Friday, January 17, 2020

SEORANG PASTOR SEHARUSNYA BERBICARA KEPADA KAWANANNYA...




SEORANG PASTOR SEHARUSNYA BERBICARA KEPADA KAWANANNYA,

UNTUK MEMBELA SELIBAT IMAMAT




Bunda Maria menyampaikan sebuah peringatan ilahi kepada St. Bridget (1303 – 1373), yang nampaknya saat ini, merupakan pesan langsung dari Surga kepada Paus Francis:

“Ketahuilah hal ini: bahwa jika ada beberapa paus yang memberikan izin kepada imam-imam untuk melakukan kontrak perkawinan duniawi, maka Allah akan menghukumnya dengan hukuman yang sama besar, secara spiritual, seperti yang dijatuhkan oleh hukum dengan adil, dalam cara jasmani, pada seseorang yang telah melampaui batas begitu parah sehingga matanya harus dicungkil, lidah dan bibirnya, hidung dan telinganya dipotong, tangan dan kakinya diamputasi, semua darah dalam tubuhnya tumpah hingga menjadi sangat dingin, dan akhirnya, seluruh mayatnya dalam keadaan tanpa darah, dibuang dan dimangsa oleh anjing –anjing dan binatang buas lainnya [.]… Karena paus yang sama itu akan benar-benar dirampas oleh Tuhan dari penglihatan dan pendengaran spiritualnya, dan dari kata-kata dan perbuatan spiritualnya. Semua kebijaksanaan spiritualnya akan menjadi sangat dingin; dan akhirnya, setelah kematiannya, jiwanya akan diusir untuk disiksa selama-lamanya di dalam neraka, sehingga di sana dia menjadi makanan iblis untuk selama-lamanya dan tanpa akhir.”

Bunda Maria memberi tahu orang kudus itu (St. Bridget), bahkan Paus St. Gregorius Agung-pun tidak akan pernah menjadi seorang kudus dan pada kenyataannya dia akan berakhir dengan kehilangan jiwanya, jika dia menjadi orang yang menghapuskan selibat.

Bapa Suci, apakah Anda membaca ini?

Bagi kami, yang bergabung di dalam 1P5 dan di seluruh dunia Katolik tradisional, tindakan untuk melestarikan selibat klerus sekarang telah menjadi tugas yang mendesak untuk menyelamatkan jiwa paus.

Sekarang, mari kita lihat beberapa hukum kanon Gereja awali yang menyatakan bahwa norma selibat imam dan pantang episkopal dibuat oleh para rasul dan dilaksanakan sejak zaman dulu dan oleh zaman itu sendiri.

Uskup Genethlius, menurut Konsili Kartago (AD 390), mengatakan:

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, sudah sepantasnya bahwa para uskup dan para imam yang kudus dari Allah, serta orang-orang Lewi (artinya, Diakon); yaitu, mereka yang berada dalam pelayanan sakramen-sakramen ilahi, melaksanakan dan mempertahankan tindakan pantang yang sempurna, sehingga mereka dapat memperoleh, dalam semua kesederhanaan, apa yang mereka minta dari Tuhan. Karena itu apa yang diajarkan dan dilaksanakan oleh para rasul jaman dahulu, marilah kita sekarang juga berusaha untuk mempertahankannya.

Beberapa tahun sebelumnya, kita memiliki Hukum Kanon 29 dari Konsili pertama di Arles (314):

Selain itu, berkaitan dengan apa yang layak, murni, dan jujur, kami menasihati saudara-saudara kita di keuskupan untuk memastikan bahwa para imam dan diakon tidak melakukan hubungan (seksual) dengan istri mereka, karena mereka melakukan pelayanan setiap hari. Siapa pun yang akan bertindak menentang keputusan ini, akan disingkirkan dari kehormatan klerus.”

Dalam Konsili Elvira, (309), Kanon 33 berbunyi, “Tampaknya baik untuk benar-benar melarang para uskup, para imam, dan diakon, yaitu, semua klerus yang melaksanakan pelayanan kudus, untuk melakukan hubungan dengan istri mereka dan memiliki anak-anak keturunan; jika ada yang melakukannya, biarlah dia dikeluarkan dari kehormatan klerus.

Karena itu, St Epifanius, memuji ketaatan yang ketat terhadap aturan kanonik ini, dengan mengatakan:

Gereja Kudus menghormati martabat imamat sedemikian rupa hingga ia tidak mengakui diakon, imam atau uskup, atau bahkan kepada sub-diakonat, siapa pun yang masih hidup dalam pernikahan dan memiliki anak-anak. Gereja hanya menerima dia, yang jika menikah, telah melepaskan istrinya atau telah kehilangan istrinya melalui kematian, terutama di tempat-tempat di mana hukum kanon gerejawi benar-benar dilaksanakan secara benar.

St Jerome mengatakan dalam suratnya kepada Pammachius, “Orang-orang yang dipilih menjadi uskup, imam, dan diakon haruslah murni atau duda; atau setidaknya, ketika mereka telah menerima imamat, mereka bersumpah untuk melaksanakan kesucian abadi."

Sebuah penelitian yang cermat terhadap para Bapa Gereja awali menunjukkan betapa mereka melaksanakan selibat yang sangat terpuji, karena hal itu (selibat) secara khusus adalah cocok bagi para imam dalam pelayanan mereka di altar.

Gereja nyaris memiliki norma universal tentang selibat bahkan untuk imam-imam biasa, bukan hanya bagi para uskup saja, yang disampaikan pada Konsili Nicea.

Pastor William Saunders merangkum :

Pada Konsili Ekumenis Nicea I (325), Uskup Hosius dari Cordova mengusulkan dekrit yang mewajibkan selibat klerus, termasuk bagi para rohaniwan yang sudah menikah. Uskup Paphnutius dari Mesir, yang belum menikah, bangkit dan memprotes, menyatakan bahwa persyaratan seperti itu akan terlalu ketat dan tidak bijaksana. Sebaliknya, para anggota klerus yang sudah menikah harus terus setia kepada istri mereka, dan mereka yang belum menikah harus secara pribadi memutuskan apakah akan selibat atau tidak. Sebagai konsekuensinya, tidak ada persyaratan di seluruh gereja bagi imam untuk selibat yang diwajibkan. Bagi Gereja Barat, beberapa paus menetapkan selibat: Damasus I (384), Siricius (385), Innocent I (404), dan Leo I (458). Dewan-dewan lokal mengeluarkan dekrit yang memberlakukan selibat kepada klerus: di Afrika, Kartago (390, 401–19); di Perancis, Orange (441) dan Tur (461); dan di Italia, Turin (398). Pada saat Paus Leo I (wafat 461), tidak ada uskup, imam, diaken, atau subdiakon yang boleh menikah. Namun demikian, aturan itu tidak selalu ditegakkan sebagaimana yang seharusnya [.]

Di Gereja Timur, perbedaan dibuat antara uskup dan klerus lainnya, apakah mereka harus selibat. Hukum Perdata dari Kaisar Justinianus melarang siapa pun yang memiliki anak atau bahkan keponakan, untuk ditahbiskan sebagai uskup. Konsili Trullo (692) mengamanatkan bahwa seorang uskup harus selibat, dan jika dia sudah menikah, dia harus berpisah dari istrinya sebelum pentahbisannya. Para imam, diakon, dan subdiakon dilarang menikah setelah pentahbisan, meskipun mereka harus terus memenuhi sumpah perkawinan mereka jika telah menikah sebelum penahbisan. Peraturan ini masih berlaku untuk sebagian besar Gereja Timur.

Namun, ternyata, diputuskan oleh tradisi universal (ini disimpan dalam Ritus Latin dan ritus Katolik Timur) bahwa (1) uskup akan terikat pada pantang abadi (2); Setelah ditahbiskan, seorang imam yang sudah menikah, setelah kematian istrinya, tidak akan pernah bisa menikah lagi; dan (3) dalam ritus Katolik Timur (dan jarang dalam ritus Latin Barat), seorang pria yang sudah menikah, dengan dispensasi, dapat ditahbiskan. Pada prinsipnya, para uskup secara eksklusif dipilih dari orang-orang yang berpantang secara kekal.

Untuk menyimpulkan, mari kita mengindahkan peringatan serius yang diberikan Bunda Maria kepada St. Bridget berabad-abad yang lalu, yang tampaknya secara khusus dimaksudkan untuk zaman kita, ketika tradisi yang mulia ini - yang sangat dipuji oleh para Bapa Gereja - berada dalam bahaya besar, karena ia akan menyerah kepada zaman hedonistik saat ini. Para Bapa Suci mengajarkan kepada kita bahwa selibat klerus terkait erat dengan imam yang bertindak dalam persona Christi, bahwa sebagai wali Gereja dan wali dari Mempelai Gereja, imam harus memelihara kesucian yang sempurna, sehingga dapat menjadi bapa bagi kawanannya.

Bunda Maria menyimpulkan dengan memberi tahu St. Bridget bahwa bahkan Paus St. Gregorius-pun akan kehilangan jiwanya – semoga mereka yang percaya bahwa setiap perkataan Paus itu sempurna, juga memperhatikan hal ini - “Ya, bahkan jika Paus, Santo Gregorius, telah membuat undang-undang ini, dalam kalimat di atas dia tidak akan pernah mendapatkan belas kasihan dari Tuhan jika dia tidak dengan rendah hati mencabut ketetapannya sebelum kematiannya.”(Revelations of St. Bridget, Buku VII, Bab 10).

Marilah kita berdoa bagi paus Francis, agar dia tidak berakhir seperti itu, dan sebagai gantinya, seperti Paus St. Gregorius, bahwa dia menjadi paus yang baik dan suci yang hanya berfokus untuk melakukan Kehendak Tuhan bagi Bunda Gereja yang kudus.

*****



Nishant Xavier is a traditional Catholic from India due to begin seminary studies soon in Palyamkottai’s Priory of the Sacred Heart. He completed an MBA in finance from the Indian Institute of Management (IIM) Lucknow, but his passion has always been sacred theology and Jesus and Mary. You can reach out of to him anytime for comments or questions on the articles at nishantxavier2019@gmail.com.


* Di dalam Lemari Vatikan – 20. Bab 18 – Seminaris

* Uskup Belanda, Robert Mutsaerts:
Dokumen Terakhir (Sinode Amazon) Akan Menjadi Cemoohan Terhadap Iman Kita,


No comments:

Post a Comment