Friday, January 3, 2020

Di dalam Lemari Vatikan – 17. Bab 15 – Rumah Tangga Aneh


 

 

 DI DALAM LEMARI VATIKAN

Frếdếric Martel




KEKUASAAN

HOMOSEXUALITAS

KEMUNAFIKAN

 

  

DAFTAR ISI

CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT


Bab 1. Domus Sanctae Marthae
Bab 2. Teori Gender
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
Bab 4. Buenos Aires
Bab 5. Sinode
Bab 6. Roma Termini
BAGIAN II - PAULUS
Bab 7. Kode Maritain
Bab 8. Persahabatan Yang Penuh Cinta
BAGIAN III – YOHANES PAULUS
Bab 9. Kolese Suci
Bab 10. Legiun Kristus
Bab 11. Lingkaran Nafsu
Bab 12. Garda Swiss
Bab 13. Perang Salib Melawan Gay
Bab 14. Diplomasi Paus
Bab 15. Rumah Tangga Aneh


  


BAGIAN III


Yohanes Paulus




Bab 15

Rumah Tangga Aneh



Setelah melancarkan perang melawan penggunaan kondom di Afrika, para kardinal dan nuncio dari John Paul II mencoba untuk melarang pernikahan sipil. Di sini kita memasuki salah satu episode paling mengejutkan dalam buku ini: bahwa pasukan homofil dan homoseksual akan berperang melawan pernikahan gay!

Di Belanda debat itu dimulai, dengan perkenalan mengejutkan pada 1 April 2001 tentang pernikahan untuk pasangan sesama jenis. Di Amsterdam, komunitas gay merayakan acara tersebut, dimana mereka takjub dengan keberaniannya sendiri. Gema dari perkembangan ini bersifat internasional. Pasal-pasal hukum yang baru ditulis sebagai ikutannya. Cukup sederhana: “Pernikahan dapat dilakukan secara sah oleh dua orang dari jenis kelamin yang berbeda atau jenis kelamin yang sama.”

Beberapa analis di Tahta Suci telah melihat tanda-tanda peringatan dini, dan para nuncio seperti François Bacqué, di kantornya di negara itu, telah mengirim banyak telegram diplomatik yang memperingatkan Roma tentang hal ini. Tetapi keputusan Belanda yang spektakuler ini diterima di Vatikan seperti Kejatuhan Adam yang kedua.

Paus Yohanes Paulus II berada diluar kesadarannya saat itu karena keadaan kesehatannya, tetapi sekretaris negara menciptakan cukup banyak kegelisahan bagi dua orang. Angelo Sodano benar-benar 'bingung' dan 'bertanya-tanya,’ menurut seorang saksi, dan berbagi kebingungan dan pertanyaan ini dengan pemikiran yang tidak pasti dengan timnya, sambil berusaha mempertahankan ketenangannya yang tak tergoyahkan. Dia tidak hanya menolak untuk menerima preseden ini di Eropa Barat, tetapi dia takut, seperti halnya seluruh Kuria, bahwa keputusan Belanda ini akan membuka pelanggaran serupa yang akan ditularkan ke negara lain.

Sodano memberi 'menteri urusan luar negeri’ di Vatikan, Jean-Louis Tauran, orang Perancis, tugas untuk mempelajari berkas di Belanda itu, dengan dukungan dari nuncio Bacqué, yang pernah menjadi wakilnya di Chili. Tak lama setelah itu, dia menunjuk ke Jenewa seorang uskup, yang dia angkat sendiri, Silvano Tomasi, untuk mengikuti debat di tingkat multilateral. 'Menteri untuk urusan luar negeri’ dari Benediktus XVI, Dominique Mamberti, juga akan memainkan peran penting. (Untuk menceritakan kisah ini, saya mengandalkan wawancara saya dengan empat aktor utama, Tauran, Bacqué, Tomasi dan Mamberti, serta sepuluh sumber diplomatik Vatikan lainnya. Saya juga telah mendapatkan salinan lusinan telegram rahasia dari para diplomat yang diposting ke PBB yang menggambarkan posisi Vatikan. Yang terakhir, saya berbicara dengan beberapa duta besar asing, Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard Kouchner, direktur UNAIDS, Michel Sidibé, dan Duta Besar Jean-Maurice Ripert, yang mengemudikan ‘kelompok inti' PBB di New York.)

Antara tahun 2001 - 'kejutan' Belanda - dan 2015 - tanggal ketika 'pernikahan sesama jenis' diijinkan di Amerika Serikat oleh Mahkamah Agung, seakan mengesahkan kekalahan abadi dari Tahta Suci - sebuah pertempuran yang belum pernah terjadi sebelumnya yang akan dilaksanakan oleh tak terhitung banyaknya nuncatur dan episkopat apostolik. Di bawah Paulus VI, hanya ada 73 duta besar di Tahta Suci, tetapi jumlah mereka mencapai 178 pada akhir kepausan Yohanes Paulus II (sekarang ada 183). Di mana-mana, mobilisasi untuk melawan perkawinan sipil dan perkawinan gay menjadi salah satu prioritas Vatikan, dan semakin keras para uskup, semakin memekakkan telinga sikap diam mereka dalam hal kehidupan ganda mereka sendiri.

Di Belanda, François Bacqué diminta memobilisasi para uskup dan asosiasi Katolik disana untuk menghasut mereka turun ke jalan dan membuat pemerintah membatalkan keputusannya. Tetapi sang nuncio dengan cepat menyadari bahwa sebagian besar keuskupan di Belanda, terlepas dari para kardinal yang ditunjuk oleh Roma (termasuk 'Wim' Eijk) yang sangat anti-gay, adalah bersikap moderat, bahkan liberal. Sifat dasar Gereja adalah progresif, dan telah lama menyerukan untuk mengakhiri selibat imamat, pemberian Komuni kepada pasangan yang bercerai dan menikah lagi secara sipil) dan bahkan pengakuan atas perkawinan homoseksual. Pertempuran di Belanda ini melaju kencang.

Di Dewan Hak Asasi Manusia, perlawanan terhadap 'gelombang merah muda' (lambang homosex dan LGBT) tampak lebih menjanjikan. Masalah pernikahan tidak memiliki peluang untuk diperdebatkan, meski ada penentangan radikal dari negara-negara Muslim dan beberapa negara di Asia. Namun, Sodano memperingatkan nuncio Tomasi, yang baru saja tiba di Swiss, bahwa mereka harus menentang sekuat tenaga tentang dekriminalisasi homosex, yang di sini juga, akan memberikan contoh yang buruk dan, melalui efek bola salju, membuka cara untuk pengakuan terhadap pasangan gay.

Usulan untuk melakukan dekriminalisasi homosex pada tingkat PBB sudah ada. Brasil, Selandia Baru, dan Norwegia telah melakukan beberapa upaya sederhana, mulai tahun 2003, untuk memecahkan masalah itu, seperti yang dijelaskan oleh Boris Dittrich selama wawancara kami di Amsterdam. “Untuk waktu yang lama saya adalah seorang militan dan politisi; dan setelah membantu mengubah hukum di Belanda, saya pikir kami harus melanjutkan perjuangan ini di tingkat internasional.” kata anggota parlemen Belanda ini, mantan hakim, yang adalah arsitek dari perkawinan gay di negaranya.

Sementara itu, di Roma, Benediktus XVI terpilih dan Sodano digantikan, melawan kehendaknya, oleh Tarcisio Bertone sebagai kepala Kuria Roma. Paus yang baru, pada gilirannya, menjadikan penentangannya terhadap perkawinan homosex sebagai prioritas dan mungkin, bahkan sebagai masalah pribadi.

Kenyataannya, apa yang belum dipahami oleh nuncio Tomasi, dan apa yang diremehkan para kardinal di Vatikan, dan karena terlalu dibutakan oleh prasangka-prasangka mereka, adalah bahwa keadaan sosial berubah pada pertengahan tahun 2000-an. Dinamika pro-gay mulai terjadi di banyak negara Barat, bahkan di Uni Eropa yang ingin meniru model Belanda.

Di PBB, keseimbangan kekuatan juga berubah ketika Perancis memilih untuk menjadikan dekriminalisasi homosex sebagai prioritas, dengan mengambil peran sebagai kepala kepresidenan Uni Eropa. Beberapa negara di Amerika Latin, termasuk Argentina dan Brasil, juga melakukan ofensif. Satu negara Afrika, Gabon, serta Kroasia dan Jepang, bergabung dengan 'kelompok inti' ini, yang akan membawa pertempuran ini ke Jenewa dan New York.

Setelah berbulan-bulan negosiasi rahasia antar negara, di mana Vatikan tidak pernah terlibat, keputusan diambil untuk menyajikan teks kepada Majelis Umum PBB, yang akan diadakan di New York pada bulan Desember 2008. 'Rekomendasi' bersifat tidak mengikat, tidak seperti 'resolusi,' yang harus disetujui oleh mayoritas pemilih, tetapi simbol atau makna yang dibawanya tidak kalah kuatnya.

"Saya pikir kita tidak harus membela resolusi ini jika kita tidak yakin mendapatkan mayoritas suara," Dittrich menegaskan. "Kalau tidak, kita berisiko berakhir dengan keputusan resmi oleh PBB yang melawan hak-hak homoseksual, dan kita akan kalah dalam pertempuran untuk waktu yang lama."

Untuk memastikan bahwa debat tersebut tidak tampak ketat seperti di Barat, dan untuk menghindari jurang pemisah yang dibuat antara negara-negara di Utara dan di Selatan, para diplomat 'kelompok inti' mengundang Argentina untuk membuat deklarasi resmi. Jadi idenya akan bersifat universal, dan didukung oleh semua benua.

Hingga 2007, Silvano Tomasi tidak menganggap serius ancaman itu. Tetapi di Roma, 'menteri' baru urusan luar negeri Benediktus XVI, Dominique Mamberti dari Perancis, yang sangat akrab dengan serangkaian masalah seputar homosex, mengetahui proyek ini. Para nuncio apostolik umumnya mendapat informasi dengan baik. Informasi dengan cepat mencapai Tahta Suci. Dominique Mamberti memberi tahu Bapa Suci dan Kardinal Bertone.

Paus Benediktus XVI, yang membuat penolakannya untuk mengakui homosex sebagai salah satu elemen kunci dalam karirnya, merasa putus asa dengan situasi tersebut. Selama perjalanan yang dia lakukan secara langsung ke markas besar PBB di New York pada tanggal 18 April 2008, dia mengambil keuntungan dari pertemuan pribadi dengan Ban Ki-moon, sekretaris jenderal PBB, untuk menceramahinya. Paus mengingatkan sekretaris jenderal itu tentang permusuhan absolutnya, dalam istilah yang halus tetapi tegas, terhadap segala bentuk penerimaan hak-hak kaum homoseksual. Ban Ki-moon dengan hormat mendengarkan Paus yang berbicara berapi-api; namun tak lama kemudian dia menjadikan pembelaan hak-hak kaum gay sebagai salah satu prioritasnya!

Sejak sebelum musim panas 2008, Vatikan telah diyakinkan bahwa deklarasi pro-LGBT akan diajukan ke PBB. Reaksi Tahta Suci diwujudkan dalam dua arah. Pertama-tama, para nuncio dipanggil untuk campur tangan dengan pemerintah-pemerintah untuk menghentikan mereka melakukan sesuatu yang tidak dapat diperbaiki. Tetapi dengan sangat cepat, Vatikan mendapati bahwa semua negara Eropa, tanpa kecuali, akan memilih mendukung deklarasi tersebut. Termasuk Polandia, yang disukai oleh John Paul II, dan Berlusconi dari Italia! Sekretaris negara Tarcisio Bertone, yang sekarang bertanggung jawab atas dokumen ini, mengesampingkan Konferensi Episkopal Italia, menjadi semakin sibuk dan menggunakan semua kontak politiknya di Palazzo Chigi dan parlemen, tetapi masih tidak dapat mengubah sikap dan posisi pemerintah Italia.

Kedua, Vatikan juga menguji beberapa negara yang tampaknya akan berubah, tetapi di mana-mana, di Australia, Israel dan Jepang, pemerintahnya bersiap untuk menandatangani deklarasi yang mendukung homosex itu. Di Amerika Latin khususnya, hampir semua negara berbahasa Spanyol dan Portugis bergerak ke arah yang sama. Cristina Kirchner dari Argentina, membenarkan bahwa mereka siap untuk mempublikasikan teks tersebut, dan ada juga desas-desus bahwa Kardinal Jorge Bergoglio, yang saat itu memimpin Konferensi Episkopal Argentina, menolak segala bentuk diskriminasi (termasuk diskriminasi terhadap homosex.)

Vatikan muncul dengan sebuah sikap yang canggih, dibangun di atas argumen yang keliru: "Tidak boleh ada orang yang dihukum karena homosex atau homosex itu dikriminalisasi," kata Tahta Suci, sambil menjelaskan bahwa teks yang ada tentang hak-hak asasi manusia sudah 'cukup.' Mengajukan sikap yang baru berarti memilih menjalani risiko, dengan dalih memerangi ketidakadilan, tidak menciptakan 'bentuk-bentuk diskriminasi baru.' Para diplomat Vatikan akhirnya berperang melawan ekspresi 'orientasi seksual' dan 'identitas gender,' yang dalam pandangan mereka tidak memiliki nilai dalam hukum internasional. Mengakui semua itu mungkin mengarah pada legitimasi atas poligami atau pelecehan seksual. (Di sini saya mengutip istilah yang muncul di telegram diplomatik.)

“Vatikan berani membangkitkan rasa takut terhadap pedofilia untuk mencegah kriminalisasi terhadap homosex! Hal itu luar biasa! Argumen itu sangat gamblang mengingat apa yang kita ketahui tentang jumlah kasus yang melibatkan imam pedofil,” kata seorang diplomat Perancis yang ikut serta dalam negosiasi.

Dalam menentang perpanjangan hak asasi manusia kepada kaum homosex, Benedict XVI terhubung kembali dengan kecurigaan lama Katolik terhadap hukum internasional. Bagi Joseph Ratzinger, norma-norma yang dia rubah menjadi dogma pada hakikatnya bersifat ilahiah, karena itu aturan itu dikenakan pada negara-negara karena dogma lebih tinggi daripada mereka. Ultramontanisme ini segera tampak ketinggalan zaman. Francis, setelah pemilihannya, akan terbukti sangat bermusuhan dengan 'klerikalisme,' dan dia melakukan yang terbaik, menurutnya, untuk membawa Gereja kembali ke tatanan dunia, dan melupakan gagasan usang Benediktus XVI.

Ketika strategi Ratzingerian ini gagal, Tahta Suci mengubah metodenya. Karena tidak mungkin lagi meyakinkan negara 'kaya' tentang sikapnya, sudah tiba saatnya untuk memobilisasi negara 'miskin.' Di Jenewa, Silvano Tomasi mencoba untuk menghalangi proses di PBB, meningkatkan kesadaran di antara rekan-rekannya dari negara-negara Muslim, Asia, dan terutama Afrika (yang dia ketahui dengan baik semasa menjadi pengamat di Uni Afrika di Addis Ababa). Rekan sesama nuncio di PBB, di New York, Celestino Migliore, yang menggantikan Renato Martino, juga melakukan hal yang sama. Paus Benediktus, dari Roma, juga gelisah, merasa sedikit kehilangan peran.

“Garis diplomasi kami sesuai dengan apa yang saya sebut suara nalar dan akal sehat. Kami mendukung kepentingan universal dan bukan kepentingan khusus,” Silvano Tomasi memberi tahu saya dengan sederhana, untuk menjelaskan oposisi Gereja Katolik terhadap deklarasi PBB itu.

Saat itulah Vatikan melakukan kesalahan yang, oleh banyak diplomat Barat, dianggap sebagai kesalahan bersejarah. Dalam perang salib barunya ini, Tahta Suci menandatangani perjanjian dengan beberapa kediktatoran atau teokrasi Muslim. Dalam dunia diplomasi, hal ini disebut sebagai sebuah 'pembalikan aliansi.'

Vatikan dengan demikian bergabung dengan koalisi kontingensi yang berbeda, mendekati Iran, Suriah, Mesir, Organisasi Konferensi Islam dan bahkan Arab Saudi, yang bahkan tidak memiliki hubungan diplomatik! Menurut sumber-sumber yang kuat, para nuncio apostolik terlibat dalam banyak dialog dengan para kepala negara di mana mereka dinyatakan bertentangan dalam masalah hukuman mati, kebebasan beragama dan hak asasi manusia secara umum.

Pada 18 Desember 2008, sesuai rencana, Argentina membela 'Deklarasi Orientasi Seksual dan Identitas Gender' di hadapan Majelis Umum PBB. Inisiatif ini menerima dukungan dari 66 negara: semua negara Uni Eropa menandatanganinya, tanpa kecuali, serta 6 negara Afrika, 4 negara Asia, 13 di Amerika Latin, serta Israel, Australia dan Kanada. Untuk pertama kalinya dalam sejarah PBB, negara-negara dari semua benua berbicara menentang pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual.

“Sebuah sesi bersejarah yang sangat mengharukan. Saya akui saya hampir menangis," kata Jean-Maurice Ripert, duta besar Perancis di PBB yang memimpin ‘kelompok inti,’ ketika saya mewawancarainya di Paris.

Seperti yang juga diprediksi, deklarasi tandingan, 'Gagasan tentang Orientasi Seksual dan Identitas Gender,' dibacakan secara paralel oleh Suriah, atas nama 59 negara lain. Teks ini didasarkan pada pembelaan keluarga sebagai 'elemen alami dan fundamental masyarakat,' dan mengkritik penciptaan 'hak baru' dan 'standar baru' yang mengkhianati semangat PBB. Secara khusus, teks tersebut mengecam ungkapan 'orientasi seksual,' yang dikritik karena tidak memiliki dasar dalam hukum internasional, dan karena itu akan membuka jalan bagi legitimasi dari 'berbagai tindakan menyedihkan, termasuk pedofilia.' Hampir semua negara Arab mendukung deklarasi ini, serta 31 negara Afrika, beberapa negara di Asia, dan tentu saja Iran. Di antara para penandatangan adalah Benedict XVI.

“Vatikan bersekutu dengan Iran dan Arab Saudi. Setidaknya bisa bersikap abstain,” kata Sergio Rovasio, presiden asosiasi gay Certi Diritti, yang dekat dengan Partai Radikal Italia, selama wawancara kami di Florence. Terlebih lagi, karena 68 negara 'netral' seperti Cina, Turki, India, Afrika Selatan atau Rusia, menolak untuk mengaitkan diri mereka dengan teks yang disajikan oleh Argentina atau kontra-deklarasi dari Suriah. Vatikan, pada akhirnya, meniru mereka.

Ketika saya bertanya kepada nuncio Silvano Tomasi tentang posisi Vatikan, dia menyesalkan deklarasi ini karena menandai 'awal gerakan dalam komunitas internasional dan PBB untuk mengintegrasikan hak-hak gay dalam agenda keseluruhan hak asasi manusia.' Pernyataan itu cukup akurat. Antara tahun 2001, tanggal penerimaan pernikahan pasangan homosex di Belanda, dan akhir kepausan Benediktus XVI pada tahun 2013, 'momentum' internasional telah berkembang dalam masalah gay.

Menteri Luar Negeri Amerika, Hillary Clinton, mengatakan hal ini ketika dia mendeklarasikan kepada PBB di Jenewa, pada bulan Desember 2011: “Beberapa orang berpendapat bahwa hak-hak gay dan hak asasi manusia terpisah dan berbeda; tetapi, pada kenyataannya, mereka adalah satu dan sama. (...) Hak-hak gay adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia adalah hak-hak gay.”

Para diplomat Vatikan diam-diam memperhatikan pesan ini, yang diterima saat ini oleh sebagian besar pemerintah Amerika Barat dan Amerika Latin: apakah Anda menerima hak asasi manusia sepenuhnya, atau tidak sama sekali.

Namun, sampai akhir masa kepausannya, Benediktus XVI menolak untuk menyetujuinya. Sebaliknya, dia juga akan melakukan perlawanan terhadap pernikahan sipil dan pernikahan gay. Bahkan, sekali lagi, paus membuatnya menjadi pertanyaan tentang prinsip. Tetapi apakah dia menyadari bahwa pertempuran ini, seperti yang sebelumnya, dia akan kalah sebelum berperang?

“Bagi orang seperti Benediktus XVI, pertempuran melawan homosex selalu menjadi alasan utama hidupnya. Dia bahkan tidak bisa membayangkan pernikahan gay dilegalkan," seorang pastor Kuria menegaskan kepada saya.

Pada saat yang gelap ini, tidak ada pertanyaan mundur, meski jika itu berarti kalah! Jadi dia meluncurkan dirinya secara membabi buta, dilemparkan ke gua singa seperti orang Kristen awali, apa pun yang terjadi!

Sejarah yang tidak rasional dan memusingkan dari komitmen gila terhadap pernikahan gay ini adalah bab penting dalam buku ini, karena buku ini mengungkapkan sepasukan imam homofilik dan prelatus homoseksual tertutup yang, dari hari ke hari, akan bergerak melawan pasukan aktivis 'gay terang-terangan’ lainnya. Perang atas pernikahan gay, lebih dari sebelumnya, merupakan pertempuran antar kaum homosex sendiri.

Sebelum membahas panjang lebar tentang Spanyol dan Italia dalam beberapa bab berikutnya, saya akan mulai dengan menceritakan kisah pertempuran ini berdasarkan wawancara saya di lapangan, di tiga negara: Peru, Portugal dan Kolombia.

Dengan janggut putih kecil, arloji besar dan jaket suede cokelat, Carlos Bruce adalah sosok yang tidak bisa dilewatkan dalam komunitas LGBT Amerika Latin. Saya bertemu MP ini, dua kali ketika menjadi menteri di pemerintahan sayap kanan moderat, beberapa kali di Lima, pada 2014 dan 2015. Dia menjelaskan kepada saya konteks yang umumnya menguntungkan hak-hak gay di benua itu, meskipun karakteristik nasional tertentu mungkin mengekang dinamika itu, seperti yang mereka lakukan di Peru. Ada perbuatan gay aktif di Lima, seperti yang bisa saya amati, namun toleransi masyarakat terus meningkat. Tetapi pengakuan akan hak-hak pasangan gay, perkawinan sipil dan perkawinan gay harus berhadapan dengan Gereja Katolik, yang mencegah kemajuan apa pun, terlepas dari kegagalan moral Gereja yang dibuktikan dengan meningkatnya jumlah kasus pedofilia di kalangan klerus.

“Di sini, Kardinal Juan Luis Cipriani benar-benar adalah homofobia. Dia berbicara tentang kaum homosex sebagai ‘barang-barang yang telah dirusak dan dicemarkan,’ dan baginya, pernikahan gay adalah sebanding dengan Holocaust. Namun, ketika ada seorang uskup dituduh melakukan pelecehan seksual di wilayah Ayacucho, kardinal Luis Cipriani datang justru untuk membela mereka!" demikian kata Carlos Bruce yang tampak jijik.

Sebagai anggota Opus Dei, kardinal Luis Cipriani diangkat sebagai kardinal oleh John Paul II berkat dukungan aktif sekretaris negara Vatikan, Angelo Sodano, dan seperti dia, dia telah dikritik karena hubungannya dengan sayap kanan dan permusuhannya terhadap teologi pembebasan. Memang benar bahwa pastor tertentu yang dekat dengan aliran pemikiran ini telah mengangkat senjata bersama gerilyawan Maois seperti Sendero Luminoso atau, lebih lanjut dengan kelompok Guevarist, MRTA - yang meneror para klerus konservatif. Terlepas dari kekhasan lokal ini, kardinal Luis Cipriani telah berhasil, seperti banyak rekan seagama lainnya, dalam melipatgandakan lingkaran: keduanya memusuhi keras terhadap perkawinan sejenis (bahkan saat itu perkawinan sipil masih belum ada di Peru) dan dia gagal untuk menolak imam-imam pedofil.

Selama tahun 2000-an, Kardinal Luis Cipriani menyampaikan begitu banyak pidato anti-gay sehingga dia banyak ditentang dan secara terbuka dipanggil untuk bertanggung jawab oleh walikota baru Lima, Susana Villarán, meskipun Susana adalah seorang Katolik yang ‘saleh.’ Dia begitu jengkel dengan standar ganda Kardinal Cipriani, yang menentang hak-hak gay tetapi bersikap diam dalam hal imam-imam pedofil, sehingga Susana Villarán mengobarkan perang terhadap kardinal. Susana Villarán muncul di acara pawai Gay Pride dan mengolok-olok kardinal hantu itu.

“Di sinilah, perlawanan utama terhadap hak-hak gay,” Carlos Bruce menambahkan, “adalah Gereja Katolik, seperti halnya di mana-mana di Amerika Latin, tetapi saya pikir para homofob itu sibuk karena kehilangan tempat berpijak. Sementara itu orang-orang lain bersikap sangat jelas tentang perlindungan pasangan gay."

Ini adalah penilaian yang juga diberikan oleh jurnalis Alberto Servat, seorang kritikus budaya berpengaruh yang saya temui beberapa kali di Lima: “Skandal sex yang berulang di dalam Gereja saat ini sangat mengejutkan opini publik. Dan Kardinal Cipriani memberi kesan bahwa dia tidak melakukan apa pun untuk membatasi tindak pelecehan seksual itu. Salah satu pastor yang tertuduh, sekarang menjadi ‘pengungsi’ di Vatikan ... “

Dan Carlos Bruce menyimpulkan, membuat saran konkret yang juga berarti penolakan tegas terhadap Cipriani: “Saya pikir Gereja harus menerima semua konsekuensi dari kegagalan moral: gereja harus berhenti mengkritik hubungan homosex antara orang dewasa yang saling setuju, dan mengesahkan pernikahan (sejenis); maka gereja harus meninggalkan kebisuannya tentang pelecehan seksual dan sepenuhnya meninggalkan strategi yang ditutup-tutupi secara umum dan terlembagakan. Akhirnya, karena ini adalah kunci masalahnya, maka gereja harus mengakhiri selibat imamat.”

Di Portugal, di mana saya pergi dua kali untuk penyelidikan ini, pada 2016 dan 2017, perdebatan tentang pernikahan gay adalah kebalikan dari yang terjadi di Peru atau di seluruh Eropa, karena hirarki Katolik disana tidak mengikuti instruksi-instruksi dari Roma. Sedangkan di Perancis, Spanyol dan Italia, misalnya, para kardinal mengantisipasi dan mendukung posisi Benediktus XVI, namun keuskupan Portugis, sebaliknya, melemahkan prasangka-prasangka itu. Kardinalnya saat itu, pada tahun 2009-10, adalah Uskup Agung Lisabon: José Policarpo.

“Policarpo adalah seorang moderat. Dia tidak pernah melakukan apa yang diperintahkan Roma kepadanya. Dia dengan tenang menyuarakan ketidaksetujuannya dengan hukum yang direncanakan tentang pernikahan gay, tetapi menolak untuk membiarkan para uskup turun ke jalan," demikian wartawan António Marujo, seorang spesialis agama yang ikut menulis sebuah buku dengan Policarpo, menjelaskan kepada saya.

Harus dikatakan bahwa Gereja Portugis, yang dikompromikan di bawah kediktatoran sebelum 1974, sekarang menjaga jarak dari kubu Katolik paling kanan. Ia tidak berusaha untuk terlibat dalam masalah politik, dan tetap keluar dari debat parlemen. Hal ini dikonfirmasi oleh José Manuel Pureza, wakil presiden parlemen Portugal, seorang anggota parlemen dari blok kiri (Bloco de Esquerda) dan seorang Katolik yang taat, yang merupakan salah satu arsitek utama undang-undang tentang perkawinan homosex.

“Kardinal Policarpo, yang dikenal karena mendukung demokrasi di bawah kediktatoran, memilih bentuk netralitas dalam perkawinan. Pada tingkat prinsip dan moralitas keluarga, dia menentang hukum yang direncanakan, tetapi dia sangat berhati-hati. Gereja memiliki sikap moderat yang sama dalam soal aborsi dan adopsi anak oleh pasangan sejenis.” (Analisis ini menyatukan tiga tokoh politik utama lainnya yang mendukung pernikahan gay, dan yang saya wawancarai di Lisbon: cendekiawan Francisco Louçá; Caterina Martins, para pembicara untuk Bloco de Esquerda; dan Ana Catarina Mendes, juru bicara perdana menteri António Costa.)

Selama perjalanan saya di negara Katolik kecil ini, saya dikejutkan oleh moderasi politiknya: pertanyaan-pertanyaan sosial dibahas dengan sopan dan homosex tampaknya secara diam-diam menjadi masalah yang tidak kontroversial lagi, bahkan di gereja-gereja. Kadang-kadang perempuan bahkan mengambil beberapa fungsi pastor di Portugal, karena krisis panggilan, maka wanita mengambil alih semua tugas, kecuali pemberian sakramen-sakramen. Banyak pastor Katolik juga menikah, khususnya orang-orang Anglikan yang sudah memiliki kedudukan yang mapan sebelum bergabung dengan Gereja Roma. Saya juga bertemu dengan beberapa pastor dan rahib homosex, yang tampaknya cukup tenang-tenang saja dengan situasi mereka yang tidak biasa itu, terutama di dalam biara-biara. Paroki Santa Isabel, di jantung kota Lisbon, menyambut semua pasangan dan semua jenis kelamin. Adapun kepala penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Portugis, Frederico Lourenço, dia secara terbuka menikah dengan pasangan homosexnya.

Liberalisme yang lunak ini tidak luput dari perhatian Roma: netralitas Lisbon (ibukota Portugis) juga meliputi masalah-masalah sosial - seperti tingkat mobilisasi yang rendah terhadap hukum perkawinan - telah menyebabkan kekhawatiran. Roma sedang menunggu untuk memerintah; tetapi Kardinal Policarpo memberikan alasan bagi mereka untuk mengambil tindakan sendiri.

Setelah wawancara yang dinilai terlalu liberal (terutama pada masalah penahbisan wanita), Policarpo dipanggil ke Roma atas permintaan Paus Benediktus XVI, oleh sekretaris negara Tarcisio Bertone. Di sana, menurut sumber-sumber yang menguatkan (dan penyelidikan terperinci tentang masalah itu oleh jurnalis António Marujo di Público), Bertone memberikan ganti rugi kepada kardinal, dan dia harus menerbitkan sebuah komunike, yang secara publik menerima sikap moderat Policarpio. Paus berharap untuk menyelesaikan masalah Policarpo sesegera mungkin.

Pada saat ini, orang kunci Benediktus XVI di Portugal adalah uskup pembantu Lisbon dan wakil rektor Universitas Katolik, Carlos Azevedo. Penyelenggara perjalanan Paus pada tahun 2010, yang bertujuan khusus untuk mencoba menghalangi undang-undang tentang pernikahan, Carlos Azevedo menjadi tokoh yang menonjol di Gereja Portugis. Paus Benediktus XVI memiliki ambisi besar untuk anak didiknya ini: dia berencana untuk mengangkatnya sebagai kardinal dan mengangkatnya lebih tinggi sebagai Patriarkh Lisbon sebagai pengganti Policarpo yang tidak terkendali lagi ulahnya. Untuk waktu yang lama sebagai kapelan rumah sakit, Carlos Azevedo tidak benar-benar bersikap liberal atau sepenuhnya konservatif; dia secara intelektual dihormati oleh semua orang, dan kebangkitannya tampaknya tidak dihalangi, begitu dia menangkap arti dibalik pandangan mata paus.

"Uskup Carlos Azevedo adalah suara yang sangat didengarkan, sangat dihormati," tegas mantan menteri Guilherme d'Oliveira Martins.

Tetapi Benediktus XVI sekali lagi melihat seorang klerus yang 'tertutup'! Kami bahkan bisa mengejek keutamaan seorang pria yang ahli ini, terlepas dari dirinya sendiri, dalam seni mengelilingi dirinya dengan kaum homosex yang terus memamerkan kehidupan ganda mereka.

Desas-desus tentang homoseksualitas Carlos Azevedo cukup marak, dan dikipasi oleh seorang uskup lain yang tertutup yang bergosip tentang segala sesuatu, karena rasa cemburu, dalam semacam 'porno balas dendam' gerejawi, di mana keuskupan Katolik nampaknya unggul. Rumornya sedemikian rupa sehingga karier Azevedo mulai terganggu.

Tampaknya seperti sebuah kemurahan hati terhadap para uskup yang memiliki kecenderungan (homosex), apakah aktif atau tidak, para klerus yang dekat dengan Ratzinger memindahkan Carlos Azevedo ke Roma untuk membebaskannya dari jerat di mana dia secara tidak sengaja telah menjebak dirinya sendiri. Sebuah pos dibuat baginya, untuk menakar dirinya, dan sebuah gelar ditemukan untuk wali gereja yang malang itu, berkat pengertian yang luar biasa dari Kardinal Gianfranco Ravasi, yang mengetahui ‘nada yang sedang dimainkan’: uskup yang diasingkan itu diangkat sebagai ‘delegato’ ke Dewan Kepausan untuk Kebudayaan di Roma. Tak lama setelah pemindahan yang sukses dan kreatif ini, mingguan utama Portugis Visão menerbitkan penyelidikan terperinci tentang homoseksualitas Carlos Azevedo ketika dia tinggal di Porto. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Portugal baru-baru ini, kemungkinan homoseksualitas seorang uskup muncul di tempat terbuka, yang cukup untuk menimbulkan skandal - dan menyebabkan pengucilan yang pasti atas wali gereja yang malang itu. Carlos Azevedo ditinggalkan oleh semua teman-teman Portugisnya, ditolak oleh nuncio dan ditinggalkan nasibnya oleh Kardinal Policarpo, karena jika mendukung Azevedo akan membawa risiko jatuh di bawah kecurigaan dari sekitarnya.

Jika memang ada, 'skandal' Azevedo, itu bukanlah di tempat di mana orang mungkin berharap menemukannya: bukan karena homoseksualitas yang mungkin dari seorang uskup agung, tetapi dalam tindak pemerasan yang menjadi sasarannya, dan pengabaiannya oleh beberapa wali gereja yang juga memiliki kecenderungan yang sama (homosex).

“Carlos Azevedo adalah korban pemerasan atau balas dendam. Tetapi dia tidak dibela oleh keuskupan seperti yang mungkin dibayangkan orang," demikian konfirmasi Jorge Wemans, pendiri surat kabar harian Público.

Saya telah mewawancarai uskup agung Portugis di Roma beberapa kali, dan dia memberi tahu saya tentang hidupnya, kesalahannya, dan pengasingannya yang tidak bahagia. Dia sekarang menghabiskan hari-harinya di Dewan Kepausan untuk Kebudayaan dan sore hari di perpustakaan Vatikan, meneliti para tokoh agama Portugis abad pertengahan. Dia adalah seorang moderat, toleran, dan ahli dalam ekumenisme: dia adalah seorang intelektual - tidak banyak orang seperti dia di Vatikan.

Menulis baris-baris ini, saya memikirkan uskup cerdas ini yang kariernya telah hancur. Dia tidak bisa membela diri. Dia tidak bisa memohon bantuan bagi kasusnya di hadapan nuncio Italia yang berkuasa di Lisbon, seorang konservatif yang berpikiran estetis kaku, yang kemunafikannya tentang kasus ini diketahui orang banyak. Dengan sangat bermartabat, Carlos Azevedo tidak pernah berbicara di depan umum tentang tragedi yang dideritanya, menjadikannya semakin pedih karena dia, katanya kepada saya, adalah 'direktur spiritual' pria yang dimaksud. "Anak laki-laki itu adalah orang dewasa," tambahnya, "dan tidak pernah terjadi tindakan pelecehan seksual."

Singkatnya, bukankah Gereja Roma harus membela uskup ini, yang menjadi korban? Dan pada akhirnya, jika masih ada moralitas di dalam gereja paus Francis, seharusnya Carlos Azevedo tidak menjadi Patriarkh Lisbon dan seorang kardinal, karena sebagian besar pastor dan jurnalis Katolik yang saya temui di Portugal percaya bahwa dia seharusnya berada di sebuah negara di mana pernikahan gay diadopsi sekali dan untuk semua pada tahun 2010?

Contoh ketiga dari pertempuran melawan pernikahan gay adalah Kolombia. Kita sudah akrab dengan negara ini melalui sosok Kardinal Alfonso López Trujillo. Di Bogotá, obsesi anti-gay dari Gereja Katolik tidak luntur dengan kematian kardinal homosexnya yang paling homofobik, yang menyebabkan perselisihan yang tak terduga dan membuat Paus Francis berada dalam kesulitan.

Kami berada di tahun 2015-16. Pada titik ini Vatikan berada di tengah-tengah tarian diplomatik berskala besar yang berusaha mengakhiri konflik bersenjata dengan gerilyawan FARC, yang telah berlangsung selama lebih dari lima puluh tahun. Tujuh juta orang terlantar, dan setidaknya 250.000 terbunuh selama apa yang harus kita sebut sebagai perang saudara.

Bersama dengan Venezuela dan Norwegia, Vatikan terlibat dalam negosiasi damai Kolombia yang berlangsung lama di Kuba. Perwakilan FARC ditampung di seminari Yesuit. Kardinal Ortega di Havana dan keuskupan Kuba, para nuncio yang menjabat di Kolombia, Venezuela, dan Kuba, serta para diplomat Sekretariat Negara, ikut serta dalam negosiasi antara pemerintah dan gerilyawan. Paus Francis aktif di belakang layar dan menerima para peserta utama dalam proses perdamaian, yang ditandatangani di Cartagena, pada September 2016.

Namun, beberapa hari kemudian, referendum rakyat untuk mengkonfirmasi perjanjian damai ditolak. Dan diketahui bahwa keuskupan Kolombia, dengan para kardinal dan uskup yang memimpin mereka, telah berunjuk rasa ke kubu yang menolak kepada mantan presiden Uribe, seorang ultra-Katolik dan anti-komunis yang ganas, yang berkampanye dengan slogan: “Kami menginginkan kedamaian, tetapi bukan kedamaian seperti ini.”

Alasan penolakan oleh pihak berwenang Katolik tidak ada hubungannya dengan proses perdamaian, dimana mereka telah tergelincir: bagi mereka, yang penting adalah untuk menolak pernikahan gay dan aborsi. Kenyataannya, karena mahkamah agung Kolombia telah mengesahkan perkawinan sejenis dan adopsi anak oleh pasangan sejenis, Gereja Katolik mengklaim bahwa referendum mengenai proses perdamaian, jika hal itu menguntungkan bagi kekuatan-kekuatan yang ada saat ini, akan secara sah melegitimasi kebijakan itu. Karena oportunisme pemilihan yang murni, Gereja karenanya menyabotase referendum itu untuk mempertahankan posisi konservatifnya.

Seperti buah pada kue, Menteri Pendidikan Kolombia, Gina Parody, secara terbuka mengakui bahwa dirinya adalah lesbian, dan pada saat yang sama dia menyarankan memperkenalkan kebijakan anti-diskriminatif berkaitan dengan orang-orang LGBT di sekolah-sekolah. Pengumuman ini ditafsirkan oleh Gereja Kolombia sebagai upaya untuk memperkenalkan 'teori gender' ke dalam kelas. Jika referendum perdamaian diterima, pembelaan terhadap homosex juga akan demikian, dan para perwakilan pada dasarnya mengatakan untuk menyerukan abstain atau bersuara 'menolak.'

“Gereja Kolombia selalu bersekutu dengan kekuatan-kekuatan paling gelap di negara ini, khususnya dengan paramiliter. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Kardinal Alfonso López Trujillo dan itu tetap berlaku sampai sekarang. Pernikahan gay dan teori gender hanyalah dalih semata. Mereka menyerukan untuk bersuara ‘tidak’ karena baik paramiliter maupun Gereja Kolombia tidak benar-benar ingin berkontribusi pada perdamaian. Dan mereka melangkah lebih jauh dengan mengingkari paus karena alasan itu,” demikian kata seorang imam Yesuit yang saya temui di tengah keributan di Bogotá.

Pembicaraan-ganda dan permainan ganda yang mencapai tingkat yang sangat buruk di negara-negara Eropa yang penting - Spanyol dan Italia – ke tempat mana sekarang kita akan mengalihkan perhatian kita.

No comments:

Post a Comment