Monday, November 2, 2015

Perceraian Katolik, atas mandat dari PF....

Perceraian Katolik, atas mandat dari PF, kini sedang menghancurkan sebuah Sakramen, dan skisma sedang menghadang di horizon Katolik

Setelah 2000 tahun, kini perceraian dijalankan didalam Gereja, dan sebuah skisma menghadang, lebih besar dari pada sebelumnya

Antonio Socci
Libero
September 12, 2015





Majalah "Newsweek" baru-baru ini memasang sebuah foto PF pada covernya dengan headline : “Apakah Paus seorang Katolik?” Dengan subjudul : Tentu saja Katolik. Hanya anda tak bisa mengetahuinya dari kutipan-kutipan (perkataannya) melalui pers.”

Tentu saja ini adalah pertanyaan yang sah-sah saja, demi melihat Paus dari Argentina itu berdoa didalam sebuah masjid, dan mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Scalfari : “Tak ada Allah Katolik itu.’ Kecemasan yang kini bergejolak didalam gereja telah luar biasa besarnya setelah 8 September lalu. Dengan adanya dua buah Motu Proprios mengenai pembatalan perkawinan, maka kita melihat sebuah tindakan resmi dari Bergoglio dimana kita sedang melenceng keluar dari rel – demikian menurut berbagai opini dari beberapa pejabat Gereja – melalui institusi ‘perceraian Katolik’.

Hal ini berarti penolakan terhadap Perintah Kristus dalam hal tak terceraikannya perkawinan serta penghapusan ajaran Gereja yang telah berlangsung selama 2000 tahun ini. Maka untuk memahami besarnya isu ini tidak cukuplah hanya dengan mengingat bahwa Gereja telah menderita oleh skisma Anglikan dulu, abad XVI, dimana Gereja telah kehilangan Inggris sebagai umatnya, karena Paus saat itu tidak bersedia mengakui perceraian Raja Henry VIII, berdasarkan kepada alasan penolakan pembatalan perkawinan pertama raja Henry.

Apakah Motu Proprio dari Bergloglio akan menciptakan sebuah skisma yang baru? Mungkin saja.

Namun jika Card. Muller sendiri, Kepala dari sekretariat Tahta Suci sebelumnya, yang baru-baru ini berbicara tentang kemungkinan timbulnya skisma dengan mengacu kepada Sinode, maka ada lebih besar lagi rasa takut atas terjadinya skisma itu setelah 8 September lalu. Sudah ada terlihat tanda-tanda pertengkaran sengit diantara beberapa kardinal penting di Santa Marta, hingga beberapa hari. Dan Sinode ini menjanjikan sebuah ledakan !

Bergoglio, selain dengan semboyan ‘kolegialitas’nya, juga memutuskan segala sesuatu sebelum Sinode, yang dia adakan khusus membahas isu ini; tidak sesuai dengan apa yang diminta oleh para uskup pada bulan Oktober 2014, karena komisi yang menyusun dan menghasilkan Motu Proprio telah disahkan oleh Paus dengan mandatnya, dua bulan sebelum 27 Agustus 2014.

Jadi dalam prakteknya, mengapa Motu Proprio perlu diperdebatkan menurut pandangan ajaran Katolik?

AKAN ADA JUTAAN PEMBATALAN PERKAWINAN

Pertama-tama, seperti dikatakan oleh Prof. De Mattei, totalitas dari reformasi ini (apa yang nampak memberi fasilitas dan mempercepat) telah berjalan berlawanan dengan apa yang selama ini dilakukan oleh Gereja. Ia benar-benar merupakan pemutar-balikan cara pandang : membela keutuhan Sakramen tidak lagi menjadi prioritas (bagi keselamatan jiwa-jiwa), namun kini lebih ditekankan kepada kemudahan dan kecepatan untuk memperoleh pembatalan perkawinan. Penghapusan atas kalimat-ganda itu sendiri sudah cukup untuk menjadi penyebab untuk merenungkan dan mengkawatirkan hal ini. De Mattei menulis :”Cardinal Burke mengingat sebuah pengalaman bencana. Di USA mulai Juli 1971, apa yang disebut sebagai Provisional Norms (Norma Sementara) telah menghasilkan akibat, yang de facto menghilangkan kewajiban dari kalimat ganda yang bersifat konformis itu. Akibatnya adalah bahwa Konperensi Uskup setempat tidak menolak satupun permintaan dispensasi diantara ratusan ribu permintaan yang masuk, dan dalam pandangan umum dari umat disana, proses ini mulai bisa disebut sebagai ‘Perceraian Katolik.’
Kemudian lagi, Mgr.Pinto, Dekan dari the Roman Rota, dan presiden dari komisi yang menyusun Motu Proprio, secara terbuka menyatakan tujuan dari reformasi ini. Dia menulis didalam “Osservatore Romano” bahwa PF telah meminta kepada uskup-uskup kepada sebuah ‘perubahan yang sungguh dan layak, sebuah perubahan mentalitas yang meyakinkan mereka untuk mengikuti undangan dari Kristus”.
Menurut Mgr.Pinto, “undangan dari Kristus itu, ada didalam diri saudara mereka, yaitu Uskup Roma”, dan hal itu berakibat pada jumlah pembatalan perkawinan, yang sebelumnya sangat terbatas, beberapa ribu saja, hingga menjadi tak terhingga banyaknya orang-orang malang yang bisa mendapatkan surat pernyataan pembatalan perkawinan mereka.

Bahwa Kristus menginginkan ‘sejumlah tak terhingga besarnya pembatalan perkawinan’ adalah benar-benar keterlaluan. Namun sekarang jelas bahwa tujuan dari Motu Proprio adalah perceraian dalam skala besar - lebih cepat, lebih murah dan lebih mudah daripada perceraian Negara (sudah ada beberapa orang yang mencoba untuk mencari keterangan apakah perceraian adalah lebih nyaman dilakukan melalui imam).

Hingga zamannya Benediktus XVI, pengadilan gerejawi selalu dicela oleh paus karena mereka terlalu memanjakan dalam mengakui pembatalan. Namun dengan Bergoglio ini semuanya menjadi terbalik, dan mereka (sekarang) diserang karena alasan yang sebaliknya: pabrik pembatalan perkawinan skala besar akan dibentuk.

Yang Mulia Alessandra Moretti tepat sekali ketika dia mengatakan bahwa "reformasi bersejarah ini" oleh Paus "berkaitan erat dengan UU Perceraian yang cepat yang saya usulkan kepada Dewan". Dan dia menggarisbawahi "visi umum dari Gereja dan Negara tentang masalah ini". Tapi ada yang lebih dari itu.

PERCERAIAN

Dengan Motu Proprio ini alasan-alasan baru bagi pembatalan perkawinan, tanpa dasar magisterial maupun teologis, sedang dirumuskan, yang akan bisa memutar-balikkan peranan de facto Gereja itu sendiri : gereja tidak lagi menjadi Gereja, yang harus memeriksa pembatalan perkawinan sakramental, di mata Allah, tetapi gereja (beresiko) menjadi sebuah entitas baru yang ‘malarutkan’ atau meluruhkan, perkawinan yang valid secara sakramental, dengan berbagai alasan saat ini yang dicari-cari. Kenyataannya, Motu Proprio itu, demikian tulis De Mattei :”Merupakan penegasan teoretis dari tak terceraikannya perkawinan, dan disertai didalam prakteknya, hak untuk menyatakan pembatalan bagi suatu ikatan perkawinan yang gagal. Maka sudah cukuplah, dengan suara hati nurani saja, untuk menganggap suatu perkawinan adalah invalid, dan agar hal itu dibatalkan oleh Gereja.”

Bahan peledak yang mengubah "Aturan Prosedur" ini ditemukan terutama dalam pasal 14 di mana "kurangnya iman" dari berbagai pihak dianggap sebagai penyebab yang mungkin dari simulasi atau kesalahan dalam persetujuan, hingga mendorong pembatalan perkawinan. Hingga kini, kurangnya iman sebagai penyebab dari ketidak-absahan pernikahan selalu diabaikan oleh Gereja, yang membatasi dirinya sendiri dalam mengangkat pernikahan alami menjadi sebuah Sakramen. Benediktus XVI menjelaskan: "Pakta tak terceraikannya hubungan antara seorang pria dan seorang wanita, tidak memerlukan iman pribadi dari pihak-pihak yang terlibat dalam sakramen itu; apa yang diperlukan, sebagai kondisi minimal yang diperlukan, adalah niat untuk melakukan apa yang dilakukan Gereja". Artinya, niat untuk menikah.

Hal ini memang benar bahwa Gereja juga mengakui perkawinan campuran sebagai sakramental, bahkan ketika pasangan ateis atau dari salah satu agama lain terlibat: apa yang diperlukan adalah keinginan untuk menikah secara alami.

Kini semuanya telah diputar-balikkan. Dan sejalan dengan gaya PF, sebuah bentuk yang ambisius sedang dugunakan untuk membuat dunia Katolik percaya bahwa doktrin itu tidaklah dirubah.

Pada 9 September 2015, ahli hukum canon, Paolo Moneta, berbicara dalam surat kabar resmi Koperensi Uskup-uskup Italia, “Avvenire” : “tidak adanya iman bukanlah penyebab dari pembatalan perkawinan sebelumnya, dan ia juga bukan penyebab saat ini.” Namun pada saat yang sama Mgr. Pinto, dalam menyampaikan Motu Proprio, memuji ‘inovasi dari pemerintahan PF’ dan dia berbicara tentang ‘sakramen yang diadakan tanpa adanya iman’ yang akan mengakibatkan sejumlah besar pembatalan perkawinan, karena tidak adanya iman sebagai sebuah jembatan kepada pengetahuan dan kepada kehendak bebas (yang perlu) untuk memberikan persetujuan sakramental.”

Hal ini akan membuka pintu, tanpa diragukan lagi, bagi jutaan pembatalan perkawinan. Jutaan ! Sejak kapan anda ingin menjadi seorang kudus atau memiliki ijazah teologi dari sekolah tinggi Gregorian, ingin menikah?   

Gereja, untuk mengakui sebuah perkawinan sakramental, selalu meminta kehendak bebas dari kedua belah pihak untuk menikah, seturut dengan sifat-sifat perkawinan alami. Selanjutnya, gereja selalu mengajarkan bahwa kecenderungan spirituil dari mempelai (kesucian pribadi mereka) mempengaruhi buah-buah dari sakramen itu, namun bukan validitasnya.

Kini segalanya telah berubah. Dan diantara berbagai kesempatan yang terbuka lebar bagi kemungkinan perceraian super-cepat adalah ‘hidup bersama sebagai suami-istri’ atau kenyataan bahwa pasangan itu menikah karena ‘si wanita hamil secara tak dikehendaki’. Lalu apa peranan dari persetujuan masing-masing pasangan?

Akan muncul sebuah daftar yang tak terkira panjangnya, dan akan berakhir dengan kata ‘dan lain-lainnya’. Apakah hal itu berarti bahwa seseorang bisa melakukannya sesukanya? Hukum macam apa ini? Maka pihak yang paling lemah (dalam hal ini adalah wanita dan anak-anak) yang akan membayar harga dari revolusi ini yang telah sangat menggoyahkan struktur keluarga, yang telah diserang oleh dunia sekuler.

Suster Lucia, visiuner Fatima, suatu hari berkata kepada Cardinal Caffarfa :”Bapa Caffarra, akan tiba sebuah saat dimana pertempuran menentukan dari setan dengan Kristus akan terjadi atas perkawinan dan keluarga.”

Begitulah yang terjadi sekarang.

Jika ini adalah saat bagi ‘uskup yang berjubah putih’ maka akan terjadi penderitaan atas semua orang (ingatkah akan penglihatan atas kota yang hancur berkeping-keping?)

[Translation: Contributor Francesca Romana]




No comments:

Post a Comment