Monday, February 6, 2017

USKUP-USKUP JERMAN SEKARANG MENGIJINKAN PEMBERIAN KOMUNI...

USKUP-USKUP JERMAN SEKARANG MENGIJINKAN PEMBERIAN KOMUNI KEPADA PASANGAN YANG MENIKAH LAGI



Setelah melalui sebuah periode yang agak lama untuk melakukan persiapan, kini dokumen pastoral dan doktrinal yang telah lama ditunggu-tunggu (“Word of the Bishops”) dari Konferensi Uskup-uskup Jerman mengenai penerapan Amoris Laetitia akhirnya keluar. Situs resmi dari Uskup-uskup Jerman, Katholisch.de, melaporkan hari ini: "Umat yang menikah lagi bisa menerima Komuni dalam kasus-kasus tertentu." Bagian dari berita ini, sebenarnya tidaklah terlalu mengejutkan, dan ia sudah dilaporkan secara internasional.

Sebagai dokumen yang baru - yang diterbitkan hari ini, 1 Februari 2017 – ia mengatakan, "Tidak semua orang yang pernikahannya terpecah dan kemudian menikah lagi" bisa menerima Sakramen-sakramen, termasuk Sakramen Tobat. Para uskup di Jerman mengusulkan sebuah proses pemeriksaan diri dan penegasan untuk memutuskan apakah pasangan yang "menikah lagi" itu, atau orang tertentu secara pribadi, bisa menerima Sakramen-sakramen. 
Dokumen dari Uskup-uskup Jerman itu - tertanggal 1 Februari, namun yang sudah dilaksanakan oleh uskup-uskup Jerman sejak 23 Januari 2017 - juga mengatakan bahwa Amoris Laetitia (AL 300) tidak secara tegas melarang orang yang  bercerai dan menikah lagi untuk menerima Sakramen, karena dalam beberapa kasus, ternyata ada yang kesalahannya tidak dapat ditemukan. Dokumen itu, seperti yang diharapkan, juga mengacu kepada ayat yang kontroversial - ayat 305 dengan catatan kaki nomor 351 - dan mengatakan bahwa tidak semua orang yang berada dalam "keadaan yang tidak wajar" adalah berada dalam keadaan berdosa, atau setidaknya "tidak sepenuhnya begitu". Selain itu, meskipun tidak setiap pasangan yang bermasalah boleh menerima Sakramen, tetapi para uskup Jerman mengatakan bahwa, untuk beberapa pasangan, memang, "Amoris Laetitia membuka kemungkinan untuk menerima Sakramen Tobat dan Ekaristi." Namun, hal ini juga harus dilakukan, menurut para uskup itu, dengan bantuan dan pendampingan dari seorang pastor.

Dalam konteks ini dan situasi penegasan seperti ini, maka uskup-uskup Jerman itu - dengan mengacu secara eksplisit kepada Amoris Laetitia (37) - menekankan pentingnya suara hati nurani dari masing-masing orang, yang mungkin tidak bisa ‘digantikan oleh peranan Gereja’ secara efektiv. Dokumen itu mengatakan:

Keputusan pribadi - dalam situasi yang bersifat pribadi juga – dimana seseorang merasa tidak layak untuk menerima Sakramen-sakramen, patutlah dihormati dan dihargai. Tetapi, kita juga harus menghormati keputusan pribadi seseorang yang merasa layak untuk menerima Sakramen-sakramen. (Disini kita melihat betapa uskup-uskup Jerman itu meletakkan suara hati nurani diatas Wahyu Kitab Suci. Sebuah tindakan yang keblinger.)

Para uskup Jerman itu memberikan penekanan kepada pemeriksaan hati nurani seseorang, yang harus dilakukan juga. Tapi, sementara mereka menolak dua keadaan ekstrem "terlalu malas" atau "terlalu bersemangat," mereka masih, secara halus, memberikan banyak kesempatan bagi pasangan yang mungkin sudah membuat keputusan tegas bagi dirinya sendiri - dengan bantuan seorang imam yang mendampinginya - apakah mereka bisa atau tidak bisa menerima Sakramen-sakramen. Maka Gereja, menurut uskup-uskup Jerman, haruslah menghormati keputusan mereka, seperti yang tersirat pada bagian terakhir dokumen mereka. 
Jadi nampaknya bahwa para uskup Jerman belum bertindak sejauh yang dilakukan oleh para uskup Malta dengan melalui pedoman baru buatan mereka sendiri - yang telah menekankan bahkan secara lebih eksplisit tentang pentingnya suara hati nurani individu - tetapi memang uskup-uskup Jerman sudah cukup dekat dengan keadaan itu. Hal Ini, tentu saja, tidaklah terlalu mengherankan, karena para uskup Jerman - di antaranya adalah Kardinal Walter Kasper sendiri – yang sejak lama dan telah berulang kali mendorong pelemahan moralitas Gereja dalam kasus perceraian yang kemudian menikah lagi.

Begitulah sejak tahun1993, (hampir 25 tahun yang lalu), ketika Kasper, bersama dengan dua uskup lainnya, pertama kali mengusulkan idenya (saat ini disebut sebagai ‘usulan Kasper’) untuk diterapkan di Jerman selatan :

Seorang pastor (dengan melakukan pemeriksaan pribadi pada kasus yang dihadapi seseorang atau suatu pasangan) hendaknya menghormati keputusan dari suara hati nurani mereka yang diperoleh setelah memeriksa suara hati nuraninya dan mereka menjadi yakin bahwa dirinya bisa menerima Komuni dan dibenarkan di mata Allah. 

Namun kemudian Kongregasi untuk Ajaran Iman di Vatikan menghentikan inisiatif ini. Perlu diketahui bahwa Kardinal Gerhard Müller sebagai Prefek atau Kepala dari Kongregasi yang sama baru saja secara tegas mengatakan bahwa tidak mungkin ada kontradiksi antara doktrin dan hati nurani individu; dimana kemudian dia menambahkan:

Misalnya, tidak dapat dikatakan bahwa ada keadaan-keadaan tertentu dimana suatu tindakan perzinahan bukan merupakan dosa berat. Bagi doktrin Katolik, adalah mustahil bagi dosa berat untuk berdiri berdampingan dengan rahmat pengudusan.

Kardinal Müller juga menekankan - dengan mengacu kepada Familiaris Consortio 84 – bahwa orang yang ‘menikah lagi setelah bercerai’, harus dalam keadaan berpantang dari hubungan sex jika mereka ingin menerima Sakramen-sakramen. Masalah itu, bagaimanapun juga, bahkan sama sekali tidak dibahas oleh uskup-uskup Jerman dalam 'pernyataan mereka yang baru itu’.

Dokumen baru yang sangat mengganggu dari para uskup Jerman ini muncul pada saat di mana salah satu uskup Jerman - Uskup Agung Heiner Koch, dari Berlin - kini bahkan menolak untuk memberikan penilaian moral apakah relasi homosex itu berdosa atau tidak. 
Sebagai contoh, pada 30 Januari 2017, koran progresif Jerman taz menerbitkan sebuah wawancara dengan Uskup Agung Berlin yang berkaitan dengan pertanyaan tentang homoseksualitas. Sementara uskup Koch menegaskan bahwa kata "pernikahan" berarti persatuan antara seorang pria dan seorang wanita, karena relasi itu bersikap terbuka untuk mendapatkan keturunan; tetapi dia kemudian membuat pernyataan yang sangat mengejutkan: "Saya memiliki rasa hormat betapa mereka (pasangan homoseksual) menjalankan seksualitas mereka sendiri - karena saya berasumsi bahwa mereka melakukannya secara bertanggung jawab." Ketika wartawan bertanya kepadanya mengapa Gereja tetap berpendapat bahwa relasi homoseksual adalah berarti hidup dalam keadaan dosa, meski Yesus Kristus sendiri tidak membuat pernyataan eksplisit tentang masalah ini, dan Koch menjawab: "Kamu berharap bahwa saya harus membuat penilaian umum tentang seorang individu. Saya tidak akan melakukan hal itu.” Kemudian dia menolak untuk menyampaikan ajaran moral Gereja menurut versinya sendiri tentang homoseksualitas.

Seperti dapat dilihat di sini, lunturnya ajaran Katolik semakin meluas di Jerman.

Update, 2 Februari:

Menurut sebuah artikel Katholisch.de hari ini, "orang yang bercerai dan menikah lagi" tidak perlu menghubungi seorang imam untuk memperoleh penegasan dari situasi yang mereka hadapi, dalam kaitannya dengan penerimaam Sakramen-sakramen. Saya sendiri telah memahami arti kata dari bahasa Jerman "Seelsorger" yang berarti seorang imam; tetapi saya mungkin telah keliru. Saya akan mencoba untuk menindaklanjuti masalah ini dengan bertanya kepada Konferensi Uskup-uskup Jerman sendiri.

No comments:

Post a Comment