Wednesday, May 24, 2017

SEORANG PASTOR (FR. LINUS CLOVIS) BERKATA:

SEORANG PASTOR (FR. LINUS CLOVIS) BERKATA:
KITA SEDANG MENYAKSIKAN PENGGENAPAN DARI NUBUATAN ST.YOHANES PAULUS II MENGENAI SEBUAH ‘ANTI-GEREJA’



 by Pete Baklinski

ROME, May 18, 2017 (LifeSiteNews) -- Peringatan yang bernada nubuatan dari St.Yohanes Paulus II, tahun 1976,  mengenai munculnya sebuah ‘anti-Gereja’ yang akan mewartakan ‘anti-Injil’ saat ini sedang digenapi oleh para pemimpin di dalam Gereja Katolik, terutama di jajaran tertinggi, demikian kata seorang pastor (Fr. Linus Clovis) dalam sebuah pidatonya pada konperensi di Roma hari ini.
Fr. Linus Clovis dari Family Life International mengatakan hal ini dalam the Rome Life Forum yang diadakan oleh Voice of the Family, dimana dia mengatakan bahwa ‘anti-Injil’ dari ‘anti-Gereja’ itu sering tak dapat dibedakan dengan ideologi sekuler, yang memutar-balikkan hukum alam dan Sepuluh Perintah Allah.
Gerakan ‘anti-Injil’ ini, yang berusaha untuk meninggikan keinginan manusia, untuk selalu mengkonsumsi, menikmati dan mengalahkan kehendak Allah, telah ditolak oleh Kristus ketika Dia dicobai di padang gurun. Disamarkan sebagai ‘hak-hak asasi manusia’ ide itu dimunculkan kembali, dengan penuh kesombongan luciferian, untuk mempromosikan sikap narsis, hedonis, yang menolak segala hambatan kecuali yang berasal dari hukum buatan manusia, demikian lanjut Fr. Linus Clovis.
Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat 41 tahun yang lalu,  Cardinal Karol Wojtyla yang saat itu masih menjadi Uskup Agung di Cracow dan dua tahun kemudian menjadi Paus Yohanes paulus II, menyampaikan sebuah pesan nubuatan di Philadelphia, dalam kesempatan ulang tahun kemerdekaan Amerika ke 200.
Saat itu Wojtyla berkata:
Kini kita sedang berada di hadapan konfrontasi umat manusia yang terbesar dalam sejarah. Saya tidak berpikir bahwa masyarakat Amerika, atau yang lebih besar lagi: komunitas Kristiani, menyadari hal ini sepenuhnya. Kini kita sedang menghadapi konfrontasi terakhir antara Gereja dengan ‘anti-Gereja’, antara Injil melawan ‘anti-Injil’.
Kita semua harus siap menghadapi cobaan-cobaan besar dalam waktu yang tidak terlalu jauh di depan. Cobaan-cobaan yang akan menuntut kita untuk siap menyerahkan hidup kita, dan sebuah penyerahan diri yang total kepada Kristus dan demi Kristus. Melalui doa-doa anda dan saya, adalah mungkin untuk meringankan kesengsaraan itu, tetapi bukan untuk membatalkannya… Berkali-kali pembaharuan di dalam Gereja terjadi di tengah genangan darah. Maka saat inipun tidak berbeda dengan dulu.

Fr. Linus Clovis mengatakan bahwa kebangkitan ‘anti-Gereja’ telah dimulai secara perlahan namun menetap selama beberapa dekade belakangan ini, dan kemunculannya terlihat lebih jelas lagi beberapa tahun belakangan ini.
Selama setengah abad terakhir ini telah berkembang sebuah krisis di dalam Gereja yang muncul akibat ajaran yang tidak jelas dan ambigu serta membingungkan, karena terjadinya iklim perbedaan pendapat diantara imam-imam, kaum religius, maupun umat awam. Di dalam Gereja kontemporer sekarang ini krisis itu telah dibawa ke permukaan, bisa dikatakan: hingga ke titik puncaknya, dengan melalui penolakan terhadap ‘paradigma ya/tidak’ dari Allah, serta pelemahan terhadap nilai-nilai doktrinal yang telah mapan melalui praktek-praktek pastoral yang mudah sekali berubah dan tidak menentu, demikian kata Fr. Linus Clovis.
Dia mengatakan terdapat sebuah pendapat diantara umat Katolik bahwa ‘segala sesuatu yang eklesiastik dan katolik sedang runtuh dan sebuah anarki pastoral telah diterapkan di dalam Gereja.’ Dia mengatakan adanya sebuah ‘pemaksaan kekuasaan yang tersembunyi’ kini sedang berlangsung di dalam Gereja hingga mengobarkan anarki yang besar.
Kekuasaan itu bisa merubah proses anulasi perkawinan hingga bisa dilakukan tanpa adanya konsultasi dengan dikasteri Roma lebih dahulu; dilakukannya teguran yang pedas dan meluas pada kuria Roma; membersihkan keanggotaan dikasteri yang tidak sejalan dengan pemimpin, yang kemudian secara efektiv melemahkan pengaruh para pejabat yang berteguh menolak pembaharuan yang bisa merusak ajaran mengenai perkawinan dan ajaran liturgi; melumpuhkan wewenang biarawan Fransiskan Imakulata; dan kemudian menutup sama sekali kampus the John Paul II Institute di Melbourne.

Clovis berkata bahwa mengikuti bangkitnya semangat ‘anti-Gereja’ adalah merupakan serangan langsung terhadap ‘pilar ciptaan’ serta fondasi tatanan sosial, yaitu kebenaran dari relasi antara pria dan wanita seperti yang diwujudkan di dalam sebuah perkawinan dan keluarga. Dia juga mengingatkan bahwa Sr.Lucia, salah satu visiuner Fatima, pernah berkata bahwa ‘pertempuran terakhir antara Allah dengan kerajaan setan akan terjadi di bidang perkawinan dan keluarga.’
“Sudah umum diketahui bahwa mencampakkan sebuah batu fondasi beresiko runtuhnya seluruh bangunan,” katanya. “Batu fondasi itu, yang merupakan sel utama dari masyarakat, adalah berupa perkawinan dan keluarga.” Dan ‘anti-Gereja’ kini sedang bekerja keras untuk melemahkan batu fondasi itu.
“Dengan penerimaan pemakaian kontrasepsi dan perceraian, maka ‘tindakan kerahiman yang sesat itu’ telah memeluk atau menyetujui perceraian dan menikah lagi secara sipil, bahkan menyetujui ‘perkawinan’ sejenis. Beginilah batu fondasi itu telah diinjak-injak, dan titik akhir itu kini telah tercapai,” kata Fr.Clovis lagi.
Dia juga mengatakan bahwa sekularisme atheistik yang telah menyemangati gerakan ‘anti-Gereja’ telah bekerja untuk ‘meruntuhkan keluarga, dengan melalui penerimaan ideologi LGBT’. Wajah yang nampak di depan publik adalah berupa ‘pembenaran politis’ dengan pakaian pesta hari Minggu berupa ‘mental inklusivitas dan tidak menghakimi’.
Dia memperingatkan umat Katolik betapa ‘anti’gereja’ itu akan berusaha keras menipu umat beriman dengan berkedok sebagai Gereja yang benar.
Saat ini nyata sekali bahwa Gereja Katolik dan ‘anti-Gereja’ itu telah hidup bersama dan bekerja-sama di bidang sakramental, liturgis dan juridis dalam Gereja Katolik. Anti-Gereja telah semakin kuat dimana kini ia berusaha memperkenalkan dirinya sebagai Gereja yang benar, dengan lebih mudah melantik ataupun memaksa umat beriman agar mau menerima, membela dan mempromosikan ideologi sekulernya.
Jika anti-Gereja ini telah berhasil menguasai dan memerintah segala sendi dari Gereja yang benar, maka hak-hak manusia akan melampaui hak-hak Allah melalui pencemaran terhadap Sakramen-sakramen, pencemaran tempat kudus, serta penyalah-gunaan kekuasaan apostolik.
Begitulah saat ini banyak politisi ataupun tokoh-tokoh terkenal yang mendukung tindakan aborsi dan perkawinan sejenis bisa dengan mudahnya menerima Komuni Kudus; suami atau istri yang meninggalkan pasangannya dan anak-anak mereka, dan kemudian menjalin relasi perzinahan dengan orang lain kini diijinkan untuk menerima Sakramen-sakramen; imam-imam atau teolog yang secara terbuka menolak doktrin-doktrin dan moral Katolik bisa dengan bebas dan lancar melanjutkan tugas perutusan mereka serta menyebarkan kesesatan mereka. Sementara itu umat Katolik yang tetap setia kepada ajaran Yesus Kristus dipinggirkan, diancam dan dianiaya dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian anti-Gereja itu akan berhasil mendapatkan tujuannya yaitu melengserkan Allah dari TahtaNya sebagai Pencipta, Juru Selamat dan Pengudus, serta menggantikanNya dengan manusia yang menganggap dirinya sebagai pencipta, juru selamat, serta pengudus.

Fr.Clovis berkata bahwa anti-Gereja itu berusaha mencapai tujuannya dengan mengalahkan Gereja yang benar dengan cara mengancam umat beriman, termasuk umat awam, imam-imam, uskup-uskup agar mereka tunduk kepadanya.
Untuk mencapai tujuannya, anti-Gereja, bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan sekuler, menggunakan hukum dan media massa untuk menjatuhkan Gereja yang benar beserta ajarannya. Dengan penggunaan media yang cerdik, para aktivis anti-Gereja telah berhasil mengintimidasi para uskup, klerus dan sebagian besar pers Katolik untuk bersikap diam. Dengan cara yang sama, umat awam akan diteror oleh ketakutan akan permusuhan, penolakan, ejekan dan kebencian yang akan mereka hadapi jika mereka keberatan dengan penerapan ideologi LGBT. Sebagai contoh, pada tahun 2015, kongregasi St Nicholas dari Myra dari Keuskupan Agung Dublin memberikan tepuk tangan meriah kepada pastor paroki mereka ketika dia mengumumkan dari atas mimbar bahwa dirinya adalah seorang gay dan mendesak semua peserta yang hadir agar mendukung pernikahan sesama jenis di dalam referendum Irlandia nanti. Tidaklah sulit untuk membayangkan bagaimana pengasuhan pastoral yang akan diterima oleh umat setempat. Dengan demikian, pengaruh yang menindas dari anti-Gereja paling jelas terlihat ketika seseorang takut untuk secara terbuka memegang teguh dan mengakui ajaran Tuhan tentang homoseksualitas, aborsi atau kontrasepsi di tengah komunitas paroki mereka.
Sementara itu anti-Gereja terutama menarget para imam dan uskup untuk menyuarakan ajaran anti-Injil, karena mereka tahu bahwa sekali saja imam-imam dan uskup-uskup itu kalah, mereka akan membawa serta tak terbilang banyaknya jiwa-jiwa untuk menjauhi Gereja yang benar. 
Imam-imam dan uskup-uskup adalah para pemimpin yang terdekat dengan umat dan mereka ditekan untuk menyebar-luaskan rasa ketakutan yang ditimbulkan oleh anti-Gereja. Selain itu karena sumpah ketaatan dan hormat para klerus, maka rasa takut mereka semakin besar terutama ketika mereka mengetahui bahwa sesama mereka terpecah-belah. Persatuan mereka terkoyak. Disiplin sakramental yang telah lama mereka laksanakan, kini mereka langgar sendiri. Hukum Canon diabaikan. Semangat pewartaan mereka menjadi loyo, karena takut dianggap sebagai ‘kristenisasi’ dan sangat tidak masuk akal.
Dalam hal pribadi mereka, mereka dicap sebagai monster-monster kecil yang melemparkan batu kepada para pendosa yang malang, ataupun merendahkan peranan Sakramen Tobat seolah seperti kamar penyiksaan, dengan bersembunyi dibalik ajaran-ajaran Gereja, duduk di kursi Musa dan terus menghakimi setiap saat dengan perasaan keunggulan dan kedangkalannya.
Sebagai kaum klerus, mereka memandang dirinya tidak layak menerima perhatian dari paus, merasa lebih rendah daripada tokoh dan jagoan aborsi dari Italia, Emma Bonino, dan bahkan para klerus itu merasa dirinya tidak layak menerima rehabilitasi dibandingkan dengan nabi palsu dan pembela gerakan aborsi internasional, penganjur pembatasan jumlah penduduk,Paul Ehrlich, yang diberi kesempatan untuk berpidato di Vatikan guna menyampaikan buah pikirnya.
Sebagai imam-imam mereka diharuskan meminta maaf kepada kaum gay dan mereka diberitahu bahwa ‘sebagian besar’ perkawinan Katolik yang mereka berkati adalah tidak sah. Selain itu mereka dianggap sebagai ‘mesin pengucap doa’ dan karena mereka menganggap bahwa mengikuti Misa Kudus dan sering mengaku dosa adalah penting, maka mereka dicap sebagai Pelagians.  
Sebagai umat Katolik, maka devosi Lima Sabtu Pertama memang dianjurkan sebagai silih atas penghujatan terhadap Bunda Maria, maka secara pribadi para klerus itu dihadapkan kepada ‘renungan-renungan’ yang mengerikan dimana diatas Kalvari Bunda Maria menjadi Ibu dari semua orang yang ditebus oleh Kristus, mungkin ini adalah Perawan Kudus Fatima, yang di dalam hatinya berkata kepada Tuhan: “Bohong! Bohong! Aku telah ditipu!.” Seperti pohon-pohon di hutan bergoyang oleh hembusan angin, maka hati para klerus itu juga terguncang oleh rasa takut akan kemungkinan dirinya dituduh sebagai ‘lebih Katolik daripada paus.’

Fr.Clovis menyebut pengaruh PF di dalam Gereja sebagai ‘berkat yang benar dan besar’ karena ajaran-ajaran yang ambisius dari PF telah mempromosikan dan mendorong munculnya anti-Gereja dari balik bayang-bayang, yang terlihat jelas oleh seluruh umat beriman. Saat ini umat beriman memiliki sebuah pilihan yang jelas : tuan manakah yang akan mereka ikuti.
“Sebuah konflik tersembunyi sedang berkecamuk di dalam Gereja selama lebih dari seratus tahun: konflik yang dinyatakan secara jelas kepada Paus Leo XIII, konflik yang dinyatakan sebagian kepada St.Pius X, konflik yang ditabur di dalam KV II. Dan dibawah pemerintahan PF, paus Jesuit pertama dari benua Amerika, paus pertama yang tahbisan imamatnya memakai Ritus Baru, konflik itu meletus keluar dengan potensi untuk merusak Gereja dan terlebih lagi merusak umat beriman,” demikian kata Fr.Clovis.
Dia mengatakan bahwa Amoris Laetitia dari PF adalah contoh dari sebuah kekuatan yang bekerja di dalam Gereja saat ini dan menorehkan garis pertempuran antara anti-Gereja dengan Gereja sejati dari Yesus Kristus.
“Anjuran apostolik Amoris Laetitia adalah merupakan katalis yang memecah-belah para uskup dan konperensi waligereja, memecah-belah imam dari uskupnya serta dengan sesamanya. Sedangkan umat awam menjadi cemas, penasaran dan kebingungan,” demikian kata Fr.Clovis selanjutnya.
“Seperti kuda Troya, Amoris Laetitia menimbulkan kehancuran spirituil bagi seluruh Gereja. Sebagai sebuah tantangan, Amoris Laetitia mengundang keberanian untuk mengatasi rasa takut. Tetapi dalam hal apapun, kita harus siap untuk memisahkan anti-Gereja, seperti yang dikatakan oleh St.Yohanes Paulus II, dari Gereja yang benar yang didirikan oleh Kristus. Sementara pemisahan itu mulai dilakukan, maka kita masing-masing, seperti para malaikat, harus memutuskan bagi diri kita sendiri, apakah kita akan berpihak kepada Lucifer atau tidak,” Clovis menambahkan.
Clovis juga menunjuk kepada ulang tahun ke 100 penampakan Bunda Maria di Fatima. Dia mengatakan bahwa Bunda Maria telah mengajukan sebuah strategi yang jika kita laksanakan akan bisa memberikan keselamatan bagi sejumlah besar jiwa-jiwa.
“Strategi itu mensyaratkan bahwa untuk bisa ‘menyenangkan Allah, yang saat ini telah sangat ditentang, maka tiga buah syarat harus dilaksanakan, yaitu reformasi moral yang sejalan dengan hukum alam dan hukum Ilahi, devosi Lima Sabtu Pertama dan Konsekrasi Rusia kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda,” demikian kata Clovis.
“Kemudian untuk menekankan betapa gawatnya situasi dari saat-saat yang terus mendekat ini, Sang Perawan, dengan perhatian keibuan yang penuh kasih, memperingatkan tentang akibat-akibatnya jika manusia mengabaikan pesannya: peperangan, Rusia menyebarkan kesesatannya, penganiayaan terhadap Gereja dan Bapa Suci. Bunda Maria menutup pesannya saat itu dengan pesan yang penuh pengharapan: ‘pada akhirnya nanti Hatiku Yang Tak Bernoda akan menang dan sebuah masa damai tertentu akan diberikan kepada dunia.”
Fr.Clovis berkata bahwa umat Katolik yang ingin tetap setia kepada Kristus dan Gereja yang didirikanNya tidak perlu merasa takut akan kekacauan yang terjadi saat ini.
“Pada saat Pembaptisan kita telah menjadi anggota Gereja yang militan, dan pada saat menerima Sakramen Krisma kita telah menjadi para prajurit Kristus. Karena itu kita telah direkrut dan dipersenjatai untuk melakukan pertempuran yang mematikan melawan tiga musuh utama jiwa kita: dunia, daging dan iblis.”
“Dengan menyadari bahwa kita berperang bukan melawan daging dan darah, tetapi melawan kerajaan, kekuatan serta penguasa dunia dari saat kegelapan ini, melawan seluruh pasukan spirituil durhaka di langit, maka kita harus berjuang seperti para rasul, dengan contoh dari para martir dan Yesus Kristus, dan Yesus Kristus sendiri yang akan menjadi hadiah bagi kita.”


Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment