Thursday, April 4, 2019

PROFESSOR ROBERTO DE MATTEI TENTANG KEPAUSAN FRANCIS...





PROFESSOR ROBERTO DE MATTEI TENTANG KEPAUSAN FRANCIS:
ENAM TAHUN KEMUNAFIKAN DAN KEBOHONGAN



OnePeterFive dengan bangga mempersembahkan wawancara eksklusif Profesor Roberto De Mattei, Presiden Yayasan Lepanto, dengan jurnalis Italia. Aldo Maria Valli - salah satu jurnalis Italia yang membantu menerbitkan kesaksian Vigano pada Agustus 2018. Seperti biasa, Profesor de Mattei menyampaikan wawasan dan analisis yang jujur dan menggugah pikiran.



Aldo Maria Valli: Profesor De Mattei, dalam masa kepausan ini, tidak sehari pun berlalu tanpa menyebabkan kebingungan dan keraguan baru bagi banyak umat beriman. Deklarasi tentang agama-agama lain yang dibuat di Abu Dhabi telah menimbulkan banyak keprihatinan. Sepertinya, tidak ada cara untuk menghindari fakta bahwa pernyataan itu bermasalah. Bagaimana Anda menafsirkannya?

Profesor Roberto De Mattei: Deklarasi Abu Dhabi yang dibuat pada 4 Februari 2019, yang ditandatangani oleh Paus Francis dan imam agung Al-Azhar menegaskan bahwa “pluralisme dan keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras dan bahasa adalah dikehendaki oleh Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, melalui mana Dia menciptakan manusia.” Penegasan paus Francis ini bertentangan dengan ajaran Gereja, yang mengatakan bahwa satu-satunya agama yang benar adalah agama Katolik. Faktanya, hanya dengan Iman kepada Yesus Kristus dan dalam Nama-Nya manusia dapat memperoleh keselamatan kekal (lih. Kis 4:12).

Pada tanggal 1 Maret 2019, selama kunjungan ad limina para uskup Kazakhstan ke Roma, Uskup Athanasius Schneider menyatakan kebingungannya kepada Paus Francis tentang deklarasi Abu Dhabi. Paus menjawab kepadanya bahwa "keragaman agama hanyalah kehendak permisif dari Tuhan." Jawaban ini sangat menipu, karena nampak bahwa paus Francis mengakui jika pluralitas agama adalah kejahatan yang diizinkan oleh Tuhan tetapi tidak dikehendaki oleh-Nya, dan dengan pola pikir yang sama hal itu tidak berlaku bagi keragaman jenis kelamin dan ras, yang secara positif dikehendaki oleh Allah. Ketika Uskup Schneider menyatakan keberatannya kepada paus, paus Francis mengakui bahwa frasa itu “dapat dipahami secara keliru.” Namun Paus tidak pernah memperbaiki atau menganulir penegasannya, dan bahkan Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, atas permintaan paus Francis, menganjurkan semua uskup untuk menyebarluaskan deklarasi Abu Dhabi sehingga "dapat menjadi objek penelitian dan refleksi di semua sekolah, universitas dan lembaga pendidikan dan formasi para religius."

Interpretasi yang menyebar luas adalah bahwa pluralitas agama adalah hal yang baik, bukan kejahatan yang ditoleransi oleh Tuhan. Tampaknya bagi saya bahwa kontradiksi yang disengaja oleh paus Francis ini adalah mikrokosmos dari seluruh warna pemerintahan dari paus Bergoglio.

Bagaimana Anda, sebagai sejarawan Gereja, merangkum enam tahun terakhir pemerintahan paus Francis ini?

Sebagai tahun-tahun kemunafikan dan kebohongan. Jorge Mario Bergoglio dipilih karena dia nampak seperti seorang uskup yang “rendah hati dan sangat spiritual” (demikianlah Andrea Tornielli memberi hormat kepadanya di La Stampa), seorang yang nampaknya “akan memperbarui dan menyucikan Gereja.” Namun tidak satupun harapan ini yang terjadi. Paus Francis tidak bersedia menghentikan jabatan uskup-uskup yang paling korup baik dari Kuria Roma atau pun dari keuskupan lokal. Dia baru mau melakukannya hanya ketika, seperti dalam kasus McCarrick, dia dipaksa oleh opini publik. Pada kenyataannya, paus Francis telah menunjukkan dirinya sebagai paus politik, paus paling haus politis pada abad terakhir. Bujukan-bujukan politiknya adalah merupakan bentuk Peronisme sayap kiri (komunis), yang pada dasarnya membenci segala bentuk ketidaksetaraan dan menentang budaya dan masyarakat Barat. Ketika dibawa ke ranah gerejawi, paham Peronisme bergabung dengan teologi pembebasan dan mengarah kepada upaya untuk memaksakan demokratisasi sinode kepada Gereja, yang melucuti Gereja dari sifat esensiilnya.

KTT tentang pelecehan seksual sepertinya sudah dilupakan. KTT itu penuh dengan ekspresi yang kedengarannya bagus ketika diucapkan oleh media arus utama, tetapi KTT itu sama sekali tidak mengarah kepada sesuatu yang baru. Secara umum, bagaimana Anda menilai cara Tahta Suci mengatasi krisis sexual ini?

Dengan cara yang jelas-jelas saling bertentangan. Norma-norma anti-pelecehan yang baru saja disetujui oleh Paus Francis telah menghindari masalah yang sebenarnya, yaitu hubungan antara pengadilan Gereja dan pengadilan sipil, atau, yang terlihat lebih luas, hubungan antara Gereja dan dunia. Gereja memiliki hak dan kewajiban untuk menyelidiki dan menghakimi mereka yang dituduh melakukan kejahatan yang tidak hanya melanggar hukum perdata tetapi juga hukum gerejawi, yang ditegaskan oleh hukum kanon. Dalam hal ini, perlu untuk membuka pengadilan pidana reguler di pengadilan Gereja yang menghormati hak-hak dasar terdakwa dan tidak dikondisikan oleh hasil pengadilan sipil apa pun.

Sebaliknya, hari ini, dalam kasus Kardinal Pell (Australia), Vatikan mengatakan akan membuka pengadilan kanonik, tetapi pertama-tama perlu "menunggu hasil dari proses banding [sipil]." Dalam kasus Kardinal Barbarin (Perancis), yang dijatuhi hukuman hingga enam bulan penjara dengan masa percobaan dan juga menunggu proses banding, juga belum ada pengumuman resmi dari pengadilan kanonik. Ketika Kardinal Luis Francisco Ladaria, prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, dipanggil untuk memberikan kesaksian dalam kasus Barbarin oleh para hakim di Lyon, Vatikan meminta kekebalan diplomatik, tetapi hal yang sama tidak dilakukan untuk Kardinal Pell. Kebijakan standar yang berbeda untuk orang yang berbeda ini adalah bagian dari iklim ambiguitas dan duplikasi yang kita jalani sekarang.

Selama masa kepausan ini, norma-norma baru telah diperkenalkan bagi kehidupan biara. Beberapa komunitas monastik sangat khawatir, karena mereka menganggap norma-norma baru ini sebagai ancaman bagi kehidupan kontemplatif. Apakah Anda merasakan kekhawatiran ini?

Ya, sepertinya ada rencana untuk menghancurkan kehidupan kontemplatif. Saya sangat menghargai artikel yang Anda dedikasikan untuk tema ini di blog Anda. Konstitusi tentang kehidupan kontemplatif perempuan Vultum Dei Quaerere 29 Juni 2016, dan Instruksi Kor Orans 1 April 2018, menekan setiap bentuk otonomi yuridis dan menciptakan federasi dan organisme birokrasi baru sebagai “struktur persekutuan.” Kewajiban untuk menjadi bagian dari struktur-struktur ini berarti bahwa biara-biara secara de facto, kehilangan otonomi mereka, yang kemudian dilebur ke dalam kelompok biara tanpa nama yang kesemuanya bergerak menuju pembubaran kehidupan biara tradisional. “Normalisasi” kaum modernist pada beberapa biara yang masih menolak revolusi akan menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Namun, penindasan yuridis atas kehidupan kontemplatif yang kita tuju tidak menandakan akhir dari semangat kontemplatif, yang menjadi semakin kuat sebagai respons terhadap sekularisasi Gereja sekarang. Saya tahu biara-biara yang telah berhasil mengamankan kebebasan hukum dari Kongregasi bagi Kehidupan Religius dan mempertahankan kehidupan biara, akan mendukung Gereja Kristus dalam krisis ini dengan doa syafaat mereka. Saya yakin bahwa, seperti yang pernah dikatakan, doa dari dalam biara-biara akan menguasai dunia.

Peringatan keenam pemilihan Paus Bergoglio telah berlalu, meski hal itu terasa agak sepi. Seseorang memiliki kesan bahwa bahkan orang-orang yang pernah mendukungnya (paus Francis) telah mulai menjauhkan diri darinya. Apakah kesan ini salah?

Kita tahu bahwa ada kekuatan-kekuatan yang ingin menghancurkan Gereja. Freemasonry adalah salah satunya. Namun pertempuran terbuka melawan Gereja tidak pernah produktif, karena, seperti yang ditulis oleh Tertullianus, darah para martir adalah benih umat Kristiani. Dan inilah sebabnya, setidaknya selama dua abad, ada sebuah rencana yang telah dirumuskan oleh pasukan anti-Kristen untuk menaklukkan Gereja dari dalam.

Kita juga tahu bahwa pada 1960-an, Uni Soviet dan rezim komunis di Eropa Timur menyusupkan banyak sekali orang-orang mereka ke dalam seminari-seminari dan universitas-universitas Katolik. Beberapa di antaranya kini menaiki tangga dan menjadi uskup atau bahkan kardinal. Tetapi keterlibatan dan kegiatan yang disengaja seperti itu tidak terlalu berkontribusi pada penghancuran diri Gereja. Dimungkinkan juga untuk menjadi instrumen yang tidak diketahui dari seseorang yang memanipulasi dari luar. Dalam kasus ini, para manipulator memilih orang-orang yang paling cocok, orang-orang yang memperlihatkan kelemahan doktrinal dan moral, mempengaruhi mereka, mengkondisikan mereka, dan kadang-kadang bahkan memeras mereka. Orang-orang dalam Gereja adalah tidak sempurna dan bisa salah, dan si jahat terus-menerus menempatkan di hadapan mereka pencobaan yang bisa ditolak oleh Tuhan. (Mat 4: 1–11).

Pemilihan Jorge Mario Bergoglio disutradarai oleh sebuah lobi klerus (Mafia St.Gellen), dimana di belakangnya kita dapat melihat hadirnya lobi-lobi yang lain atau kekuatan-kekuatan yang besar. Saya memiliki kesan bahwa kekuatan gerejawi dan kekuatan di luar Gereja yang bekerja untuk pemilihan Paus Bergoglio tidak puas dengan hasil kepausannya. Dari sudut pandang mereka, ada banyak kata tetapi sedikit sekali hasil praktisnya. Mereka yang mensponsori Paus Francis siap untuk meninggalkannya jika perubahan radikal tidak terjadi. Tampaknya dia diberi satu kesempatan terakhir untuk melakukan revolusi dalam Gereja melalui Sinode Amazon Oktober 2019 mendatang. Menurut saya mereka sudah mengirim sinyal yang menunjukkan niatan ini.

Sinyal apa yang Anda maksud?

Terhadap apa yang terjadi setelah pertemuan puncak tentang pedofilia, yang jelas hal itu adalah merupakan sebuah kegagalan. Publikasi besar pers internasional, dari Corriere della Sera hingga kepada El PaĆ­s, tidak menyembunyikan kekecewaan mereka. Tampak bagi saya bahwa pengumuman yang dibuat oleh Konferensi Waligereja Jerman oleh presidennya, Kardinal Marx, bahwa mereka akan membuat sinode lokal yang akan membuat keputusan yang mengikat tentang moralitas seksual, selibat imam, dan pengurangan kekuatan klerus, harus dipahami sebagai sebuah ultimatum terhadap paus Francis. Ini adalah pertama kalinya para uskup Jerman mengekspresikan diri dengan sangat jelas. Mereka tampaknya mengatakan bahwa jika paus tidak menyeberangi Rubicon, mereka akan melintasinya sendiri. Dalam kedua kasus tersebut, kita akan menghadapi perpecahan yang dideklarasikan.

Apa konsekuensi yang diakibatkan oleh pemisahan seperti itu?

Perpecahan yang dinyatakan, meskipun hal itu adalah jahat, bisa dibimbing oleh Kuasa Ilahi untuk menuju menuju kepada kebaikan. Kebaikan yang bisa muncul adalah kebangkitan dari begitu banyak orang yang tertidur dan pemahaman bahwa krisis tidak dimulai sejak kepausan Paus Francis tetapi telah berkembang sejak waktu yang lama dan memiliki akar doktrinal yang mendalam. Kita harus memiliki keberanian untuk memeriksa kembali apa yang telah terjadi dalam lima puluh tahun terakhir dalam terang Injil, bahwa ‘pohon dapat dinilai dari buahnya’ (Mat 7: 16-20). Kesatuan Gereja adalah kebaikan yang harus dilestarikan, tetapi itu bukan kebaikan yang mutlak. Tidaklah mungkin untuk menyatukan apa yang bertentangan, untuk mencintai kebenaran dan sekaligus kepalsuan, baik dan sekaligus buruk, pada saat yang sama.

Banyak umat Katolik merasa berkecil hati dan dikhianati. Iman kita memberi tahu kita bahwa kekuatan jahat tidak akan menang, namun sulit untuk melihat jalan keluar dari krisis ini. Berbicara secara manusiawi, tampaknya semuanya akan atau telah runtuh. Bagaimana Gereja bisa keluar dari krisis ini?

Gereja tidak takut terhadap musuh-musuhnya, dan ia selalu menang ketika orang-orang Kristiani bertempur. Pada tanggal 4 Februari di Abu Dhabi, Paus Francis berkata bahwa ada kebutuhan “men-demiliterisasi hati manusia.” Saya percaya, sebaliknya, bahwa ada kebutuhan untuk me-militerisasi hati dan mengubahnya menjadi Acies Ordinata, seperti orang-orang yang berdiri dalam protes penuh doa di Piazza San Silvestro di Roma pada 19 Februari 2019 lalu dan membenarkan adanya penolakan Katolik terhadap penghancuran diri Gereja. Ada banyak suara perlawanan lainnya yang membuat dan menjadikan diri mereka didengar.

Saya percaya kita harus mengatasi banyak kesalahpahaman yang sering memecah kekuatan orang-orang baik. Sebaliknya, kita harus mencari satu kesatuan niat dan tindakan di antara kekuatan-kekuatan ini, sambil mempertahankan identitas berbeda kita yang sah. Musuh kita dipersatukan dalam kebencian mereka akan kebaikan, dan karenanya kita harus dipersatukan dalam cinta kita demi kebaikan dan kebenaran. Tetapi kita harus mencintai kebaikan yang sempurna, kebaikan yang utuh dan tanpa kompromi, karena Dia yang menopang kita dengan cinta dan kekuatan-Nya adalah sempurna tak terhingga. Kita harus meletakkan semua harapan kita di dalam Dia dan hanya di dalam Dia. Inilah sebabnya mengapa kebajikan pengharapan adalah yang paling harus kita kembangkan, karena hal itu membuat kita menjadi kuat dan gigih dalam pertempuran yang kita jalani sekarang.

+++++++++++++++++++++++

This interview was translated for 1P5 by Giuseppe Pellegrino. The original in Italian can be found at Aldo Maria Valli’s blog.To find more articles and podcasts by Professor De Mattei and to subscribe to his newsletter defending Christian civilization, go to https://www.patreon.com/lepantofoundation


No comments:

Post a Comment