Wednesday, December 14, 2016

JIKA PENDAPAT PAUS FRANCIS MENGENAI PERZINAHAN....

JIKA PENDAPAT PAUS FRANCIS MENGENAI PERZINAHAN ADALAH BENAR, MAKA GEREJA KATOLIK AKAN RUNTUH 
by David Carlin

December 7, 2016 (TheCatholicThing) -- Jika anda menyetujui tindakan perampokan bank, maka anda tak bisa menyalahkan tindakan mengutil permen di sebuah kedai kaki lima maupun di sebuah mall. Yang saya maksudkan disini adalah bahwa anda tak bisa melakukan hal yang kecil jika anda tidak konsisten dengan hal yang besar. Jika anda menyetujui tindak kejahatan besar, maka secara logis anda tak bisa menyalahkan kejahatan-kejahatan kecil dari jenis yang sama. 
Begitulah, jika anda menyetujui sebuah pembunuhan, maka anda tak bisa menyalahkan tindakan penyerangan atau penganiayaan, hanya demi membela reputasi anda ataupun konsistensi logis anda.
Sekali lagi, jika anda adalah seorang Katolik yang menyetujui perbuatan zinah, maka anda tak bisa menyalahkan pemakaian kontrasepsi maupun perbuatan cabul.
Tetapi sekarang di dalam Bab VIII yang terkenal dari Amoris Laetitia itu (bisa saya katakan sebagai perbuatan yang sangat jahat), PF nampak jelas bahwa dia menyetujui apa yang dianggap oleh Gereja Katolik (hingga saat ini) sebagai perbuatan perzinahan. Dia menegaskan (atau nampak sekali menegaskan) bahwa ‘pada keadaan tertentu’ seorang Katolik yang bercerai dan menikah lagi boleh menganggap bahwa perkawinannya yang kedua sebagai perkawinan yang sah. Dengan kata lain, orang Katolik yang bercerai dan menikah lagi secara bebas boleh melakukan hubungan sex (dengan pasangannya yang kedua) dan hal itu adalah tidak berdosa dan dia juga secara bebas bisa menerima Komuni Kudus.
Hal ini jelas bertentangan dengan Sabda Yesus sendiri, yang berbunyi (kecuali Kitab Injil itu salah tulis) bahwa seseorang yang telah menikah dan kemudian menikah lagi sementara pasangannya yang pertama masih hidup, maka dia melakukan perzinahan. Tetapi PF nampak mendukung, ‘dalam kasus tertentu’, apa yang dikatakan oleh Yesus sebagai perzinahan. Dan jika paus melakukan hal ini, bagaimana mungkin dia tidak mendukung, dalam ‘kasus tertentu’ pula, pemakaian kontrasepsi dan percabulan?
Singkatnya, apakah persetujuan paus terhadap tindakan perzinahan ini, meski hanya dalam ‘kasus tertentu’, tidak menyebabkan runtuhnya hampir seluruh struktur moralitas Gereja Katolik dalam masalah sexual? Terlepas dari masalah pemerkosaan maupun pelecehan sexual terhadap anak-anak, apa lagi yang masih tetap dianggap taboo dalam masalah sex? Dan apakah imam-imam atau bekas imam yang melakukan pelecehan sexual terhadap anak-anak kemudian bisa beranggapan bahwa perbuatannya itu bisa diterima ‘dalam kasus tertentu’? Kutipan ‘kasus tertentu’ ini seakan menjadi pembenar bagi perbuatan dosa. Dengan berlindung dibalik ‘kasus tertentu’ versinya paus ini maka umat beriman merasa ‘bebas dan aman’ untuk berbuat dosa berat sekalipun.
Seperti halnya perbuatan sodomi yang dilakukan oleh kaum homosex, pertanyaan apakah boleh atau tidak boleh menyalahkan mereka, kini akan tergantung kepada apakah tindakan itu dianggap perbuatan dosa atau bukan, dan tidak lagi dianggap sebagai perzinahan. Lebih jauh lagi, jika paus mengijinkan tindakan perzinahan, ‘dalam kasus tertentu’, maka hal itu juga akan bisa diterapkan kepada tingkah laku homosexual ‘dalam kasus tertentu’ juga. Saya percaya bahwa umat Katolik masih tidak bisa menyetujui tindakan homosexual. Tetapi realitasnya, bagaimana bisa umat Katolik berpegang teguh kepada sikap ini jika seluruh struktur ajaran moral Katolik di bidang sexual menjadi runtuh? Jika perzinahan dan percabulan disetujui atau diterima (oleh jajaran birokrasi Gereja), siapakah yang masih memiliki hati untuk menolak tindakan sodomi pada orang homosex, kecuali seorang yang memang secara tulen tidak menyukai tindakan semacam itu?
Anda masih bisa menyalahkan dan mengutuk tindakan aborsi. Karena aborsi adalah pembunuhan, yang merupakan dosa yang lebih buruk daripada tindakan perzinahan. Namun dalam kenyataannya, setiap orang yang menyetujui kebebasan sex dia juga menyetujui perzinahan. Sebenarnya umat Katolik, sebelumnya, dengan dimulai dan dipimpin oleh para paus dan para uskup, masih bisa menyalahkan tindakan aborsi; namun kini hati mereka tidak akan bersikap seperti itu. Dan kenyataannya, mereka bisa menyetujui tindakan itu, berdasarkan contoh dari atasan mereka.
Seorang pembela dari Bab VIII Amoris Laetitia bisa saja menanggapi tulisan saya ini dengan menunjuk bahwa paus mendorong kita untuk bersikap toleran terhadap perkawinan kedua ‘dalam kasus tertentu saja’. Meski dia tidak beralasan secara sengaja membuka pintu bagi pemikiran sekuler saat ini dalam hal kebebasan sex yang hampir tanpa batas. Tetapi cukuplah sudah. Orang yang tidak mau memperbaiki rembesan kecil pada sebuah tanggul air yang besar, maka dia juga tidak berniat untuk mempertahankan keutuhan tanggul itu dan tidak bersedia mempertahankan daratan agar tidak tergenang air laut. Begitulah yang terjadi saat ini, ada tanggul yang besar dan ada rembesan kecil di bagian bawah. Ancaman itu telah nyata.
Umat manusia, termasuk umat Katolik, dalam masalah ini, adalah sebagai binatang yang rasional. Hal ini bukan berarti bahwa kita tidak bisa salah. Hal ini juga tidak berarti bahwa kita sangat cerdik. Namun kita cenderung untuk selalu konsisten, paling tidak, dalam jangka panjang. Sekali kita menerima sebuah prinsip tertentu, misalnya ‘semua manusia adalah diciptakan secara sama’, maka cepat atau lambat sampailah kepada kita keinginan untuk membebaskan dunia dari perbudakan. Hal yang sama juga berlaku, sekali umat Katolik setuju dengan pendapat paus yang seakan menyatakan bahwa Yesus adalah salah ketika Dia menyampaikan pandanganNya yang absolut mengenai tak terceraikannya perkawinan, maka seluruh struktur moralitas Katolik di bidang sexual cepat atau lambat akan runtuh.
Bukan saja moralitas di bidang sexual, tetapi seluruh struktur bangunan katolisitas akan runtuh. Karena jika Yesus, yang merupakan sosok panutan utama dalam sejarah Gereja, bersikap keliru mengenai perkawinan, maka bisa saja Dia juga keliru dalam berbagai hal lainnya. Dan jika Yesus itu salah, maka St.Paulus serta berbagai penulis Perjanjian Baru juga salah. Dan jika Yesus dan Paulus adalah salah, maka siapakah yang bisa mempercayai ajaran-ajaran para Bapa Gereja dan para Doktor Gereja? Begitulah akibat dari sebuah rembesan kecil dari sebuah tanggul besar.
Silakan meng-klik "like" untuk mendukung Catholics Restoring the Culture! 
Saya menulis ini bukan sebagai orang yang ultra-conservative (ultra kolot). Tidak sama sekali. Jika saya bisa mengulas hukum-hukum Gereja mengenai perkawinan dan sex, maka saya tidak melihat satupun yang mengijinkan perceraian. Orang yang baik sering berbuat salah besar, terutama ketika masih muda. Saya memang bersikap toleran terhadap orang yang berbuat zina dan kumpul kebo. Tetapi saya mencela perbuatan itu. Dan jika 2000 tahun yang lalu Yesus bertanya kepada saya mengenai hal ini, maka saya akan meminta kepadaNya agar Dia memaklumi pandangan saya, karena saya diilhami oleh kebijaksanaan moral yang dahsyat dari akhir abad 20 dan awal abad 21 ini.
Bagaimanapun juga, dan untungnya juga, bahwa Gereja Katolik tidaklah didasarkan kepada kebijaksanaan progresiv dan kebablasan yang terjadi saat ini. Sebaliknya, Gereja Katolik didasarkan kepada apa yang oleh pikiran modern saat ini dianggap sebagai ‘kebijaksanaan’ provinsial dari seorang pengkhotbah keliling yang berjalan kaki kesana kemari di Palestina pada abad pertama dulu; seorang pengkhotbah yang kita, sebagai orang Katolik, kita percayai sebagai Allah yang menjelma secara sempurna, yaitu Yesus Kristus. Paling tidak, kita mempercayai hal ini. Dan jika kita sungguh mempercayaiNya, pada saat ketika perselisihan mulai terbuka antara Yesus dengan paus yang mempermasalahkan keutuhan perkawinan, tidak terceraikannya perkawinan, meskipun sulit dan menyedihkan bagi kita untuk memisahkan diri kita dari orang yang baik seperti Puas Francis ini, tetapi kita tak punya pilihan lain kecuali berada di pihak Yesus dalam menyikapi perselisihan ini.
Marilah kita mengingat kutipan ini: Kis 5:29  “Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, katanya: "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.”
Jika kita tidak bersikap dan berbuat saat ini maka tanggul itu akan runtuh.


No comments:

Post a Comment