Friday, December 16, 2016

Vol 2 - Bab 40 : Motiv didalam menolong jiwa-jiwa suci

Volume 2 : Misteri Kerahiman Allah

Bab 40

Motiv didalam menolong jiwa-jiwa suci
Kewajiban bukan saja untuk bermurah hati, tetapi juga untuk bersikap adil
Warisan ketaatan
Pastor Rossignoli dan harta yang musnah
Thomas dari Cantimpre dan serdadu dari Charlemagne

Kita telah mengerti bahwa devosi kepada jiwa-jiwa di Api Penyucian adalah merupakan bentuk tindakan kemurahan hati. Doa-doa bagi orang yang meninggal adalah perbuatan yang suci, karena ia merupakan tindakan yang terpuji dari keutamaan yang paling besar, yaitu kemurahan hati. Kemurahan hati terhadap orang yang meninggal ini bukan saja bersifat bisa dipilih sendiri dan sukarela, dan merupakan anjuran saja, namun ia juga merupakan ajaran, tidak kurang nilainya dari pada memberi sedekah kepada orang miskin. Jika terdapat sebuah kewajiban yang bersifat umum dalam hal kemurahan hati yaitu dengan memberikan sedekah, maka betapa lebih besar lagi alasan yang ada agar kita terikat oleh hukum kemurahan hati itu dengan cara menolong saudara kita yang menderita didalam Api Penyucian.

Kewajiban kemurahan hati ini sering menjadi satu dengan kewajiban akan keadilan. Jika ada orang yang meninggal, melalui perkataan lisan maupun tertulis, menyatakan permintaannya yang terakhir kepada keluarganya dalam hal perbuatan kebajikan. Jika dia menunjuk para ahli warisnya untuk melakukan sejumlah Misa Kudus, untuk membagikan sejumlah uang sebagai sedekah, untuk melakukan perbuatan baik tertentu, maka ahli waris itu wajib, secara ketat, dari sejak saat mereka menerima harta warisan itu, untuk memenuhinya tanpa menunda-nunda permintaan terakhir dari orang yang meninggal itu.

Kewajiban yang berdasarkan rasa keadilan ini adalah lebih suci, karena warisan yang suci ini sering dianggap sebagai restitusi atau penggantian. Dari pengalaman hidup sehari-hari, apakah yang telah diajarkan kepada kita ? Apakah orang-orang segera dengan cepat menuruti ajaran agama untuk melaksanakan kewajiban suci ini dengan memperhatikan jiwa yang meninggal itu. Celaka ! Justru sebaliknya ! Sebuah keluarga yang mendapatkan harta warisan yang cukup banyak, seringkali melakukan sedikit saja sedekah demi saudara mereka yang meninggal, dengan sedikit permohonan yang menjadi haknya demi manfaat spirituilnya. Dan jika hukum manusia mendukung tindakan itu, maka para anggota keluarga ini tidak akan dipermalukan oleh tindakan mereka itu dengan berbagai alasan yang dicari-cari secara sembarangan, hingga kepada tindakan penggelapan, agar bisa membebaskan diri mereka dari kewajiban melaksanakan warisan yang suci itu. Tidaklah sia-sia jika penulis buku Imitation menarik hati kita untuk menebus dosa-dosa kita selama di dunia ini, dan tidak terlalu bergantung kepada saudara-saudara kita, yang seringkali melupakan kita, dengan tidak mau berkurban demi keringanan jiwa kita.

Hendaklah keluarga-keluarga sangat berhati-hati. Ini merupakan ketidak-adilan yang sakrilegis serta merupakan kekejaman yang mengerikan. Mencuri sesuatu dari orang yang miskin, kata Konsili ke IV di Carthago, sama dengan menjadi pembunuhnya. Apa yang akan kita katakan tentang mereka yang merampok hak dari orang yang meninggal, dimana secara tidak adil kita meluputkan doa-doa permohonan bagi mereka, meninggalkan mereka tanpa bantuan apapun, ditengah siksaan-siksaan yang amat mengerikan didalam Api Penyucian ?

Terlebih lagi, orang yang berbuat pencurian ini akan dihukum dengan keras oleh Tuhan, bahkan ketika mereka masih berada di dunia ini. Kadang-kadang kita bisa melihat suatu nasib baik menjadi hilang di tangan para pewarisnya. Kutukan semacam ini nampak menaungi beberapa ahli waris tertentu. Pada hari  Penghakiman, ketika sesuatu yang masih tersembunyi saat ini akan dibuka nanti, kita akan tahu bahwa penyebab dari kejatuhan ini sering berupa sifat kikir dan ketidak-adilan dari para ahli waris itu, yang melupakan kewajiban mereka terhadap hibah wasiat yang suci ketika mereka berhasil memilikinya.

Terjadilah di Milan, kata Pastor Rossignoli, ada suatu kebun yang terletak dekat dengan kota, yang menjadi hancur karena hujan es, sementara itu kebun disekitarnya tidak terganggu apa-apa. Peristiwa ini menarik perhatian dan keheranan dari orang banyak. Ia mengingatkan orang akan terjadinya wabah penyakit di Mesir. Hujan es telah merusakkan berbagai wilayah di Mesir serta meluputkan daerah Gessen, yang dihuni oleh anak-anak Israel. Hal ini juga dipandang sebagai siksaan yang sama. Hujan es yang misterius itu tak bisa membatasi dirinya didalam batas-batas milik orang tertentu saja tanpa mematuhi sebuah sumber perintah dan sumber penyebab yang kuat kuasanya. Orang-orang tidak tahu bagaimana menjelaskan fenomena ini, ketika terjadi penampakan suatu jiwa dari Api Penyucian mengungkapkan bahwa itu adalah sebuah pemurnian bagi orang-orang yang tidak berterima-kasih dan anak-anak yang jahat yang telah lupa melaksanakan permintaan terakhir dari ayah mereka yang meninggal, terhadap suatu perbuatan suci tertentu.

Kita tahu bahwa di semua negara dan semua tempat diceritakan adanya rumah hantu yang tidak berpenghuni, sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi pemiliknya. Jika kita mencari penyebabnya, secara umum kita akan mendapati adanya suatu jiwa yang telah dilupakan oleh keluarganya dimana dia kembali ke tempat itu untuk meminta permohonan yang setimpal. Apakah hal ini karena orang menjadi mudah percaya ?, sebagai produk imajinasi, halusinasi, atau bahkan karena suatu tipuan ?, tetapi hal itu tetaplah sebagai sebuah fakta untuk mendidik para ahli waris yang telah melupakan saudaranya yang meninggal, betapa Allah menghukum ketidak-adilam itu serta tingkah laku pencemaran itu, bahkan sejak di dunia ini. Kejadian berikut ini kita ambil dari Thomas dari Cantimpre, yang membuktikan secara jelas betapa jahatnya di mata Allah para ahli waris yang tidak mau memberikan hak dari orang yang meninggal itu. Selama perang Charlemagne ada seorang serdadu yang berani, telah menduduki jabatan yang penting dan terhormat. Cara hidupnya juga menunjukkan seorang Kristiani yang sejati. Merasa puas dengan kehidupannya, dia menahan diri dari setiap tindak kekerasan dan keributan dari kamp serdadu tak pernah bisa mencegahnya untuk melakukan tugas utamanya sebagai orang Kristiani, meskipun dalam masalah-masalah yang kecil dia bisa bersikap keras terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang sering terjadi di lingkungan profesinya. Setelah dia mencapai usia lanjut, dia jatuh sakit. Dan demi menyadari bahwa saat terakhirnya segera tiba, dia memanggil seorang kemenakannya yang sudah yatim piatu, dimana dia telah menjadi anak angkatnya, dan dia menyatakan permintaan terakhirnya kepada anak itu. “Anakku”, kata serdadu itu, “kamu tahu bahwa aku tak memiliki kekayaan untuk kuwariskan kepadamu. Aku tak memiliki apa-apa kecuali senjata dan kuda. Senjata-senjata itu adalah untukmu. Dan kuda itu, juallah nanti ketika aku akan segera menyerahkan jiwaku kepada Allah dan bagiakanlah uangnya diantara para imam dan orang-orang miskin. Agar para imam itu bisa mempersembahkan Kurban Kudus bagiku, dan orang-orang miskin itu bisa menolong aku melalui doa-doa mereka”. Keponakan itu menangis dan berjanji untuk melaksanakan permintaan itu tanpa menunda-nunda lagi. Serdadu itu segera meninggal dan keponakana itu menerima senjata serta dia menuntun kuda itu. Kuda itu amat indah dan mahal harganya. Bukannya dia segera menjualnya seperti yang dijanjikannya dulu, tetapi dia mengendarai kuda itu untuk perjalanan yang pendek. Ketika dia merasa senang dengan kuda itu, maka dia tidak ingin berpisah lagi dengan binatang itu. Dia menunda dengan berbagai alasan, bahwa tak ada dorongan yang mendesak untuk memenuhi janjinya dan dia akan menunggu hingga saat yang tepat untuk mendapatkan harga yang tinggi bagi kuda itu. Dengan menunda hari demi hari, minggu demi minggu, dari bulan ke bulan, dia berakhir dengan mematikan suara hatinya dan melupakan kewajiban sucinya yang dia miliki demi jiwa pamannya.

Enam bulan telah berlalu, ketika pada suatu hari orang yang meninggal itu nampak kepadanya sambil mempersalahkan keponakannya itu. “Orang yang malang”, katanya menuduh, “kamu telah melupakan jiwa pamanmu. Kamu telah melanggar janji suci yang telah kau ucapkan di tempat tidur kematianku dulu. Manakah Misa Kudus yang seharusnya kau laksanakan itu ? Manakah sedekah yang seharusnya kau bagikan kepada orang-orang miskin demi istirahat bagi jiwaku ? Karena kelalaianmu itu, aku menderita siksaan-siksaan didalam Api Penyucian. Akhirnya Allah telah mengasihani aku. Hari ini aku diijinkan untuk menikmati kebersamaan dengan orang-orang terberkati di Surga. Tetapi kamu, dengan penghakiman yang adil dari Tuhan, akan mati dalam beberapa hari lagi, dan kamu akan menerima siksaan yang sama yang masih tersisa bagiku karena kamu tidak menunjukkan kemurahan hati kepadaku. Kamu akan menderita dalam waktu yang sama dengan yang kualami dan setelah itu, kamu harus menebus dosa-dosamu sendiri”.

Beberapa hari kemudian keponakan itu sakit keras. Segera dia memanggil seorang imam, dan menceritakan penglihatan itu kepadanya dan dia mengakukan dosa-dosanya sambil menangis sedih. “Aku akan mati”, katanya, “dan aku menerima kematian dari tangan Allah sebagai pemurnian bagiku”. Dia bernapas panjang penuh penyesalan. Ini merupakan sebagian kecil dari penderitaan yang dinyatakan kepadanya sebagai hukuman atas ketidak-adilannya. Kami gemetar ketakutan jika memikirkan bagian yang tersisa yang akan dia alami di dunia sana.




No comments:

Post a Comment