Friday, November 15, 2019

Di dalam Lemari Vatikan – 7. Bab 5 – Sinode


 

 

DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel




KEKUASAAN

HOMOSEXUALITAS

KEMUNAFIKAN

 

 

  

DAFTAR ISI


CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT


Bab 1. Domus Sanctae Marthae
Bab 2. Teori Gender
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
Bab 4. Buenos Aires
Bab 5. Sinode










BAGIAN I

FRANCIS




Bab 5
Sinode



"Sudah ada reaksi."

Lorenzo Baldisseri adalah pria yang tenang dan bijaksana. Dan pada tahap ini dari percakapan kami, kardinal memilih kata-katanya dengan lebih hati-hati, dengan sangat hati-hati. Dia meluangkan waktu sejenak sebelum mengatakan tentang Sinode Keluarga: "Sudah ada reaksi."

Saya mendengarkan Baldisseri memainkan piano. Dia menghabiskan sebagian waktunya disitu, tidak seperti banyak pianis lain, yang tidak bisa berhenti berlomba. Dengan tenang dia menafsirkan komposer yang sangat dia sukai: Vittorio Monti, Erik Satie, Claude Debussy atau Frédéric Chopin. Dan saya suka iramanya, khususnya dalam karya-karya yang dia kuasai, seperti ‘the danzas españolas’ karya Enrique Granados atau 'Ave Maria' oleh Giulio Caccini.

Di kantornya yang besar di Vatikan, kardinal Baldisseri telah memasang baby grand piano-nya, yang telah dia ajak pergi bersamanya ke mana-mana sejak Miami, tempat dia membelinya, ketika dia menjadi nuncio di Haiti. Ini adalah piano yang sering ‘berkelana’, yang telah mengunjungi Paraguay, India, dan Nepal, dan tinggal selama sembilan tahun di Brasil!

“Saya memainkan piano dari pukul delapan hingga sebelas setiap malam di kantor ini. Saya tidak bisa bekerja tanpa piano. Di sini, di Vatikan, mereka memanggil saya pianis Tuhan!” tambahnya sambil terkekeh.

Seorang kardinal memainkan piano sendiri, pada malam hari, di istana yang sepi di Vatikan: ini adalah gambaran yang mempesona. Baldisseri memberi saya tiga CD yang dibawakan oleh the Libreria Editrice Vaticana. Miliknya.

“Saya juga melakukan konser. Saya bermain untuk Paus Benediktus XVI di kediaman musim panasnya di Castel Gandolfo. Tapi dia orang Jerman, dia suka Mozart! Saya orang Italia: Saya romantis!”

Pada usia 78, kardinal-musisi ini, untuk mempertahankan sentuhan dan ketangkasannya, dia bermain setiap hari, di mana pun dia berada, di kantor, di rumah atau di hari libur.

“Saya bahkan pernah bermain untuk Paus Francis. Itu adalah sebuah tantangan. Dia tidak terlalu suka musik!"

Baldisseri adalah salah satu pria tangan kanan Francis. Sejak pemilihan Francis, yang dikontribusikan oleh Baldisseri, sebagai sekretaris konklaf, paus baru ini telah memberi tugas kepada uskup Italia itu untuk mempersiapkan Sinode Luar Biasa tentang Keluarga, pada tahun 2014–15, dan kemudian satu sinode tentang kaum muda pada tahun 2018. Dan dia juga dijadikan kardinal, untuk memberinya otoritas yang diperlukan.

Sebuah sinode yang disebut oleh paus sebagai momen penting bagi Gereja. Menyatukan para kardinal dan sejumlah besar uskup dalam sebuah majelis, memberi kesempatan untuk memperdebatkan pertanyaan-pertanyaan mendasar dan masalah-masalah doktrin. Keluarga adalah salah satunya, dan itu adalah masalah yang lebih sensitif daripada yang lain.

Sejak awal Francis tahu bahwa agar gagasannya diterima, dan bukan untuk menyerang para kardinal yang kaku, yang kebanyakan dari mereka ditunjuk oleh John Paul II dan Benediktus XVI, maka dia harus memainkan diplomasi. Baldisseri adalah nuncio, dilatih di sekolah diplomatik yang hebat, sekolahnya Casaroli dan Silvestrini, bukan sekolah yang lebih modern, yaitu sekolahnya Sodano dan Bertone.

“Saya bekerja dalam semangat keterbukaan. Panutan kami adalah Konsili Vatikan II: menghidupkan perdebatan, menarik bagi orang awam dan kaum intelektual, meresmikan metode baru, pendekatan baru. Selain itu, itu adalah gaya Francis: seorang paus Amerika Latin, terbuka, mudah diakses, berperilaku seperti seorang uskup sederhana.”

Apakah dia cukup berpengalaman? Apakah dia tidak berhati-hati?

“Saya sangat baru dalam hal ini, itu benar. Saya belajar segalanya tentang sinode pertama itu (sinode tentang keluarga – 2014). Tidak ada yang tabu di dalamnya, tidak ada yang ditahan-tahan. Semua pertanyaan terbuka. Penuh semangat! Semuanya ada di atas meja: selibat imamat, homoseksualitas, pemberian Komuni untuk pasangan yang bercerai dan menikah lagi secara sipil, penahbisan wanita ... Semua debat dibuka sekaligus.”

Dikelilingi oleh tim kecil yang sensitif, ceria dan banyak senyum, beberapa di antaranya saya temui di kantor sekretariat Sinode - Uskup Agung Bruno Forte, Peter Erdö, dan Fabio Fabene, semuanya adalah orang-orang yang dipromosikan oleh paus Francis - Lorenzo Baldisseri membangun ‘mesin perang’ yang sesungguhnya untuk melayani Francis.

Sejak awal, geng Baldisseri bekerja dengan para kardinal yang paling mendukung, terbuka dan ramah terhadap kaum gay: Walter Kasper dari Jerman, kepala kelompok liberal di Vatikan, yang bertanggung jawab atas penulisan laporan persiapan sinode, serta uskup Austria, Christoph Schönborn, dan uskup Honduras, Óscar Maradiaga, semuanya teman pribadi paus Francis.

“Barisan kami pada dasarnya adalah Kasper. Tetapi yang juga penting adalah metodenya. Paus ingin membuka semua pintu dan jendela. Perdebatan harus terjadi di mana-mana, di konferensi-konferensi uskup, di keuskupan-keuskupan, di antara umat beriman. Umat ​​Allah harus memilih,” demikian Baldisseri berkata kepada saya.

Metode ini tidak pernah terdengar. Dan betapa perubahan dari John Paul II, pola dasar dari ‘control freak’, atau Benedict XVI, yang menolak untuk membuka perdebatan semacam ini, baik karena prinsip maupun karena rasa takut. Dengan mendelegasikan persiapan Sinode kepada fondasi dasar, dengan menyebarkan konsultasi besar atas 38 pertanyaan ke seluruh dunia, Francis berpikir dia dapat mengubah kesepakatan yang ada sebelumnya. Dia ingin membuat Gereja bergerak. Dengan melakukan hal itu, dia berusaha untuk mengatasi Kuria, dan para kardinal yang ada - yang terbiasa dengan teokrasi absolut dan infalibilitas kepausan – dan dia segera melihat jebakan itu.

"Kami sudah mengubah kebiasaan, itu benar. Ini adalah metode yang mengejutkan orang,” kata kardinal itu kepada saya dengan hati-hati.

Geng Baldisseri adalah pekerja cepat, itu sudah pasti. Dengan rasa percaya diri dan mungkin bahkan bodoh, Walter Kasper mengumumkan di depan umum, bahkan sebelum Sinode, bahwa 'perkawinan homoseksual, jika mereka hidup dengan cara yang tenang dan bertanggung jawab, adalah terhormat'. Terhormat? Kata itu sendiri sudah merupakan pernyataan jelas darinya.

Atas dasar misi pengintaian besar itu, sekretaris Sinode harus menyiapkan teks pendahuluan yang akan didiskusikan oleh para kardinal. “Teks itu memang diperdebatkan. Berbagai tanggapan datang secara massal, dari mana-mana, dalam semua bahasa. Konferensi-konferensi uskup lokal menjawab; para ahli menjawab; banyak orang juga menjawab,” kata Baldisseri senang.

Sekitar lima belas imam dimobilisasi untuk membaca semua catatan ini - surat-surat yang masuk ribuan, banjir surat secara tak terduga, gelombang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka juga harus berurusan dengan jawaban dari 114 konferensi keuskupan lokal dan hampir 800 asosiasi Katolik, dalam bahasa yang tak terhitung jumlahnya. Pada saat yang sama, beberapa sekretaris (termasuk setidaknya satu aktivis homoseksual yang saya temui) dimobilisasi untuk menulis draf teks pertama yang akan, setahun kemudian, menjadi nasihat kerasulan yang terkenal: Amoris laetitia.

Satu pernyataan sengaja ditambahkan ke dalam draft dokumen ini: ‘Kaum homoseksual memiliki karunia-karunia dan kualitas untuk ditawarkan kepada komunitas Kristiani.’ Yang lain adalah referensi eksplisit untuk AIDS: 'Tanpa menyangkal adanya daerah-daerah yang bermasalah secara moral, yang berhubungan dengan relasi homoseksual, kami mencatat bahwa ada kasus-kasus ketika saling mendukung, sampai bersedia untuk berkorban, merupakan bantuan berharga bagi kehidupan para pasangan homosex.'

"Francis datang ke sini setiap minggu," Baldisseri memberitahu saya. "Dia secara pribadi memimpin sesi di mana kami memperdebatkan berbagai proposisi."

Mengapa Francis memilih untuk membahas pertanyaan tentang keluarga dan moralitas seksual? Terlepas dari Kardinal Baldisseri, dan beberapa kolaboratornya, saya pergi untuk menginterogasi lusinan kardinal, uskup dan nuncios, di Roma dan 30 negara, para penentang atau pendukung Francis, partisan atau musuh Sinode. Diskusi-diskusi itu memungkinkan saya untuk menelusuri kembali rencana rahasia dari paus dan pertempuran tak terbayangkan yang akan segera terjadi antara dua faksi homoseksual di dalam Gereja.

Sejak awal kepausannya, paus telah menempatkan Kuria pada pengawasannya secara ketat, menyangkut urusan keuangan dan masalah seksual: “Kita semua adalah orang berdosa, tetapi kita tidak semuanya korup. Orang berdosa harus diterima, bukan orang yang korup." Paus berusaha mengecam kehidupan ganda, dan memberitakan semboyan ‘toleransi nol.’

Bahkan lebih dari kaum tradisionalis dan konservatif, orang-orang yang dibenci oleh Francis di atas semuanya, seperti yang telah kita lihat, adalah orang-orang munafik yang kaku. Mengapa terus menentang pemberian sakramen kepada orang yang bercerai yang telah menikah kembali, ketika ada begitu banyak imam yang hidup bersama wanita di Amerika Latin dan Afrika? Mengapa terus membenci kaum homosex ketika ada begitu banyak homosex di antara para kardinal dan orang-orang di sekitarnya, di Vatikan? Bagaimana cara mereformasi Kuria, yang terjerat dalam penyangkalan dan kebohongan, ketika ada sejumlah kardinal dan mayoritas sekretaris negara sejak 1980 mempraktikkan kehidupan yang bertolak belakang (tiga dari empat adalah homosex, demikian menurut informasi yang saya dapatkan)? Jika sudah waktunya untuk melakukan pembersihan, seperti yang mereka katakan, dari manakah kita memulainya ketika Gereja sudah berada di tepi jurang, karena kehancurannya yang sudah terprogram seperti ini?

Ketika Francis mendengar lawan-lawannya, para kardinal yang tidak fleksibel ini, menyampaikan pidato konservatif dan homofobik dan menerbitkan teks-teks yang menentang liberalisme seksualnya - orang-orang seperti Raymond Burke, Carlo Caffarra, Joachim Meisner, Gerhard Ludwig Müller, Walter Brandmüller, Mauro Piacenza, Velasio De Paolis, Tarcisio Bertone , George Pell, Angelo Bagnasco, Antonio Cañizares, Kurt Koch, Paul Josef Cordes, Willem Eijk, Joseph Levada, Marc Ouellet, Antonio Rouco Varela, Juan Luis Cipriani, Juan Sandoval igñiguez, Norberto Rivera, Javier Errázuriz, Angelo Scola, Camillo Ruini, Robert Sarah dan banyak lagi lainnya – Francis sendiri, tidak bisa tidak, akan terlempar ke bawah.

Yang paling penting, Francis merasa jengkel dengan kasus-kasus pelecehan seksual – ada ribuan, bahkan ratusan ribu - yang menjangkiti Gereja Katolik di seluruh dunia. Setiap minggu dakwaan baru diajukan, para uskup dituduh atau dinyatakan bersalah, para imam dihukum, dan skandal demi skandal terus berdatangan. Dalam lebih dari 80 persen kasus, urusan ini menyangkut pelecehan homosex - sangat jarang yang heterosex.

Di Amerika Latin, keuskupan telah sangat dikompromikan dengan dunia dan mereka dicurigai oleh pers dan korban menyepelekan dan mengabaikan fakta - di Meksiko (Norberto Rivera dan Juan Sandoval igñiguez) dan Peru (Juan Luis Cipriani). Di Chili, skandal itu sedemikian rupa besarnya sehingga semua uskup di negara itu harus mengundurkan diri, sementara sebagian besar nuncio dan wali gereja, dimulai dengan Kardinal Javier Errázuriz dan Riccardo Ezzati, dengan banyak jari menunjuk pada kesalahan mereka karena mengabaikan tuduhan pelecehan seksual. Di mana pun Anda melihat, Gereja telah dikritik atas penanganan pelecehan seksual, hingga tingkat tertinggi: di Austria (Hans Hermann Groër), di Skotlandia dan Irlandia (Keith O'Brien, Sean Brady), di Perancis (Philippe Barbarin), di Belgia (Godfried Danneels), dan seterusnya hingga ke Amerika Serikat, Jerman dll. Di Australia, adalah 'menteri' ekonomi Vatikan, George Pell, yang dituntut dan diadili di Melbourne. Ada lusinan kardinal – jika mereka tidak dituduh melakukan tindakan sexual seperti itu – mereka dikecam, dengan langsung menyebut nama, di media atau dipanggil oleh para penegak hukum karena menutup-nutupi kasus kejahatan, apakah dengan kekuasaan atau kemunafikan, terhadap berbagai kejahatan seksual yang dilakukan oleh para pastor. Di Italia, kasus-kasus dari jenis yang sama terus berkembang biak, yang melibatkan lusinan uskup dan beberapa kardinal, meskipun pihak pers, anehnya, menunjukkan sikap diam daripada mengungkapkannya. Tetapi paus dan rombongan langsungnya tahu bahwa tanggul itu akhirnya akan jebol juga, terutama di Italia.

Dalam sebuah diskusi informal di Roma, Kardinal Marc Ouellet, Prefek Kongregasi untuk Para Uskup, menggambarkan kepada saya adanya ledakan yang tak terbayangkan dalam kasus-kasus pelecehan seksual. Dia adalah pakar dalam dua ‘bahasa politik’: dia adalah seorang Ratzingerian yang mengaku membela Paus Francis. Angka-angka yang disampaikan Québécois kepada saya sangat mengerikan. Dia melukis gambar sebuah Gereja yang benar-benar hancur berantakan. Dalam pandangannya, semua paroki di dunia, semua konferensi para uskup, semua keuskupan, telah ternoda. Gambarannya adalah mengerikan: Gereja tampak seperti kapal Titanic yang sedang tenggelam sementara musik orkestra terus bermain. “Tak terbendung,” salah satu rekan Ouellet memberi tahu saya, dengan sikap diam membeku karena kaget. (Dalam 'memo' kedua, Mgr. Viganò mengutuk rombongan gay Marc Ouellet.)

Dalam hal pelecehan seksual, karena itu Francis tidak lagi berniat, seperti yang dilakukan oleh John Paul II dan tangan kanannya, Angelo Sodano dan Stanisław Dziwisz, hal itu telah berlangsung terlalu lama, untuk menutup matanya atau, seperti yang cenderung dilakukan Benediktus XVI, untuk menunjukkan kesenangannya. Meski menegaskan posisinya dalam kasus  ini, tetapi dia belum bertindak secara terbuka.

Yang paling penting, analisisnya berbeda dengan Joseph Ratzinger dan tangan kanannya, Kardinal Tarcisio Bertone, yang mengubah pertanyaan ini menjadi masalah homoseksual intrinsik. Menurut para pakar Vatikan dan kerahasiaan dua rekan dekatnya yang saya wawancarai, Paus Francis berpendapat, sebaliknya, bahwa akar yang mendalam dari pelecehan seksual terletak pada 'kekakuan topeng' yang menyembunyikan kehidupan ganda dan, sayangnya, mungkin juga dalam hal selibat para imam. Bapa Suci, dikatakan, percaya bahwa para kardinal dan uskup yang menutupi kasus pelecehan seksual, melakukan penutupan itu untuk mendukung para pedofil, bukan karena mereka takut. Mereka takut bahwa kecenderungan homosex mereka akan terungkap jika skandal meletus atau sebuah kasus sampai diadili di pengadilan. Jadi, aturan baru dari Lemari, yang keenam dalam buku ini, dan salah satu yang paling penting, dapat dituliskan sebagai berikut: Di balik sebagian besar kasus pelecehan seksual, ada pastor dan uskup yang telah melindungi para pelakunya karena homoseksualitas mereka sendiri dan karena takut hal itu akan terungkap jika terjadi pelaporan dari pihak kurban. Budaya kerahasiaan yang diperlukan untuk menjaga ‘keheningan’ tentang tingginya prevalensi homosex di dalam Gereja telah memungkinkan pelecehan seksual itu terus disembunyikan dan si predator terus bertindak.

Karena semua alasan ini, Francis menyadari bahwa pedofilia bukanlah epifenomenon - bukan 'gosip terbaru' yang dibicarakan oleh Kardinal Angelo Sodano: ini adalah krisis paling serius yang harus dihadapi oleh Gereja Katolik Roma sejak perpecahan hebat zaman Martin Luther. Paus bahkan mengantisipasi bahwa cerita itu baru saja dimulai: di zaman maraknya media sosial dan VatiLeaks, di masa kebebasan pers dan kesiapan dalam masyarakat modern bagi orang-orang untuk menggunakan hukum, belum lagi 'efek sorotan dari orang banyak' bahwa Gereja adalah seperti Menara Pisa yang terancam tumbang. Segala sesuatu perlu dibangun kembali dan diubah, atau ada risiko bahwa kita akan menyaksikan hilangnya suatu agama. Itulah filosofi yang mendasari Sinode 2014.

Maka Francis memilih untuk berbicara. Pada misa pagi di Santa Marta, dalam pembicaraan yang diimprovisasi di pesawat terbang atau pada pertemuan-pertemuan simbolis yang diadakannya, dia mulai secara teratur mengecam kemunafikan 'yang tersembunyi dan sering kali melemahkan kehidupan’ para anggota Kuria Romawi.

Dia telah menyebutkan 15 'penyakit Kurial': tanpa menyebut nama mereka, dia berbicara tentang para kardinal dan uskup Roma yang memiliki penyakit 'Alzheimer spiritual'; dia mengkritik 'skizofrenia eksistensial' mereka, 'skandal-penjual' mereka, 'korupsi' mereka dan cara hidup para 'uskup bandara' itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja, kritik tidak datang dari musuh-musuh Katolik, pamflet Voltairean dan 'Cathophobes' lainnya: tetapi kritik itu datang dari Bapa Suci secara langsung. Karena itulah kita harus memahami seluruh jangkauan revolusi Francis ini.

Paus juga ingin bertindak. Dia ingin 'merobohkan sebuah tembok', begitulah ungkapan salah seorang rekannya. Dan dia akan melakukannya melalui berbagai macam simbol, tindakan dan alat dalam konklaf. Dia memulai, dengan goresan pena, dengan mencoret dari daftar kardinal masa depan semua uskup agung, dubes dan uskup di bawah Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI. Istana Castel Gandolfo, kediaman musim panas paus, di mana desas-desus muncul tentang pesta-pesta yang terjadi di sana di bawah Yohanes Paulus II, akan dibuka untuk turis dan akhirnya nanti: dijual.

Mengenai masalah homoseksualitas, Francis melakukan sebuah tugas pedagogis yang panjang.

Gereja perlu membedakan, dengan cara yang baru dan mendasar, antara kejahatan pedofilia - pencabulan dan agresi yang ditujukan pada anak di bawah umur 15 tahun; tindakan yang tanpa persetujuan (paksaan) atau dalam konteks sebuah situasi dibawah kekuasaan (katekismus, pengakuan dosa, seminari, dll.) - dan praktik homoseksual yang sah antara orang dewasa yang saling memberikan persetujuan (suka sama suka). Dia juga membuka sebuah kesempatan untuk melakukan perdebatan tentang kondom, dan menekankan 'kewajiban untuk peduli'.

Tetapi apa yang harus dilakukan dalam menghadapi krisis panggilan, belum lagi ratusan imam setiap tahun yang meminta diberikan status menjadi umat awam sehingga mereka bisa menikah? Mungkin sudah waktunya memikirkan tantangan di masa depan, ini adalah pertanyaan yang terlalu lama menggantung; meninggalkan ranah teori dan merespons situasi konkret? Itulah poin dari Sinode. Dengan melakukan itu, dia seakan berjalan di atas kulit telur. Rapuh.

“Francis telah melihat rintangan. Berdasarkan fungsinya, dia berada dalam situasi untuk bertanggung jawab. Memang dia yang harus bertanggung jawab. Jadi dia mengambil waktu, dia mendengarkan semua sudut pandang,” kata Kardinal Lorenzo Baldisseri kepada saya.

Surat-surat yang datang dari keuskupan sangat mencengangkan. Yang pertama, dipublikasikan di Jerman, Swiss, dan Austria, itu sangat memberatkan posisi Gereja. Katolik Roma nampak terputus dari kehidupan nyata; doktrin tidak lagi memiliki arti bagi jutaan keluarga; umat beriman telah kehilangan pemahaman tentang posisi Roma dalam masalah kontrasepsi, kondom, kumpul kebo, selibat imamat, dan sampai batas tertentu, homoseksualitas.

'Otak' dari Sinode, Kardinal Walter Kasper, yang mengikuti perdebatan dari kelompok berbahasa Jerman dari dekat, senang melihat ide-idenya divalidasi di tingkat akar rumput. Apakah dia terlalu yakin pada dirinya sendiri? Apakah Paus terlalu mempercayainya? Faktanya tetap bahwa teks persiapan sinode itu mengikuti garis yang dibuat oleh Kasper dan menyarankan pelonggaran posisi Gereja pada pemberian sakramen-sakramen bagi orang-orang yang bercerai dan menikah lagi secara sipil, dan homoseksualitas. Vatikan sekarang bersedia mengakui 'kualitas' anak-anak muda yang kumpul kebo, orang-orang bercerai yang kawin lagi secara sipil, dan relasi homoseksual.

Saat itu, dalam ungkapan sederhana Baldisseri, muncullah 'reaksi'. Setelah dipublikasikan, teks itu langsung mendapat kecaman dari para kritikus dari sayap konservatif dalam Kolese para Kardinal, dengan orang Amerika Raymond Burke sebagai pemimpin mereka.

Kaum tradisionalis menentang dokumen-dokumen yang telah didistribusikan, dan beberapa, seperti kardinal Afrika Selatan, Wilfrid Napier, tidak ragu-ragu untuk mengklaim bahwa jika orang-orang berada dalam 'relasi yang tidak teratur' diakui dan disahkan, maka hal itu pasti akan mengarah pada legitimasi poligami. Para kardinal Afrika atau Brasil lainnya membuat paus waspada, karena alasan strategis, terhadap segala pelonggaran sikap Gereja, karena persaingan dari gerakan evangelikal Protestan yang berkembang sangat konservatif.

Tentu saja semua pastor ini mengatakan bahwa mereka terbuka untuk berdebat dan siap untuk menambahkan catatan kaki dan ketentuan tambahan jika diperlukan. Tetapi mantra rahasia mereka tidak lain adalah ungkapan Pangeran Lampedusa yang terkenal dan banyak dikutip di dalam kisah The Leopard: "Segala sesuatu harus berubah sehingga tidak ada yang tidak berubah." Francis juga suka mencela, tanpa menyebut nama mereka, 'berhati batu' yang 'ingin semuanya tetap seperti itu.'

Diam-diam, lima kardinal ultra-konservatif ('tersangkanya adalah biasa', Raymond Burke, Ludwig Müller, Carlo Caffarra, Walter Brandmüller dan Velasio De Paolis) sedang mengerjakan buku karya kolektif mereka untuk membela pernikahan tradisional, yang akan diterbitkan di Amerika Serikat oleh penerbit Katolik, Ignatius. Mereka berencana membagikannya kepada semua peserta Sinode - sebelum Baldessari menyita pamflet atau buku itu! Sayap konservatif berteriak menuduh Baldessari menyensor! Begitulah Sinode sudah menjadi lelucon.

Dari sidang majelis pertama, poin-poin hukum mengenai pemberian Komuni kepada orang yang bercerai dan menikah lagi secara sipil, dan mengenai homoseksualitas, menjadi subyek perdebatan sengit yang memaksa paus untuk merevisi teksnya. Dalam beberapa hari, dokumen itu diubah dan dipermudah, dan sikap mengenai homosex menjadi sangat keras. Namun, bahkan versi 'ringan’ yang baru ini ditolak dalam pemungutan suara terakhir oleh para peserta Sinode.

Serangan terhadap teks itu sangat kuat, sangat keras, sehingga jelas bahwa paus sendiri yang dikecam. Metodenya, gayanya, idenya, ditolak oleh sebagian dari Kolese para Kardinal. Yang paling 'kaku', paling tradisional, paling misoginis memberontak. Apakah mereka juga yang memiliki 'kecenderungan homosex' terkuat? Adalah penting untuk diketahui, bahwa pada kenyataannya, perang antara kaum konservatif dan liberal ini dimainkan justru pada masalah gay. Jadi, Anda harus kontra-intuitif untuk menerjemahkannya. Yang lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa beberapa pemimpin pemberontakan anti-Francis ada yang menjalani kehidupan ganda. Apakah para homoseksual tertutup ini, yang penuh dengan kontradiksi dan homofobia yang terinternalisasi, memberontak karena kebencian terhadap diri sendiri atau untuk menghindari kedoknya terbuka? Bapa Suci begitu jengkel sehingga dia menyerang para kardinal ini pada ‘tumit Achilles’ mereka: adanya kehidupan pribadi tersembunyi di balik konservatisme mereka yang berlebihan.

Itulah yang oleh James Alison, seorang pastor Inggris yang mengaku secara terbuka dirinya gay, sangat dihormati untuk tulisan-tulisan teologisnya tentang masalah ini, yang diringkas dalam sebuah frasa yang lebih halus daripada realita, ketika saya berbicara dengannya beberapa kali di Madrid: “Ini adalah balas dendam dari lemari ! Ini adalah balas dendam dari lemari!” Alison merangkum situasi ini dengan bahasanya sendiri: para kardinal homoseksual 'di dalam lemari' menyatakan perang terhadap Francis, yang mendorong kaum gay untuk keluar 'dari lemari’ itu!

Luigi Gioia, seorang biarawan Benediktin Italia, salah satu direktur Universitas Benediktin Sant'Anselmo di Roma, memberi saya petunjuk lain tentang apa yang terjadi di Vatikan: “Bagi seorang homosex, Gereja tampaknya merupakan struktur yang stabil. Dalam pandangan saya, itulah salah satu penjelasan dari fakta bahwa banyak orang homosex memilih profesi imamat. Namun ketika Anda harus bersembunyi, agar merasa aman, Anda perlu merasa bahwa konteks Anda tidak bergerak. Anda ingin supaya struktur tempat Anda berlindung menjadi stabil dan protektif, dan setelah itu Anda bisa bergerak dengan bebas di dalamnya. Namun Francis, dengan keinginan untuk memperbaruinya, membuat struktur itu tidak stabil bagi para pastor homosex yang tertutup. Itulah yang menjelaskan reaksi keras mereka dan kebencian mereka kepadanya. Mereka takut."

Sebagai salah satu pemimpin dan saksi Sinode, Kardinal Baldisseri, meringkaskan bagiannya, dan lebih tepatnya, keadaan setelah pertempuran: “Ada konsensus tentang segalanya. Kecuali pada tiga isu sensitif. Faktanya, sebuah mayoritas 'liberal' muncul dari Sinode, tetapi kuorum yang diperlukan untuk menerima keputusan yang kontroversial, yang membutuhkan dua pertiga suara, tidak ada. Oleh karena itu, tiga paragraf dari 62 ditolak - dan itulah yang paling pokok. Paus tidak mendapatkan kuorumnya. Proyek revolusioner Francis tentang keluarga dan homoseksualitas telah dikalahkan.

Francis kalah perang, tapi dia belum kalah segalanya. Untuk mengatakan bahwa dia tidak senang dengan kegagalannya di dalam Sinode adalah sebuah eufemisme. Orang ini, otoriter tetapi terus terang, kesal karena dihadang oleh para kardinal konservatif dalam Kuria. Kemunafikan mereka, permainan ganda mereka, tidak tahu berterima kasih, telah menentang dia. Manuver-manuver di belakang layar, yang merencanakan, metode yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Kuria - itu terlalu berlebihan. Kepada rekan-rekannya, Francis secara pribadi memberi tahu bahwa dia tidak punya niat untuk menyerah. Dia akan bertarung dan meluncurkan serangan balasan.

“Dia keras kepala, dia sangat keras kepala,” saya diberitahu oleh seorang monsignore yang mengenalnya dengan baik.

Reaksi Paus akan dimainkan dalam beberapa tahap. Pertama-tama, dia dapat mempersiapkan Sinode kedua yang direncanakan untuk tahun berikutnya, yang memberinya waktu untuk mengatur strateginya. Kemudian dia memutuskan untuk melakukan kampanye besar-besaran untuk mendukung usulannya, dari akhir 2014, untuk memenangkan pertarungan ide. Dia ingin mengubah kekalahan menjadi kemenangan.

Perang ini sebagian besar bersifat rahasia, tidak seperti perang sebelumnya, yang bersifat partisipatif dan konsultatif. Terperangkap dalam perangkap demokratisasi, Francis bermaksud menunjukkan kepada penentangnya apa artinya menjadi raja absolut dalam teokrasi Caesarian!

“Francis menyimpan dendam. Dia pendendam. Dia otoriter. Dia adalah seorang Jesuit: dia tidak pernah mau kalah!” kata seorang nuncio yang memusuhi paus.

Francis memiliki tiga mekanisme yang bermanfaat yang dapat digunakan ketika harus bereaksi. Dalam jangka pendek, dia dapat mencoba dan mendorong debat yang lebih modern di seluruh dunia dengan bergerak pada keuskupan dan opini publik Katolik - itu adalah misi baru yang dia percayakan kepada Baldisseri dan timnya. Dalam jangka menengah: dengan memberi sanksi kepada para kardinal yang telah mempermalukannya, dimulai dengan Gerhard Ludwig Müller, orang yang bertanggung jawab atas doktrin Gereja. Dan dalam jangka panjang: untuk mengubah komposisi Kolese para Kardinal dengan mengangkat para uskup yang menguntungkan bagi reformasinya - ini adalah senjata tertinggi, yang hanya bisa digunakan oleh paus.

Licik dan licin, Francis akan melakukan serangan menggunakan tiga teknik ini secara bersamaan, dengan kecepatan luar biasa dan, lawan-lawannya akan berkata: kegemaran yang luar biasa!

Pekerjaan 'persiapan' untuk Sinode kedua, yang direncanakan bulan Oktober 2015, sedang berlangsung. Bahkan, itu adalah mesin perang yang benar-benar beraksi, di lima benua. Para dubes Vatikan, sekutu, para kardinal yang penurut, semuanya dimobilisasi. Itu seperti Raja Henry V sebelum Pertempuran Agincourt. Francis memiliki kerajaan untuk dimainkan: “Kita bukan seorang tiran, tetapi seorang raja Kristen, dan kemarahan kita tunduk pada keringanan hukuman kita.” Memang ada kekurangan; tetapi ada lebih banyak kemarahan.

Saya dapat mengikuti nuansa serangan ini di banyak negara, di mana saya dapat menilai sejauh mana para uskup terpecah menjadi dua kubu yang tidak dapat didamaikan, seperti misalnya di Argentina, Uruguay, Brasil atau Amerika Serikat. Pertempuran berkecamuk dimana-mana.

Pertama-tama di Argentina: di sana paus memobilisasi teman-temannya, basis dukungannya. Teolog Víctor Manuel Fernández, seorang kolega dekat Francis dan salah seorang penulis pidatonya, yang baru-baru ini dipromosikan sebagai uskup, segera keluar ke tempat terbuka. Dalam sebuah wawancara panjang di Corriere della Sera (Mei 2015), dia dengan ganasnya menyerang sayap konservatif Kuria dan, tanpa menyebut namanya, Kardinal Müller: “Paus bergerak perlahan karena dia ingin memastikan bahwa tidak akan ada jalan untuk kembali. Dia mengincar reformasi yang tidak bisa dikembalikan pada keadaan semula. Dia sama sekali tidak sendirian. Orang-orang (yang beriman) ada bersamanya. Lawannya lebih lemah dari yang mereka kira ... Selain itu, tidak mungkin bagi seorang paus untuk menyenangkan semua orang. Apakah Benediktus XVI menyenangkan semua orang? Itu adalah  ‘deklarasi perang’ terhadap sayap Ratzinger, yang ada di dalam Kuria.

Tidak jauh dari Buenos Aires, Uskup Agung ‘Bergoglian’ dari Montevideo di Uruguay, Daniel Sturla, menjulurkan lehernya secara tiba-tiba, mengungkapkan pendapatnya tentang pertanyaan soal homoseksual. Dia bahkan akan melanjutkan untuk memberikan kontribusi kepada pertanyaan soal gay di dalam Sinode.

"Saya belum kenal dengan Paus Francis. Saya mendorong diri saya secara spontan, karena zaman telah berubah dan di sini, di Montevideo, menjadi tidak mungkin untuk tidak memiliki belas kasihan kepada kaum homosex. Dan tahukah Anda? Tidak ada oposisi di sini terhadap sikap saya yang pro-gay. Saya pikir masyarakat berubah di mana-mana, yang membantu Gereja untuk terus maju dalam pertanyaan itu. Dan semua orang bisa melihat bahwa homosex adalah fenomena yang sangat luas, bahkan di dalam jantung Gereja," Sturla mengatakan kepada saya selama percakapan panjang di kantornya di Montevideo. (Paus Francis menjadikannya kardinal pada tahun 2015.)

Teman Francis lainnya melemparkan dirinya ke medan perang: Kardinal Honduras, Óscar Maradiaga. Koordinator 'C9', dewan sembilan kardinal yang dekat dengan Francis, uskup agung itu berkeliling ke seluruh ibu kota Amerika Latin, mengumpulkan kartu mewah Platinum-nya untuk terbang dengan pesawat kemana-mana.

Di mana-mana, dia menyampaikan pemikiran Francis di depan umum, dan menetapkan strateginya dalam sebuah komite kecil; dia juga merekrut para pendukung, memberi tahu paus tentang para penentangnya dan mempersiapkan rencana untuk pertempuran. (Pada 2017, kantor Keuskupan Agung Óscar Maradiaga diguncang oleh dugaan kasus korupsi keuangan yang serius, salah satu penerima manfaat di antaranya adalah wakilnya dan seorang teman dekat: seorang uskup pembantu yang juga diduga oleh pers melakukan 'pelanggaran serius dan hubungan homoseksual' - yang akhirnya dia mengundurkan diri pada 2018. Dalam 'Testimonianza'-nya, Mgr. Viganò juga menyampaikan penilaian keras tentang Maradiaga yang melindungi orang-orang yang dituduh melakukan pelecehan homoseksual. Hingga kini, penyelidikan atas peristiwa tersebut masih berlangsung, dan para wali gereja yang dicurigai, justru dianggap tidak bersalah.)

Di Brasil, sebuah negara Katolik besar - terbesar di dunia, dengan komunitas yang diperkirakan 135 juta umat, dan memiliki pengaruh besar dalam sinode dengan sepuluh kardinalnya - paus mengandalkan teman-teman dekatnya disana: Kardinal Cláudio Hummes, Uskup Agung Emeritus dari São Paulo, Kardinal João Bráz de Aviz, mantan Uskup Agung Brasilia, dan uskup agung baru di ibukota Brasil, Sérgio da Rocha, yang akan sangat penting bagi sinode, dan yang akan berterima kasih kepada Francis dengan menjadikannya sebagai kardinal segera setelah itu. Dia memberi mereka tugas meminggirkan sayap konservatif, yang khususnya diwujudkan oleh Kardinal Odilo Scherer yang anti-gay, Uskup Agung São Paulo, yang dekat dengan Paus Benediktus XVI. Pertempuran lama Hummes vs Scherer, yang telah lama menentukan hubungan kekuasaan di dalam keuskupan Brasil, intensitasnya semakin berlipat ganda. Francis juga kemudian memberi sanksi kepada Scherer, mengeluarkannya dari Kuria tanpa peringatan terlebih dulu, sambil mengangkat Sérgio da Rocha pada jabatan kardinal.

Ketegangan yang berulang itu diringkaskan kepada saya oleh Frei Betto, seorang biarawan Dominika yang terkenal dan intelektual Brasil yang dekat dengan mantan presiden Lula, dan salah satu tokoh kunci dalam teologi pembebasan. “Kardinal Hummes adalah kardinal progresif yang selalu dekat dengan masalah sosial. Dia adalah teman Francis, dan Francis dapat mengandalkan dukungannya. Kardinal Scherer, di sisi lain, adalah orang yang terbatas dan konservatif, yang tidak memiliki jaringan sosial. Dia sangat tradisional,” kata Betto mengonfirmasi kepada saya ketika kami bertemu di Rio de Janeiro.

Ketika saya mewawancarainya, Kardinal Odilo Scherer membuat kesan yang lebih baik pada saya. Ramah dan sedikit nakal, dia menerima saya dengan kemeja biru langit, dengan pena Montblanc hitam-putih mencuat dari sakunya, di kantornya yang megah di istana uskup agung di São Paulo. Di sana, selama wawancara yang panjang, dia sangat berhati-hati untuk menutupi ketegangan di dalam Gereja Brasil, di mana dia adalah pejabat tertinggi: “Kami memiliki seorang paus, hanya satu: Francis; kami tidak memiliki dua, bahkan jika ada paus emeritus. Terkadang orang tidak menyukai apa yang dikatakan Francis, dan kemudian mereka beralih ke Benediktus XVI; yang lain tidak suka Benediktus XVI, kemudian mereka mendekati Francis. Setiap paus memiliki karisma sendiri, kepribadiannya sendiri. Satu paus saling melengkapi yang lain. Anda tidak dapat mengatur hubungan satu paus terhadap yang lainnya.”

Amerika Serikat adalah negara penting lainnya, dengan 17 orang kardinal, termasuk 10 dengan hak suara untuk memilih. Sebuah dunia yang aneh, semuanya, dimana Francis tidak terbiasa dengan hal itu, dan di mana para kardinal yang keras kepala menjalani kehidupan ganda sangat banyak. Nyaris tidak memiliki kepercayaan pada kepala Konferensi Waligereja Amerika, Daniel DiNardo yang bergaya liberal - seorang oportunis yang pro-Ratzinger di bawah Ratzinger dan kemudian menjadi pro-Francis di bawah Francis - paus mengetahui bahwa dia memiliki sedikit sekutu di negara ini. Itulah sebabnya dia memilih untuk bergantung pada tiga uskup ramah gay yang tidak banyak dikenal: Blase Cupich, yang baru saja dia tunjuk sebagai Uskup Agung Chicago, dan yang mendukung homosex; Joseph Tobin, Uskup Agung Indianapolis dan sekarang di Newark, tempat dia menyambut para homosex yang sudah ‘menikah’ dan para aktivis LGBT; dan yang terakhir, Robert McElroy, seorang pastor pro-gay, liberal, dari San Francisco. Tiga pendukung Francis di Amerika Serikat ini akan memberikan dukungan penuh mereka pada Sinode, dan dua yang pertama dihadiahi dengan ditunjuk sebagai kardinal pada tahun 2016, sementara McElroy akan diangkat menjadi uskup selama perdebatan dalam sinode nanti.

Di Spanyol, Prancis, Jerman, Austria, Belanda, Swiss, dan Belgia, Francis juga mencari sekutu dan berkawan dengan kardinal paling liberal, seperti Reinhard Marx Jerman, Austria Christoph Schönborn yang ramah, atau pembalap Spanyol Juan José Omella (yang dia jadikan Uskup Agung Barcelona segera setelah itu, dan kemudian akan menjadikannya sebagai kardinal). Juga, dalam sebuah wawancara di surat kabar Jerman Die Zeit, paus meluncurkan sebuah ide dengan masa depan yang cerah: penahbisan viri probati (imam yang menikah) yang terkenal. Alih-alih menyarankan pentahbisan wanita atau penghapusan selibat bagi para seminaris – sebuah tantangan untuk kaum konservatif - Francis ingin menahbiskan pria Katolik yang sudah menikah, sebagai cara untuk mengatasi krisis panggilan, untuk membatasi homoseksualitas di dalam Gereja dan untuk mencoba menghentikan kasus pelecehan seksual.

Dalam meluncurkan serangkaian debat akar rumput, paus menempatkan kaum konservatif pada posisi bertahan. Dia 'memojokkan' mereka, untuk menggunakan kalimat seorang imam yang bekerja untuk sinode, dan menunjukkan kepada mereka bahwa mereka adalah minoritas di negara mereka sendiri.

Sikap paus sudah jelas sejak 2014: “Bagi kebanyakan orang, keluarga (seperti yang dibayangkan oleh John Paul II pada awal 1980-an) sudah tidak ada lagi. Ada perceraian, keluarga pelangi, keluarga dengan orang tua tunggal, fenomena kehamilan pengganti, pasangan tanpa anak, hubungan sesama jenis ... Doktrin tradisional pasti akan tetap ada, tetapi tantangan pastoral membutuhkan respons kontemporer, yang tidak lagi berasal dari otoritarianisme atau moralisme.” (ini adalah usulan berani oleh paus ini, yang belum ditolak, hal ini dilaporkan oleh Kardinal Honduras, Óscar Maradiaga, teman pribadi Francis.)

Antara dua sinode 2014 dan 2015, pertempuran antara liberal dan konservatif semakin meluas, dan sekarang meluas ke semua keuskupan, sementara Francis melanjutkan dengan kebijakannya semula sedikit demi sedikit.

"Kita tidak harus terlalu menyederhanakan perdebatan," kata Romilda Ferrauto, seorang jurnalis dari Radio Vatikan yang ambil bagian dalam kedua sinode, dengan berusaha untuk menambahkan beberapa perspektif. “Ada perdebatan asli yang mengguncang Tahta Suci. Tetapi tidak ada liberal di satu sisi dan konservatif di sisi lain. Tidak ada saat jeda yang murni antara kiri dan kanan; ada banyak nuansa, banyak dialog. Para kardinal dapat mengikuti Bapa Suci dalam reformasi keuangan dan bukan pada moralitas, misalnya. Adapun paus Francis, dia dianggap oleh pers sebagai orang yang progresif. Itu tidak benar: dia penuh belas kasihan. Dia memiliki pendekatan pastoral: dia mengulurkan tangannya kepada orang berdosa. Sama sekali berbeda."

Terlepas dari para kardinal yang dimobilisasi di seluruh dunia, dan Kuria, yang terus gelisah dan kacau, tim paus juga tertarik pada para intelektual. 'Pembentuk opini' ini, menurut geng Baldisseri, akan sangat penting bagi keberhasilan sinode. Karenanya perlu pengembangan rencana komunikasi yang besar dan rahasia.

Di belakang layar, seorang Jesuit berpengaruh, Pastor Antonio Spadaro, editor La Civiltà Cattolica, aktif dalam hal ini. “Kami bukan jurnal resmi, tetapi semua artikel kami dibaca ulang oleh Sekretariat Negara dan ‘disertifikasi’ oleh paus. Kami mungkin menyebutnya sebagai jurnal resmi, setengah resmi," kata Spadaro memberi tahu saya di kantornya di Roma. Dan sungguh kantor yang luar biasa! Villa Malta, Via di Porta Pinciana, tempat jurnal ini dibuat, adalah lokasi yang luar biasa di daerah sekitar Villa Medici dan Palazzo Borghese.

Antonio Spadaro, yang selalu mengalami jet-lag dan mabuk kafein, dengan siapa saya telah melakukan enam kali wawancara dan makan malam, dia adalah ‘ikan-pilotnya’ paus. Dia seorang teolog dan intelektual, ‘binatang buas’ yang langka di Vatikan saat ini. Kedekatannya dengan Francis membuat orang-orang cemburu: dia dikatakan sebagai salah satu dari para ‘gréminence grises’; dalam hal apa pun, dia adalah salah satu penasihat tidak resminya. Muda, dinamis, dan menawan, Spadaro adalah pria yang mengesankan. Ide-idenya terbang dengan kecepatan dan kecerdasan yang tinggi dan jelas. Antonio Spadaro adalah seorang Jesuit yang tertarik pada semua jenis budaya, terutama sastra. Dia sudah memiliki beberapa buku hasil karyanya, termasuk esai berwawasan jauh tentang cyber-theology dan dua karya biografi tentang Pier Vittorio Tondelli, penulis Katolik Italia homosex, yang meninggal karena AIDS pada usia 36.

"Saya tertarik pada segalanya, termasuk musik rock," kata Spadaro kepada saya saat makan malam di Paris.

Di bawah Francis, jurnal Jesuit telah menjadi ruang untuk eksperimen di mana berbagai ide diuji dan debat diluncurkan. Pada 2013 Spadaro menerbitkan wawancara panjang pertama dengan paus Francis, tak lama setelah pemilihannya. Ini adalah teks-nya yang menjadi tonggak sejarah. “Kami menghabiskan tiga kali siang bersama untuk wawancara itu. Saya terkejut dengan keterbukaan pikirannya, selera dialognya."

Di satu sisi, teks terkenal ini menetapkan peta jalan untuk sinode yang akan datang. Di dalamnya, Francis mengemukakan ide-ide inovatif dan metodenya. Mengenai pertanyaan moralitas seksual dan pemberian Komuni untuk pasangan yang bercerai dan menikah lagi secara sipil, dia mendukung sebuah debat kolegial dan desentralisasi. Pada saat itulah Francis pertama kali mengungkapkan gagasannya tentang homoseksualitas.

Spadaro tidak akan melepaskan pertanyaan tentang gay, mendorong Francis tetap pada barisannya dan membimbingnya untuk membuat sketsa ‘visi homoseksual yang benar-benar Kristiani.’ Paus meminta agar kaum homosex didampingi 'dengan rasa belas kasihan', dan dia membayangkan adanya pendampingan pastoral untuk 'situasi perkawinan yang tidak teratur' dan 'terluka secara sosial' yang merasa 'dikutuk oleh Gereja.' Belum pernah ada seorang paus yang memiliki begitu banyak empati dan, katakanlah, persaudaraan, untuk kaum homosex. Ini adalah sebuah ‘revolusi Galileo’ yang asli! Dan kali ini, kata-katanya jelas tidak diimprovisasi, karena mungkin itu menjadi dasar bagi kalimatnya yang terkenal: 'Siapakah saya hingga berhak menilai?' Wawancara telah diedit dengan cermat dan setiap kata dengan hati-hati ditimbang (seperti yang dikonfirmasikan oleh Spadaro kepada saya).

Namun bagi Francis, inti masalahnya ada di tempat lain: inilah saatnya bagi Gereja untuk menjauh dari pertanyaan yang memecah-belah umat beriman dan berkonsentrasi pada masalah-masalah nyata: kaum miskin, migran, kemiskinan. “Kita tidak bisa hanya menuntut pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan aborsi, perkawinan homosex dan penggunaan metode kontrasepsi. Itu tidak mungkin ... Tidak perlu kita terus membicarakannya setiap saat," kata paus.

Terlepas dari wawancara penting ini, Antonio Spadaro akan memobilisasi jaringan internasionalnya untuk mendukung posisi paus dalam keluarga. Jadi, pada 2015, sudut pandang dan wawancara yang mendukung gagasan Francis muncul di jurnal La Civiltà Cattolica. Para ahli lain didaftar oleh Spadaro atau oleh sekretariat Sinode, seperti para teolog Italia Maurizio Gronchi dan Paolo Gamberini, atau orang Prancis Jean-Miguel Garrigues (yang dekat dengan Cardinal Schönborn) dan Antoine Guggenheim. Guggenheim segera mendukung diadakannya pengakuan terhadap ‘perkawinan’ homosex di harian Katolik Prancis La Croix. "Pengakuan akan sebuah kasih yang setia dan abadi di antara orang-orang homosex," dia menulis, "apa pun tingkat kesucian mereka, bagi saya merupakan hipotesis yang layak untuk dipertimbangkan. Hal itu mungkin berbentuk seperti yang biasanya diberikan Gereja kepada doa: sebuah berkat.”

Dalam perjalanan ke Brasil selama periode yang sama, Spadaro juga bertemu dengan seorang pastor pro-gay, seorang Jesuit seperti dirinya, Luís Corrêa Lima. Mereka melakukan percakapan panjang, di kediaman Serikat Yesus di Universitas Katolik di Rio de Janeiro, soal 'pendampingan pastoral yang mendukung kaum homosex,’ yang diselenggarakan oleh pastor Lima. Terpesona oleh gagasan ini, Spadaro menulis sebuah artikel tentang masalah ini di La Civiltà Cattolica, meskipun pada akhirnya tidak pernah jadi. (Terlepas dari Mgr. Baldisseri, Kasper dan Spadaro, saya mewawancarai Antoine Guggenheim dan Jean-Miguel Garrigues, yang mengkonfirmasi strategi keseluruhan. Saya juga bertemu dengan pastor Lima di Rio de Janeiro, dan pergi bersamanya ke wilayah kumuh Rocinha, di mana dia merayakan misa disana setiap hari Minggu, dan ke ruangan di mana 'pendampingan pastoral' terhadap kaum LGBT diadakan.)

Seorang intelektual tingkat tinggi lainnya mengikuti debat pra-Sinode dengan perhatian yang besar. Seorang Dominikan Italia, juga seorang teolog - bijaksana dan setia - dia tinggal di Biara Saint-Jacques, bersebelahan dengan perpustakaan Saulchoir yang terkenal di Paris.

Bruder Adriano Oliva adalah sejarawan tentang abad pertengahan yang terkenal, seorang Latinist berpengalaman dan seorang doktor teologi. Yang paling penting, dia adalah salah satu otoritas paling terkemuka di dunia di Saint Thomas Aquinas: dia memimpin Komisi Leonine yang terkenal yang bertanggung jawab untuk edisi kritis dari karya-karya pemikir abad pertengahan - sebuah karya yang berkelas.

Jadi mengapa Bruder Oliva tiba-tiba mendorong dirinya pada awal 2015, dan mulai menulis buku berisiko yang mendukung pernikahan berikutnya secara sipil (dengan pasangan lain) dari orang-orang yang bercerai dan mengesahkan ‘perkawinan’ homosex? Mungkinkah Dominikan Italia itu didorong langsung oleh sekretariat Sinode, mungkin saja paus sendiri, untuk ikut campur di dalam debat?

Santo Thomas Aquinas, seperti kita ketahui, secara umum menjadi panutan yang diandalkan oleh kaum konservatif untuk menentang pemberian sakramen kepada orang yang bercerai dan menikah lagi, atau pun pasangan homosex. Oleh karena itu, mengatasi masalah ini secara langsung adalah berbahaya dan cukup strategis. Judul buku, yang diterbitkan tak lama setelah itu, adalah ‘Amour.’

Sangat jarang belakangan ini orang bisa membaca karya yang begitu berani. Meskipun karya ilmiah, analitik, dan ditulis untuk para spesialis, buku ‘Amour’, hanya dalam 160 halaman, merupakan karya yang sangat terinci yang merongrong ideologi moralistik Vatikan, dari Paul VI hingga Benedict XVI. Bruder Oliva, sebagai titik tolaknya, telah mengalami dua kali kegagalan dalam membela doktrin Gereja: kontradiksi dalam ceramahnya tentang pernikahan kembali orang yang bercerai, dan kebuntuan di mana Gereja menemukan dirinya kelabakan dalam soal homosex. Tujuannya adalah jelas: “Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan bahwa perubahan yang diinginkan dari pihak Magisterium mengenai homosex, dan perbuatan sexual oleh kaum homosex, tidak hanya agar sesuai dengan studi antropologis, teologis dan eksegetikal kontemporer, tetapi juga untuk perkembangan tradisi teologis, khususnya tradisi Thomist.”

Pihak Dominikan menyerang interpretasi dominan dari pemikiran Thomas Aquinas: berkaitan dengan pusat dari doktrin, bukan pinggirannya. Bruder Oliva mengatakan: “Kita sudah terbiasa untuk menganggap sebagai ‘perbuatan melawan alam’ bagi tindakan sodomi dan kecenderungan homosex. Santo Thomas, di sisi lain, menganggap kecenderungan ini di dalam sifat orang homosex dilihat sebagai sebuah sifat individu. Bruder Oliva mendasarkan pemikirannya pada intuisi yang cemerlang dari ‘doktor malaikat’ itu (St.Thomas Aquinas): … adalah bersifat alami untuk ‘melawan alam' yang melaluinya seseorang dapat menjelaskan asal usul dari homoseksualitas. Dan Bruder Oliva mengamati, dengan cara yang hampir seperti Darwin, bahwa ‘St. Thomas menempatkan asal-usul homoseksualitas pada tingkat prinsip-prinsip alami dari spesies.'

Bagi Santo Thomas, manusia, dengan ketidakberesan dan singularitasnya, adalah merupakan bagian dari rencana ilahi. Jadi, kecenderungan homosex tidak bertentangan dengan alam, karena hal itu berasal dari jiwa. Bruder Oliva berkata lagi: “Homoseksualitas tidak mengandung sesuatu yang sesat di dalamnya, begitu juga asal usulnya, dan hal itu adalah wajar bagi individu dan berakar pada apa yang menjiwainya sebagai manusia, dan tujuannya adalah untuk mencintai orang lain, yang merupakan tujuan yang baik.” Dan Bruder Oliva menyimpulkan pemikirannya dengan menyerukan kepada kita semua untuk "menyambut orang-orang homosex kedalam jantung Gereja dan bukan pada pinggiran Gereja."

Setelah membaca buku ‘Amour,’ para kardinal, uskup, dan banyak imam mengatakan kepada saya bahwa anggapan mereka tentang Santo Thomas Aquinas telah berubah, dan bahwa pelarangan terhadap homosex jelas telah dicabut. Beberapa orang, baik di antara umat beriman maupun di antara hirarki gereja, bahkan mengatakan kepada saya bahwa buku itu memiliki efek yang sama pada mereka ketika André Gide's Corydon dan Adriano Oliva menyelesaikan bukunya dengan mengacu kepada novel Gide ‘If It Die….’ (Ketika saya bertanya kepadanya, Bruder Oliva menolak untuk mengomentari asal mula bukunya atau untuk membahas hubungannya dengan Roma. Penerbitnya, Jean-François Colosimo, direktur Éditions du Cerf, lebih bersikap terbuka, seperti tim Kardinal Baldisseri, yang mengkonfirmasi bahwa mereka telah mengirim 'permintaan analisis kepada para ahli' termasuk kepada Bruder Oliva. Pada akhirnya saya menerima konfirmasi bahwa Bruder Adriano Oliva telah disambut baik di Vatikan oleh Baldisseri, Bruno Forte dan Fabio Fabene - arsitek kepala Sinode.)

Seperti yang diduga, buku itu tidak luput dari perhatian di kalangan pendukung Thomist (ide St.Thomas Aquinas), di mana buku itu memiliki efek ‘bom curah.’ Argumen itu mengobarkan kemarahan kalangan Katolik yang paling ortodoks, terlebih lagi sejak serangan itu datang dari dalam, yang ditandatangani oleh seorang imam yang tidak dapat dengan mudah dibantah, seorang penganut Thomist dari antara para Thomist. Lima orang Dominikan dari Angelicum, Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas di Roma, segera melarikan diri dari serangan pedas, meskipun beberapa dari mereka sendiri adalah seorang homofil. Kaum militan yang identik bergabung, dengan kejam menyerang pastor itu karena berani mengubah sosok Thomas Aquinas menjadi penulis 'ramah-gay'! Di berbagai situs dan blog, sayap kanan Katolik sangat terusik.

Didukung oleh tokoh dari ordo Dominikan, yang menjadi sandarannya, Bruder Oliva juga diserang secara akademis, kali ini, dalam beberapa jurnal Thomist, termasuk artikel setebal 47 halaman. Sebagai balasan, sebuah artikel baru, 48 halaman, yang ditandatangani oleh Camille de Belloy Dominika (yang juga saya wawancarai) membahas pembelaan Oliva di Revue des Sciences philosophiques et théologiques. Lebih banyak tindakan penyelamatan telah dilakukan sejak saat itu ...

Seperti yang bisa kita lihat, subjeknya memang amat sensitif. Bagi Bruder Oliva, yang mengatakan bahwa dia bertindak dengan bebas, itu mungkin topik yang paling berbahaya dalam kariernya. Dan keberanian yang dimiliki seorang Dominikan, seorang sarjana sekaliber dia tidak mungkin memulai penelitian tentang St. Thomas Aquinas dan tentang gay semacam itu tanpa mendapat lampu hijau dari jajaran yang lebih tinggi. Cardinals Baldisseri dan Kasper? Tak perlu dijawab. Karena sudah pasti! Dan mungkin Paus Francis sendiri!?

Kardinal Walter Kasper telah mengkonfirmasi intervensi pribadi dari Francis. “Adriano Oliva datang menemui saya di sini. Kami berbicara. Dia mengirimi saya surat yang saya tunjukkan kepada paus: Francis terkesan. Dan dia meminta Baldisseri untuk mengiriminya SMS untuk dikirimkan kepada para uskup. Saya pikir itu adalah teks yang menjadi bahan buku ‘Amour.’ Dan Kasper menambahkan: "Adriano Oliva melayani Gereja, tanpa menjadi seorang militan."

Buku ‘Amour’ akan didistribusikan selama sinode, atas saran paus. Buku itu bukan hanya merupakan satu selebaran lagi atau esai yang tersendiri dan sedikit bersifat bunuh diri, seperti yang telah diklaim: buku itu adalah senjata dalam keseluruhan rencana yang disukai oleh paus sendiri.

Strategi paus, manuvernya, adalah mesin perangnya yang bergerak melawan kaum konservatif di dalam Gereja, tidak luput dari perhatian lawan-lawannya. Ketika saya bertanya kepada beberapa klerus anti-Francis, apakah mereka kardinal atau monsignori, mereka lebih suka bicara tanpa direkam. Secara tradisi, seorang kardinal tidak pernah berbicara buruk tentang paus di luar Vatikan. Para Jesuit dan anggota Opus Dei mempertahankan ketidaksetujuan mereka dengan sikap lebih ‘diam.’ Orang-orang Dominikan lebih bijaksana lagi dan umumnya mereka progresif, seperti kaum Fransiskan. Tetapi kritik terhadap Francis cepat menyembur keluar begitu mikrofon dimatikan. Bahkan ada kebencian yang nyata nampak pada mereka.

Salah satu dari klerus ‘berlidah ular beludak’ adalah seorang wali gereja kunci di Kuria, yang dengannya saya mengadakan lebih dari selusin pertemuan, makan siang, dan makan malam. Singkatnya, paus ini cerdas dan jahat – seperti ular! Aguisel (saya mengubah namanya) adalah seorang homosex tanpa batas yang, meskipun usianya cukup tua, tetapi dia tetap seorang yang sangat menarik. Aguisel adalah seorang gay! Dia membuat undangan kepada para seminaris yang dia undang untuk makan malam dalam kelompok; dia sering menggoda para pelayan di kafe atau restoran Romawi tempat kami makan malam, memanggil mereka dengan nama depan mereka. Dan ternyata Aguisel juga menyukai saya!

"Saya dari Perjanjian Lama," kata klerus kita ini kepada saya dengan pergantian gaya bicara yang lucu, ironis, dan jujur.

Aguisel membenci Francis. Dia mencela Francis karena kecenderungannya untuk 'berkomunikasi', sikap liberalismenya berkenaan dengan keluarga, dan karena sudut pandangnya yang terlalu menguntungkan kaum homosex.

"Paus adalah orang yang fanatik," katanya kepada saya, dan di bibirnya itu bukan istilah pujian.

Suatu hari, ketika kami makan malam di Campana, sebuah restoran khas Romawi di Vicolo della Campana (sebuah bangunan di mana Caravaggio sering menjalankan kebiasaannya - homosex), Mgr. Aguisel menceritakan ketidakmampuan Francis, perubahan arah dan sikapnya yang selalu terjadi. Paus ini 'tidak konsisten' dalam pandangannya. Tentang homosex dia mengambil satu langkah ke depan, lalu dua langkah ke belakang, hal ini membuktikan bahwa dia mempermainkannya. “Bagaimana Francis bisa menyerang teori gender dan, pada saat yang sama, secara resmi menerima waria Spanyol di Vatikan bersama dengan tunangannya (sesama jenis) ... Anda tahu, kami bahkan tidak tahu bagaimana menceritakannya! Itu semua tidak jelas, dan menunjukkan bahwa dia tidak memiliki doktrin, hanya tindakan komunikasi yang impulsif."

Klerus itu berbisik dengan nada rahasia: “Tapi tahukah Anda, paus telah membuat banyak musuh di dalam Kuria. Dia sangat jahat. Dia memecat semua orang. Dia tidak tahan untuk dipertentangkan dan dibanding-bandingkan. Lihat apa yang dia lakukan pada Cardinal Müller!”

Saya mengatakan bahwa ada alasan lain dari permusuhan Francis dengan Müller (Paus memberhentikan Müller dari jabatannya pada 2017, tanpa pemberitahuan lebih dulu). Teman bicara saya mengetahui hal-hal yang saya sampaikan, dan dia menyadari bahwa saya mendapat informasi dengan baik. Tetapi dia sepenuhnya terobsesi oleh gangguan kecil yang dialami Müller dan sekutunya.

“Paus campur tangan dari tempat yang tinggi, dan secara pribadi, memecat asisten Müller di dalam Kongregasi untuk Ajaran Iman. Dari satu hari ke hari berikutnya mereka dipulangkan ke negara mereka! Tampaknya mereka berbicara buruk tentang paus. Penjahat? Itu tidak benar. Mereka hanya oposisi. Itu adalah tidak baik, jika Anda menjadi paus, untuk memecat secara pribadi seorang monsignori yang rendah hati!”

Setelah jeda, Mgr.Aguisel melanjutkan: “Francis memiliki mata-mata di Kongregasi untuk Ajaran Iman yang melaporkan segalanya kepadanya. Kamu tahu itu? Dia memiliki mata-mata! Mata-mata itu adalah sekretaris di bawahnya!”

Terlalu banyak makan, seperti halnya percakapan saya dengan wali gereja ini. Dia tahu rahasia Kuria, dan tentu saja nama para uskup dan kardinal yang ‘berpraktek’ homosex. Dia senang meceritakan hal itu kepada saya, semuanya, meskipun setiap kali dia membelokkan alur pembicaraan mengenai rekannya, dan dia seolah menyadarkan dirinya sendiri, terkejut oleh keberaniannya berkata.

"Oh, saya terlalu banyak bicara. Saya terlalu banyak bicara. Tidak seharusnya. Anda harus menganggap saya sangat nakal!" Saya terpesona oleh kehati-hatian klerus ini selama dialog reguler kami, yang terbagi dalam wawancara selama puluhan jam dan beberapa tahun. Seperti semua wali gereja yang saya temui, dia tahu betul bahwa saya adalah seorang reporter terkenal dan penulis beberapa buku tentang gay. Jika dia berbicara kepada saya, seperti begitu banyak kardinal dan uskup anti-Francis, itu bukan karena kebetulan, tetapi karena 'penyakit desas-desus, gosip, dan penyingkapan skandal' yang membuat Paus mengejek mereka dengan sangat efektif.

"Bapa Suci agak istimewa," tambah Mgr. Aguisel. Orang-orang, orang banyak, semua orang mencintainya di seluruh dunia, tetapi mereka tidak tahu siapa dia. Dia brutal! Dia kejam! Dia kasar! Dalam hal ini kami mengenal dia, dan dia benci kami."

Suatu hari ketika kami sedang makan siang di suatu tempat dekat Piazza Navona di Roma, Yang Mulia Aguisel menuntun tangan saya secara tiba-tiba setelah selesai makan dan dia membawa saya ke gereja San Luigi dei Francesi.

“Di sini, Anda memiliki tiga Karavan, dan gratis. Anda tidak boleh melewatkannya.”

Lukisan-lukisan minyak di atas kanvas - mewah, dengan kedalaman crepuskuler dan kegelapan brutalnya. Saya memasukkan sebuah koin euro di mesin kecil di depan kapel dan tiba-tiba karya-karya itu menyala.

Setelah menyapa seorang 'ratu sakristi' yang telah mengenalnya - seperti di mana-mana, ada sejumlah besar kaum gay di antara para seminaris dan pastor dari gereja Prancis ini - Aguisel sekarang memiliki obrolan yang manis dengan sekelompok wisatawan muda, sambil menekankan gelar kurialnya yang bergengsi. Setelah intermezzo ini, kami melanjutkan dialog kami tentang homoseksualitas Caravaggio. Erotisme yang dipancarkan oleh karya the Martyrdom of Saint Matthew, dimana ada seorang lelaki tua di tanah yang dibunuh oleh seorang prajurit telanjang yang tampan, hal itu menggemakan gambaran Santo Matius dan Malaikatnya, dimana lokasinya yang sekarang tidak diketahui, yang dinilai terlalu homoerotik untuk menjadi layak bagi hiasan sebuah kapel! Sedangkan untuk karya-karya the Lute Player, the Boy with the Basket of Fruit and his Bacchus, Caravaggio menggunakan kekasihnya Mario Minniti sebagai model. Lukisan-lukisan seperti Narcissus, Konser, Santo Yohanes Pembaptis, dan Amor Vincit Omnia yang aneh (Love Victorious, yang saya saksikan di Gemäldegalerie di Berlin) telah lama menegaskan ketertarikan pelukis pada anak laki-laki. Penulis Dominique Fernandez, seorang anggota Académie française, menulis: “Bagi saya, Caravaggio adalah pelukis homoseksual terbesar sepanjang masa; maksud saya, dia dengan keras meninggikan ikatan nafsu antara dua pria."

Bukankah aneh, kalau begitu, bahwa Caravaggio harus menjadi pelukis favorit Paus Francis, para kardinal tertutup yang kaku dari Kuria dan para militan gay yang mengorganisir LGBT City Tours di Roma, dimana salah satu tempat pemberhentiannya adalah merupakan tempat untuk menghormati pelukis 'mereka'?

Di sini, di gereja San Luigi dei Francesi, kami menyambut seluruh bus penuh pengunjung. Semakin sedikit umat paroki dan semakin banyak turis berbiaya rendah! Mereka hanya datang untuk melihat Caravaggio. Mereka berperilaku vulgar, agar karya-karya itu tidak pernah ditampilkan di museum! Saya harus mengusir mereka!" demikian Mgr. François Bousquet, rektor gereja Prancis, dengan siapa saya makan siang dua kali.

Tiba-tiba, Mgr. Aguisel memiliki sesuatu yang lain untuk ditunjukkan kepada saya. Dia mengambil jalan memutar kecil, menyalakan lampu kapel yang indah, dan ini dia: Saint Sebastian! Lukisan Numa Boucoiran ini ditambahkan ke dalam koleksi gereja pada abad ke-19, atas permintaan duta besar Prancis untuk Vatikan ("setidaknya lima telah menjadi homoseksual sejak perang," tambah Aguisel, yang telah menghitungnya dengan cermat). Dilukis secara konvensional, tanpa kejeniusan artistik yang hebat, Saint Sebastian ini masih menyatukan semua kode ikonografi gay: bocah lelaki berdiri, flamboyan, bangga dan bersemangat, dengan ketelanjangan yang dilebih-lebihkan oleh keindahan otot-ototnya, tubuh atletisnya ditusuk oleh panah algojo, yang mungkin adalah kekasih prianya. Boucoiran setia kepada mitos, bahkan jika dia tidak memiliki bakat dari Botticelli, Le Sodoma, Titian, Veronese, Guido Reni, El Greco atau Rubens, yang semuanya telah melukis ikon gay ini, atau memang Leonardo da Vinci, yang menggambarnya hingga delapan kali.

Saya telah melihat beberapa lukisan Santo Sebastians di museum-museum Vatikan, khususnya yang dibuat oleh Girolamo Siciolante da Sermoneta, yang begitu menarik dan menyenangkan sehingga dapat digunakan pada sampul sebuah ensiklopedi budaya LGBT. Dan itu tidak termasuk Santo Sebastian di Basilika Santo Petrus di Roma, yang memiliki kapel yang didedikasikan untuk itu, di sebelah kanan pintu masuk, tepat setelah Pietà Michelangelo. Disitu juga tempat tubuh Yohanes Paulus II dibaringkan.

Mitos Santo Sebastian adalah sebuah kode terselubung, sangat dihargai, baik secara sadar atau tidak, oleh orang-orang di Vatikan. Menghapus kode itu berarti mengungkapkan banyak hal terlepas dari beberapa bacaan yang ditawarkannya.

Sebastian dapat berubah menjadi sosok ephebophilic, atau sosok sadomasokistik; ia dapat mewakili kepatuhan pasif dari seorang pemuda atau, sebaliknya, kekuatan bela diri seorang prajurit yang menentang apa pun yang diperlukan. Dan terutama ini: Sebastian, terikat pada pohon, dalam kerentanan absolutnya, tampaknya mencintai algojonya, agar memeluknya.

Dalam 'ekstase kesakitan' ini, dimana algojo dan korbannya bercampur menjadi satu, adalah metafora yang luar biasa untuk menggambarkan homoseksualitas di Vatikan. Di dalam Lemari, Sebastian dirayakan setiap hari.

Salah satu dari beberapa penentang Francis yang setuju untuk berbicara di depan umum adalah kardinal Australia, George Pell, 'menteri' ekonomi paus. Ketika Pell mendekati saya untuk menyambut saya, saya duduk di ruang tunggu kecil di Loggia I dari istana apostolik Vatikan. Dia berdiri, saya duduk: tiba-tiba saya serasa memiliki raksasa di depan saya. Dia tampak gontai, langkahnya sedikit tidak seimbang.

Diapit oleh asistennya - yang juga sangat besar, yang berjalan dengan acuh tak acuh, dan yang akan memperhatikan dengan seksama perbincangan kita - saya tidak pernah merasa sekecil ini dalam hidup saya. Bersama-sama, tinggi mereka setidaknya empat meter!

"Saya bekerja dengan paus dan bertemu dengannya setiap dua minggu," Pell memberitahu saya dengan perlahan. “Kami mungkin memiliki latar belakang budaya yang berbeda: dia berasal dari Argentina, saya dari Australia. Saya mungkin memiliki perbedaan pendapat dengannya, misalnya tentang perubahan iklim. Tapi kami adalah organisasi keagamaan, bukan partai politik. Kita harus bersatu dalam hal iman dan moralitas. Selain itu, saya akan mengatakan bahwa kita bebas, dan seperti yang dikatakan Mao Zedong, biarkan seratus bunga mekar bersama ... “

George Pell menjawab pertanyaan saya dengan gaya Anglo-Saxon, dengan profesionalisme, ketegasan, dan humor. Dia efisien; dia tahu file-filenya dan juga musiknya. Semuanya ada di sini. Saya dikejutkan oleh kesopanan kardinal Pell, mengingat bahwa rekan-rekannya telah mengatakan kepada saya bahwa dia suka bersikap 'brutal' dan 'konfrontatif', jika tidak menakutkan seperti 'bulldog'. Julukannya di Vatikan: 'Pell Pot'.

Kami berbicara tentang keuangan Tahta Suci; tentang pekerjaannya sebagai seorang menteri; tentang transparansi yang dia sibuk terapkan di mana kekeruhan telah begitu lama terjadi.

“Ketika saya tiba, saya menemukan uang hampir 1,4 miliar euro sedang tidur, dilupakan oleh semua neraca perhitungan! Reformasi keuangan adalah salah satu dari sedikit subjek yang menyatukan kelompok kanan, kiri dan tengah di Vatikan, baik secara politik maupun sosiologis.”

"Ada sayap kanan dan sayap kiri di Vatikan?" saya bertanya memotong.

"Saya pikir semua orang di sini adalah sebuah variasi dari pusat yang radikal."

Di Sinode, George Pell, yang umumnya dianggap sebagai salah satu perwakilan dari sayap kanan konservatif Vatikan, seorang 'Ratzingerian', telah menjadi salah satu kardinal yang kritis terhadap Francis. Seperti yang saya perkirakan, kardinal Pell mengisahkan perselisihannya, yang telah bocor ke pers, menunjukkan kasus tertentu, jika dia tidak berbicara-ganda: "Saya bukan lawan dari Francis. Saya seorang pelayan paus yang setia. Francis menganjurkan diskusi bebas dan terbuka, dan dia suka mendengar kebenaran dari orang-orang yang tidak berpikir seperti itu."

Beberapa kali George Pell berbicara tentang 'otoritas moral' Gereja, yang dia lihat sebagai raison d’ttre dan mesin pengaruhnya yang utama di seluruh dunia. Dia berpikir itu harus tetap setia pada doktrin dan tradisi: Anda tidak dapat mengubah hukum, bahkan meski jika masyarakat dirubah. Tiba-tiba, garis pemikiran Francis muncul di 'pinggiran' dan rasa empatinya terhadap homoseksual membuatnya merasa sia-sia, jika tidak bisa dikatakan salah.

“Memang baik untuk tertarik pada masalah ‘pinggiran.’ Tetapi Anda masih membutuhkan banyak orang yang percaya. Tanpa ragu, Anda perlu merawat domba yang hilang, tetapi Anda juga harus menaruh minat pada 99 domba lain yang tetap tinggal bersama kawanan.” (Sejak wawancara kami, Pell meninggalkan Roma setelah diinterogasi oleh pengadilan Australia sehubungan dengan kasus-kasus pelecehan seksual yang bersejarah terhadap anak laki-laki, tuduhan yang dengan keras dia tolak. Proses pengadilannya yang dipublikasikan, dengan ribuan halaman transkrip, saat ini sedang berlangsung.)
                                                             
Hasil dari hampir dua tahun perdebatan dan ketegangan di sekitar sinode menghasilkan sebuah nama yang indah: Amoris laetitia (kebahagiaan kasih). Nasihat apostolik pasca-sinode ini memiliki ciri pribadi dan rujukan budaya ala Francis. Francis bersikukuh pada kenyataan bahwa tidak ada keluarga yang merupakan kenyataan sempurna; perhatian pastoral harus dikhususkan untuk semua keluarga, sebagaimana adanya. Kita tidak berbicara tentang keluarga ideal seperti yang disampaikan oleh orang-orang konservatif yang menentang pernikahan gay.

Beberapa uskup berpikir, dengan beberapa pembenaran, bahwa Francis telah kembali pada ambisinya untuk melakukan reformasi, memilih semacam status quo pada pertanyaan yang paling sensitif. Para pembela Francis, di sisi lain, melihat Amoris laetitia sebagai sebuah titik balik yang utama.

Menurut salah satu penulis teks ini, kaum homosex seakan kalah dalam pertempuran Sinode ini, tetapi di sisi lain mereka masih berhasil memasukkan, dengan cara ‘memukul balik,’ tiga referensi kode untuk homosex dalam nasihat kerasulan ini: sebuah rumusan tersembunyi tentang 'persahabatan yang penuh kasih' (§127); sebuah acuan kepada sukacita kelahiran Santo Yohanes Pembaptis, yang kita tahu telah dilukiskan sebagai banci baik oleh seniman Caravaggio dan Leonardo da Vinci, yang menggambarkan sosok Yohanes Pembaptis pada diri kekasihnya, Salaï (§65); dan akhirnya, nama pemikir Katolik yang akhirnya mengakui homoseksualitasnya, Gabriel Marcel (§322) ... sebuah Kemenangan tipis!

"Amoris laetitia adalah hasil dari kedua sinode," kata Kardinal Baldisseri kepada saya. “Jika Anda membaca bab 4 dan 5, Anda akan melihat bahwa itu adalah teks yang luar biasa tentang relasi kasih dan kasih itu sendiri. Bab 8, bab tentang subyek yang sensitif, yang memang benar, itu adalah sebuah bentuk kompromi.”

Sayap konservatif Vatikan tidak menyukai kompromi itu. Lima orang kardinal, termasuk dua 'menteri' paus, Gerhard Ludwig Müller dan Raymond Burke, telah mengemukakan ketidaksetujuan mereka, bahkan sebelum Sinode, dalam sebuah buku berjudul Remaining in the Truth of Christ - sebuah penolakan publik yang jarang bersifat berisik seperti itu. Kardinal George Pell, menteri yang lain dari Francis, dan Angelo Scola, melakukan hal yang sama, secara efektif bergabung dengan pihak oposisi. Tanpa bersekutu secara formal dengan mereka, Georg Gänswein, sekretaris pribadi terkenal Paus Benediktus XVI, menyampaikan pesan publik yang juga menegaskan garis penolakan kompromi ini.

Kelompok yang sama mengambil pena mereka, begitu diskusi Sinode kedua selesai, untuk membuat perselisihan mereka terbuka. Mereka menyerukan adanya 'kejelasan' tentang 'keraguan' (dubia) dalam Amoris laetitia, surat itu ditandatangani oleh empat orang kardinal:  orang Amerika Raymond Burke, orang Italia Carlo Caffarra dan dua orang Jerman, Walter Brandmüller dan Joachim Meisner (segera dijuluki empat kardinal 'dubia' yang artinya ‘ragu-ragu’ dalam bahasa Latin). Surat mereka diumumkan kepada publik pada September 2016. Paus bahkan sama sekali tidak berusaha untuk menjawabnya.

Mari kita melihat sebentar pada keempat 'dubia' itu. Dua dari empat kardinal ini baru saja meninggal. Menurut banyak sumber di Jerman, Swiss, Italia, dan Amerika Serikat, mereka bersifat tertutup dan memiliki banyak pertemuan 'duniawi' dan persahabatan khusus. Rombongan salah satu dari mereka diejek dalam pers berbahasa Jerman karena seluruhnya terdiri dari pemuda tampan dan banci; 'homofilia' miliknya kini telah dibuktikan oleh wartawan di luar Rhine. Adapun Carlo Caffarra - mantan Uskup Agung Bologna, diangkat menjadi kardinal oleh Benediktus XVI - yang mendirikan Institut John Paul II 'untuk studi tentang perkawinan dan keluarga', dia begitu vokal dalam penentangannya terhadap perkawinan gay sehingga obsesi ini membuatnya terpinggirkan.

Para kardinal dubia memiliki gaya mereka sendiri: kerendahan hati yang menonjol dan kemewahan yang besar; ledakan tawa beriringan dari teman-teman muda mereka yang tampan; gantungan-gantungan dari sakristi, ‘para ratu liturgi,’ paduan suara dari anak-anak laki yang rambutnya disisir dengan rapi dari sekolah-sekolah Yesuit dan Inquisition; bahasa yang cukup menyiksa pendengarnya dan sikap dari abad pertengahan dalam hal moralitas seksual. Dan di atas semua itu, betapa kurangnya antusiasme mereka dalam masalah seks yang adil! Keengganan terhadap wanita! Keriangan dalam hal yang ilahiah. Sikap yang kaku - atau sebaliknya. Selalu berpikir: ‘Perempuan terlalu banyak protes.’

Memperoleh banyak informasi tentang 'homofilia' dari beberapa dubia ini serta paradoks kehidupan lawan-lawannya – sikap keras dan kekakuan moral ini - paus sangat tersentak oleh sikap seperti itu.

Sekarang kita melihat bagian ketiga dari pertempuran Francis melawan para penentangnya: cara Luciferian. Secara metodis, paus akan menghukum musuh-musuhnya, satu demi satu kardinal dihukum atau disingkirkan: baik dengan mencopot jabatan mereka (Gerhard Müller diberhentikan sebagai prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, Mauro Piacenza dipindahkan tanpa alasan, Raymond Burke dikeluarkan dari jabatannya sebagai kepala Mahkamah Agung); dengan mengosongkan jabatan mereka dari semua substansi (Robert Sarah kembali sebagai kepala sebuah pelayanan, sebuah kantung yang benar-benar kosong, kehilangan semua dukungan); dengan mengabaikan rombongan mereka (semua rekan kerja Sarah dan Müller telah disingkirkan dan digantikan oleh para pendukung Francis); atau dengan membiarkan para kardinal itu melemahkan diri mereka sendiri (contohnya, tuduhan pelecehan seksual terhadap George Pell, kesalahan penanganan atas masalah ini oleh Gerhard Müller dan Joachim Meisner, dan pertempuran internal dalam Ordo Malta yang melibatkan Raymond Burke). Siapa bilang Paus Francis murah hati? Penuh belas kasih?

Pagi ketika saya bertemu Kardinal Ludwig Gerhard Müller di kediaman pribadinya di Piazza della città Leonina, dekat Vatikan, saya merasa bahwa saya telah membangunkannya. Apakah dia telah bernyanyi sepanjang malam? Prefek yang sangat kuat dari Kongregasi untuk Ajaran Iman ini, dan musuh no. 1 dari Paus Francis, membuka pintunya sendiri ... dan dia masih mengenakan pakaian tidur. Perjumpaan pertamaku dengan kardinal memakai piyama!

Di depan saya, saya melihat seorang lelaki jangkung berkemeja kusut, dengan celana panjang santai, elastis dan longgar, merek Vittorio Rossi, dan sandal. Sedikit malu, saya tergagap: "Kami memang mengatur untuk bertemu pukul 9.00?"

“Ya, tentu saja. Tetapi Anda tidak berencana untuk mengambil foto apa pun, bukan?” tanya mantan kardinal-prefek, yang sekarang tampaknya menyadari betapa aneh pakaiannya itu.

"Tidak, tidak - tidak boleh ambil foto."

"Jadi saya bisa tetap berpakaian seperti ini," kata Müller kepada saya.

Kami duduk di kantornya yang luas, di mana sebuah perpustakaan yang mengesankan menutupi setiap dinding. Percakapan memanas, dan Müller tampaknya lebih kompleks daripada yang dikatakan oleh lawannya.

Seorang intelektual yang dekat dengan Benediktus XVI, ia sangat akrab, seperti paus emeritus, dengan karya Hans Urs von Balthasar dan Jacques Maritain, dan kami berbicara tentang mereka untuk waktu yang lama. Müller menunjukkan kepada saya buku-buku mereka di perpustakaannya yang tertata rapi untuk membuktikan kepada saya bahwa dia telah membacanya.

Apartemen itu klasik, dan jelek menurut pandangan yang agak bukan-Katolik. Itu adalah sifat yang dimiliki bersama oleh puluhan apartemen kardinal yang telah saya kunjungi: semi-mewah, setengah jadi, campuran genre yang tidak cocok, ersatz, dan superfisial, alih-alih kedalaman. Singkatnya, inilah yang akan saya sebut 'middlebrow'! Itu adalah istilah yang mereka gunakan di Amerika Serikat untuk hal-hal yang tidak elitis atau kelas pekerja: itu adalah budaya tengah, budaya antara-dua budaya lain; budaya yang ada di tengah. Jam art-deco besar, mewah, yang berhenti bergerak jarumnya; laci bergaya Barok yang terlalu mewah; sebuah meja dari seorang pemadam kebakaran yang semuanya bercampur menjadi satu. Ini adalah budaya buku catatan moleskin, yang secara palsu meniru Bruce Chatwin dan Hemingway, legenda-legenda apokrifa. Gaya seperti itu laksana tanpa gaya sama sekali, hambar dan kusam, dan itu adalah hal biasa bagi Müller, Burke, Stafford, Farina, Etchegaray, Herranz, Martino, Ruini, Dziwisz, Re, Sandoval dan banyak kardinal yang mencari 'peningkatan diri' yang telah saya kunjungi .

Setelah pemecatannya, Müller nampak sangat berkurang dalam gaya bicaranya ketika saya bertemu dengannya. Paus memecatnya, tanpa upacara, dari Kongregasi untuk Doktrin Iman, dimana dia telah menjadi 'prefek' disitu sejak Benediktus XVI.

"Apa yang saya lakukan dengan Paus Francis?" Müller bertanya-tanya. “Katakanlah bahwa Francis memiliki caranya sendiri dalam melakukan sesuatu, gayanya sendiri. Tetapi Anda akan mengerti bahwa pertanyaan tentang Francis yang ‘pro’ dan ‘kontra’ hampir tidak memiliki arti bagi saya. Jubah merah yang kita kenakan adalah tanda bahwa kita siap untuk memberikan darah kita kepada Kristus, dan melayani Kristus berarti, untuk semua kardinal, melayani Vikaris Kristus. Tetapi Gereja bukanlah komunitas robot, dan kebebasan anak-anak Allah memungkinkan kita untuk memiliki pendapat yang berbeda, gagasan berbeda, perasaan lain, yang berbeda dengan paus. Tetapi saya ulangi, dan saya bersikeras, itu tidak berarti bahwa kita tidak ingin menjadi sangat setia kepada paus. Tetapi kami lebih ingin menjadi sangat setia kepada Tuhan."

Bersama dengan Raymond Burke, Robert Sarah, Angelo Bagnasco dan Mauro Piacenza, Müller yang setia bergabung dengan daftar panjang ‘Judas-Judas,’ melakukan banyak serangan licik dan pahit kepada paus. Dengan sifatnya yang suka bertengkar, kardinal pemberontak ini ingin memberikan beberapa pelajaran kepada Bapa Suci. Secara diam-diam, dia dengan keras menentang garis Francis dalam Sinode. Dia telah memberikan wawancara tentang moralitas yang bertentangan dengan Francis, dan itu menyebabkan meningkatnya ketegangan dan akhirnya pecah di antara mereka. Mengatakan bahwa dia telah jatuh ke dalam aib berarti menyiratkan bahwa dia pernah berada dalam keadaan rahmat. Ada harga tertentu pada galero merahnya selama beberapa bulan. Dan Francis mencopot jabatannya tanpa ragu selama diskusi yang, menurut Müller, ‘berlangsung sebentar.’ Dan di sini dia, di depan saya, dia memakai pakaian piyama!

Tiba-tiba seorang biarawati, yang penuh pengabdian, yang baru saja mengetuk pintu dengan lembut, datang dengan membawa teh buat kardinal, yang telah disiapkannya dengan perawatan ala klerus yang sesuai dengan Yang Mulia Kardinal, yang telah ‘jatuh.’ Merasa terkejut oleh masuknya biarawati itu, kardinal nyaris tidak mengawasi dia meletakkan cangkir dan, tanpa ucapan terima kasih, menyuruhnya pergi dengan agak kasar. Suster yang kuno, yang datang ke situ dengan rajin, dan kini pergi dengan cemberut. Bahkan seorang pelayan dalam keluarga kaya akan diperlakukan lebih baik! Saya merasa kasihan padanya dan kemudian, ketika tiba saatnya untuk pergi, saya ingin pergi dan menemui suster itu dan meminta maaf atas kekasaran kardinal.

Kardinal Müller adalah orang yang memiliki banyak kontradiksi. Di Bavaria, di mana dia menjadi uskup, dia dikenang sebagai uskup yang 'ambigu', dan mungkin bahkan seorang 'skizofrenia', menurut lebih dari selusin kesaksian yang saya kumpulkan di Munich dan Regensburg. Para imam dan jurnalis menggambarkan keterkaitan duniawinya kepada saya, di dalam  'Regensburger Netzwerk.' Dia tampaknya berada di bawah pengaruh Joseph Ratzinger dan Georg Gänswein.

“Ketika Müller menjadi Uskup Regensburg, di sini di Bavaria, kepribadiannya tidak bisa dipahami dengan baik. Hubungannya dengan kardinal terkenal Jerman, Karl Lehmann, seorang liberal dan progresif, tampak sangat rumit dalam masalah gay: mereka bertukar pendapat sangat kasar, melalui tulisan-tulisan yang sangat keras, dan bukan menulis apa yang mungkin diharapkan orang. Lehmann bersikap agak ramah-gay dan heterosex, sedangkan Müller sangat anti-gay. Pada saat yang sama Müller menjadi tamu tetap di pesta-pesta Puteri Gloria von Thurn und Taxis di St. Emmeram Castle,” saya diberitahu oleh seorang jurnalis dari Süddeutsche Zeitung di Munich, Matthias Drobinski, yang telah meliput gereja Jerman selama 25 tahun. .

Kastil di Regensburg, dengan keberanian dan kegembiraan tertentu, menggabungkan istana Romawi dan Gothic, biara Benediktin, sayap barok, dan ballroom rococo dan neo-rococo. Bermain dengan gaya dan era, istana ini bahkan dikenal milik saudara perempuan Ratu Sissi! Ini adalah rumah bagi Puteri Gloria von Thurn und Taxis, janda seorang industrialis kaya yang keluarganya membuat kekayaannya dengan memonopoli layanan pos pada masa Kekaisaran Romawi Suci, sebelum ini diambil alih oleh Napoleon. Itu adalah tempat pertemuan pinggiran paling konservatif dari Gereja Katolik Jerman, yang mungkin telah menjadi nama julukan bagi puterinya 'Gloria TNT', karena konservatismenya yang meledak-ledak!

Baru saja kembali dari pelajaran tenis hariannya, si penjaga istana, dengan kemeja polo merah muda monogram yang cocok dengan kacamata ovalnya yang berkilauan, arloji Rolex-nya dan cincin-cincin besar yang ditutupi dengan salib, memberi audiensi kepada saya. Wanita yang luar biasa! Sungguh seperti menonton sirkus!

Kami minum dari segelas anggur di 'Café Antoinette' - dinamai sesuai nama ratu Prancis yang dipenggal - dan Gloria von Thurn und Taxis, yang sebelumnya dijelaskan kepada saya sebagai karakter yang kaku dan penampilan yang kasar, namun anehnya, dia lembut dan ramah terhadap saya. Dia mengekspresikan dirinya dalam bahasa Prancis yang sempurna.

Gloria ‘TNT’ meluangkan waktu untuk menceritakan kehidupannya sebagai ‘ratu’; besar warisannya mencapai miliaran, dengan lima ratus kamar kastil yang harus dijaga, belum lagi 40.000 meter persegi atap: "itu sangat, sangat mahal," keluhnya, sambil membelalakkan matanya. Dia kemudian berbicara tentang komitmen politik sayap kanan reaksionernya; kecintaannya pada klerus, termasuk 'sahabatnya' Kardinal Müller; dan kehidupannya yang sibuk antara Jerman, New York dan Roma (di mana dia tinggal di sebuah pied-à-terre bersama putri lain, Alessandra Borghese, yang memicu desas-desus gila tentang kecenderungan gaya royalis mereka). Gloria TNT sangat menekankan versi Katoliknya yang kacau: “Saya beragama Katolik. Saya memiliki kapel pribadi tempat teman-teman imam saya dapat merayakan misa ketika mereka menginginkannya. Saya suka ketika kapel itu digunakan. Saya juga memiliki pastor domestik sendiri, selama lebih dari setahun. Dia sudah pensiun, saya mengajaknya ke sini. Sekarang dia tinggal bersama kami di sebuah apartemen di kastil: dia adalah pastor pribadiku,” kata Gloria' TNT 'menjelaskan.

Imam yang dimaksud bernama Mgr. Wilhelm Imkamp. Meskipun dia memiliki gelar 'monsignore', tetapi dia bukan seorang uskup.

“Imkamp adalah seorang imam ultra-konservatif yang terdokumentasi dengan baik. Dia ingin menjadi uskup, tetapi keinginan itu terhalang karena alasan pribadi. Dia sangat dekat dengan sayap konservatif radikal Gereja Jerman, khususnya Kardinal Müller dan Georg Gänswein," kata wartawan Süddeutsche Zeitung, Matthias Drobinski, kepada saya di Munich.

Imkamp yang gelisah dan kecewa ini adalah seorang imam yang penasaran: dia tampaknya cocok dengan Vatikan, di mana dia adalah 'konsultan' untuk beberapa sidang. Dia juga asisten salah satu kardinal Jerman yang paling anti-gay, Walter Brandmüller. Mengapa hubungan aktif ini dan persahabatannya dengan Ratzingerian tidak memungkinkannya untuk menjadi uskup di bawah Benediktus XVI? Itu adalah misteri yang pantas untuk dijelaskan.

David Berger, seorang mantan seminaris dan teolog, sekarang menjadi seorang militan gay, menjelaskan selama wawancara di Berlin: “Setiap pagi, Mgr. Imkamp merayakan misa dalam bahasa Latin sesuai dengan ritual kuno di kapel Gloria von Thurn und Taxis. Dia sangat dekat dengan Georg Gänswein; dia adalah ‘Madonna’ dari kaum gay."

Gloria TNT, bangsawan yang dekaden ini, tidaklah kekurangan sarana, atau memang paradoks. Dia menggambarkan koleksi seni kontemporernya, yang menampilkan karya-karya, antara lain, Jeff Koons, Jean-Michel Basquiat, Keith Haring dan fotografer Robert Mapplethorpe, termasuk potret yang megah dan terkenal tentang dirinya oleh Mapplethorpe. Koons masih hidup, sementara dua seniman ini, Haring dan Mapplethorpe, adalah homosex dan meninggal karena AIDS; Basquiat adalah seorang pecandu narkoba; Mapplethorpe ditolak oleh sayap paling kanan Katolik Amerika karena karyanya yang dinilai homoerotik dan sadomasokistik. Kontradiktif?

Sang putri meringkas perasaannya yang terbagi tentang homoseksualitas dalam sebuah debat dengan Bavarian Conservative Party (CSU) di hadapan Mgr. Wilhelm Imkamp: “Semua orang dapat melakukan apa yang mereka sukai di kamar mereka, tetapi itu tidak boleh dirubah menjadi program politik.” Kami memahami hal itu sebagai kode: toleransi besar untuk homoseksual yang 'tertutup' dan tidak ada toleransi untuk gay yang ‘terbuka!’

Sebuah ‘koktail peledak,’ sosok 'Gloria TNT' ini: pemuja religius dan seorang jetsetter aristo-punk; seorang fundamentalis Katolik yang kuat dan gila yang dikelilingi oleh kaum gay. Sebuah 'cocotte' dari urutan pertama!

Secara tradisional dia dekat dengan kaum konservatif CSU di Bavaria, selama beberapa tahun terakhir dia tampaknya telah menyerap ide-ide tertentu dari AfD, partai Jerman reaksioner sayap kanan, meskipun dia belum secara resmi bergabung dengannya. Dia terlihat berbaris di samping para deputinya di ‘Demos für Alle’, demonstrasi anti-pernikahan-gay; dia juga menyatakan, dalam sebuah wawancara, rasa sayangnya untuk Duchess Beatrix von Storch, wakil presiden AfD, sementara pada saat yang sama mengakui ketidaksetujuannya dengan partainya.

“Gloria von Thurn und Taxis adalah ciri khas sifat abu-abu, antara kaum Sosialis Kristen CSU dan sayap kanan yang keras AfD, yang menyetujui kebencian mereka terhadap ‘teori gender,’ perjuangan mereka melawan aborsi, pernikahan gay, atau penolakan kebijakan imigrasi dari Kanselir Angela Merkel,” saya diberitahu oleh teolog Jerman Michael Brinkschröder di Munich.

Di sini kita berada di jantung dari apa yang disebut 'jaringan Regensburg', sebuah konstelasi di mana Sun-Queen Gloria 'TNT' adalah layaknya bintang yang cerah di mana ada 'seribu setan menari'. Prelatus Ludwig Müller, Wilhelm Imkamp, ​​dan Georg Gänswein selalu merasa nyaman tinggal di pondok 'ramah' ini di mana pelayan selalu dalam keadaan siap melayani dan kue-kue dihiasi dengan ‘60 marzipan penises’ (kami diberitahu oleh pers Jerman). Sebagai putri, Gloria TNT juga memasok layanan purna jual: ia mempromosikan buku-buku anti-gay dari teman-temannya, para kardinal reaksioner seperti Müller, atau ultra-konservatif dari Guinea, Robert Sarah, atau dari German Joachim Meisner, dengan siapa dia telah menulis bersama sebuah buku wawancara. Meisner dianggap sebagai intisari dari kemunafikan Katolik: dia sekaligus salah satu musuh Paus Francis (salah satu dari empat 'dubia'); homofob yang berkomitmen; seorang uskup yang dengan sengaja menahbiskan, baik di Berlin dan Cologne, imam-imam gay; seseorang yang dikunci dengan kuat di lemari sejak akhir masa pubernya; dan seorang estetikus yang hidup dengan rombongannya yang banci dan sebagian besar LGBT. Satu set kualitas yang mengesankan!

Haruskah pemikiran Kardinal Müller dianggap serius? Para kardinal dan teolog penting Jerman bersikap kritis terhadap berbagai tulisannya, yang tidak memiliki otoritas, dan pemikirannya yang tidak selalu dapat dipercaya. Tetapi anehnya, mereka menekankan bahwa dia telah mengoordinasikan publikasi karya lengkap Ratzinger, yang seakan menyindir bahwa kedekatan antara kedua pria itu dapat menjelaskan pengangkatannya menjadi kardinal dan penunjukannya sebagai kepala dari Kongregasi untuk Ajaran Iman.

Penilaian yang keras ini haruslah diperiksa dengan benar: Müller dijadikan kardinal oleh Francis dan bukan oleh Benedict XVI. Dia adalah seorang pastor di Peru dan merupakan penulis buku-buku serius, terutama tentang teologi pembebasan di Amerika Latin, yang memungkinkan kita, jika tidak menempatkan konservatismenya ke dalam perspektif, setidaknya untuk menunjukkan kompleksitasnya. Selama percakapan kami, dia bersikeras bahwa dia adalah teman Gustavo Gutíerrez, 'bapak pendiri' dari gerakan keagamaan ini, yang dia tuliskan dalam sebuah buku.

Di sisi lain tidak ada keraguan tentang sikap homofobia-nya: ketika paus menunjukkan empati dalam percakapan pribadi dengan Juan Carlos Cruz, seorang homosex yang menjadi korban pelecehan seksual – “Fakta bahwa Anda adalah seorang gay tidaklah relevan. Tuhan menciptakan Anda seperti apa adanya (sebagai gay) dan Dia mengasihi Anda dalam keadaan seperti itu (sebagai gay) dan itu tidak masalah bagi saya. Paus mengasihi Anda seperti itu. Anda harus bahagia sebagaimana adanya," demikian kata Francis – Segera saja Kardinal Müller membuat serangkaian pernyataan kemarahan dan secara terbuka dia mengatakan bahwa ‘homofobia adalah tipuan.’

Keparahan ini, kepercayaan diri ini, tidak sejalan dengan kelambanan yang diperlihatkan Kardinal Müller dalam kasus-kasus pelecehan seksual yang telah diinformasikan kepadanya. Di bawah kepemimpinannya, Kongregasi untuk Doktrin Iman, yang bertanggung jawab atas berkas-berkas pedofil di Vatikan, menunjukkan kelalaiannya (yang ditolak dengan tegas oleh Muller), dan sedikit empati dengan para korban. Kurangnya dukungannya juga berkontribusi pada mundurnya seorang Marie Collins, wanita Irlandia, umat awam, yang berpengaruh besar, yang juga menjadi korban dari imam-imam pedofil, dari komisi perlindungan anak di bawah umur, yang dibentuk oleh Vatikan untuk memerangi pelecehan seksual di dalam Gereja.

Pada Sinode tentang Keluarga, Müller jelas-jelas mendukung oposisi terhadap paus Francis, meskipun dia memberi tahu saya hari ini, dengan sedikit kemunafikan, bahwa dia tidak ingin menambah kebingungan pada kebingungan, kepahitan kepada kepahitan, kebencian kepada kebencian. Dia memimpin pemberontakan 'dubia', dia mengusulkan penolakan pemberian Komuni untuk orang yang bercerai dan menikah kembali dengan orang lain secara sipil menjadi sebuah dogma, dan dia terbukti secara radikal memusuhi penahbisan wanita dan bahkan 'viri probati'. Dia adalah orang yang hafal semua ayat Perjanjian Lama dan surat-surat yang menyebutkan 'kejahatan' ini – dan dia mengatakan bahwa orang-orang homoseksual harus dihormati dengan syarat bahwa mereka tetap hidup suci. Pada akhirnya kardinal tampaknya menjadi lawan yang kuat dari 'ideologi gender', yang telah dia gambarkan secara kasar, tanpa kehalusan kalimat seperti yang dia tunjukkan dalam analisisnya tentang teologi pembebasan.

Paus Francis tidak menghargai kritik Müller tentang Sinode Keluarga, dan khususnya Amoris Laetitia. Dalam pidato Natal di tahun 2017, dia mengacu kepada Müller, tanpa menyebut namanya, dengan mencela orang-orang itu ‘yang mengkhianati kepercayaannya dan membiarkan diri mereka dicemari oleh ambisi atau kesombongan; dan ketika mereka dengan hati-hati diusir, secara keliru menyatakan diri mereka sebagai martir dari sistem, daripada melakukan mea culpa mereka.' Yang lebih keras lagi, paus mengecam mereka yang berada di belakang 'persekongkolan', dan yang mewakili 'kanker' dalam kelompok kecil ini. Seperti yang bisa kita lihat, Francis dan Müller hampir tidak memiliki ‘persyaratan’ terbaik.

Tiba-tiba kami terganggu, selama percakapan kami di ruang duduk kardinal, oleh dering telepon. Tanpa meminta maaf, imam itu berjinjit bangkit dan menjawabnya. Setelah melihat nomor yang tertera di layar, segera dia mengambil pose dan suara yang bersungguh-sungguh: sekarang dia bersikap sopan santun. Dia mulai berbicara dalam bahasa Jerman, dengan suara yang indah. Pembicaraan berbunga-bunga berlangsung hanya beberapa menit, tetapi saya mengerti bahwa itu adalah pembicaraan pribadi. Jika saya tidak berhadapan dengan seorang pria di depan saya - seorang pria yang telah mengambil sumpah kesucian - dan jika saya tidak mendengar suara gema dari jauh, suara bariton, saya akan mengerti itu adalah ‘panggilan intim.’

Kardinal itu kembali dan duduk di dekat saya, dengan agak khawatir. Dan tiba-tiba dia bertanya kepada saya, dengan penuh rasa ingin tahu: "Apakah Anda mengerti bahasa Jerman?"

Di Roma, kadang-kadang Anda merasa berada dalam film Hitchcock. Juga tinggal di gedung yang sama tempat Müller tinggal adalah musuh besarnya: Kardinal Walter Kasper. Saya bahkan akan mengenal penjaga gedung art-deco ‘tanpa perasaan,’ kepada siapa saya akan menyampaikan pesan-pesan yang ditinggalkan oleh dua kardinal yang saling bersaing itu, atau buku putih terkenal, yang akan saya kirimkan sebagai hadiah untuk Müller.

Kedua orang Jerman itu telah lama ‘bersilangan pedang,’ dan pertarungan teologis mereka sangat mengesankan. Mereka mengadakan pertandingan ulang pada tahun 2014–15: Sebagai inspirasi Francis dan teolog tidak resmi, Kasper mendapati dirinya dipercayai dengan tugas memberikan pidato utama untuk Sinode tentang Keluarga, dan Müller yang menghancurkannya!

“Paus Francis harus mengalah, itu fakta. Dia tidak punya pilihan. Tapi dia selalu tegas. Dia menerima kompromi saat mencoba mengarahkan jalannya," kata Kasper memberi tahu saya selama wawancara di rumahnya.

Kardinal Jerman itu mengenakan setelan gelap yang sangat pantas, berbicara dengan suara yang hangat dan lembut. Dia mendengarkan, merenung dalam keheningan, sebelum melemparkan dirinya ke dalam penjelasan filosofis yang panjang, yang mengingatkan saya pada percakapan panjang saya dengan umat Katolik penggemar jurnal Esprit di Paris.

Ini adalah Kasper, sedang berbicara tentang Santo Thomas Aquinas, yang sedang dia baca ulang dan yang, dalam pandangannya, dikhianati oleh para neo-Thomis, para pewarta yang meradikalisasi dan memperoloknya, seperti yang dilakukan kaum Marxis terhadap Marx dan Nietzscheans terhadap Nietzsche. Kasper berbicara kepada saya tentang Hegel dan Aristoteles dan, ketika dia sedang mencari buku karya Emmanuel Levinas dan berusaha mencari buku lain dari Paul Ricoeur, saya menyadari bahwa saya sedang berurusan dengan seorang intelektual sejati. Kecintaannya pada buku tidaklah main-main.

Lahir di Jerman pada tahun Hitler berkuasa, Kasper belajar di Universitas Tübingen, yang rektornya adalah teolog Swiss, Hans Küng, di mana dia secara teratur bertemu dengan Joseph Ratzinger. Selama tahun-tahun yang penting itulah kedua persahabatan penting ini dimulai, yang akan berlangsung sampai hari ini terlepas dari ketidaksepakatan yang meningkat yang akan dia alami dengan paus masa depan, Benediktus XVI.

“Francis lebih dekat dengan cara berpikir saya. Saya menghargai dia, saya memiliki banyak kasih sayang padanya, meskipun pada akhirnya saya tidak terlalu sering melihatnya. Tapi saya juga menjaga hubungan yang sangat baik dengan Ratzinger, terlepas dari perbedaan kami."

'Perbedaan' itu bermula pada tahun 1993, dan sudah menyangkut debat tentang orang yang bercerai yang sudah menikah kembali - keprihatinan Kasper yang sebenarnya, bahkan lebih dari sekadar pertanyaan tentang homoseksual. Dengan dua uskup lainnya, dan mungkin dengan dorongan dari Hans Küng, yang telah memutuskan hubungan dengan Ratzinger, Kasper meminta sepucuk surat dibacakan di gereja-gereja di keuskupannya untuk membuka debat tentang pemberian Komuni kepada orang yang bercerai dan menikah lagi. Dia berbicara tentang belas kasih dan kompleksitas situasi individu, persis seperti Francis saat ini.

Dalam menghadapi tindakan pembangkangan yang lembut ini, Kardinal Ratzinger, yang saat itu memimpin Kongregasi untuk Ajaran Iman, menghentikan para petualang ini di tengah jalan. Dalam sepucuk surat yang cukup keras, dia memperingatkan mereka untuk kembali ke dalam barisan. Dengan suatu ‘perlawanan tanpa kekerasan,’ Kasper mendapati dirinya menentang paus masa depan, Benediktus XVI, seperti halnya Müller, yang ‘menghadap ke arah tetangga sebelah yang lain,’ yang akan dia lakukan terhadap Francis.

Dengan demikian, Kasper – Müller adalah merupakan garis pemisah sinode, pertempuran lain dilakukan pada 2014–15 setelah dilancarkan dengan bahasa yang sama dan hampir dengan prajurit yang sama, 25 tahun sebelumnya, antara Kasper dan Ratzinger! Vatikan sering tampak seperti kapal laut besar yang terhenti di tengah gelombang besar.

"Saya seorang pragmatis," kata Kasper kepada saya. “Jalan yang ditetapkan oleh Francis, dan strategi langkah kecilnya, adalah yang benar. Jika Anda bergerak maju terlalu cepat, seperti dalam penahbisan wanita atau selibat imamat, akan ada perpecahan di antara umat Katolik, dan saya tidak menginginkan itu terjadi dalam Gereja saya. Bagi orang yang bercerai, di sisi lain, Anda bisa bergerak lebih jauh. Saya sudah lama mempertahankan gagasan itu. Ketika saatnya tiba untuk mengatasi pasangan homoseksual, itu adalah subjek yang lebih sulit: Saya mencoba untuk mengajukan perdebatan di dalam sinode, tetapi kami tidak didengarkan. Francis menemukan jalan tengah dengan berbicara tentang orang, tentang individu. Dan kemudian, secara bertahap, dia memindahkan pokok bahasan. Dia juga putus asa dengan jenis kebencian tertentu: dia menunjuk wanita di mana-mana: di dalam komisi-komisi, di dalam dicasteri, di antara para ahli. Dia berbicara dengan iramanya sendiri, dengan caranya sendiri, tetapi dia memiliki sebuah tujuan sendiri."

Walter Kasper mengambil posisi, setelah kemenangan atas debat 'pernikahan sesama jenis' di Irlandia, bahwa Gereja akan menerima vonis melalui pemungutan suara. Referendum pada bulan Mei 2015 ini diadakan antara kedua sinode, dan kardinal Kasper berpikir pada waktu itu bahwa Gereja harus mempertimbangkannya, ketika dia memberi tahu Corriere della Sera: dalam pandangannya, pertanyaan tentang pernikahan, yang saat itu masih ‘marginal 'sebelum Sinode pertama, menjadi 'sentral' ketika, untuk pertama kalinya, pernikahan dibuka untuk pasangan sesama jenis 'dengan melalui pemungutan suara.' Dan kardinal menambahkan dalam wawancara yang sama: “Sebuah negara yang demokratis harus menghormati kehendak rakyat. Jika mayoritas warga menginginkan ‘pernikahan’ semacam ini, adalah kewajiban negara untuk mengakui hak-hak tersebut.”

Kami berbicara tentang semua masalah ini di apartemennya, selama dua wawancara yang dia berikan kepada saya. Saya mengagumi ketulusan dan kejujuran kardinal. Kami berbicara dengan sangat bebas tentang pertanyaan homoseksual dan memang, Kasper terbukti bersikap terbuka; dia mendengarkan, dia mengajukan pertanyaan, dan saya tahu dari beberapa sumber saya, dan juga dengan intuisi - dan apa yang dikenal sebagai 'gaydar' - bahwa saya mungkin berurusan dengan salah satu dari beberapa kardinal di Kuria yang tidak homoseksual. Itulah aturan ketujuh dari Lemari, yang hampir selalu terbukti benar: para kardinal, uskup, dan pastor yang paling ramah gay, yang berbicara sedikit tentang masalah homoseksual, umumnya adalah heteroseksual.

Kami menyebutkan beberapa nama kardinal, dan Kasper sebenarnya mengetahui homoseksualitas beberapa rekannya. Beberapa di antaranya juga lawannya, yang paling 'kaku' di Kuria Roma. Kami memiliki keraguan tentang beberapa nama, dan setuju dengan nama yang lain. Pada tahap ini percakapan kami bersifat pribadi, dan saya berjanji untuk menjaga kerahasiaan permainan 'jalan-jalan' kecil kami ini. Dia hanya memberi tahu saya, seolah-olah dia baru saja membuat penemuan yang cukup getir: ‘Mereka bersembunyi. Mereka berselisih. Itulah kuncinya.’

Sekarang kita mengalihkan perhatian kita kepada kelompok 'anti-Kaspers' dan, untuk pertama kalinya, saya merasakan bahwa kardinal Kasper menjadi jengkel. Tetapi pada usia 85, teolog pro Francis ini tidak lagi ingin berperang melawan orang-orang munafik, kaum reaksioner. Dengan lambaian tangannya dia menutup debat dan berkata, dalam kalimat yang mungkin terdengar sia-sia dan sombong, tetapi yang sebenarnya merupakan peringatan nyata terhadap permainan-permainan kecil tak berguna dari para wali gereja yang terlepas dari realita dan, lebih buruk lagi, dari realita diri mereka sendiri: “Kami akan menang.” Dan ketika dia mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba saya melihat senyum indah muncul di wajah kardinal, sangat angkuh.

Di meja yang posisinya rendah ada sebuah salinan Frankfurter Allgemeine Zeitung, surat kabar yang dia baca setiap hari. Kasper berbicara kepada saya tentang Bach dan Mozart, dan saya bisa mendengar jiwa Jerman-nya bergema. Di dinding ruang tamu saya melihat sebuah lukisan yang menunjukkan sebuah desa, dan saya bertanya kepadanya tentang hal itu.

“Anda lihat, itu kenyataan. Desaku di Jerman. Saya kembali ke daerah saya setiap musim panas. Ada lonceng, gereja. Pada saat yang sama, saat ini, orang-orang tidak terlalu banyak menghadiri misa dan tampaknya mereka merasa bahagia tanpa Tuhan. Itu pertanyaan besar. Itu yang membuat saya khawatir. Bagaimana menemukan jalan Tuhan? Saya merasa kebiasaan itu telah hilang. Kami kalah perang."


No comments:

Post a Comment