Friday, August 11, 2017

Pastor Kevin Cusick: AMORIS LAETITIA SUNGGUH TIDAK JELAS....


OPINIONCATHOLIC CHURCHMon Aug 7, 2017 - 2:32 pm EST

Pastor Kevin Cusick:
AMORIS LAETITIA SUNGGUH TIDAK JELAS, DAN TIDAK BISA DILANJUTKAN

August 7, 2017 (Wanderer Press) — Umat Katolik tidak pernah dan tidak akan pernah berharap untuk bernegosiasi dengan melewati ladang ranjau dari musuh dalam upaya pencarian kebenaran di tangan gembala Gereja. Yang namanya ajaran haruslah bersifat jelas, konsisten dan tidak ambigu. Tetapi Amoris Laetitia (AL) ini tidak seperti itu.

Amoris Laetitia tidak bisa direkomendasikan untuk dibaca oleh semua umat karena dokumen itu tidak aman bagi iman mereka. Sebagai dokumen pengajaran Katolik, maka ia tidak  akan bisa berkelanjutan dan suatu hari nanti ia haruslah banyak diedit dan dikoreksi dengan ketat agar bisa menjadi penolong yang andal bagi jiwa-jiwa.

Kita mendapati diri kita dalam situasi disorientasi (kebingungan) di mana untuk pertama kalinya sebuah dokumen pengajaran kepausan dari jajaran tertinggi Gereja digunakan untuk memperkenalkan teori-teori murahan para teolog yang tidak layak dipercaya yang berdiri di jajaran para pensiunan kardinal dan calon-calon episkopal yang ditolak dari Argentina dimana karyanya yang terkenal antara lain berjudul "The Art of Kissing." (‘seni berciuman’)

Tentu saja saya mendukung setiap item yang tidak dapat salah dari dokumen iman dan moral Katolik. Hal ini memang tanpa dipertanyakan. Tapi saya harus menolak setiap pernyataan yang bertentangan secara langsung dengan ajaran ilahi dari Tuhan dan Juruselamat kita Yesus Kristus. Setiap uskup dan anggota dari Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik haruslah melakukan hal yang sama.

Karena alasan inilah maka saya, dengan menyesal, harus mengatakan bahwa saya akan merekomendasikan Familiaris Consortio sebagai dokumen kepausan ortodoks terkini di antara pernyataan baru-baru ini, dimana dalam Familiaris Consortio itu orang dapat mencari pengajaran yang jelas dan benar tentang pernikahan dan keluarga.

Beberapa orang mungkin menolak saya dengan mengatakan bahwa ada banyak hal yang baik di dalam AL. Dan dalam hal ini saya setuju. Tetapi saya harus menyatakan bersama banyak orang lainnya bahwa nilai dari suatu jiwa dan karya keselamatan yang benar tidak boleh diganggu dan diancam oleh dokumen yang ambigu dan salah (Amoris Laetitia) yang tidak sesuai dengan ajaran Katolik yang bersifat kekal.

Beberapa orang mungkin bereaksi terhadap komentar saya ini dengan rasa ngeri, seolah-olah menurut mereka, saya mau menempatkan diri saya di luar lingkaran umat Katolik yang memiliki reputasi baik. Disini saya menanggapi dengan mengingatkan mereka bahwa sepanjang sejarah, dimulai dengan Santo Paulus dulu (ketika St.Paulus menegur Paus saat itu - St.Petrus, lihat Gal.2:11) hingga dilanjutkan sampai St. Catherine dari Siena, maka hal ini sudah ada di dalam tradisi Katolik, dan hal ini sepenuhnya sesuai dan perlu dan yang paling masuk akal bagi Gereja, untuk menyampaikan kritik terhadap salah satu atau semua pemimpin kita, termasuk Paus.

Hal ini terutama adalah tanggung jawab para uskup kita, dan tiga kardinal yang masih hidup yang telah menandatangani dubia, mereka masih berada dalam batas tradisi suci ini. Banyak klerus lainnya yang berdiam diri saja. Banyak yang menyusun sensus fidelium, tanpa ada suara atau keberanian untuk berdiri bersama para kardinal pengusung dubia itu.

Begitulah Amoris Laetitia adalah campuran antara yang baik dengan yang buruk, seperti kehidupan ini sendiri, tapi seharusnya ia tidak bisa dianggap sebagai dokumen pengajaran Gereja, karena ia adalah cermin untuk mempertahankan kehidupan kontemporer. Kita sudah tahu betul bahwa manusia memiliki kelemahan dan berbuat dosa. Justru karena alasan inilah maka Gereja seharusnya berbicara di dalam kebenaran dan konsistensi, bukannya dengan suara-suara dunia modern beserta segala kesesatannya. Bila campuran itu (baik dan buruk) ditawarkan melalui sebuah dokumen Gereja yang juga berisi ajaran sesat, maka jika ada gembala yang tidak bereaksi dengan berbicara membela domba-dombanya, maka dia telah menyatakan dirinya sebagai musuh Kristus.

Sebagai contoh dari item-item dalam AL yang membutuhkan koreksi, agar memungkinkan untuk sepenuhnya mendukung AL sebagai dokumen pengajaran yang berkelanjutan, daripada sekedar komentar mengenai manusia modern, pada nomor 297 paus menulis:

"Tak seorangpun yang akan dihukum selamanya, karena itu bukanlah logika dari Injil ! Di sini saya tidak hanya berbicara tentang orang yang bercerai dan menikah lagi, tapi juga semua orang, dalam situasi apa pun yang mereka hadapi.”

Dengan mengatakan hal seperti itu, bagaimanapun juga, akan menempatkan seseorang pada kontradiksi langsung dengan ajaran Yesus Kristus, yang mengajarkan bahwa tubuh dan jiwa dapat dicampakkan ke dalam Gehenna jika seseorang mati dalam keadaan menolak Dia. Seseorang tidak bisa menolak ajaran Gereja yang menetap sesuai dengan Firman Kristus dalam Injil bahwa hukuman kekal adalah kemungkinan yang radikal bagi setiap manusia.

Berikut ini adalah komentar dari kanonis Edward Peters dalam blognya bahwa didalam kacamata Hukum Allah tentang masalah ini:

"Dalam AL 297, Fransiskus menulis: 'Tidak ada yang bisa dihukum selamanya, karena itu bukanlah logika dari Injil!' Tetapi sebaliknya, justru logika Injil mengatakan bahwa seseorang bisa dihukum selamanya. Lihat CCC [Katekismus Gereja Katolik] 1034-1035. Jika seseorang bermaksud mengatakan bahwa tidak ada yang bisa 'dikutuk selamanya' oleh otoritas duniawi, maka dia boleh mengatakan hal itu. Tetapi, tentu saja, menolak memberikan Komuni Kudus kepada orang-orang yang melakukan 'perzinahan secara jelas dan menetap', ini bukanlah 'kutukan' sama sekali, maka maksud dari perkataan paus Francis itu menjadi tidak jelas."

1034. Yesus beberapa kali berbicara tentang "gehenna", yakni "api yang tidak terpadamkan", yang ditentukan untuk mereka, yang sampai akhir hidupnya menolak untuk percaya dan bertobat, tempat jiwa dan badan sekaligus dapat lenyap. Dengan pedas, Yesus menyampaikan bahwa Ia akan "menyuruh malaikat-malaikat-Nya", yang akan mengumpulkan semua orang, yang telah menyesatkan orang lain dan telah melanggar perintah Allah, dan... mencampakkan mereka ke dalam dapur api; di sanalah terdapat ratapan dan kertakan gigi" (Mat 13:41-42), dan bahwa Ia akan mengucapkan keputusan pengutukan: "Enyahlah daripada-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal" (Mat 25:41).

1035. Ajaran Gereja mengatakan bahwa ada neraka, dan bahwa neraka itu berlangsung sampai selama-lamanya. Jiwa orang-orang yang mati dalam keadaan dosa berat, masuk langsung sesudah kematian ke dunia orang mati, di mana mereka mengalami siksa neraka, "api abadi". Penderitaan neraka yang paling buruk adalah perpisahan abadi dengan Allah; hanya di dalam Dia manusia dapat menemukan kehidupan dan kebahagiaan, karena untuk itulah ia diciptakan dan itulah yang ia rindukan.

Meluruskan suatu keadaan yang tidak benar dalam Gereja Katolik, seperti menginstruksikan seseorang yang menikah kembali secara sipil, setelah pernikahan Katolik pertama, agar dia tidak menerima Komuni Kudus, atau bahkan pemberlakuan exkomunikasi terhadap orang itu, ini adalah sarana untuk memanggil orang-orang yang bersalah agar kembali kepada penyatuan dengan Tuhan di dalam satu Gereja yang benar. Hal ini karena Gereja bukanlah masyarakat atau klub yang eksklusif sehingga koreksi semacam itu bisa diterapkan dan dianggap sebagai hal yang serius. Para gembala Gereja, yang melayani hanya demi nama dan kuasa Yesus Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat, telah berhutang kepada kemanusiaan dan juga kepada Dia yang mereka layani dengan setia dan secara konsisten, hendaknya menerapkan semua solusi yang bisa diberikannya untuk memperbaiki mereka yang bersalah dan membawa mereka kembali menuju "pelabuhan kebenaran dan kesatuan iman."

Di sini Bapa Suci meminta agar pengecualian khusus dibuat dalam satu kasus untuk tidak lagi menyebut dosa dengan namanya (dengan kata lain tidak perlu menyebut perbuatan itu sebagai dosa):

"Tidak dapat dikatakan bahwa semua orang yang berada dalam situasi 'hidup menyimpang’ (misalnya homosex, atapun kumpul kebo, atau hidup berzinah) kemudian menyebut mereka sebagai hidup dalam keadaan dosa berat dan dia tidak memiliki rahmat yang menguduskan" (AL, 301).

Iman dan moral, sebenarnya sederhana saja. Seseorang hanya berbuat benar atau melakukan kesalahan. Adalah peran Gereja untuk menginformasikan kebenaran kepada hati nurani seseorang sehingga orang itu bisa memiliki kemampuan untuk memeriksa diri mereka sendiri di dalam terang ajaran itu. Gereja tidak akan pernah, dalam keadaan apapun, merubah kebenaran dan dengan demikian menjauhkan jiwa-jiwa dari sarana yang mereka butuhkan dari Tuhan untuk mengetahui yang baik dan yang benar, dan dengan demikian jiwa itu akan mengejarnya sambil menolak dosa demi keselamatan kekal.

Di sini tanggapan kasih yang paling besar yang bisa diberikan kepada Tuhan tidak lagi diukur dengan standar kekudusan dari Allah, tetapi dengan berbagai ukuran yang dapat ditentukan sendiri oleh manusia (dengan mengabaikan peranan Allah):

". . . agar seseorang bisa mengenali secara tulus dan jujur tentang apa jawaban saat ini yang paling layak yang bisa diberikan kepada Tuhan, dan dengan cara datang kepada Tuhan dengan rasa aman secara moral, bahwa itulah yang diminta oleh Tuhan sendiri di tengah kompleksitas dari keterbatasan seseorang. . . . "(AL, n. 303).

Uskup Athanasius Schneider mengangkat masalah ketidakhadiran yang jelas dari ajaran Kristus di dalam AL:

"Jika kita menganalisa pernyataan-pernyataan tertentu di dalam AL dengan kejujuran intelektual dalam konteksnya yang tepat, maka kita menghadapi kesulitan saat mencoba menafsirkannya sesuai dengan doktrin tradisional Gereja. Hal ini disebabkan karena (di dalam AL itu) tidak ada pernyataan yang jelas dan tegas tentang doktrin dan praktik Gereja yang menetap, yang didasarkan kepada Firman Allah." (baca Uskup Schneider," Amoris Laetitia: Suatu kebutuhan untuk mendapatkan klarifikasi guna menghindari kebingungan yang meluas.").

Dengan beberapa perubahan, sebenarnya AL dapat menjadi apa yang kita harapkan dari dokumen kepausan yang berasal dari otoritas pengajaran tertinggi Gereja: sebuah "penegasan yang jelas dan eksplisit atas doktrin dan praktik Gereja yang menetap."

Pastor Kevin Cusick adalah mantan perwira Angkatan Darat yang ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1992 dan bertugas sebagai imam militer. Dia sekarang menjadi imam di Gereja St. Francis de Sales di Benedict, Maryland.


Dicetak ulang dengan izin dari The Wanderer Press.

Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment