Tuesday, June 27, 2017

Seorang bekas gay berbicara...

BERAPA BANYAK YANG AKAN MUSNAH DIKARENAKAN USKUP-USKUP DAN AKADEMISI KATOLIK YANG KEHILANGAN ARAH (DENGAN MENDUKUNG PERBUATAN SODOMI)?
by DOUG MAINWARING (bekas gay dan pelaku homosex)

Uskup John Dolan dari San Diego adalah seorang pendukung LGBT

Penyimpangan semacam itu adalah bagian dari agama tunggal dunia ciptaan manusia.

June 22, 2017 (LifeSiteNews) — Ketika seorang pria dan seorang wanita bermain cinta, maka keajaiban pembuahan dan kelahiran anak adalah dimungkinkan untuk terjadi. Namun bila dua orang pria mencoba melakukan hal yang sama, maka hasil yang paling besar dari mereka adalah berupa pelepasan air mani yang bercampur dengan kotoran manusia.

Selain adanya kontras yang sangat mencolok ini, orang-orang Katolik yang berkedudukan tinggi dan dalam posisi berkuasa dan berpengaruh di Amerika Utara tidak lagi dapat melihat perbedaan penting di antara kedua perbuatan tadi. Mereka bukan saja menerima 'gay' sebagai hal yang normal sepenuhnya, tetapi mereka juga mempromosikan 'pernikahan sesama jenis,' yang merupakan pernikahan ‘anti suami-istri’, ‘anti saling-melengkapi’, perkawinan tanpa perbedaan jenis kelamin, dimana orang-orang itu menyamakannya dengan pernikahan antara pria dan wanita.

Anda sudah tahu banyak nama-nama mereka: ada Perdana Menteri Kanada yang beragama Katolik Justin Trudeau, dimana menurut dia perkawinan 'gay' adalah merupakan 'prinsip utama’; kemudian ada Hakim Agung dari Mahkamah Agung AS Anthony Kennedy (U.S. Supreme Court Justice Anthony Kenned), yang mengusulkan hak asasi nasional bagi pernikahan tanpa memandang jenis kelamin; kemudian ada mantan wakil presiden A.S. Joe Biden, yang telah menikahankan dua orang pria (tanpa memandang gender); lalu ada pemimpin minoritas Rumah Katolik Nancy Pelosi, yang menegaskan bahwa "pernikahan" sesama jenis sangat "konsisten" dengan agama Katolik; kemudian Gubernur New York, Katolik, Andrew Cuomo, kemudian ada Senator Virginia dan capres Katolik tahun 2016 Hillary Clinton dan pasangannya Tim Kaine, dan banyak lagi lainnya yang dengan penuh semangat mendukung dan menganjurkan homosex dan menganggap bahwa hal itu adalah normal.

Pada saat yang sama, orang-orang Katolik yang juga merupakan orang-orang terkenal ini menjadi semakin tidak mampu membedakan antara pria dan wanita dan mereka tidak mengerti arti pentingnya tindakan ‘saling melengkapi’, yang hanya bisa diwujudkan oleh perkawinan pria-wanita. Mereka kini mempromosikan transnormativitas. (Hubungan sesama jenis yang dianggap normal).

Jelas sekali bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pandangan mereka atas pernikahan dan martabat manusia, yang ada di antara kaum elit Katolik, ketika tindakan sodomi dianggap merupakan penyempurnaan dari pernikahan dan alat kelamin tidak lagi menunjukkan jenis kelamin seseorang.

Kenyataan bahwa mereka semakin menikmati persekutuan penuh dengan Gereja meskipun mereka menyiarkan kebohongan yang menentang hukum alam dan menyangkal Kitab Injil, tetapi persekutuan penuh mereka dengan Gereja itu hanya semakin membesarkan hati mereka dan mengundang orang lain untuk mengikuti jejak mereka.

Begitulah pikiran orang-orang Katolik yang terkemuka itu telah tenggelam dari kebodohan, kepada kegelapan, kepada kebobrokan, dan mereka berniat untuk menyeret kita semua untuk terjatuh bersama mereka - dengan melalui kekuatan hukum, jika perlu - dan jika bukan terhadap kita, maka terhadap anak-anak kita.

Gambaran yang lebih besar adalah lebih buruk. Jauh lebih buruk
Marilah kita menyisihkan gambaran dunia elite politik dan masyarakat Katolik Amerika Utara untuk sesaat. Ancaman yang jauh lebih serius ada di hadapan kita.

Apa yang akan terjadi ketika kelompok para uskup dan klerus Gereja sama-sama menjauhkan diri mereka dari kebenaran? Apa yang akan terjadi ketika mereka menganggap bahwa jalan-jalan dunia ini  lebih menarik daripada pesan Injil, dan kemudian mereka memperdagangkan magisterium Gereja dengan budaya populer?

Kita akan mencari tahu soal itu.

Menolak dan menjauhi kebenaran, akan meniadakan karya Roh Kudus
Beberapa imam dan uskup yang berkedudukan tinggi nampaknya tertarik untuk mempromosikan janji kosong dunia ini yang ditolak oleh umat Katolik pada saat pembaptisan mereka : pastor James Martin, SJ, editor majalah Yesuit America, baru-baru ini yang ditunjuk oleh Vatikan sebagai konsultan komunikasi; Joseph Kardinal Tobin, C.Ss.R., Uskup Agung Newark, New Jersey; Uskup John Stowe dari Keuskupan Lexington di Kentucky; Uskup Agung Vincenzo Paglia, yang sekarang memimpin Akademi Kepausan bagi Kehidupan dan Institut Kepausan Paus Yohanes Paulus II bagi Studi Perkawinan dan Keluarga (the Pontifical Academy for Life and the Pontifical Pope John Paul II Institute for Studies on Marriage and Family).

Sementara itu Vatikan nampaknya sedang mengumpulkan dan mempromosikan orang-orang yang pro-homoseksual dan pro-transgenderis, dan dorongan untuk menerima ideologi-ideologi aneh atas kemanusiaan ini sampai terasa di rumah kita, di Amerika Utara.

Baru-baru ini, Keuskupan San Diego mengumumkan bahwa pastor John Dolan, seorang imam dengan catatan positif sebagai pendukung LGBT, telah ditunjuk oleh Vatikan untuk menjadi uskup pembantu. Di Keuskupan Agung Baltimore, Paroki St. Matthew telah mempromosikan homoseksualitas dan kesamaannya dengan Katolisitas, selama bertahun-tahun ini.

Di Keuskupan Agung New York, Gereja Sakramen Mahakudus mengumumkan bahwa kelompok "Gay Fellowship"-nya yang bermitra dengan "Born This Way Foundation" Lady Gaga untuk mengadakan tarian penggalangan dana di aula paroki pada tanggal 17 Juni 2017.

Bahkan pastor Jesuit untuk Dewan Perwakilan AS, Patrick J. Conroy, mengemukakan bahwa ajaran Gereja tentang homoseksualitas "sudah usang," dan dia menyebutnya sebagai "jalan buntu." Perkataannya mengungkapkan bahwa "pernikahan" homoseksual adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan bagi relasi sesama jenis.

Jika Gereja sekarang mulai melemahkan kebenaran magisterial, mencampur-adukkan antara yang tidak senonoh dengan yang kudus, kemanakah pasangan sesama jenis akan menuju jika hati nurani berbicara kepada kita? Ruang pengakuan dosa akan berubah menjadi kios penegasan dan pembenaran diri yang tidak akan memuaskan siapapun, dan hanya menimbulkan tragedi saja.

Apa yang akan terjadi pada pria dan wanita atau anak laki-laki dan anak perempuan yang tertarik kepada sesama jenisnya, jika Gereja sendiri (melalui para klerusnya) mengabaikan kebenaran ajaran Kristus dan kemudian menggelar tikar selamat datang berwarna ‘pelangi’ (lambang LGBT)? Hal itu tidak akan berhasil, karena kebenaran-lah yang menarik orang-orang kepada Gereja dan kebenaran-lah yang mengarahkan hati mereka kepada Kristus. Adalah kebenaran yang bergema di dalam hati dan menarik akal-budi. Adalah pesan yang murni dari Injil yang mengilhami seseorang, bukan kebohongan dan janji-janji kosong dari dunia ini.

Ingat akan perkataan PF yang terkenal itu : Who am I to judge? Dan biarlah saya memberitahu anda:
Dulu saya adalah orang yang tertarik kepada sesama jenis, dan pernah saya menjauhi pernikahan dan Gereja saya, dan hidup sebagai pria gay.

Namun ada sesuatu yang bergejolak di dalam diri saya. Itu adalah suara hati saya. Setelah emosi dan perasaan saya terbebas, saya merasakan ada sesuatu yang tidak benar, betapapun saya mencoba untuk menekan pikiran seperti itu. Dan saat ini, hampir dengan suara bulat saya sepakat bahwa kegelisahan hati nurani saya ini berasal dari dorongan akan kesadaran bahwa perkawinan yang normal adalah antara pria dan wanita, dan itulah yang benar. Kita diberitahu bahwa tekanan budaya exterior menyebabkan daya tarik terhadap sesama jenis untuk merasa "berbeda," hingga mengakibatkan depresi, gangguan masalah perilaku, bahkan keinginan untuk bunuh diri. Istilah yang sekarang sedang populer bagi keadaan ini adalah adalah 'stres minoritas'.

Kami juga diberitahu bahwa Gereja 'tidaklah menyenangkan' karena tidak menyetujui perilaku relasi sesama jenis, dan bahwa Gereja adalah 'pencari yang tidak ramah'.

Tetapi pengalaman saya menceritakan sebuah kisah yang berbeda. Ada sebuah pengakuan di dalam batin yang kuat dan bersifat bawaan bahwa ada sesuatu yang salah dengan tingkah laku saya ini. Bukan masyarakat yang mengatakan bahwa saya 'buruk' atau menuduh saya atau gagal menerima saya. Justru sebaliknya, saya merasa 100 persen diterima oleh semua orang yang saya kenal. Tetapi penerimaan mereka bukanlah masalah. Tidak. Hati nurani saya yang berfungsi sempurna yang berbicara kepada saya, dan membuat saya berusaha memahami diri saya sendiri.

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk menjalani kehidupan yang suci, untuk kembali kepada istri saya dan kepada Gereja Katolik. Mengapa? Karena di dalam Gereja Katolik kebenaran itu tidak ditemukan seperti di tempat lain di bumi: dikemas, digoncang bersama, penuh sampai tumpah ke luar (Lukas 6:38). Dan bukan hanya kebenaran; saya juga menemukan persekutuan yang otentik dan intim dengan saudara-saudara Katolik di dalam paroki saya, yang saya cintai dan yang mencintai saya. Salah satu aspek terbesar dari kasih persaudaraan dalam kehidupan paroki adalah: Kami saling membantu untuk tidak berbuat dosa, untuk menemukan persekutuan yang lebih besar dengan Allah, dan maju terus sebagai orang-orang yang berdiri tegak menolak pelanggaran.

Kini saya dapat dengan mudah menjawab pertanyaan PF yang terkenal itu, "Siapakah saya ini hingga berhak menghakimi (menilai)?" Saya adalah seorang Kristiani yang memeriksa hati nurani saya setiap hari. Saya harus menghakimi (menilai), karena kebenaran dan Roh mengarahkan saya untuk melakukannya. Adalah tugas saya untuk menghakimi (menilai), untuk mencari kebenaran, dan menyangkal kebohongan serta daya pikat daging dan dunia.

Jika bukan karena ajaran yang solid dari Gereja Katolik yang menantang hidup saya, dan menegaskan karya Roh Kudus dalam hidup saya, maka saya akan tersesat.

Orang-orang Katolik yang merasa tertarik kepada sesama jenisnya, dibuat bingung oleh meningkatnya pesan beragam yang timbul dari dalam Gereja, terutama dari para uskupnya. Dan sementara suara-suara dari dalam Gereja menyerukan agar ia (Gereja) menyerah kepada revolusi seksual yang semakin keras, maka suara dari Injil menjadi semakin redup. Pesan-pesan yang beraneka ragam itu merusak kehidupan umat, dengan memaafkan segala perilaku dan pola pikir yang begitu banyak dan berusaha melarikan diri dari aturan yang baku. Mereka telah mengabaikan karya Roh Kudus.

Menukar batu padas dengan pasir
Setan telah lama memakai ‘pakaian kerja’ agar ia bisa menggali fondasi Gereja, meledakkan fondasi ‘batu karang kebenaran’ yang kokoh, dan menggantinya dengan pasir ber-‘truk-truk’ banyaknya. ‘Penggalian dan pembuatan terowongan’ dilakukan untuk menimbulkan kesan di luar bahwa Gereja sebagai penguasa dunia ini telah terkubur di bawah. Tetapi sekarang palu-palu telah dipegang oleh para klerus di dalam Gereja yang mengambil alih pekerjaan setan yang dahulu dilakukan dari luar gereja.

Dengan fondasi magisterial Gereja yang dilemahkan, maka struktur bangunan yang di atas akan tetap utuh untuk sementara waktu, namun begitu gelombang serangan baru mulai menerjang,  struktur bangunan itu akan mulai runtuh: perlahan pada awalnya, dan kemudian terjadi dengan cepat. Sangat cepat. Dengan fondasi Gereja yang terus dirongrong, maka iman dari banyak orang akan goyah dan akhirnya runtuh dan institusi Katolik akan goyah juga dan jatuh.

Banyak orang yang akan terkejut, saat mereka berjalan diatas puing-puing, sambil bertanya-tanya : bagaimana hal ini bisa terjadi begitu cepat.

Tetapi yakinlah, Gereja adalah milik Kristus dan gerbang-gerbang neraka tidak akan bisa menang melawannya. Tetapi pertanyaan yang mengganggu tetap ada: Berapa banyak yang akan musnah dikarenakan uskup-uskup dan akademisi Katolik yang telah kehilangan arah?

Read the full article at Life Site News

Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/


No comments:

Post a Comment