Friday, January 17, 2020

Di dalam Lemari Vatikan – 20. Bab 18 – Seminaris


 

 

 DI DALAM LEMARI VATIKAN

Frếdếric Martel




KEKUASAAN

HOMOSEXUALITAS

KEMUNAFIKAN

 

  



DAFTAR ISI

CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT


Bab 1. Domus Sanctae Marthae
Bab 2. Teori Gender
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
Bab 4. Buenos Aires
Bab 5. Sinode
Bab 6. Roma Termini
BAGIAN II - PAULUS
Bab 7. Kode Maritain
Bab 8. Persahabatan Yang Penuh Cinta
BAGIAN III – YOHANES PAULUS
Bab 9. Kolese Suci
Bab 10. Legiun Kristus
Bab 11. Lingkaran Nafsu
Bab 12. Garda Swiss
Bab 13. Perang Salib Melawan Gay
Bab 14. Diplomasi Paus
Bab 15. Rumah Tangga Aneh
Bab 16. Rouco
Bab 17. CEI (Konferensi Episkopal Italia)
Bab 18. Seminaris


  




BAGIAN III


Yohanes Paulus


Bab 18

Seminaris




Selama beberapa bulan, Daniele, pembantu saya dalam penulisan buku ini, telah menyelidiki berbagai seminari dan universitas di Roma. Bersama-sama, kami berusaha selama bertahun-tahun untuk mengidentifikasi para 'informan' yang sekiranya bisa membantu kami dengan memberi informasi tentang setiap seminari ‘utama' di Roma. Kami sekarang memiliki kontak (orang-orang) di sekitar dua belas lembaga pendidikan di bawah kepausan ini: di Universitas Dominika St. Thomas Aquinas (disebut juga Angelicum), di Universitas Urbaniana, Universitas Lateran, PNAC (perguruan tinggi Amerika), Universitas Gregorian (Jesuit), Perguruan Tinggi Ethiopia, seminari Perancis dan Germanicum, Universitas Kepausan St. Anselmus (Benediktin), Universitas Salib Suci (Opus Dei), dan bahkan di Pontifical Athenaeum Regina Apostolorum dari Legiun Kristus.

Berkat para ‘perwakilan’ ini, kami dapat mendekati lebih dari lima puluh orang seminaris gay di Roma dan, secara menyebar, ada lusinan lagi informan di beberapa negara lain, terutama Perancis, Spanyol, Swiss, dan Amerika Latin. Dengan cara ini, saya dapat menyelidiki 'masalah' homoseksual di jantung Gereja: di almamater para imam.

Dua informan seminaris saya, yang pertama diperkenalkan kepada saya di Roma oleh Mauro Angelozzi, salah satu direktur asosiasi LGBT Mario Mieli. Kami bertemu secara rahasia, di markas pusat budaya ini. Saya kemudian melihat para seminaris lainnya lagi dan, terima kasih kepada mereka, dapat memperluas jaringan awal saya. Dan ketika saya menghabiskan sebuah malam dengan Mauro, yang mengorganisir pesta-pesta gay terkenal yang dikenal sebagai Muccassassina ('The Murderous Cow') setiap Jumat malam di Roma, dia memperkenalkan saya kepada salah satu rekannya, yang bekerja dengannya dalam mengatur Muccassassina. Saat itulah Mauro memberi tahu saya, sambil menyelesaikan perkenalan, "Dia juga seorang seminaris!"

"Saya sudah berubah, bukan?"

Bocah yang mengatakan hal ini kepada saya adalah pelayan di salah satu restoran favorit saya di Roma, Trattoria Monti, dekat Gereja Santa Maria Maggiore.

"Kamu tahu, saya tidak semuda dulu!" tambah si pelayan, yang berpose dalam kalender terkenal yang bergambar para seminaris tampan.

Selama beberapa bulan, pada kenyataannya, saya tertarik dengan kalender ini, yang dijual di jalan-jalan di Roma dan bahkan di gerbang Vatikan. Harganya: 10 euro. Setiap tahun, 12 seminaris dan pastor muda difoto. Gambar hitam-putih, tentang pria muda tampan berkerah anjing, tentu saja memikat hati, dan beberapa dari klerus muda ini berpose sangat seksi sehingga orang mungkin mengatakan bahwa Gereja telah mengumpulkan barisan orang-orang yang layak untuk para pemeran film. Beberapa kardinal, katanya, tidak pernah lupa membeli kalender itu setiap tahun; tetapi bagi saya, saya belum pernah melihat kalender itu tergantung di satu kantor di Vatikan.

Saat itulah saya menemukan kebenaran. Pelayan di depan saya memang berpose di Calendario Romano yang terkenal. Dia tidak diragukan lagi adalah gay. Tetapi dia tidak pernah menjadi seorang seminaris!

Sebuah mimpi hancur. Robert Mickens, seorang ahli Vatikan yang telah memeriksa kalender misterius ini dan dengan siapa saya makan malam di Trattoria Monti, menegaskan trik yang kejam ini. Kenyataannya, kalender itu adalah palsu. Betapapun ‘panasnya’ pose mereka, para pemuda yang berpose di depan lensa fotografer Venesia, Piero Pazzi, bukanlah seminaris atau imam muda, tetapi itu adalah model yang dipilih oleh perusahaan ramah-gay yang bermain melalui ide bisnis kecil ini. Dan hal itu berhasil! Edisi baru telah diterbitkan setiap tahun sejak 2003, seringkali dengan foto yang sama. Perusahaan itu diduga telah menjual 100.000 kopi setiap tahun (menurut penerbit; angka-angka itu tidak mungkin untuk diperiksa).

Salah satu model itu adalah seorang manajer bar gay; yang lain adalah pelayan yang saya ajak bicara, yang menambahkan: “Tidak, saya bukan seorang seminaris. Saya belum pernah jadi seminaris. Saya berpose lama sekali saat itu. Saya dibayar untuk itu."

Dia, setidaknya, tidak pernah bermimpi menjadi seorang imam. Gereja, katanya menegaskan sambil tertawa ‘terlalu homofobik bagi saya.’

Ternyata ini adalah jejak yang keliru bagi saya. Untuk menyelidiki para seminaris gay di Roma, kami harus mencari cara lain.

Pada tahun 2005, Paus Benediktus XVI menyetujui sebuah instruksi penting, yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, yang meminta agar tidak ada lagi calon seminaris dengan 'kecenderungan homoseksual yang mendalam' untuk ditahbiskan. Teks itu dikonfirmasikan pada tahun 2016 oleh Kongregasi Klerus: untuk bisa ditahbiskan menjadi imam, yang pertama-tama seseorang harus menertibkan kehidupan emosionalnya sendiri!

Gereja dengan demikian menekankan kembali kewajiban untuk tidak melakukan hubungan seksual, dan menetapkan bahwa akses kepada kehidupan imamat dilarang bagi ‘mereka yang mempraktikkan homoseksualitas, menunjukkan kecenderungan homoseksual yang mendalam, atau mempertahankan apa yang disebut budaya gay.’ Dengan sangat hati-hati, dokumen itu menambahkan 'pengecualian' untuk orang-orang dengan 'kecenderungan homosex yang merupakan ekspresi dari masalah sementara seperti misalnya, dari masa remaja, yang belum terselesaikan.' Akhirnya, dokumen itu mengingatkan kita bahwa akan 'sangat tidak bijaksana’ untuk menerima seseorang kedalam seminari 'jika dia belum mencapai kondisi emosi yang matang, mapan dan bebas, suci dan setia kepada kehidupan selibat.'

Terinspirasi dan disetujui oleh Benediktus XVI, teks dari 2005 ini ditulis oleh kardinal Polandia, Zenon Grocholewski, prefek Kongregasi untuk Pendidikan Katolik. Lebih lanjut dia menegaskan dalam sebuah catatan kepada para uskup di seluruh dunia (yang telah berhasil saya dapatkan) bahwa aturan itu terbatas pada para imam di masa depan: “Instruksi itu tidak mempertanyakan validitas penahbisan dan situasi para imam yang sudah ditahbiskan dan yang memiliki kecenderungan homoseksual.”

Kardinal Zenon Grocholewski tahu masalah ini dengan sangat baik - dan bukan hanya karena dia menyandang nama pertama pahlawan biseksual The Abyss oleh Marguerite Yourcenar. Teman-temannya memperingatkannya bahwa mempertanyakan penahbisan imam homoseksual akan menyebabkan pertumpahan darah sehingga Gereja mungkin tidak akan pernah pulih: hampir tidak ada kardinal yang tersisa di Roma, tidak ada di Kuria dan mungkin bahkan tidak juga seorang paus! Mantan anggota parlemen Italia dan aktivis gay Franco Grillini sering mengulangi: "Jika semua gay di Gereja Katolik diminta pergi sekaligus - sesuatu yang sangat kami sukai – hal itu akan menyebabkan masalah operasional yang serius."

Di Vatikan, kardinal Polandia ini menaruh minat besar pada kehidupan seks para imam dan uskup, karena kecenderungan pribadi dan obsesi profesional. Menurut dua sumber, termasuk seorang pastor yang bekerja dengannya, kardinal Grocholewski bahkan seharusnya mengumpulkan file tentang kecenderungan beberapa kardinal dan uskup. Salah satunya adalah seorang uskup dari lingkaran korupsi terkenal di sekitar John Paul II, tempat dimana penyelewengan keuangan dan prostitusi berjalan bersama seperti seorang pelatih kuda dengan  kudanya, sambil terus menunggu topi kardinal bertengger di kepalanya!

Selain dari pedoman yang dikeluarkan oleh Kardinal Ratzinger, ketika situasi memburuk, kardinal Grocholewski diminta untuk merumuskan instruksi yang dirancang untuk mengusir kejahatan. Homoseksualitas benar-benar tak terkendali di dalam seminari. Di seluruh dunia, skandal demi skandal, pencabulan demi pencabulan, terus terjadi. Tetapi kebejatan ini tidak ada bandingannya dengan kenyataan lain yang masih lebih mendesak: file-file yang muncul dari berbagai kedubes Vatikan dan keuskupan agung telah bersaksi tentang normalisasi homoseksualitas secara de facto. Para seminaris hidup hampir secara normal sebagai pasangan, banyak pertemuan pro-LGBT diadakan di lembaga-lembaga Katolik, dan pergi pada malam hari ke bar-bar gay di kota itu, jika bukan ‘berpraktek gay,’ maka setidaknya ada kemungkinan untuk hal itu.

Pada tahun 2005, ketika dia menulis surat edarannya, kardinal Grocholewski menerima permintaan bantuan dari Amerika Serikat untuk berurusan dengan homoseksualisasi di seminari-seminari. Beberapa dikatakan ‘hampir spesialis dalam perekrutan homoseksual.’ Hal yang sama juga berlaku di Austria, di mana seminari Sankt-Polten telah menjadi model genre: foto-foto yang ditampilkan dalam pers menunjukkan direktur lembaga Katolik itu, serta wakil direkturnya, menciumi siswa-siswa seminaris (sejak itu seminari itu ditutup).

"Itu adalah sebuah skandal sangat besar di Vatikan," konfirmasi mantan pastor Francesco Lepore. Foto-foto itu sangat mengejutkan. Tapi itu adalah kasus yang ekstrem, paling tidak biasa. Fakta bahwa direktur seminari itu sendiri terlibat dalam kelakuan buruk ini, setahu saya, adalah unik. Di sisi lain, fakta bahwa seminari-seminari memiliki mayoritas besar kaum gay muda telah menjadi sangat biasa: mereka menjalani homoseksualitas sebagai hal yang sangat normal, dan mereka pergi secara diam-diam ke klub-klub gay tanpa terlalu banyak kesulitan.

Dengan berbagai skandal semacam ini, keuskupan Amerika memerintahkan pemeriksaan 56 orang seminaris. Tugas itu dipercayakan kepada uskup agung angkatan bersenjata, Edwin O'Brien dari Amerika. Itu adalah pilihan yang tampaknya aneh bagi sebagian orang; karena uskup agung O'Brien nantinya teridentifikasi sebagai bagian dari 'arus homoseksual' di dalam kesaksian Mgr. Viganò  ‘Testimonianza.'

Kasus simptomatik lain yang diketahui dengan baik oleh kardinal Grocholewski adalah seminari-seminari di negara kelahirannya: yang menyangkut Uskup Agung Poznan, dulu bernama Juliusz Paetz, yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap para seminaris. Dia menyangkalnya tetapi dia harus mengundurkan diri dari jabatannya. Kita juga mengutip adanya berbagai urusan 'perilaku tidak tertib,' yang banyak dibicarakan di seminari-seminari Yesuit di Jerman, Dominikan di Perancis, Benediktin di Italia dan Inggris ... Adapun di Brazil, ada ratusan seminaris, pastor, dan bahkan uskup difilmkan sedang mengobrol dengan seorang model top di webcam mereka, dan bahkan melakukan masturbasi di depan kamera (yang akan menjadi film dokumenter terkenal Amores Santos, yang disutradarai oleh Dener Giovanini).

Semua skandal ini - dan banyak skandal lain yang kurang terkenal, dimana Gereja menyatakan tidak berdaya untuk menanganinya - membuat Vatikan mengambil berbagai langkah. Menurut para kardinal yang saya wawancarai, tidak ada yang percaya pada kemanjuran langkah-langkah Vatikan ini, karena tiga alasan. Yang pertama adalah bahwa Gereja pasti akan kehilangan hidup panggilan, dimana pada saat itu Gereja sangat membutuhkan mereka, sedangkan ‘pasar’ homoseksualitas telah memasok basis rekrutmen selama beberapa dekade. Kita dapat berspekulasi bahwa krisis panggilan di Eropa berhubungan dengan fenomena ini: pembersihan terhadap gay hampir tidak bisa mendorong homoseksual untuk menjadi imam, terutama ketika mereka merasa semakin ditolak oleh Gereja yang telah menjadi homofobik sampai pada titik tertinggi.

Alasan kedua adalah bahwa tindakan-tindakan tersebut memaksa para seminaris homoseksual yang telah tinggal di lembaga-lembaga religius untuk menyembunyikan lebih banyak lagi: mereka akan menjalani kehidupan ganda yang 'lebih tertutup' daripada sebelumnya. Efek psikologis dari penindasan dan homofobia yang terinternalisasi di seminari jelas menyebabkan kebingungan besar, yang dapat menyebabkan kegelisahan eksistensial yang serius, bunuh diri dan penyimpangan perilaku di masa depan. Maka surat edaran kardinal Grocholewski hanya membuat masalahnya menjadi semakin buruk, bukan mengatasinya.

Alasan ketiga adalah alasan hukum: melarang masuk ke seminari dengan alasan orientasi seksual seorang kandidat telah dituduh bertindak diskriminatif. Tentu saja, diskriminasi semacam itu adalah ilegal di banyak negara. Paus Francis mengatakan berikut ini pada bulan Desember 2018, "Homoseksualitas di antara para klerus adalah masalah yang sangat serius yang harus menjadi subjek penegasan di antara calon imam atau kehidupan religius." Namun dia juga bersikeras: “Homoseksualitas adalah kenyataan yang tidak mungkin disangkal. Inilah yang membuat saya sangat khawatir.” Karena inilah paus Francis sangat dikritik.

Salah satu orang yang mengilhami teks ini layak disebutkan di sini: dia adalah pastor psikoanalis Perancis, Tony Anatrella, seorang penasihat dewan kepausan tentang keluarga dan kesehatan. Seorang ahli teori yang dekat dengan Kardinal Ratzinger dan yang pengaruhnya di Roma sangat penting pada saat itu, Tony Anatrella menyatakan pada tahun 2005: “Kita harus membebaskan diri kita dari keyakinan bahwa sejauh seorang homoseksual menghormati komitmennya untuk terus hidup dalam kesucian maka dia tidak akan menimbulkan masalah, dan karena itu dapat ditahbiskan sebagai pastor.” Namun Tony Anatrella juga berpendapat dengan bersikeras bahwa tidak hanya orang yang mempraktikkan homoseksual yang harus disingkirkan, tetapi juga mereka yang memiliki kecenderungan atau tendensi homosexual, meskipun belum bertindak melakukannya, mereka juga perlu disingkirkan.”

Beberapa sumber mengindikasikan bahwa Mgr. Tony Anatrella tidak hanya terinspirasi olehnya, tetapi juga terlibat dalam penulisan surat edaran kardinal Grocholewski: Grocholewski dikatakan telah berkonsultasi dengannya dan bertemu dengannya beberapa kali. Menurut para pembantunya, kardinal Grocholewski terkesan dengan argumen pastor-psikoanalisis ini (Tony Anatrella), dan penolakannya  pada 'tujuan narsis' dari para imam gay dan obsesi mereka dengan 'rayuan.' Paus Benediktus XVI, yang akhirnya diyakinkan oleh analisis kesucian Anatrella, dikatakan telah memberi tepuk tangan kepadanya, menjadikannya model yang harus diikuti dan seorang intelektual Katolik yang harus didengarkan. Apa yang sebenarnya diinginkan Mgr. Tony Anatrella? Dia telah menarik banyak perhatian di Perancis.

Saya harus kembali sebentar kepada pemikir ini. Seorang poster-boy untuk para demonstran yang menentang pernikahan gay dan seorang kolega dekat Kardinal Ratzinger, Tony Anatrella ditunjuk sebagai konsultan Vatikan untuk dewan kepausan yang bertanggung jawab atas keluarga dan kesehatan. Berkat pengakuan dari Roma ini, dia kemudian menjadi suara setengah-resmi dari Gereja tentang masalah gay, bahkan ketika dia semakin menjadi seorang fundamentalis.

Sejak pertengahan 2000-an, Tony Anatrella diberi tugas oleh Konferensi Waligereja Perancis untuk merancang dokumen kebijakan mereka dalam menentang pernikahan gay. Catatan dan artikelnya dan, segera, bukunya, menjadi semakin keras, tidak hanya menentang pernikahan gay, tetapi juga lebih luas terhadap kaum homoseksual. Dengan segenap kekuatannya, dan di setiap panggung media, imam-terapis ini bahkan menolak 'pengakuan hukum bagi homoseksualitas' (meskipun homosex telah didekriminalisasi – dianggap sebagai bukan kesalahan -- di Perancis sejak Napoleon). Dia mengecam homoseksualisasi seminari dan karenanya menuntut agar individu dengan kecenderungan homoseksual dikeluarkan dari seminari. Dengan halus, Tony Anatrella juga menunjuk dirinya sendiri sebagai juru bicara 'terapi penyembuhan' yang dalam pandangannya memberi para homoseksual solusi untuk berhenti menjadi homosex.

Karena pastor itu juga seorang psikoanalis - walaupun dia tidak termasuk dalam asosiasi psikoanalitik mana pun - dia menawarkan kursus sesi 'konversi' kepada para pasiennya, terutama pria, dalam konsultasi spesialis. Di sana dia menerima ‘pasien’ para seminaris muda yang dipenuhi dengan keraguan, dan anak-anak lelaki dari keluarga Katolik kelas menengah yang memiliki masalah dengan identitas seksual mereka. Namun, Dr. Tony Anatrella menyembunyikan niatnya, seperti yang kita pahami dari fakta bahwa untuk memperbaiki 'kejahatan' ini, pasiennya harus menanggalkan pakaian dan dimasturbasi olehnya! Penipu ini telah bekerja selama bertahun-tahun sampai tiga pasiennya memutuskan untuk mengajukan keluhan terhadapnya karena agresi seksual dan penganiayaan berulang. Skandal ini menjadi internasional, terutama ketika Tony Anatrella dekat dengan Roma, dengan paus John Paul II dan Benedict XVI. (Mgr. Anatrella telah membantah tuduhan-tuduhan ini. Sekalipun kasus itu akhirnya dibatalkan karena batas periode pengaduan menurut undang-undang telah terlewati, namun tetap saja fakta-fakta itu terbukti: Mgr. Anatrella ditangguhkan dari tugasnya dan sebuah pengadilan kanonik diluncurkan oleh kardinal Paris. Pada bulan Juli 2018, pada akhir persidangan agama, imam itu dikenai sanksi dan ditangguhkan sekali dan untuk selamanya dari semua praktik imamat secara publik oleh uskup agung baru Paris, Mgr. Aupetit.)

Ydier dan Axel adalah dua seminaris yang saya temui di pusat kebudayaan Mario Mieli (nama mereka telah diubah).

“Ada sekitar dua puluh orang seperti kami di seminari saya. Tujuh orang jelas gay. Sekitar enam lainnya memiliki kecenderungan gay. Hal itu sesuai dengan persentase yang biasa: antara 60 dan 70 persen dari para seminaris adalah gay. Terkadang saya pikir itu sebanyak 75 persen,” kata Axel memberi tahu saya.

Pria muda itu ingin bergabung dengan Rota, salah satu dari tiga pengadilan di Tahta Suci dan menjadi alasan awal mengapa dia masuk seminari. Sedangkan Ydier, dia ingin menjadi seorang guru. Dia mengenakan salib putih di kemejanya, dan memiliki rambut pirang yang mempesona. Saya menyebutkan ini.

“Blonde atau pirang palsu! Itu palsu! Saya memiliki rambut asli cokelat," katanya kepada saya.

Sang seminaris melanjutkan: “Suasana di seminari saya juga sangat homoseksual. Namun ada nuansa penting. Ada siswa-siswa yang benar-benar menjalani homoseksualitas mereka; siswa-siswa yang lain, tidak, atau belum. Ada para homosex yang ‘benar-benar suci,’ ada juga heterosex yang berlatih homosex karena kekurangan perempuan, sekedar cari pengganti, bisa dikatakan begitu. Dan ada orang lain yang hanya menjalani hidup homosex secara diam-diam. Suasana yang sangat unik."

Kedua seminaris itu kurang lebih memiliki analisis yang sama: dalam pandangan mereka, aturan selibat dan prospek hidup bersama teman sejenis mendorong para pemuda yang ragu-ragu tentang kecenderungan sexual mereka, untuk bergabung dengan lembaga-lembaga resmi Katolik. Mereka jauh dari desa mereka untuk pertama kalinya, tanpa keluarga mereka, dan dalam konteks yang sangat maskulin dan sangat homoseksual, maka mereka mulai memahami keunikan mereka. Seringkali, tata cara - bahkan yang lebih tua - masih ‘perjaka’ ketika mereka sampai di seminari: dan dalam kontak dengan anak laki-laki lain, kecenderungan mereka terungkap atau menjadi fokus. Kemudian seminari-seminari menjadi konteks bagi para imam masa depan untuk 'muncul' dan memiliki pengalaman pertama mereka. Itu adalah ritus peralihan atau perubahan cara kehidupan yang nyata.

Kisah mantan seminaris Amerika, Robert Mickens, meringkas jalan yang ditempuh oleh banyak orang.

“Apa solusinya ketika Anda mengetahui bahwa Anda memiliki ‘kepekaan’ yang berbeda di kota Amerika seperti Toledo, Ohio, dari mana saya berasal? Apa saja pilihannya? Bagi saya, masuk ke seminari adalah cara berurusan dengan homoseksualitas saya. Saya bertentangan dengan diri saya sendiri. Saya tidak ingin menghadapi pertanyaan itu di Amerika Serikat. Saya berangkat ke Roma pada tahun 1986, dan saya belajar di Pontifical North American College. Selama tahun ketiga saya di seminari, ketika saya berusia 25 tahun, saya jatuh cinta pada seorang anak lelaki.” (Dengan pilihannya sendiri, Robert Michens tidak pernah ditahbiskan sebagai seorang imam: dia menjadi jurnalis di Radio Vatikan, di mana dia tinggal selama 11 tahun, dan kemudian bekerja di media The Tablet, dan dia sekarang adalah pemimpin redaksi La Croix International. Dia tinggal di Roma, di mana saya bertemu dengannya beberapa kali.)

Seorang seminaris lain, seorang Portugis yang saya temui di Lisbon, menceritakan sebuah kisah yang sangat mirip dengan kisah Robert Mickens. Dia memiliki keberanian untuk bertanya kepada orang tuanya. Ibunya menjawab: “Setidaknya kami akan memiliki seorang imam di dalam keluarga.” (Kemudian dia bergabung dengan seminari.)

Contoh lain: Lafcadio, seorang pastor Amerika Latin sekitar tiga puluh tahun, yang kini mengajar di seminari Romawi (namanya telah diubah). Saya bertemu dengannya di restoran Propaganda setelah dia menjadi kekasih salah satu penerjemah saya. Tidak lagi dapat menyembunyikan homoseksualitasnya, dia memilih untuk berbicara dengan saya secara jujur, dan kami telah bertemu lagi untuk makan malam hingga lima kali selama penyelidikan untuk buku ini.

Seperti Ydier, Axel, dan Robert, Lafcadio, yang menghubungkan jalur kariernya dengan homoseksualitasnya. Setelah masa remaja yang sulit di kedalaman Amerika Latin, tetapi tanpa keraguan awal tentang seksualitasnya, dia memilih untuk bergabung dengan seminari 'karena panggilan yang tulus', katanya kepada saya, meskipun kemalasan emosional dan perasaan tak karuan - penyebab yang dia tidak tahu pada saat itu - mungkin berperan dalam keputusannya. Lambat laun, dia berhasil memberikan sebuah nama ke dalam perasaannya yang tidak enak: homoseksualitas. Dan kemudian, tiba-tiba, dalam sebuah acara kebetulan: di bus, ada seorang anak laki-laki meletakkan tangannya di pahanya. Lafcadio memberi tahu saya: “Tiba-tiba saya serasa membeku. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Begitu bus berhenti, saya melarikan diri. Tapi malam itu saya terobsesi oleh sikap sepele itu. Saya memikirkannya terus-menerus. Tampaknya sangat bagus, dan saya berharap peristiwa itu akan terjadi lagi."

Secara perlahan dia menemukan dan menerima homoseksualitasnya, dan pergi ke Italia, ‘karena seminari-seminari Roma 'tradisional,' katanya kepada saya, adalah 'tempat anak-anak sensitif dari Amerika Latin dikirim.' Di ibukota (Roma), dia mulai menjalani ‘kehidupan yang terkotak‘ dengan baik, tanpa pernah membiarkan dirinya menghabiskan malam jauh dari seminari tempat dia tinggal, dan di mana dia sekarang memiliki tanggung jawab penting.

Bersama saya, dia adalah seorang 'gay yang terbuka,' dan dia berbicara tentang obsesinya sebagai hasrat seksual yang kuat. "Saya sering terangsang," katanya. "Begitu banyak malam dihabiskan di tempat tidur acak-acakan - dan masih berjanji untuk kembali ke seminari, sebelum jam malam, bahkan ketika ada begitu banyak hal yang harus dilakukan!"

Dalam menerima homoseksualitasnya, Lafcadio juga mulai memandang Gereja dengan cara lain.

“Sejak itu, saya menjadi lebih baik dalam mengartikan berbagai hal atau kejadian. Kadang-kadang saya menemukan monsignori, uskup agung, dan kardinal yang lewat dekat sekali di depan saya, di Vatikan. Sebelumnya, saya tidak tahu apa yang mereka inginkan dari saya. Dan sekarang saya sudah tahu maksud mereka!” (Lafcadio menjadi salah satu informan saya yang berharga karena, muda dan tampan, dengan koneksi dekat di dalam Kuria Roma, dia menjadi sasaran permintaan emosional yang berkelanjutan dan godaan berulang dari beberapa kardinal, uskup, dan bahkan dari seorang 'ratu liturgi' dalam rombongan paus yang ngotot berusaha ‘bertemu’ dengan dia, katanya menjelaskan kepada saya.)

Seperti sejumlah seminaris yang telah saya wawancarai, Lafcadio menjelaskan kepada saya fenomena lain yang sangat tersebar luas di lingkungan Gereja, sedemikian rupa sehingga memiliki nama: crimen sollicitationis (permintaan di dalam pengakuan dosa). Dalam mengakukan homoseksualitas mereka kepada imam atau direktur spiritual mereka, para seminaris itu membiarkan diri mereka terbuka untuk diperlakukan apa pun.

“Sejumlah imam tempat saya mengaku dosa, dimana saya menyampaikan masalah sexualitas saya atau ketertarikan saya, telah bertindak ‘lebih jauh’ terhadap saya,” katanya kepada saya.

Seringkali permintaan ini tidak membuahkan hasil, dan di lain waktu mereka menerima persetujuan dan mengarah ke suatu hubungan; terkadang dari sini pasangan yang menetap terbentuk. Di lain waktu, pengakuan-pengakuan dosa ini - meskipun ini adalah sakramen – akan mengarah pada berbagai tindakan sentuhan, pelecehan, pemerasan atau agresi seksual. Ketika seorang seminaris mengaku memiliki ketertarikan atau kecenderungan, dia mengambil risiko. Dalam beberapa kasus, pemuda itu dikecam oleh atasannya, seperti yang dialami oleh mantan imam, Francesco Lepore, di Universitas Kepausan Salib Suci.

“Dalam suatu pengakuan dosa, saya menyebutkan konflik internal saya kepada salah seorang pastor Opus Dei. Saya bersikap terbuka dan sedikit naif. Yang saya tidak tahu adalah kenyataan bahwa dia akan mengkhianati saya dan memberi tahu semua orang di sekitarnya."

Para seminaris lain telah terperangkap sedemikian rupa hingga pengakuan dosa mereka digunakan untuk menyingkirkan mereka dari seminari; sesuatu yang benar-benar ilegal di bawah hukum kanon, karena rahasia pengakuan dosa adalah mutlak, dan jika mengkhianati hal itu, berarti imam itu harus menerima exkom.

“Di sini sekali lagi, Gereja memperlihatkan standar ganda. Hal itu dilakukan karena pengaduan dari para seminaris homosex, yang kecenderungan sexualnya disampaikan dalam pengakuan dosa. Tetapi para pastor yang tahu adanya pelecehan seksual dalam pengakuan dosa, tetap dilarang untuk mengkhianati rahasia itu,” kata salah seorang seminaris yang merasa menyesal dengan perlakukan imamnya.

Menurut beberapa saksi, ‘pelayaran-nafsu’ dalam pengakuan dosa sangat sering terjadi selama beberapa bulan pertama pendidikan seorang seminaris, selama tahun 'pengenalan atau persiapan' atau 'propaedeutic,' dan lebih jarang pada level diakonat. Di antara para rohaniwan biasa, Dominikan, Fransiskan, dan Benediktin telah mengkonfirmasi kepada saya bahwa mereka menjalani 'ritus peralihan' ini sebagai novis. Perbuatan penyalahgunaan sexual ini, apakah mereka saling setuju atau tidak, dibenarkan oleh semacam alasan dalam Alkitab: dalam kitab Ayub, pihak yang bersalah adalah orang yang menyerah pada pencobaan, bukan orang yang mencobai atau yang menggoda. Maka di sebuah seminari, pihak yang bersalah pada akhirnya selalu si seminaris sendiri, dan bukan atasan pemangsa - dan di sini kita menemukan seluruh pemutarbalikkan nilai-nilai Baik dan Buruk yang terus dipertahankan oleh Gereja.

Untuk mencapai semacam pemahaman tentang sistem Katolik, dimana seminari-seminari hanyalah ruang depan Gereja, kita harus mengurai kode lain dari Lemari: yaitu persahabatan, perlindungan dan pelindung. Sebagian besar kardinal dan uskup yang saya wawancarai telah berbicara kepada saya tentang 'asisten' atau 'wakil' mereka - artinya: 'anak didik' mereka. Achille Silvestrini adalah anak didik Kardinal Agostino Casaroli; Dino Boffo (orang awam) adalah anak didik dari Stanisław Dziwisz; Paolo Romeo dan Giovanni Lajolo adalah anak didik dari Kardinal Angelo Sodano; Gianpaolo Rizzotti adalah anak didik dari Cardinal Re; Don Lech Piechota adalah anak didik dari Cardinal Tarcisio Bertone; Don Ermes Viale adalah anak didik dari Kardinal Fernando Filoni; Uskup Agung Jean-Louis Bruguès adalah anak didik dari Kardinal Jean-Louis Tauran; kardinal masa depan Pietro Parolin dan Dominique Mamberti, juga anak didik Kardinal Tauran; nuncio Ettore Balestrero adalah anak didik dari Kardinal Mauro Piacenza dan kemudian Cresenzio Sepe; Fabrice Rivet adalah anak didik dari Cardinal Giovanni Angelo Becciu, dll. Orang dapat mengambil ratusan contoh semacam ini, yang mendramatisir gagasan 'malaikat pelindung' dan 'favorit' - dan kadang-kadang 'malaikat jahat.' 'Persahabatan spesial' ini dapat berubah menjadi hubungan homoseksual, tetapi dalam kebanyakan kasus, tidak. Secara umum semua itu adalah sebuah sistem aliansi hierarkis yang sangat terkotak, yang dapat menyebabkan munculnya klan, faksi dan kadang-kadang para ‘penasihat.’ Dan seperti dalam tubuh yang hidup, ada pembalikan, perputaran, dan kebalikan dari kesetiaan. Kadang-kadang binomial ini, di mana kedua belah pihak 'terikat bersama,' menjadi asosiasi asli dari para pelanggar hukum - dan kunci untuk memahami berbagai skandal keuangan tertentu di Vatikan atau urusan VatiLeaks.

Model 'pelindung' dan 'anak didik' ini, yang mengingatkan kita pada beberapa suku pribumi yang dipelajari oleh Claude Lévi-Strauss, dapat ditemukan di semua tingkatan Gereja, dari seminari hingga Kolese para Kardinal, dan umumnya hal itu memunculkan penunjukan dan pengangkatan orang-orang, yang tidak dapat dipahami, serta hierarki yang sangat kabur bagi orang luar yang tidak dapat memecahkan kode-kode mereka. Dibutuhkan seorang antropolog untuk memahami kompleksitasnya!

Seorang rahib Benediktin, yang merupakan salah satu direktur Universitas Saint Anselmus di Roma, menjelaskan aturan implisit kepada saya. “Secara keseluruhan, Anda dapat melakukan apa saja yang Anda suka di rumah-rumah religius selama Anda tidak diketahui. Dan bahkan ketika Anda tertangkap basah, atasan akan menutup mata, terutama jika Anda membuat mereka percaya bahwa Anda siap untuk memperbaiki diri. Di universitas kepausan seperti St. Anselmus, Anda juga harus ingat bahwa mayoritas staf pengajar adalah homoseksual!”

Dalam buku 'A Heart Beneath a Cassock,' penulis Rimbaud menjelaskan, dari pandangan seorang yang berpengalaman selama 15 tahun, 'keintiman’ para seminaris, hasrat seksual mereka yang diselimuti oleh kedok 'berpakaian jubah suci,' alat kelamin mereka berdetak keras di bawah 'seragam seminari' mereka, kecerobohan dari sebuah kepercayaan dikhianati, dan mungkin, pelanggaran oleh bapa superior mereka yang 'matanya melotot dari balik timbunan lemak di pipinya.' Penyair meringkas subjek ini dengan caranya sendiri: “Saya masih sangat muda. Kristus menodai nafasku."

"Pengakuan dosa bukanlah ruang penyiksaan," kata paus Francis. Bapa Suci menambahkan: "Dan tidak seharusnya itu menjadi tempat pelecehan seksual."

Sebagian besar seminaris yang saya wawancarai membantu saya untuk memahami sesuatu yang belum saya pahami, dan itu disimpulkan dengan sangat baik oleh seorang pemuda Jerman yang saya temui secara kebetulan di jalan-jalan kota Roma: “Saya tidak melihat itu sebagai kehidupan ganda. Kehidupan ganda adalah sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Tetapi homoseksualitas saya sudah terkenal di seminari. Hal itu tidak terlalu berisik, tidak terlalu militan, tetapi telah banyak diketahui. Apa yang benar-benar dilarang, bagaimanapun, adalah untuk mendukung secara militan, untuk menegaskan dirinya sendiri. Tapi selama orang tetap diam, semuanya adalah baik-baik saja."

Aturan 'jangan tanya, jangan bilang' telah berfungsi secara luar biasa, seperti halnya di tempat lain di Gereja. Praktik homoseksual lebih baik ditoleransi di seminari ketika ia tidak ditampilkan secara terbuka. Tapi celakalah dia yang menyebabkan skandal!

“Satu-satunya hal yang benar-benar dilarang adalah menjadi heteroseksual. Memiliki seorang gadis, membawa seorang gadis ke kamar, akan mendatangkan exkom secara langsung. Kesucian dan selibat berlaku terutama untuk wanita," tambah seorang seminaris Jerman dengan senyum lebar.

Seorang mantan seminaris yang tinggal di Zurich menjelaskan sudut pandangnya. “Pada dasarnya, Gereja selalu lebih memilih pastor gay daripada pastor heteroseksual. Dengan surat edaran anti-gaynya, Gereja merasa telah sedikit mengubah banyak hal, tetapi Anda tidak dapat mengubah kenyataan dengan membuat sebuah gambar lingkaran! Sementara selibat para imam tetap ada, seorang imam gay akan selalu menerima sambutan yang lebih baik di Gereja daripada seorang imam yang ‘berjalan lurus.’ Itu adalah kenyataan, dan tidak ada yang bisa dilakukan Gereja tentang hal itu.”

Para seminaris yang saya wawancarai juga sepakat tentang hal yang lain: seorang heteroseksual tidak dapat merasa benar-benar nyaman di seminari Katolik, karena - dan saya mengutip ungkapan yang mereka gunakan - dari 'penampilan,' 'persahabatan khusus,' 'kedekatan dengan sesama pria,' ‘mengejar anak laki-laki,' dan 'sensitivitas,' 'fluiditas,' 'kelembutan' dan 'atmosfir homoerotik secara umum' yang berasal darinya. Siapa pun yang bukan bujangan akan menjadi bingung.

“Semuanya adalah homoerotik. Liturgi adalah homoerotik, kebiasaan adalah homoerotik, anak-anak lelaki juga homoerotik, belum lagi Michelangelo!" kata mantan seminaris Robert Mickens kepada saya.

Dan seorang seminaris lainnya menambahkan, mengulangi mantra yang telah saya dengar beberapa kali: “Yesus tidak pernah menyebut homoseksualitas. Jika itu adalah hal yang mengerikan, mengapa Yesus tidak membicarakannya?”

Setelah jeda, dia berkata lagi: “Berada di seminari sama seperti berada di Blade Runner: tidak ada yang tahu siapa yang ‘manusia asli’ dan siapa yang hanya ‘manusia tiruan.’ Ini adalah ambiguitas yang biasanya dilihat oleh orang-orang yang lurus.” Sang seminaris itu tiba-tiba melanjutkan, seolah memikirkan nasibnya sendiri: “Jangan lupa bahwa banyak orang menyerah begitu saja!”

Wartawan Pasquale Quaranta adalah salah satunya. Dia juga bercerita tentang saat ketika dia menjadi seorang seminaris. Sekarang dia adalah seorang editor di La Repubblica, Pasquale Quaranta, bersama penerbit Carlo Feltrinelli dan seorang penulis muda Italia, salah satu dari tiga orang yang mendorong saya untuk mengerjakan proyek buku ini. Lebih dari beberapa lusin makan malam, dan mengobrol malam hari di Roma, dan juga bepergian ke Perugia atau Ostia, tempat kami menelusuri momen terakhir Pasolini, dia menceritakan sejarahnya kepada saya.

Putra seorang biarawan Fransiskan yang meninggalkan Gereja untuk menikahi ibunya, Pasquale Quaranta awalnya memilih jalan untuk menjadi seorang imam. Dia menghabiskan delapan tahun di Stigmatines, sebuah kongregasi jemaat klerus yang didedikasikan untuk mengajar dan belajar Katekismus.

“Harus saya katakan, saya memiliki pendidikan yang baik. Saya sangat berterima kasih kepada orang tua saya karena mengirim saya ke seminari. Mereka menyampaikan kesenangan mereka  akan The Divine Comedy! (buku terkenal karya Dante Alighieri)

Apakah homoseksualitas adalah salah satu pendorong rahasia dari panggilannya? Pasquale Quaranta tidak berpikir begitu: dia memasuki seminari dasar pada usia yang terlalu muda untuk memiliki pengaruh. Tapi mungkin itu sebabnya dia meninggalkan panggilannya.

Ketika dia menyadari homoseksualitasnya, dan membicarakannya dengan ayahnya, hubungan mereka yang sangat baik langsung menjadi hancur. “Ayah saya tidak berbicara dengan saya lagi. Kami berhenti saling bertemu. Dia trauma. Awalnya dia pikir masalahnya adalah saya; padahal masalahnya adalah dia. Perlahan-lahan, selama periode dialog yang panjang, yang berlangsung beberapa tahun, kami bisa berdamai. Sementara itu, saya telah meninggalkan imamat dan, di ranjang kematiannya, ayah saya mengoreksi bukti-bukti dari sebuah buku yang saya siapkan untuk diterbitkan tentang homoseksualitas, yang saya tulis dengan seorang imam yang membantu saya menerima diri saya lebih penuh."

Bukankah para seminaris gay yang tidak menyangkal seksualitas mereka masih bisa bahagia dan berkembang? Ketika saya bertanya kepada mereka tentang hal ini, wajah mereka cemberut, senyum mereka memudar, keraguan nampak merayap masuk. Terlepas dari Lafcadio, dari Amerika Selatan, yang mengatakan kepada saya bahwa dia 'mencintai hidupnya,' sementara yang lain-lainnya bersikeras pada kegelisahan untuk selalu 'berada dalam wilayah abu-abu,’ sedikit tersembunyi, sedikit sunyi, dan risiko yang mungkin mereka terima bagi karier masa depan mereka di Gereja.

Bagi banyak orang, seminari adalah kesempatan untuk 'muncul keluar,' tetapi juga merupakan tempat di mana mereka menjadi sadar akan adanya kebuntuan dalam hidupnya. Sebagian besar berjuang dengan homoseksualitas mereka, yang telah cukup menindas, dalam konteks ini. Seperti yang ditulis si Penyair: ‘sarat dengan kelemahanku, kelemahan yang telah menyebarkan akar penderitaan di sisiku sejak usia penalaranku - yang naik ke angkasa, mengalahkan aku, memukulku, menyeretku di sepanjang jalan.’

Mereka semua takut kehilangan kehidupan mereka, menjadi fosil di antara orang-orang yang sangat mirip dengan mereka. Di dalam seminari, kehidupan menjadi mendung: mereka membayangkan seperti apa kehidupan mereka sebagai imam nanti, dikelilingi oleh kebohongan dan fantasi, kehidupan keras seorang Jansenist yang kesepian dan tidak tulus, kehidupan yang berkelap-kelip seperti nyala lilin. Sejauh mata memandang, hanya ada penderitaan, keheningan, tindakan kelembutan yang dihapus segera setelah mereka bayangkan, 'sentimen-sentimen yang palsu,’ 'kecantikan menawan' dan yang terpenting, 'gurun cinta'; waktu berlalu, masa muda memudar, momok ‘menjadi tua secara prematur’ berdatangan.

Para seminaris terobsesi dengan gagasan yang melelahkan 'modal nokturnal' (nafsu sex) mereka sebelum mereka bahkan memiliki akses ke sana. Dalam komunitas gay, orang umumnya berbicara tentang 'kematian gay;' 'tanggal kedaluwarsa' untuk seorang homoseksual dikatakan sudah pasti berusia 30, usia yang menandai akhir perjalanan nafsunya yang mudah! Lebih baik dinikahkan sebelum kapak jatuh. Namun, karena tidak mampu mengendalikan keinginan mereka sebelum ini, sering kali pada usia itu, ketika 'nilai pasar seksual' mereka menurun, banyak imam yang mulai berkencan. Karenanya, kecemasan obsesif para seminaris yang tetap merasa takut, adalah dalam hal menebus waktunya hilang dalam kabut, pesta seks dan pesta tamparan. Tersembunyi di seminari-seminari, apakah mereka harus menunggu hingga 30 tahun untuk tumbuh di kamar belakang?

Dilema ini, yang telah sering digambarkan kepada saya oleh para imam Katolik, telah meningkat sepuluh kali lipat. Sebelum tahun 1970-an, Gereja adalah tempat perlindungan bagi mereka yang menderita diskriminasi di luar. Namun sejak saat itu, Gereja telah menjadi penjara bagi mereka yang datang dan mereka yang tetap tinggal - mereka semua merasa sempit dan terkurung, sementara kaum gay di luar dibebaskan. Si Penyair berkata lagi: ‘Ya Kristus! pencuri energi yang abadi."

Tidak seperti yang lainnya, para seminaris yang lebih tua, yang telah berbicara kepada saya tentang penyiksaan diri, hukuman diri sendiri atau penganiayaan fisik, Ydier, Axel dan Lafcadio belum mengalami siksaan yang sedemikian ekstrem; tetapi mereka juga sering menitikkan air mata. Mereka telah mengutuk kehidupan dan penderitaan yang memakan dirinya sendiri sebagai hal yang dia setujui dan masokis. Mereka sangat berharap agar diri mereka berbeda, pada akhirnya mengulangi seruan mengerikan dari André Gide: ‘Aku tidak seperti yang lain! Aku tidak seperti yang lain!'

Dia telah meninggalkan kebiasaan masturbasi, obsesi tentang Gereja pada dirinya telah mencapai puncaknya di seminari masa kini, menurut orang yang saya wawancarai, ketika para imam sendiri mengetahui dari pengalaman bahwa itu tidak membuat Anda menjadi buta. Tentu saja, upaya berlebihan seperti itu untuk mengendalikan dan membatasi perilaku sexual nyaris tidak berpengaruh akhir-akhir ini: kita masih jauh dari zaman ketika para seminaris 'yang menyerah pada onanisme sementara' bisa merasa takut akan kesehatan mereka dan 'dibujuk untuk mencium bau belerang' (dalam istilah dari Angelo Rinaldi yang mudah diingat).

Masturbasi, yang dulunya merupakan topik tabu di seminari, dan yang tidak pernah dibahas, sekarang menjadi subjek utama yang sering disebut oleh para guru. Obsesi yang sia-sia ini tidak ditujukan pada penolakan pada segala bentuk seksualitas tanpa tujuan prokreasi (menghasilkan anak) -- (alasan resmi untuk pelarangan tindakan masturbasi), tetapi, terutama, pada kontrol totaliter individu, merampas mereka dari keluarga dan tubuh mereka; maka depersonalisasi sejati pasti akan mengikuti. Sebagai sebuah gagasan yang sudah pasti, yang berulang-ulang begitu sering, dengan sangat praktis dewasa ini, adalah bahwa onanisme menjadi semacam 'lemari' di dalam 'lemari,' sebuah bentuk identitas homoseksual yang dikunci dua kali. Sementara para imam terlibat di dalamnya dengan marah, sambil memimpikan 'kobaran manis' dari kebebasan.

“Berpikir bahwa mereka masih mengajar para seminaris bahwa masturbasi adalah dosa - itu adalah abad pertengahan! Dan fakta bahwa mastrbasi ini kini lebih banyak dibicarakan dan ditargetkan, daripada pedofilia, memberi tahu kita banyak hal tentang Gereja Katolik," kata Robert Mickens memberi tahu saya.

Suatu hari, ketika saya kembali dari Vatikan, seorang pemuda menatap tajam ke arah saya di dekat stasiun Metro Ottaviano. Mengenakan salib kayu besar di kausnya, dia ditemani oleh seorang imam tua (seperti yang akan dia ceritakan nanti), dan setelah beberapa saat yang canggung, dia mendatangi saya. Namanya Andrea, dan dia dengan malu-malu meminta nomor telepon saya. Di bawah kepitan lengannya dia membawa salinan AsSaggi biblici, sebuah manual teologis yang diedit oleh Franco Manzi - yang membuatnya bersemangat dan juga membuatnya menarik di mata saya. Saya memulai percakapan.

Pada akhir malam itu, kami minum kopi di sebuah bar di Roma, dan dia dengan cepat mengakui kepada saya bahwa dia memberi saya nama palsu dan bahwa dia adalah seorang seminaris. Kami akan berbicara lagi beberapa kali dan, seperti pastor lain di masa depan, Andrea menjelaskan dunia-nya kepada saya.

Bertentangan dengan harapan, Andrea, yang secara terbuka mengakui homoseksualnya kepada saya, dia adalah pemuja Benediktus XVI. “Saya lebih suka Benedetto. Saya tidak suka Francis. Saya tidak suka paus ini. Apa yang benar-benar ingin saya lakukan adalah membangun kembali kontak dengan Gereja dari masa sebelum Vatikan II.”

Bagaimana dia menyatukan kehidupan gay-nya dengan hidupnya sebagai seorang seminaris? Andrea menggelengkan kepalanya, tampak tertekan dan menyesali ambivalensi itu. Antara kesombongan dan keterasingan, dia ragu-ragu dalam jawabannya. "Anda tahu, saya bukan orang Kristiani yang sebaik itu. Saya sudah mencoba. Namun saya tidak bisa melakukannya. Dari sisi daging, Anda tahu. Dan saya meyakinkan diri saya dengan menyadari bahwa sebagian besar seminaris yang saya kenal adalah seperti saya."

"Apakah Anda memilih seminari karena Anda gay?"

“Saya tidak melihatnya seperti itu. Seminari itu terutama solusi sementara. Saya ingin melihat apakah homoseksualitas adalah hal yang abadi bagi saya. Setelah itu, seminari menjadi solusi kompromi. Orang tua saya ingin percaya bahwa saya bukan homoseksual; mereka menyukai kenyataan bahwa saya berada di seminari. Dan dengan cara itu memungkinkan saya hidup sesuai dengan selera saya. Itu tidak mudah, tetapi lebih baik seperti itu. Jika Anda memiliki keraguan tentang seksualitas Anda, jika Anda tidak ingin orang-orang di sekitar Anda tahu Anda gay, jika Anda tidak ingin menyakiti ibu Anda: maka Anda masuk ke seminari saja! Kembali ke alasan saya sendiri, yang dominan jelas homoseksualitas, bahkan jika saya awalnya tidak sepenuhnya menyadarinya. Saya hanya benar-benar mendapat konfirmasi tentang homoseksualitas saya setelah saya memasuki seminari."

Dan Andrea menambahkan, dalam nada sosiologis: "Saya pikir ini semacam aturan: sebagian besar imam telah menemukan bahwa mereka tertarik oleh anak laki-laki setelah berada di dalam seminari yang homoerotik dan sangat maskulin. Ketika Anda berada di sekolah Anda di provinsi Italia, Anda hanya memiliki peluang sangat kecil untuk bertemu kaum homoseksual yang Anda sukai. Itu selalu sangat berisiko. Dan kemudian Anda sampai di Roma, ke seminari, dimana hampir hanya ada anak laki-laki, dan hampir semua orang adalah homoseksual, muda, dan tampan, dan Anda memahami bahwa Anda juga seperti mereka."

Selama diskusi kami, seminaris muda ini memberi saya uraian terperinci tentang suasana di seminari. Dia memberi tahu saya bahwa dia sering menggunakan dua aplikasi: Grindr dan ibreviary.com - alat jejaring gay, dan breviary Katolik dalam lima bahasa tersedia gratis di ponsel pintar. Sebuah ringkasan hidupnya yang sempurna!

Pada usia 20, Andrea sudah memiliki banyak kekasih (pria), sekitar lima puluh. "Saya bertemu mereka di Grindr atau di antara para seminaris."

Menyalahkan dirinya sendiri karena kehidupan ganda ini, dan untuk meredakan kekecewaannya karena tidak menjadi orang suci, dia telah membuat sedikit peraturan untuk memberikan dirinya hati nurani yang baik. Jadi, misalnya, dia memberi tahu saya bahwa dia tidak akan membiarkan dirinya melakukan hubungan seksual setelah pertemuan pertama di Grindr: dia selalu menunggu setidaknya pertemuan yang ketiga!

"Itu metode saya, sisi Ratzinger saya," katanya dengan ironis kepada saya.

Saya bertanya alasannya untuk terus ingin menjadi seorang imam. Pria muda yang memikat itu, ragu-ragu. Dia tidak benar-benar tahu. Dia berpikir sejenak, lalu berkata: "Hanya Tuhan yang tahu."

Menurut banyak pernyataan yang telah saya kumpulkan di universitas kepausan Roma, kehidupan ganda para seminaris telah berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir karena internet dan telepon pintar. Sebagian besar dari mereka yang pergi keluar di tengah malam mencari kesempatan pertemuan atau, di Roma, di klub-klub seperti Diabolo 23, K-Men's Gay, Bunker atau Vicious Club, sekarang dapat berlayar mengarungi nafsu diluar kenyamanan rumah mereka sendiri. Berkat aplikasi seperti Grindr, Tinder atau Hornet, dan situs hook-up seperti GayRomeo (sekarang PlanetRomeo), Scruff (untuk pria yang lebih dewasa dan 'beruang'), Daddyhunt (untuk mereka yang suka 'bapak-bapak'), atau Recon (untuk para fetisisme dan 'ekstrim' seksualitas), mereka tidak perlu lagi pergi jauh, atau mengambil terlalu banyak risiko.

Bersama dengan para peneliti saya di Roma, saya juga menemukan homoseksualitas dari beberapa seminaris, pastor, atau uskup kuria berkat keajaiban internet. Seringkali mereka memberi kami alamat email atau nomor ponsel mereka demi sopan-santun atau kebetulan, ketika kami bertemu di Vatikan. Setelah kami terus merekam informasi, dengan sangat polos, di buku alamat Gmail kami atau di ponsel pintar kami, berbagai akun dan nama yang terkait dengannya muncul secara otomatis di WhatsApp, Google+, LinkedIn atau Facebook. Seringkali memakai nama samaran! Dimulai dengan nama-nama pinjaman ini, kehidupan ganda para seminaris, imam, atau uskup kuria ini - tentu sangat bijaksana, tetapi tidak cukup aneh - muncul dari situs jejaring ini, seolah-olah hal itu terjadi melalui campur tangan Roh Kudus! (Di sini saya sedang memikirkan selusin kasus yang tepat, dan terutama beberapa monsignori yang telah kami temui dalam perjalanan buku ini.)

Hari-hari ini, banyak dari mereka menghabiskan malam mereka di GayRomeo, Tinder, Scruff atau Venerabilis - tetapi kebanyakan di Grindr. Bagi saya, saya tidak pernah menyukai aplikasi yang tidak manusiawi dan berulang-ulang ini, tetapi saya mengerti logikanya: menggunakan geolokasi dan secara real time, itu mengarahkan Anda ke semua gay terdekat yang tersedia. Itu adalah iblis!

Menurut beberapa imam, Grindr telah menjadi fenomena yang sangat luas di seminari dan pertemuan para imam. Begitu merepotkan penggunaan aplikasi ini bagi Gereja sehingga menyebabkan beberapa skandal besar meletus (misalnya, di seminari Irlandia). Seringkali para pastor saling melihat satu sama lain tanpa sengaja, setelah menemukan bahwa klerus gay lain hanya berjarak beberapa meter dari dirinya. Dan tim saya dan saya juga telah berhasil membuktikan bahwa Grindr melakukan tugasnya dengan baik setiap malam di dalam Negara Vatikan.

Yang diperlukan hanyalah dua ponsel pintar yang berada di kedua sisi negara Katolik kecil itu untuk menemukan bahwa ada margin kesalahan yang sangat rendah dalam mengidentifikasi keberadaan gay. Ketika kami melakukan percobaan, dua kali, tidak terlalu banyak yang terhubung di Vatikan, tetapi menurut beberapa kontak internal, komunikasi sexual di Vatikan melalui aplikasi Grindr sangat intens.

Situs Venerabilis layak mendapat cerita sendiri. Situs yang dibuat pada 2007 itu adalah platform online yang didedikasikan sepenuhnya untuk para pastor 'homoseksual,' untuk memposting iklan atau bertukar pesan di ruang obrolan. Sebagai tempat pertukaran dan dukungan, ia mengarah pada penciptaan kelompok diskusi kehidupan nyata: untuk sementara waktu, kelompok-kelompok ini bahkan bertemu di kafe di toko buku Feltrinelli yang terkenal di Largo Torre Argentina, pada waktu yang berbeda sesuai dengan jadwal universitas mereka. Salah satu administrator situs itu, yang dekat dengan Tarcisio Bertone, Mgr. Tommaso Stenico, dikenal di dalam Kuria sebagai seorang homoseksual, tetapi dia mempraktikkannya di luar Vatikan (dia diberhentikan dari jabatannya di Vatikan setelah dikeluarkan dari program televisi Italia). Seiring waktu, situs Venerabilis berkembang menjadi tempat pelayaran nafsu orang-orang gerejawi dan, setelah dikecam oleh pers Katolik yang konservatif, situs itu ditutup. Kami memiliki jejak di arsip web dan di 'web yang dalam,' tetapi tidak dapat diakses atau diindeks oleh mesin pencari.

Di Facebook, situs lain yang banyak digunakan untuk ‘berlayar,’ karena keragaman anggotanya, mudah untuk menemukan pastor gay atau seminaris gay. Ini benar, misalnya, dari beberapa wali gereja yang kami ikuti di Roma: kebanyakan dari mereka tidak terbiasa dengan protokol kerahasiaan jejaring sosial, hingga membuat daftar teman mereka bisa terlihat. Anda hanya perlu melihat akun seorang gay di Roma yang terhubung dengan baik di komunitas homoseksual kota, untuk menentukan dari 'teman yang sama' apakah seorang pastor adalah gay atau bukan. Sebuah garis waktu tidak perlu mengandung satu pesan gay: cara Facebook bekerja hampir selalu memberi kemudahan bagi gay.

Di Twitter, Instagram, Google+, atau LinkedIn, dengan menghubungkan mereka secara silang dengan Facebook, Anda dapat melakukan jenis pencarian yang sama secara legal. Berkat alat profesional seperti Maltego, Brandwath, atau KB Crawl, orang dapat menganalisis semua kontak sosial seorang pastor, teman-temannya, konten yang dia sukai, yang dia bagikan atau posting, dan bahkan melihat berbagai akun yang terhubung dengannya (seringkali dengan identitas berbeda). Saya memiliki kesempatan untuk menggunakan perangkat lunak berperforma tinggi yang memungkinkan Anda memetakan semua interaksi seseorang di jejaring sosial berdasarkan informasi publik yang ditinggalkannya di web. Hasilnya sangat mengesankan, karena profil lengkap orang tersebut muncul dari ribuan bit data yang dia komunikasikan sendiri di jaringan-jaringan ini tanpa dia sendiri mengingat hal itu: dalam kebanyakan kasus, jika orang itu homoseksual, informasi tersebut muncul dengan margin ketidakpastian yang rendah. Untuk menghindari alat seperti ini, Anda perlu mengelompokkan hidup Anda - menggunakan jaringan terpisah dan tidak pernah membagikan informasi pribadi sekecil apa pun - sedemikian rupa sehingga hampir mustahil orang lain bisa melacaknya.

Karena itu ponsel pintar dan internet sibuk mengubah kehidupan para seminaris dan imam menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dalam perjalanan penyelidikan ini, saya juga telah menggunakan banyak alat digital baru, menyewa flat di Airbnb, menggunakan Waze dan berkeliling di Ubers, menghubungi para imam di LinkedIn atau Facebook, menyimpan dokumen atau rekaman penting di Pocket, Wunderlist atau Voice Record, dan memiliki pertukaran rahasia dengan banyak sumber di Skype, Signal, WhatsApp atau Telegram. Sekarang jurnalis benar-benar digital dan saya memang seorang penulis digital.

Dalam buku ini, saya tidak berusaha mengabaikan kehidupan para seminaris dan pastor dari sisi homoseksualitas, pesta pora, masturbasi, atau pornografi online. Ada, tentu saja, klerus  tertentu yang mungkin disebut 'pertapa,' yang tidak tertarik pada seks dan yang menjalani kesucian mereka dengan keseimbangan batin yang mantap. Tetapi, menurut saksi, para imam yang setia pada kaul selibat adalah minoritas.

Faktanya, pengungkapan tentang homoseksualitas para pastor dan kehidupan ganda di Vatikan baru saja dimulai. Dengan maraknya ponsel pintar, yang berarti bahwa segala sesuatu dapat difilmkan dan direkam, dan dengan pertumbuhan jejaring sosial di mana segala sesuatu bisa diketahui, maka rahasia Vatikan akan menjadi semakin sulit untuk disimpan. Kata (rahasia) itu telah dibebaskan. Sekarang, jurnalis yang pemberani di seluruh dunia sedang menyelidiki kemunafikan umum dari para klerus, dan para saksi mulai berbicara. Beberapa kardinal yang saya ajak bicara berpikir bahwa 'pertanyaan-pertanyaan ini tidak penting,' bahwa 'terlalu banyak direkayasa atas mereka,' dan bahwa 'kontroversi seksual ada di belakang kita (sudah lalu).' Nampaknya mereka ingin membalik halaman, untuk melihat halaman berikutnya saja.

Namun saya berpikir justru sebaliknya. Saya percaya kita hampir tidak pernah menyentuh subjeknya. Dan semua yang saya bicarakan dalam buku ini hanyalah halaman pertama dari sebuah cerita panjang yang sedang ditulis. Saya bahkan curiga bahwa saya kurang fakta. Pengungkapan, pemaparan, narasi rahasia dan dunia Lemari Vatikan yang hampir tidak dijelajahi, baru saja dimulai.



No comments:

Post a Comment