesatan yang sedang dilakukan, maka dengan demikian dia telah membela dirinya." (Obras, pp. 486-7)

CATATAN: Semua umat yang setia memiliki hak untuk menentang tindakan seorang paus yang salah dan untuk mencegah kebijakan yang merugikan itu untuk dilaksanakan. Adalah "sah untuk menentangnya secara terbuka."

Francisco Suarez S.J. (Teolog) († 1617), juga berkata :
"Jika paus memberikan perintah yang bertentangan kebiasaan yang benar, dia tidak harus dipatuhi; jika dia berusaha melakukan sesuatu yang secara nyata menentang keadilan dan kebaikan bersama, maka adalah sah untuk melawannya; jika dia menyerang dengan kekerasan, dengan kekerasan pula dia bisa ditolak, dengan sebuah jalan tengah yang layak untuk membela diri secara adil." (De Fide, Disp. X, Sec. VI, N. 16)   

St. Robert Bellarmine, S.J. (Doktor Gereja) († 1621), menulis sebuah risalah tentang Kepausan yang digunakan sebagai dasar untuk memberikan definisi pada batas-batas infalibilitas paus yang dibahas pada Konsili Vatikan I (1869-1870). Dia menulis sebagai berikut:

"Seperti halnya adalah sah untuk menentang paus yang menyerang tubuh, adalah juga sah untuk menentang orang yang menyerang jiwa atau yang mengganggu tatanan masyarakat sipil, atau, lebih dari semuanya, yang mencoba untuk menghancurkan Gereja. Saya mengatakan bahwa adalah sah untuk melawan dia dengan tidak melakukan apa yang dia perintahkan dan mencegah keinginannya untuk dilaksanakan."(De Romano Pontifice, Lib. II, Ch. 29)

CATATAN: "Seorang paus yang mencoba untuk menghancurkan Gereja tidaklah layak untuk ditaati tetapi adalah sah untuk melawan dia dengan tidak melakukan apa yang dia perintahkan dan mencegah keinginannya untuk dilaksanakan."

Konsili Vatican I (1870)  mendefinisikan bahwa paus tidak memiliki kekuasaan atau hak untuk mengeluarkan doktrin-doktrin baru atau mengubah Iman yang telah diwariskan dari para Rasul, dia hanya wajib untuk mempertahankan dan mewartakannya.

"Karena Roh Kudus telah dijanjikan untuk diberikan kepada para penerus Petrus, bukannya supaya mereka,  melalui wahyuNya itu, boleh memperkenalkan beberapa doktrin baru, tetapi oleh pertolonganNya, mereka bisa menjaganya dan dengan setia menjelaskan wahyu atau Deposit Iman yang disampaikan oleh para Rasul."(Pastor Aeternus, cap. 4)

CATATAN: Paus tidak berhak untuk melakukan apa pun kecuali untuk mempertahankan Iman Katolik yang sejati, persis seperti ia diterima dulu. Jika dia mencoba untuk melakukan sebaliknya, dia harus dikecam dan ditentang bersama dengan semua inovasi doktrin yang dia coba paksakan kepada umat beriman yang setia.

Ringkasan dan ikhtisar ajaran-ajaran abadi

Kita telah melihat bahwa tradisi menunjukkan kepada kita, bahwa episkopat global bisa terjatuh dan menjauhi Iman, dan bahwa umat Katolik yang benar bisa berkurang jumlahnya hingga hanya menjadi segelintir orang saja. Bahwa paus juga dapat menyimpang dari Iman dan "mengajarkan" kesesatan melalui berbagai dekrit mereka. Mereka dapat menghancurkan Gereja dengan tindakan mereka. Maka kita tidak harus mematuhi mereka, tetapi kita harus secara terbuka menolak paus dan hirarki yang demikian ini dan berusaha untuk menghentikan kebijakan mereka agar tidak sampai dilaksanakan.

Paus pertama, St Petrus, menginstruksikan kepada kita bahwa kita harus taat kepada Allah daripada manusia ketika ada konflik antara keduanya. Para Doktor dan para teolog Gereja menekankan hal ini dengan mengatakan kepada kita "atasan tidak harus ditaati dalam segala hal"; “seorang paus bisa saja berbuat salah pada suatu saat, dan memerintahkan sesuatu yang tidak perlu dilakukan"; dan "kita tidak hanya taat begitu saja kepadanya dalam segala hal." Seorang paus bisa saja memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan Kitab Suci, atau artikel-artikel iman, atau kebenaran Sakramen-sakramen, atau perintah-perintah dari hukum alam atau hukum ilahi", maka "dia seharusnya tidak usah dipatuhi." Selanjutnya, St. Paulus juga pernah menolak Paus St Petrus secara terbuka, berterang-terang menentangnya (Galatians 2:11) karena dia membahayakan Iman.

Para Bapa dan para Doktor Gereja menekankan bahwa kita harus "berani" melawan atasan, termasuk paus, "tanpa rasa takut", ketika kita membela Iman; seorang paus yang keliru dan menyimpang dari Iman haruslah dilawan secara terbuka karena bahaya yang ada bagi umat beriman yang setia yang akan bisa menjadi rusak dan dituntun menuju kesalahan.

Beberapa orang paus terdahulu telah mengatakan kepada kita bahwa seorang paus dapat "menjadi terjerumus ke dalam bidaah" dan "tidak percaya" kepada Iman; bahwa "sulit dipercaya, meskipun ada" seorang paus dapat "berbuat salah dalam hal yang menyangkut Iman", dia bisa "mengajarkan kesesatan" melalui berbagai keputusannya; dan bahwa "beberapa Paus Roma adalah sesat"; bahwa paus mungkin saja berbuat sesat dan "mengajar [...] sesuatu yang bertentangan dengan iman Katolik", dan dalam hal seperti ini kita harus mengikuti instruksi : "jangan mengikutinya"; dan bahwa bidaah dalam kepausan "membuat sah perlawanan dari bawahan kepada atasan mereka, serta penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran yang merusak dari paus."

Dan akhirnya, kita telah melihat bahwa para kudus dan para teolog yang telah diakui oleh Gereja, selama berabad-abad ini telah mengatakan kepada kita bahwa bisa terjadi "beberapa penyakit menular baru berusaha untuk meracuni, bukan lagi sebagian kecil dari Gereja, tetapi seluruh Gereja sekaligus", dan dapat terjadi bahwa "umat Katolik yang tetap setia kepada Tradisi hanya berjumlah segelintir orang saja". Jika hal ini terjadi maka perhatian yang besar dari masing-masing orang harus tertuju pada "menyandarkan dirinya kepada tradisi kuno yang tidak lagi dapat disesatkan oleh kebohongan didalam hal-hal yang baru" - dan mereka itu adalah "umat Katolik yang setia kepada tradisi" dan mereka adalah orang-orang yang merupakan anggota dari Gereja Yesus Kristus yang sejati. Selanjutnya, seorang paus dapat ‘merusak Gereja melalui perbuatan-perbuatan jahatnya’ dan kemudian ‘adalah melanggar hukum jika membiarkan dia bertindak seperti itu’; ‘sebaliknya, ada kewajiban untuk menentang dia’; adalah ‘menjadi kewajiban untuk mencegah dia’, dan juga ‘menjadi kewajiban untuk menentangnya dan melawannya’; ‘dia bisa ditolak dan pelaksanaan perintah-perintahnya dicegah’ dengan melalui ‘perlawanan secara terbuka’.

Sekali lagi, ‘adalah sah untuk menentangnya secara terbuka’; ‘setiap orang, pada kenyataannya, memiliki hak untuk menentang tindakan yang tidak adil, untuk mencegah, jika dia mampu, tindakan (tidak adil) itu untuk dilaksanakan’. Memang, ‘sangat penting untuk menahan seorang paus yang secara terbuka mau menghancurkan Gereja’. Dia ‘tidak harus dipatuhi’ dan adalah ‘sah untuk menolak dia’ jika dia bertindak bertentangan dengan keadilan dan kebaikan bersama. Seorang paus tidak memiliki hak untuk mengajarkan sesuatu yang baru. Maka adalah ‘sah untuk melawan dia dengan tidak melakukan apa yang dia perintahkan dan mencegah keinginannya untuk dilaksanakan’, jika dia mau menghancurkan Gereja.

No comments:

Post a Comment