Wednesday, March 7, 2018

SEORANG TEOLOG BERKATA...


SEORANG TEOLOG (yang dulu pernah bertugas) DI VATIKAN BERKATA: PF MUNCUL SEBAGAI ‘AGEN PERPECAHAN’




Hari ini, 24 Februari, 2018, sampailah kepada kita perkataan dari Pastor Thomas G. Weinandy, seorang Capuchin, ahli teologi dan kritikus kepausan dari Amerika Serikat yang sangat dihormati, yang berupa komentar dan pernyataannya tentang kepausan Francis saat ini serta pengaruhnya yang memecah belah. Sandro Magister, seorang pengamat Vatikan, dari Italia, menerbitkan hari ini pidato pastor Weinandy tentang masalah ini, yang ia berikan hari ini di University of Notre Dame di Sydney, Australia.

Dalam sambutannya, pastor Weinandy menjelaskan pendekatan yang dilakukan PF yang menyebabkan banyak sekali perpecahan, bukannya persatuan:

Terkadang nampak bahwa Paus Fransiskus mengidentifikasi dirinya bukan sebagai promotor persatuan melainkan sebagai agen perpecahan. Filosofi praktisnya, jika itu boleh disebut sebagai filosofi yang disengaja, nampaknya hal itu terdiri atas keyakinan bahwa kebaikan pemersatu yang besar akan muncul dari keributan sekarang ini yang berasal dari berbagai pendapat yang berbeda serta kekacauan dari perpecahan yang diakibatkannya.

Pastor Weinandy berpendapat, fakta bahwa paus ini telah menyebabkan kebingungan dan perpecahan secara efektif merongrong Tahta Petrus, yang bertujuan, melalui misinya, untuk menumbuhkan persatuan di dalam Iman.

Dia berkata:

Perhatian saya di sini adalah bahwa pendekatan seperti itu, bahkan meski tidak disengaja, akan menyerang esensi pelayanan Petrus seperti yang dimaksudkan oleh Yesus dan terus dipahami oleh Gereja selama berabad-abad ini. Pengganti Santo Petrus, yang merupakan hakikat dari jabatan tersebut, secara harfiah adalah perwujudan pribadi dan dengan demikian merupakan pertanda sempurna dari persekutuan umat Gereja, dan karenanya, ia adalah pembela utama dan promotor persekutuan Gerejani [.]

Berikut ini, pastor Weinandy menjelaskan bahwa Paus Fransiskus secara efektif telah merongrong keempat tanda Gereja - SATU, KUDUS, KATOLIK, dan APOSTOLIK.

Sehubungan dengan kerasulan Gereja (Apostolik), dia memiliki beberapa hal berikut untuk disampaikan:

Seperti yang terlihat pada "Amoris Laetitia", untuk memahami kembali dan mengungkapkan sesuatu yang baru mengenai iman apostolik dan tradisi magisterial yang sudah jelas selama ini dengan cara yang nampak sangat ambigu, sehingga menimbulkan kebingungan dan tanda tanya besar dalam komunitas gerejani, dimana hal ini bertentangan dengan tugasnya sendiri sebagai penerus dari Petrus dan dia telah mengabaikan kepercayaan dari sesama uskupnya, serta dari para para imam dan seluruh umat beriman.

Ajaran kepausan seperti itu yang sekarang "bertentangan dengan ajaran apostolik dan tradisi magisterial Gereja yang terdahulu ... tidak dapat diusulkan sebagai pengajaran magisterial," jelas pastor Weinandy.

Lebih dari itu, dia menyoroti bahwa dukungan paus terhadap sinodalitas mengarah kepada praktik untuk mengaburkan keputusan dan arahan para uskup sehingga hal ini akan melemahkan universalitas Gereja. Teolog ini (pastor Weinandy) melihat adanya "disintegrasi katolisitas Gereja," karena "Gereja-gereja lokal, baik di tingkat keuskupan dan nasional, sering menafsirkan norma-norma doktrin dan ajaran moral dalam berbagai cara yang saling bertentangan dan kontradiktif." (Inilah yang menjadi dasar pemikiran dari keputusan para uskup Jerman untuk mengijinkan pasangan Protestan dan Katolik untuk menerima Komuni Kudus.)

Menurut pastor Weinandy, pendekatan baru di bawah Paus Fransiskus saat ini yang mengakui beberapa "orang yang menikah kembali" boleh Komuni Kudus, secara efektif telah merongrong kekudusan Gereja dalam rasa hormatnya terhadap Ekaristi. Dia menjelaskan:

Di sini kita melihat tantangan saat ini terhadap kekudusan Gereja dan khususnya kekudusan Ekaristi. Pertanyaan apakah pasangan Katolik yang bercerai dan menikah kembali yang melakukan tindakan perkawinan dapat menerima komuni, berkisar di seputar isu "perilaku lahiriah yang secara serius, jelas dan tegas bertentangan dengan norma moral," dan oleh karena itu, apakah mereka memiliki "disposisi moral yang tepat dan nyata"untuk boleh menerima komuni?

Pastor Weinandy menjelaskan bahwa pendekatan baru dalam masalah ini akan segera menjadi "praktik umum dan menyeluruh" dan dengan demikian akan mengarah pada situasi bahwa "hampir setiap pasangan yang bercerai dan menikah kembali akan menilai diri mereka bebas untuk menerima Komuni Kudus." Dengan demikian, dia menjelaskan, "perintah yang bersifat melarang," seperti terhadap perzinahan, tidak akan lagi "diakui sebagai norma moral absolut." Perkembangan seperti ini bukan hanya akan mempengaruhi kesucian Gereja, tetapi juga "meremehkan kejahatan dari dosa berat yang layak mendapatkan hukuman dan ... menggerogoti kebesaran dan kuasa dari Roh Kudus. "

Pastor Weinandy menyimpulkan sebagai berikut:

Praktik pastoral semacam itu secara implisit mengakui bahwa dosa masih terus menguasai dan memerintah umat manusia meski sudah ada karya penebusan Yesus dan pengurapan dari Roh Kudus atas semua orang yang percaya dan dibaptis. Dan Yesus sebenarnya bukanlah Juruselamat dan Tuhan, dan Setan akan terus memerintah.

Dukungan kepada perbuatan dosa seperti itu, lanjut teolog itu, sangat membahayakan keselamatan jiwa-jiwa dan bahkan menghina orang yang berdosa berat: si pendosa itu begitu buruknya "bahkan Roh Kudus pun tidak cukup kuat" untuk membantunya mengubah jalannya. Secara efektif, Gereja dipertontonkan sebagai institusi yang tidak terlalu suci untuk dapat membantu orang-orang berdosa.

Pastor Weinandy mengakhiri pidatonya dengan kalimat yang keras dan menusuk berikut ini:

Akhirnya, skandal akan menjadi konsekuensi pastoral yang memungkinkan orang-orang yang berada dalam keadaan dosa berat dan tidak bertobat, untuk menerima Komuni Kudus. Bukan hanya karena anggota komunitas Ekaristik yang setia akan merasa kecewa dan mungkin tidak puas, namun yang lebih penting, mereka akan tergoda untuk berpikir bahwa mereka juga dapat berbuat dosa berat dan terus dengan gagah dan percaya diri memasuki Gereja. Kalau begitu, mengapa kita harus berusaha menjalani kehidupan yang suci, bahkan kehidupan saleh yang heroik, ketika Gereja sendiri nampaknya tidak menuntut kehidupan suci semacam itu, atau bahkan Gereja mendorong kehidupan semacam itu? Di sini Gereja akan menjadi bahan olok-olok dirinya sendiri dan permainan semacam itu tidak menghasilkan apa-apa selain cemoohan dan diremehkan di dunia ini, cemoohan dan sinisme di antara umat beriman, atau paling tidak, harapan yang berlawanan dengan harapan dari orang-orang kecil dan hina.



Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment