Friday, September 30, 2016

Vol 2 - Bab 18 : Keringanan bagi jiwa-jiwa

Volume 2 : Misteri Kerahiman Allah

Bab 18

Keringanan bagi jiwa-jiwa
Misa Kudus
St.Malachy di Clairvaux
Sr.Zenaide
Joseph Anchieta dan Misa Requiem

Kita tak boleh lupa untuk memperhitungkan rahmat istimewa yang dimiliki oleh sifat kemurahan hati St.Malachy kepada jiwa-jiwa suci yang meminta bantuannya. Suatu hari ketika bersama–sama dengan beberapa orang suci lain, dan ketika mereka sedang membicarakan masalah-masalah rohani, tiba-tiba St.Malachy berbicara :”Jika pilihan diberikan kepada kalian, pada tempat dan jam berapa kalian mau meninggal ?”. Atas pertanyaan ini satu orang menjawab bahwa dia ingin meninggal pada hari pesta tertentu dari Gereja, yang lain menjawab pada jam tertentu, dan yang lainnya lagi menjawab ingin meninggal pada tempat tertentu. Ketika tiba giliran orang kudus itu, dia menjawab bahwa tak ada tempat lain dimana dia akan bersedia meninggal kecuali di biara Clairvaux, yang dipimpin oleh St.Bernard, agar dia bisa segera menikmati manfaat dari kurban-kurban para religius disitu yang sangat bersemangat berdoa. Dan mengenai waktunya dia mengatakan bahwa pada hari Pesta Seluruh Jiwa-jiwa agar dia bisa menjadi bagian didalam seluruh Misa Kudus dan seluruh doa-doa yang dipersembahkan diseluruh dunia Katolik bagi orang yang meninggal.

Keinginan yang suci ini ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Ketika dia sedang dalam perjalanan ke Roma untuk mengunjungi Paus Eugenius III, ketika dia tiba di Clairvaux, beberapa hari sebelum hari pesta Seluruh Jiwa-jiwa, dia mengalami sakit berat, yang memaksanya untuk tetap tinggal di biara suci itu. Segera dia menyadari bahwa Tuhan telah mendengarkan doa-doanya yang berseru bersama-sama para nabi, :’Inilah istirahatku untuk selama-lamanya. Disini aku akan tinggal, karena aku telah memilihnya’ (Mzm. 131). Kenyataannya, hari sesudah pesta Seluruh Jiwa-jiwa, sementara seluruh Gereja berdoa bagi orang-orang yang meninggal, Malachy menyerahkan jiwanya di tangan Penciptanya.

“Kita telah tahu”, kata Pastor Kepala Postel, “seorang religius yang suci, Suster Zenaide, yang menderita penyakit yang amat mengerikan selama beberapa tahun, memohon rahmat kepada Tuhan kita agar dia bisa mati pada hari pesta Seluruh Jiwa-jiwa, kepada siapa dia telah berdevosi secara sungguh-sungguh. Keinginan Suster Zenaide dikabulkan oleh Tuhan. Pada tanggal 2 Nopember pagi, setelah dua tahun menderita dimana hal itu ditanggungnya dengan keberanian seorang Kristiani, dia mulai menyanyikan hymne syukur dan perlahan-lahan dia menghembuskan napasnya yang terakhir, beberapa saat sebelum perayaan Misa Kudus dimulai.

Kita tahu bahwa didalam liturgi Gereja Katolik, ada sebuah misa khusus bagi orang yang meninggal. Hal itu dirayakan dengan mengenakan pakaian hitam, dan disebut juga sebagai Misa Reguiem. Mungkin saja ada orang yang mempertanyakan apakah Misa Kudus ini lebih bermanfaat bagi jiwa-jiwa dari pada Misa Kudus yang lain ? Kurban Misa Kudus, dengan berbagai macam upacaranya adalah selalu sama dan tetap dengan melibatkan Kurban Tubuh dan Darah Yesus Kristus Yang Maha Kudus. Namun karena Misa Kudus bagi orang yang meninggal berisi doa-doa yang khusus bagi jiwa-jiwa suci itu, maka ia juga mendatangkan pertolongan yang khusus pula bagi jiwa-jiwa itu, paling tidak pada saat ketika hukum liturgi mengijinkan imam untuk merayakannya dengan jubah hitam. Pendapat ini berdasarkan kepada institusi dan tindakan Gereja, dan diteguhkan oleh sebuah fakta yang kita baca didalam biografi Pastor Joseph Anchieta Venerabilis.

Religius yang suci ini yang diberi julukan ‘the Wonder Worker dari Brasil’, seperti para kudus lainnya, memiliki kemurahan hati yang besar kepada jiwa-jiwa suci di Api Penyucian. Suatu hari selama perayaan oktav Natal, ketika Gereja melarang perayaan Misa Requiem, pada 27 Desember, pesta dari St.Yohanes Penginjil, hamba Allah ini secara mengejutkan semua orang, naik ke altar dengan jubah hitam dan mempersembahkan Misa Kudus bagi orang yang meninggal.

Atasannya, Pastor Nobrega, dia mengetahui kesucian Anchieta, tidak ragu lagi berpendapat bahwa Anchieta telah menerima sebuah ilham yang ilahiah. Namun untuk membersihkan tindakan itu dari sifat ‘menentang aturan’, dia menegur orang suci itu dihadapan semua religius lainnya. Pastor Nobrega bertanya :”Apakah Pastor tidak tahu bahwa Gereja melarang perayaan Misa Kudus dengan jubah hitam pada hari ini ? Lupakah anda akan aturan yang ditetapkan ?.

Pastor yang baik itu dengan amat patuh dan rendah hati menjawab dengan hormat dan sederhana bahwa Tuhan telah menyatakan kepadanya tentang kematian seorang Pastor dari komunitas itu. Pastor ini sahabat kuliahnya di University of Coimbra yang pada saat itu tinggal di Italia, di College dari the House of Loreto yang suci itu, dan dia meninggal pada malam yang sama itu. Dia meneruskan berkata :”Tuhan memberitahukan hal itu kepadaku dan membuatku mengerti bahwa aku harus mempersembahkan Kurban Kudus segera bagi dia, dan melakukan dengan segenap kekuatanku demi istirahat bagi jiwanya”. “Namun”, kata Pastor Kepala, “bagaimana anda tahu bahwa Misa Kudus yang telah anda lakukan itu akan bermanfaat baginya ?”. “Ya”, jawab Anchieta jujur dan sopan, “segera setelah doa memento bagi orang yang meninggal, ketika aku mengatakan kalimat ini : ‘KepadaMu, Allah Bapa Yang Maha Kuasa, didalam persekutuan dengan Roh Kudus segala hormat dan kemuliaan !’, maka Tuhan menunjukkan kepadaku jiwa dari sahabatku itu, dibebaskan dari segala penderitaannya dan dia naik ke Surga dimana mahkotanya telah menunggunya”.



No comments:

Post a Comment