Pastor Marcel Guarnizo
BERBAGAI MASALAH DARI SINODE 2014/2015:
MENERIMA KOMUNI KUDUS TANPA PERTOBATAN ADALAH SEBUAH USULAN YANG TIDAK
MUNGKIN, BAIK SECARA MORAL MAUPUN TEOLOGIS
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari
sinode 2014/2015 dan sebuah klarifikasi mengenai arti dari belas kasih
TANYA: Apakah anda melihat upaya dalam relatio (laporan sementara yang diterbitkan
di tengah proses sinode) tersebut benar-benar bersifat pastoral, atau apakah
hal itu menimbulkan masalah doktrinal?
Pastor GUARNIZO: Tidak ada sesuatu yang murni
bersifat pastoral. Praktek pastoral tidak boleh bertentangan dengan doktrin Gereja.
Praktek pastoral harus bergantung kepada pengajaran doktrinal. Praktek pelaksanaan
harus mengikuti teori.
Praktek pastoral itu ada untuk mengajar, untuk mengimplementasikan
wahyu Ilahi di dalam praktek yang dimediasi dan didefinisikan oleh Magisterium
Gereja. Bukanlah termasuk dalam yurisdiksi praktek pastoral untuk memutuskan
apa yang benar dalam deposit iman. Praktek pastoral selalu mengambil asas
panduannya dari ajaran dogmatik Gereja, bukan sebaliknya. Teologi pastoral
adalah berupa praktek yang bergantung kepada ajaran dogmatik Gereja. Berpikir
bahwa praktek pastoral akan mengatur atau bahkan menuntun teologi dogmatis
adalah sebuah kesalahan. Ilmu teoretis beserta prinsip-prinsipnya, dalam hal
ini yang diberikan oleh Pribadi Ilahi, kebenaran dan kepastiannya sama sekali
tidak tunduk kepada masalah pastoral.
Jika doktrin Ilahi dapat diputuskan kebenarannya dengan melalui
pemungutan suara, melalui pendapat publik, atau pendapat dari beberapa orang teolog
terkenal, maka doktrin semacam itu bukanlah berasal dari Tuhan. Firman Tuhan dan pengajarannya oleh Gereja
tidak dapat diubah - bukan karena beberapa diantaranya ada yang tidak
sesuai dengan kemajuan zaman tetapi karena Tuhan memang tidak dapat berubah dan
FirmanNya, demi keselamatan umat manusia – bukanlah seperti yang dikatakan oleh
manusia – FirmanNya tidak dapat dirubah. Hal ini tidak dapat berubah karena ia memang
benar.
Teologi membutuhkan banyak sekali kerendahan hati
intelektual. Tuhan tidak bisa menipu atau ditipu. Tuhan bukanlah konsultan dari
Siapa kita mencari pendapat untuk menentukan apa yang benar dan baik. Dia
adalah Kebenaran dan Kebaikan itu sendiri.
Praktek pastoral tidak bisa menentukan atau memberikan janji
kebenaran. Kebenaran dari sesuatu yang berasal dari Ilahiah adalah sudah benar sejak
sebelum ada unsur-unsur pastoral di dalam Gereja. Para ‘teolog pastoral’ yang baru
ini perlu diingatkan akan tugas dan fungsinya. Menilai wahyu Ilahi bukanlah tugas
mereka.
Pemberian Komuni Kudus kepada orang yang bercerai dan menikah
lagi, tanpa ada pembatalan perkawinan sebelumnya, adalah merupakan masalah
doktrinal di dalam Gereja Katolik, bukan masalah pastoral. Mengatakan bahwa ini
adalah masalah disiplin saja dan tidak sampai menyentuh masalah doktrin, adalah
merupakan kesalahan dalam pemikiran para pendukung teori semacam itu. Kewajiban
belas kasih untuk menolak pemberian Komuni Kudus kepada orang-orang yang berada
dalam situasi yang secara obyektif benar-benar berdosa menurut pengajaran
Gereja, adalah tugas yang sungguh mulia. Singkatnya saja, mencoba melakukan pernikahan
kedua dimana perkawinan pertamanya masih berlaku sah seperti yang diajarkan
oleh Tuhan kita dan Gereja, adalah perbuatan perzinahan. Hubungan seksual di dalam
perkawinan yang tidak benar semacam ini juga merupakan masalah yang serius dan
dengan jelas dilarang oleh Perintah Keenam, sehingga orang-orang yang terlibat
di dalamnya tidak dapat menerima Komuni Kudus. Komuni seperti ini ditolak di dalam
praktek Gereja, dan ia merupakan bentuk tindakan belas kasih.
Perintah-perintah Tuhan adalah tetap perintah-perintah Tuhan,
hal itu bukan hanya saran atau usulan dari Tuhan. Dari sudut pandang filosofis,
merubah praktek pastoral dan memberikan Komuni Kudus sambil mempertahankan kondisi
orang semacam itu untuk tetap menyimpang, akan menjadi sebuah kontradiksi logis
yang tidak boleh dilaksanakan pada tingkat praktis. Keduanya (Komuni dan perzinahan)
tidak bisa dipertahankan secara bersamaan.
Selanjutnya, memberikan Komuni akan berhubungan langsung dengan
ajaran doktrinal Gereja dalam hal-hal yang mengenai rahmat, Sakramen Pengakuan Dosa
dan otoritas Magisterium Gereja. Kardinal Kasper telah mengajukan usulan ‘jalan
pertobatan yang misterius’, yang entah bagaimana prosesnya akan ditutup dengan ‘pengakuan
dosa’ dan ‘pengampunan’. Tetapi ini adalah logika yang kontradiktiv. Dari dosa apakah
orang yang bercerai dan menikah lagi ini diampuni? Jika mereka diampuni (imam
mengampuninya berarti imam mengakui bahwa orang itu telah berbuat dosa dan menyesal),
karena perkawinan di luar Gereja atau karena hubungan seksual di luar nikah, tetapi
kemudian mereka dibiarkan kembali bertahan dan berbuat tindakan yang sama
dimana imam telah mengampuninya, dan mengapa imam mau memberi Komuni kepadanya dimana
syarat dari Komuni itu adalah penyesalan dan penolakan atas dosanya? Bagaimana
tindakan semacam itu dinyatakan berdosa dan kemudian tindakan yang sama, setelah itu, dinyatakan baik-baik saja? Hal itu
tidak masuk akal. Tidak ada imam di dalam pengakuan dosa yang dapat menyelesaikan
dilema yang tidak logis dan irasional ini. Apakah imam mengampuni mereka satu
kali dan kemudian mengatakan bahwa tindakan yang sama adalah baik-baik saja?
Jika mereka sehat secara moral setelah pengakuan dosa, mengapa mereka tidak bisa
diterima pada hari yang sama di akhir ‘jalan pertobatannya’ itu? Tidak ada
teologi yang diperlukan untuk menilai masalah ini. Ilmu pengetahuan sebelumnya,
yaitu logika dan filsafat, sudah akan mendiskualifikasi usulan ini karena ia bertentangan
dengan akal.
Akhirnya, semua imam ditugaskan untuk melayani dan melindungi
umat beriman dari kerusakan spiritual. Untuk berbuat ‘tidak membahayakan’,
adalah prinsip etika tindakan manusia yang paling mendasar dan fundamental.
Gereja mengajar melalui St. Paulus, yang mengatakan, "Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia
mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah
dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal."(1 Kor. 11: 29-30).
Tidak ada manfaatnya bagi komunikan yang secara obyektif berada
dalam kondisi dosa berat untuk menerima Komuni. Karena kita (imam-imam) memiliki
kewajiban moral untuk berusaha demi kebaikan jiwa-jiwa, maka kita tidak boleh
memberikan kepada umat apa yang secara de
facto akan bisa merusaknya. Menurut saya, sungguh sangat tidak berbelas
kasih jika kita secara sadar memberikan Komuni kepada orang-orang seperti itu.
Kita harus berpegang pada ajaran tentang penerimaan Komuni yang benar dan menasihati
jiwa-jiwa untuk tidak menerimaNya jika mereka tidak dalam keadaan rahmat, dengan
berbagai alasan. Fakta bahwa belas kasih mewajibkan kita untuk melakukan ini,
adalah salah satu alasannya. Seharusnya tidak ada rasa malu, takut, atau
ketidaknyamanan dalam hal ini. Kita tidak boleh memberikan apa yang akan
merugikan orang lain.
Tuhan kita mengajarkan syarat-syarat untuk menjadi murid, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia
harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat. 16:24).
Ini adalah perintah yang dibutuhkan oleh kebijaksanaan dan murid yang sejati.
Pertama-tama kita harus melakukan penyangkalan diri (menjauhkan diri kita dari apa
yang dilarang oleh Tuhan). Hal ini tidaklah mudah, tetapi dengan rahmat Tuhan,
kita harus memikul salib kita dan kemudian setelah itulah Dia mengundang kita
untuk mengikuti Dia. Usulan Kardinal Kasper, yang didukung oleh orang-orang lainnya
juga, menurut saya, adalah suatu antitesis (lawan) dari persyaratan Ilahi. Jika
Komuni tanpa pertobatan itu adalah mungkin, maka Tuhan kita mungkin akan mengatakan:
"Janganlah menyangkal dirimu,
janganlah memanggul salibmu, ikuti Aku saja."
Menurut saya, ini adalah sebuah pengabaian yang serius jika kita
melupakan bahwa Sakramen Pengakuan adalah tanda yang nyata dan efektif, yang
ditetapkan oleh Pribadi Ilahi sebagai sumber belas kasih yang tak ada habisnya
bagi umat manusia. Pengakuan Dosa adalah Sakramen belas kasih. Belas kasih adalah
sebuah kebajikan yang tidak bisa ada di luar sesuatu yang benar dan ia tidak
dapat ada tanpa ketaatan yang layak kepada keadilan. Adalah tidak adil dan
tidak beralasan dan sebuah kesalahan yang sangat buruk untuk mengusulkan atau
membayangkan adanya solusi manusiawi yang menawarkan jaminan diluar doktrin
atau praktek pengajaran Ilahi.
Tinjauan dan usulan di dalam relatio dari sinode mengenai semua isu lainnya, termasuk hubungan kumpul
kebo dan homosex, seakan menyatukan semua kesesatan ini. Tapi, menurut saya,
ada sedikit kerumitan dalam usulan yang ditawarkan. Semua itu mengikuti sebuah awal
yang keliru sama sekali, dan melipatgandakan bahaya bagi jiwa-jiwa umat beriman.
Jika ajaran Tuhan dan Perintah Keenam dipercaya dan dianggap perlu, maka semua
jenis hubungan seksual di luar nikah (antara pria dan wanita) akan berada di
bawah pertimbangan logis dan doktrinal yang sama. Jika hubungan seksual di luar
pernikahan dilarang oleh Perintah Keenam, maka hal itu juga akan melarang
perzinahan, homosex, dan kumpul kebo. Semua ini hanyalah jenis lain dari dosa
yang sama yang dilarang oleh Perintah Keenam, yaitu pezinahan. Tidak satupun dari
dosa ini yang dapat disarankan (untuk menerima Sakramen) tanpa bertentangan
dengan Perintah Keenam. Ini adalah pendapat saya, yang sederhana, jika dibandingkan
dengan usulan yang sedang dibahas oleh mereka (Kardinal Kasper dkk).
Silakan melihat artikel
lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment