Monday, November 13, 2017

SEORANG FILSUF BERKATA...

SEORANG FILSUF BERKATA: JIKA SEORANG PAUS MENGAJARKAN KEBOHONGAN, MAKA UMAT KATOLIK TIDAK WAJIB UNTUK MEMATUHINYA


Pete Baklinski
NEWSCATHOLIC CHURCH

9 November 2017 (LifeSiteNews) - Seorang filsuf Katolik yang terkenal mengatakan bahwa umat Katolik yang setia "berkewajiban" untuk tidak mengikuti atau mematuhi Paus jika dia secara jelas bertentangan dengan ajaran kekal Gereja Katolik.

Dr. Josef Seifert, presiden Academy for Life yang baru dibentuk dan teman dekat almarhum Paus St. Yohanes Paulus II, mengatakan bahwa umat Katolik "berkewajiban untuk tidak mempercayai (semua yang diajarkan dan ditulis oleh Paus) sebagai kebenaran jika kita melihat bahwa hal itu jelas bertentangan dengan ajaran Gereja yang kekal atau kebenaran moral yang nyata yang dapat diterima oleh akal sehat manusia, atau keduanya."

"Saya berpikir, begitu kita menemukan bahwa ajaran baru (dari paus) itu salah, maka kita wajib untuk tidak menaatinya. Dan segera setelah kita menemukan keputusan pastoral Paus yang baru tidak dapat diterapkan dalam pandangan hati nurani yang baik, seperti misalnya memberikan sakramen kepada orang-orang berdosa yang tidak mau bertobat atas dasar "pembedaan dari hati nurani mereka" (yang menurut kita adalah tidak mungkin), kalau-kalau dosa mereka itu masih sesuai dengan keberadaan mereka di dalam rahmat dengan alasan-alasan yang sangat subyektif, atau bahkan alasan yang dibuat-buat untuk membenarkan perbuatan dosa mereka, maka kita secara moral berkewajiban untuk tidak menaatinya," katanya.

Mengutip dari Kisah Para Rasul, Seifert mengatakan bahwa ketika kita sampai pada kebenaran kekal dari iman Katolik, maka umat Katolik "harus lebih taat kepada Tuhan daripada manusia." (lihat Kis.5:29)

Filsuf tersebut berkomentar dalam sebuah wawancara dengan Maike Hickson dari media OnePeterFive yang dipublikasikan pada 7 November.

Komentar-komentarnya muncul pada saat berbagai argumen antara para pemikir Katolik berkecamuk mengenai sampai sejauh mana umat Katolik berhutang kesetiaan kepada ajaran-ajaran PF yang kontroversial mengenai pernikahan, hati nurani, dan Sakramen-sakramen, khususnya yang ada di dalam Amoris Laetitia (The Joy of Love ) 2016.

Salah satu aspek yang paling kontroversial dari Amoris Laetitia adalah membuka pintu lebar-lebar bagi umat Katolik yang bercerai dan menikah kembali dan yang secara aktif hidup dalam perzinahan, untuk menerima Komuni Kudus melalui proses "pembedaan di dalam hati nurani mereka." Meskipun banyak klerus dan ahli telah bersikeras bahwa dokumen tersebut harus ditafsirkan secara tradisional, dengan mengikuti ajaran kekal Gereja, tetapi penafsiran liberal/modern telah diadopsi oleh berbagai uskup dan kelompok uskup, termasuk di Argentina, Malta, Jerman, dan Belgia.

Seifert mengatakan dalam wawancara itu bahwa banyak umat Katolik di seluruh dunia yang berusaha untuk tetap setia kepada Gereja, telah secara keliru menganggap bahwa semua ucapan paus atau tulisannya harus mereka setujui dan mereka terima tanpa syarat.

Tapi tidak bisa ada ‘kesatuan sejati dengan Paus’ kecuali ada kesatuan sebelumnya yang didasarkan pada ‘kebenaran,’ katanya.

"Untuk bersikap setuju dengan Paus, untuk memiliki persatuan dengan Paus dalam masalah yang salah, adalah tidak ada nilainya sama sekali," katanya.

"Sebaliknya: sebagaimana St. Thomas dan Kisah Para Rasul menyatakan dengan jelas, dalam kasus seperti itu maka pihak bawahan memiliki kewajiban untuk mengkritik atasannya, bahkan di depan umum, seperti halnya St. Paulus mengkritik St. Petrus," tambahnya. (lihat Gal 2:11).

Filsuf itu mengatakan bahwa memprioritaskan kebenaran di atas persatuan adalah "mutlak." Dia menekankan bahwa "kebenaran tidak hanya harus diprioritaskan di atas persatuan dan perdamaian, namun kebenaran adalah kondisi yang harus ada bagi kesatuan dan kedamaian yang otentik."

Seifert menjelaskan mengapa dia menganggap salah satu pembela terkemuka Amoris Laetitia, Profesor Rocco Buttiglione, telah bertindak salah dalam argumennya yang mengatakan bahwa umat Katolik harus mematuhi nasehat (Amoris Laetitia) tersebut.

"Buttiglione berpendapat bahwa sebagai umat Katolik, kita harus percaya bahwa apapun yang dikatakan Paus dalam pelaksanaan Magisteriumnya adalah benar, sementara itu saya setuju dengan hal itu, ya, tetapi kita juga berkewajiban untuk melihat terlebih dahulu kebenaran yang terkandung dalam dokumen magisterial itu dan cobalah menafsirkannya berdasarkan terang yang disampaikan dalam Tradisi Gereja Katolik, dan kita tidak memiliki kewajiban mutlak untuk percaya bahwa setiap bagian dari pengumuman magisterium kepausan itu memang benar atau sesuai dengan ajaran kekal Gereja, "kata Seifert.

"Selain itu, kita berkewajiban untuk tidak mempercayai bahwa hal itu benar jika kita melihat atau menemukan  bahwa hal itu bertentangan dengan a) ajaran Gereja yang kekal atau b) kebenaran moral yang nyata dapat diterima oleh akal sehat manusia, atau c) keduanya," tambahnya.

Seifert mengemukakan empat buah argumen yang menentang anggapan bahwa anjuran Amoris Laetitia itu sebagai pelaksanaan ajaran Magisterial dari Paus, yang jika memang demikian, umat Katolik akan terikat untuk mematuhinya.


  1. Karena poin-poin baru yang menentukan dari Amoris Laetitia, terutama hanya ditemukan (dituliskan) dalam catatan kaki yang tidak dapat merubah disiplin sakramental Gereja selama 2000 tahun ini, dimana hal ini dengan sungguh-sungguh ditegaskan kembali oleh nasehat apostolik Familiaris Consortio dari St. Paus Yohanes Paulus II. Catatan kaki semacam itu tidak dapat dianggap sebagai pelaksanaan ajaran Magisterium, seperti yang juga disampaikan oleh Kardinal Brandmüller dan Burke serta para Kardinal dubia lainnya dan banyak lagi lainnya.
  2. Selain itu, Paus secara eksplisit mengatakan di bab III Amoris Laetitia bahwa dia tidak ingin menyelesaikan hal baru yang menentukan di dalam Amoris Laetitia melalui magisteriumnya, namun membiarkannya terbuka untuk diputuskan oleh berbagai konferensi uskup lokal dan budaya yang berbeda dan terdesentralisasi.
  3. Dia menegaskan posisinya ini dengan menyetujui keputusan dari Episkopat Polandia untuk mengikuti FC sepenuhnya yang tidak mau mengakui seorang yang bercerai dan menikah lagi, atau memberikan Sakramen-sakramen kepada homosex aktiv yang tidak ingin mengubah cara hidup mereka, tetapi pada saat yang sama paus juga membenarkan dan memuji tindakan yang berlawanan: pengumuman Uskup-uskup Argentina di wilayah Buenos Aires, yang berbarengan dengan uskup-uskup lainnya, termasuk uskup agung Granada, yang memberikan Sakramen-sakramen kepada orang-orang yang bermasalah dalam perkawinannya itu. Uskup-uskup ini mengadopsi penafsiran yang persis berlawanan. Paus bahkan memuji pernyataan Uskup-uskup Malta yang jauh lebih radikal tentang Amoris Laetitia, yang mengajukan penafsiran Amoris Laetitia yang benar-benar melawan ajaran Kristus. Jadi, Paus Francis mengikuti gagasan yang dia ajukan tentang "desentralisasi magisterium " atau "magisteria" yang berbeda di dalam Gereja - yang kesemuanya dia setujui - sebuah gagasan yang saya dengar sendiri dari Karl Rahner yang disampaikan di Munich setengah abad yang lalu. Sekarang, logika murni mengatakan kepada kita bahwa posisi para Uskup Buenos Aires atau Malta dengan Konferensi Uskup Polandia yang secara diametris bertentangan, dimana uskup-uskup Buenos Aires dibela oleh Buttiglione, dan keduanya diakui dan disetujui oleh Paus dalam "pluralisme magisterial barunya", maka tidak mungkinlah keduanya sesuai dengan "Magisterium biasa dari Paus". Oleh karena itu, ajaran baru Amoris Laetitia (yaitu, the Buenos Aires reading) tidak bisa menjadi "Magisterium dari Paus".
  4. Pembaharuan-pembaharuan dari Amoris Laetitia bukan saja bersifat doktrinal, namun juga pastoral, dan karena itu ia lebih cocok sebagai bentuk kehati-hatian atau ketidakhati-hatian (kesembronoan) daripada kebenaran dan kepalsuan; misalnya, jika paus-paus sebelumnya meminta dalam pelaksanaan Magisterium mereka di dalam bentuk ketetapan kepausan atau ensiklis, yang menyatakan bahwa para bidaah, penyihir, dan penyihir harus dibakar di tiang pancang, atau ketika mereka di-ekskomunikasi melalui ketetapan kepausan di seluruh kota karena pangeran mereka memimpin perang melawan Vatikan, maka saya tentu tidak berkewajiban untuk percaya bahwa ini adalah keputusan pastoral yang bijaksana. Buttiglione sendiri, secara kontradiktif mengatakan bahwa ajaran baru di dalam Amoris Laetitia adalah ajaran pastoral murni dan dia juga menyatakan, setidaknya dalam suratnya kepada saya, bahwa kita tidak terikat untuk menyetujui kebijaksanaan keputusan pastoral seorang Paus yang tidak semata-mata benar atau salah, tetapi hal itu adalah kehati-hatian atau ketidakhati-hatian. Tapi dalam kasus itu saya sama sekali tidak berkewajiban untuk setuju dengan Amoris Laetitia (sesuai dengan logika yang diterapkan pada pengakuan Buttiglione), atau untuk menyetujui bahwa pedoman pastoral yang baru itu adalah bijaksana.


Seifert mengatakan bahwa ini berarti sebuah ‘papolatry’, pemujaan terhadap paus, untuk menegaskan bahwa umat Katolik ‘memiliki tugas mutlak untuk menerima segala sesuatu yang dikatakan oleh Paus atau Konsili,’ sejauh hal itu "tidak dogmatis dan mengenai iman, dan jika dia memiliki alasan yang bagus untuk berpendapat bahwa hal itu bertentangan dengan kebenaran alami atau wahyu Ilahi atau keduanya."

"Saya berpikir bahwa Magisterium Luar Biasa yang tidak dapat salah hanya berlaku untuk hal-hal penting, seperti doktrin dan keyakinan, bahwa Paus mendefinisikan 'ex cathedra' (yang hanya terjadi dua atau tiga kali dalam sejarah Gereja) atau bila sebuah Konsili, dalam persekutuan dengan Paus, yang menetapkan sesuatu sebagai dogma dan de fide sedemikian rupa sehingga siapapun yang membantahnya bisa dinyatakan sebagai 'terkutuk,' katanya.

"Magisterium Biasa Gereja yang tidak dapat salah hadir hanya dalam ajaran magisterium biasa yang sesuai dengan apa yang telah diajarkan Gereja selalu dan dimana-mana, bukan dengan ajaran yang sama sekali baru, seperti Amoris Laetitia itu. Tidak satu pun dari kriteria ‘tak bisa salah’ ini berlaku untuk hal-hal baru di dalam Amoris Laetitia, "tambahnya.

"Untuk menganggap umat Katolik yang berbeda pendapat dari Amoris Laetitia sebagai orang sesat, schismatik, secara fakta atau di dalam roh, atau dianggap tidak taat kepada Paus, adalah merupakan sebuah ketidakadilan yang serius," katanya.

Seifert dipecat dari jabatannya di universitas oleh uskup agung pada bulan September, setelah dia menerbitkan sebuah artikel di mana dia mempertanyakan ajaran Paus di dalam Amoris Laetitia.

Dia menyarankan dalam artikelnya itu bahwa jika Paus Fransiskus percaya bahwa perzinahan - mengutip omongan paus sendiri - "adalah apa yang diminta oleh Tuhan sendiri" pada yang pasangan ‘bermasalah’, maka tidak akan ada yang bisa menghentikan perbuatan jahat lainnya hingga semua itu akhirnya akan bisa dibenarkan. Dia menyebut anjuran Amoris Laetitia itu sebagai sebuah "bom atom teologis" yang memiliki kapasitas untuk menghancurkan semua ajaran moral Katolik.

Seluruh wawancara Seifert bisa dibaca di sini.


Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment