Monday, May 3, 2021

Apa Yang Bisa Dipelajari Dari Kritikan Terhadap Amoris Laetitia

 

MAY 2, 2021 AT 1:24 AM

 

Apa Yang Bisa Dipelajari Dari Kritikan Terhadap Amoris Laetitia, Yang TIdak Dijawab Hingga Kini? 

https://www.patreon.com/posts/50730156?utm_source=ActiveCampaign&utm_medium=email&utm_content=What+do+the+unanswered+criticisms+of+Amoris+Laetitia+teach+us+today%3F&utm_campaign=What+do+the+unanswered+criticisms+of%C2%A0Amoris+Laetitia%C2%A0teach+us+today%3F

 

 


by Prof. Roberto de Mattei 

 

 

(Roberto de Mattei) Lima tahun lalu, pada 8 April 2016, Seruan Apostolik pasca-sinode Amoris Laetitia, dokumen kepausan dari paus Francis yang paling kontroversial, diterbitkan. Dokumen ini adalah hasil dari proses yang diprakarsai oleh intervensi Walter Cardinal Kasper pada konsistori Februari 2014. Tesis Kardinal Kasper tentang bagaimana Gereja harus memperbarui ajarannya tentang pernikahan, membentuk motif utama dari dua sinode tentang keluarga pada tahun 2014 dan 2015.

 

Sayangnya, nasihat terakhir Amoris Laetitia ternyata lebih buruk daripada laporan Kardinal Kasper sendiri. Sementara kardinal Jerman itu baru mengajukan beberapa pertanyaan, Amoris Laetitia malahan telah menawarkan jawabannya: membuka pintu bagi orang yang bercerai yang kemudian menikah lagi (dengan orang lain, meski belum memperoleh anulasi dari Gereja atas pernikahan sebelumnya) dan secara implisit ajaran itu mengizinkan lebih banyak pasangan kumpul kebo. Inilah mengapa, pada tahun 2017, filsuf Prof. Josef Seifert melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa Amoris Laetitia “memiliki konsekuensi logis yang menghancurkan seluruh ajaran moral Katolik.”

 

Namun, kritik yang tak terhitung banyaknya terhadap Amoris Laetitia - dalam bentuk buku, artikel, wawancara - telah membentuk sejarah Gereja lebih dari sekadar dokumen itu sendiri. Di antara kritik ini, ada dua yang menonjol, dengan cara tertentu. Yang pertama adalah Dubia. yang berupa beberapa pertanyaan yang ditujukan kepada paus dan Kongregasi untuk Ajaran Iman pada 19 September 2016, yang diajukan oleh Kardinal Walter Brandmüller, Raymond Burke, Carlo Caffarra, Joachim Meisner; yang kedua adalah Correctio filialis de haeresibus propagatis, yang ditujukan kepada paus Francis pada tanggal 11 Agustus 2017 oleh lebih dari 60 cendekiawan Katolik dan pastor, yang dalam sebulan setelah penerbitan dokumen Amoris Laetitia, kemudian jumlah mereka menjadi sebanyak 216 orang teolog, profesor, cendekiawan dari berbagai negara.

 

Baik Dubia maupun Correctio filialis memiliki pengaruh di seluruh dunia, tetapi tidak satu pun dari dokumen-dokumen ini yang mendapat tanggapan dari paus Francis. Terlepas dari kenyataan bahwa permintaan audiensi telah disampaikan kepada paus Francis pada 25 April 2017 oleh empat penulis "Dubia", dua di antaranya (Caffarra dan Meisner) sekarang telah meninggal. Penolakan Penerus Petrus itu (paus Francis) untuk menerima para kardinal yang menjadi penasihatnya, tampaknya tidak dapat dijelaskan, terlebih lagi karena Francis ingin menerapkan ‘merek dagang’ kepausannya, yang dinyatakan dalam salah satu homili pertamanya (25 Mei 2013), bahwa “Umat Kristen yang bertanya… seharusnya tidak pernah menemukan pintu tertutup.” Di sisi lain, pada tanggal 15 Maret 2021, Luis Cardinal Ladaria, Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, menanggapi sebuah dubium mengenai pertanyaan “Apakah Gereja memiliki kuasa untuk memberikan berkat kepada perkawinan orang-orang dari sesama jenis?,” dia mengatakan bahwa berkat atas perkawinan homoseksual sebagai “hal yang terlarang,” mengingat bahwa “sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap relasi homoseksual sama atau bahkan analog dengan rencana Tuhan bagi pernikahan dan keluarga.” Pernyataan ini, yang menegaskan kembali kebenaran doktrin Katolik, telah menimbulkan ledakan perbedaan pendapat, khususnya di Jerman. Tidak adanya tanggapan atas isu-isu yang diangkat oleh Dubia dan Correctio filialis, di sisi lain, telah menyebabkan kekecewaan besar dalam dunia Katolik tradisional.

 

Ajaran yang kontradiktif ini berisiko menuntun Gereja menuju perpecahan yang parah, atau lebih tepatnya menuju proses fragmentasi agama yang dapat menimbulkan konsekuensi bencana. Tanggung jawab utama dalam situasi ini terletak pada gembala tertinggi, bukan pada kawanan yang sedang kebingungan. Jumlah domba yang gila pasti akan meningkat sampai Roma membuat suaranya terdengar dengan jelas dan pasti. Dalam kebingungan ini, penerbitan dua buku yang bagus dan terdokumentasi dengan baik yang menawarkan gambaran suram tentang tragedi agama Katolik saat ini, menjadikan dua buku ini lebih tepat waktu.

 

Yang pertama, disusun oleh Voice of the Family, adalah publikasi elektronik berjudul The Unanswered Concerns about Amoris Laetitia: Why the Apostolic Exhortation Remains a Danger to Souls. Sebuah tim dari Voice of the Family hadir di Roma pada Sinode Luar Biasa pada bulan Oktober 2014 dan Sinode Biasa pada bulan Oktober 2015. Voice of the Family menghasilkan analisis mendalam tentang dokumen sinode terpenting dari perspektif para pendukung pro-kehidupan dan pro-keluarga, dan mereka mendistribusikan tulisan mereka kepada para kardinal dan uskup di seluruh dunia. Sebagai pendahuluan catatan volume, ditulis: “...ada pernyataan dalam Amoris Laetitia yang secara langsung bertentangan dengan ajaran otoritatif Gereja Katolik, dan ada pernyataan lebih lanjut yang melemahkannya tanpa secara langsung membantahnya.”

 

Jilid kedua, Defending the Faith against Present Heresies (Membela Iman terhadap Ajaran Sesat Saat Ini), diedit oleh Profesor John R.T. Lamont dan Claudio Pierantoni dan memiliki kata pengantar oleh Uskup Agung Carlo Maria Viganò. Kedua karya tersebut berisi teks Dubia dan Correcio filialis. Buku terbitan The Voice of the Family ini juga berisi “Kecaman Teologis terhadap Amoris Laetitia” oleh empat puluh lima teolog dan “Deklarasi Kebenaran yang Berhubungan dengan Beberapa Kesalahan Paling Umum dalam Kehidupan Gereja Zaman Kita” yang diterbitkan pada Mei 2019. Buku Lamont dan Pierantoni juga memuat “Surat Terbuka kepada Uskup-uskup Gereja Katolik,” “Seruan untuk Para Kardinal Gereja Katolik”, dan surat protes “Contra recentia sacrilegia.” Dalam pengantarnya, John Lamont menjelaskan bagaimana dokumen-dokumen ini muncul; buku ini juga berisi kontribusi oleh Anna M. Silvas, Pastor John Hunwicke, Claudio Pierantoni, Claire Chretien, Prof. Roberto de Mattei, Robert Fastiggi dan Dawn Eden Goldstein, Joseph Shaw, Michael Sirilla, Edward Peters, Edward Feser, Pastor Brian Harrison, John Rist , Prof.Peter A. Kwasniewski, Maike Hickson, pastor Thomas G. Weinandy, OFM Cap, Pauper Peregrinus, dan Profesor Lamont sendiri.

 

Membaca ulang teks-teks ini, saat ini, hal itu bersifat instruktif, baik dari segi bentuk maupun substansinya. Pada tahun-tahun belakangan ini, substansi teologis dari isu-isu tersebut telah hilang dan bahasanya sering menjadi kasar dan agresif. Kedua kumpulan dokumen ini, sebaliknya, membantu kita memahami bagaimana umat Katolik berbicara di dalam Gereja. Sangat disayangkan melihat hilangnya substansi teologis ini dan gaya seimbang dalam kontroversi yang bermunculan terkait vaksinasi Covid-19. Dalam debat ini, beberapa kritikus Amoris Laetitia dituding tidak konsisten, karena menerima pernyataan Kongregasi Doktrin Iman tentang vaksin yang dikeluarkan tahun 2008 dan 2015. Jawaban atas keberatan ini sederhana. Para penandatangan Correctio filialis tidak pernah mengkritik otoritas Paus atau pun Kongregasi Ajaran Iman, karena Gereja adalah masyarakat hierarkis dan tidak dapat berjalan tanpa otoritas tertinggi. Sebaliknya, mereka mengkritik dokumen yang diumumkan oleh otoritas tertinggi, menganggapnya bertentangan dengan Magisterium Gereja sebelumnya. Dalam kepatuhan pada kebenaran teologis dan moral, pengadilan tertinggi adalah hati nurani seseorang; tetapi prinsip atau norma obyektif eksternal dibutuhkan di mana hati nurani dapat didirikan. Hukum eksternal ini dinyatakan oleh Gereja melalui Magisteriumnya yang, dalam pengertian ini, merupakan norma terdekat dari iman kita. Jika hal ini diungkapkan dengan cara yang samar-samar atau ambigu, menyangkal bahkan secara implisit pada tingkat praktis kebenaran iman, mengenai, misalnya, persatuan suami-istri, umat Katolik berkewajiban untuk mengingat bahwa doktrin tentang pernikahan sakramental tidak dapat dimodifikasi oleh otoritas gerejawi mana pun, bahkan tidak oleh Paus sekali pun. Mereka yang mengkritik Amoris Laetitia tidak menggunakan hati nuraninya sendiri sebagai rujukan, tetapi menggunakan ajaran Magisterium Gereja yang abadi.

 

Saat menjelang ‘kemungkinan terjadinya perpecahan’ sekarang ini bukanlah waktu untuk memecah-belah dunia Katolik, tetapi waktu untuk menyatukannya atas dasar Tradisi Gereja. Claudio Pierantoni dalam karyanya “Reflections on a New Dialogue between Traditionalist and Conservative Catholics,” menjelaskan betapa banyak dokumen yang disajikan dalam buku ini, yang dieditnya bersama John Lamont, adalah hasil dari pertemuan menyenangkan antara perwakilan “Catholic Traditionalism” dan “Conservative Catholicism” dari jajaran mana dia berasal. “Semoga buku ini menjadi kesaksian dan contoh upaya bersama yang telah dilakukan selama empat tahun terakhir, dan menjadi penyemangat untuk tahun-tahun mendatang,” tulisnya. Saya membuat keinginan Profesor Pierantoni menjadi keinginan saya sendiri: untuk membentuk, di masa-masa sulit ini, "sebuah front ortodoksi baru yang lebih kompak." Yang dibutuhkan adalah konvergensi dan aliansi dari berbagai inisiatif klerus dan umat awam, masing-masing pada level mereka sendiri dan sesuai dengan kemungkinan yang tersedia bagi mereka, untuk menghadapi kekacauan yang mengancam kita, mempercayakan diri kita sendiri dan keberhasilan pertempuran kita untuk membantu Tuhan, dimana jika tanpa Dia maka keberhasilan tidak mungkin terjadi. Kedua buku yang baru saja diterbitkan ini menunjukkan jalannya.

 

English translation: Voice of the Family

-----------------------------------

 

Para Gembala Bukanlah Orang Upahan

Enoch, 24 April 2021

LDM, 27 April 2021

Pertempuran Terakhir Setan – Bab 1

Chrislam, Francis Dan Sebuah Agama Tunggal Dunia

Pertempuran Terakhir Setan – Bab 2

Lihatlah Mesias Baru Dari Vatikan...