Monday, June 19, 2017

Seorang umat awam bicara soal buku pastor Martin...

Lagi, seorang umat awam (Brian Williams) bicara soal buku pastor Martin:
MENGAPA PARA USKUP TIDAK MENEGUR ‘JEMBATAN’ PASTOR MARTIN YANG SANGAT BERBAHAYA ITU?




by Brian Williams (umat awam)
Krisis di dalam Gereja saat ini terus meningkat dengan kecepatan yang mengejutkan terutama jika dilihat standard pasca-konsili. Tidak ada perubahan yang lebih jelas dari pada saat ini tentang bagaimana Gereja Katolik bersikap terhadap homoseksualitas. Pemilihan Paus Fransiskus empat tahun yang lalu, dilanjutkan dengan sinode mengenai keluarga, dan beberapa promosi strategis dalam hirarki Gereja, telah menghasilkan momen yang sangat penting dalam 2.000 sejarah Gereja.

Pada bulan belakangan ini penerbit Harper Collins akan menerbitkan buku terbaru dari seorang pastor Yesuit, pastor James Martin, yang juga menjadi editor dari majalah America. Pastor Martin juga dikenal karena banyak pengikutnya di media sosial (lebih dari 100.000 pengikut di Twitter dan lebih dari setengah juta di Facebook), serta penampilan masa lalunya di Colbert Report pada acara Comedy Central, dan karya konsultatifnya tentang film terbaru Martin Scorsese Silence. Baru-baru ini dia juga ditunjuk oleh Paus Francis untuk bergabung dalam Sekretariat Komunikasi di Roma sebagai konsultan tentang cara mewartakan kepada dunia di era digital sekarang.

Dan di sinilah letak masalahnya, dan ini diketahui oleh banyak orang di dalam lingkup Gereja, namun sayangnya terlalu banyak yang dimaafkan atau diabaikan: bahwa pastor James Martin adalah menjadi aktivis yang vokal mendukung "LGBT", bahkan dia telah menerima penghargaan dari kelompok pembangkang Gereja Katolik seperti New Ways Ministry (yang secara terbuka mendukung pernikahan sesama jenis dan meminta Gereja untuk mendukung masalah ini).

Pastor Martin juga sering menulis artikel dan kutipan di media sosial yang isinya mendukung aktivitas LGBT, dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dari para pengikutnya. Ketika doktrin disalah-tafsirkan oleh para pengikut yang sama, atau mereka secara terbuka mendukung tindakan homoseksual sebagai hal yang suci dan normal, maka pastor Martin telah gagal untuk memperbaiki mereka. Bahwa dia telah menabur kebingungan adalah benar, jika kita mau beberapa menit saja membaca akun media sosialnya.

Bagaimanapun juga, dalam banyak hal, pastor James Martin adalah representasi sempurna dari Gereja modern dan kontemporer. Dia adalah anak dari budaya pop pasca-konsilier. Dia adalah perwujudan Gereja Francis yang baru, di mana proses pendampingan, perjumpaan, serta dialog (dengan jalan "membangun jembatan") memiliki tempat yang dibangga-banggakan, dibandingkan dengan nasihat-nasihat spirituil mengenai dosa, pertobatan, penyesalan, rahmat, penghakiman, Surga, atau neraka, karena kumpulan kata-kata yang terakhir ini sudah kuno, sudah usang bagi Gereja modern.

Kita hanya perlu melihat dukungan yang diberikan kepada bukunya yang akan segera terbit Building a Bridge untuk mengetahui dimana posisi kita sekarang. Kita mengalami salah satu krisis terbesar dalam sejarah Gereja.

Bukan hanya satu, tapi ada dua orang kardinal yang telah mendukung buku Martin itu. Kardinal Kevin Farrell, yang ditunjuk oleh Paus Francis sebagai Prefect of the Dicastery for Laity, Family and Life, yang menulis:

"Ini adalah sebuah buku yang merupakan ucapan ‘selamat datang’ (bagi kelompok LGBT) dan buku ini akan sangat membantu para uskup, para imam, serta para pekerja pastoral dan semua pemimpin Gereja agar bisa bersikap lebih penuh kasih dan melayani komunitas LGBT. Buku ini juga akan membantu kelompok LGBT yang Katolik agar merasa lebih betah tinggal di dalam  Gereja mereka."

Yang satunya lagi adalah Cardinal Joseph Tobin dari Newark, New Jersey, yang berkata:

"Pada berbagai bidang dalam Gereja kita, para pelaku LGBT telah dibuat merasa tidak diterima, merasa dikecualikan, dan bahkan dipermalukan. Buku baru dari pastor Martin yang cukup berani ini, memiliki makna nubuatan dan sangat inspiratif untuk menandai sebuah langkah penting dalam mengajak para pemimpin Gereja untuk melayani dengan lebih banyak belas kasih, dan mengingatkan umat Katolik yang menjalani kehidupan LGBT bahwa mereka adalah sama seperti halnya umat Katolik lainnya, yang menjadi bagian dari Gereja kita. "

Uskup Robert McElroy, dari San Diego, yang banyak bermasalah (negativ) dan bersikap progresif, yang justru ditunjuk oleh Paus Fransiskus untuk memegang jabatan penting, menulis:

"Injil meminta agar umat Katolik pelaku LGBT harus benar-benar dikasihi dan dihargai dalam kehidupan Gereja. Tapi dalam kenyataannya tidak seperti itu. Dalam buku ini pastor Martin memberi kita bahasa yang jelas, perspektif, dan rasa urgensi yang besar untuk menggantikan budaya ‘mengasingkan’ dengan budaya ‘memeluk’ yang penuh kasih sayang."

Dan kemudian, di antara dukungan dari para klerus ini, kita bisa membaca tulisan Suster Jeannine Gramick, anggota dari  kelompok New Ways Ministry yang telah disebutkan diatas:

"Pastor Martin menunjukkan bagaimana Rosario dan bendera pelangi (LGBT) dapat bertemu satu sama lain dengan damai. Maka buku ini layak dan harus dibaca."

Lalu, mengapa New Ways Ministry mengundang Fr. Martin untuk menghadiri upacara pemberian penghargaan Bridge Building mereka, dan mengapa Sr. Gramick diminta untuk mendukung buku barunya? Bagaimanapun juga, kelompok itu bukan hanya mencari ‘pendampingan’, tetapi mereka mencari penerimaan - bukan atas diri mereka sendiri tetapi penerimaan atas gaya hidup mereka.

Dan inilah mengapa kita, kaum awam, membutuhkan para uskup dan imam kita – yaitu uskup dan imam yang masih memegang teguh kebenaran Injil dan doktrin Katolik - untuk mengutuk ‘jembatan’ versi pastor Martin dan semakin banyak uskup dan kardinal perlu melakukan hal ini. Karena ‘jembatan’ yang dibangun oleh pastor Martin tidak dirancang untuk pertobatan, penyesalan, dan kesucian. Ia bukanlah jembatan yang dibangun untuk mengarahkan jiwa menuju ke Surga. Kenyataannya, seluruh usaha dari gerakan pastor Martin saat ini benar-benar tidak memiliki tujuan supranatural. Ia hanyalah bahasa terapeutik yang hanya berfokus pada tujuan akhir yang bersifat sementara: yaitu penerimaan gaya hidup LGBT. Ini adalah promosi terhadap budaya-kiri, bukan promosi atas kebenaran Injil.

Pendampingan dan perjumpaan yang diusulkan ini, ‘jembatan’ yang sedang dibangun ini, tidak dimaksudkan untuk membebaskan jiwa dari dosa dan menuju ke dalam kehidupan yang penuh kasih, namun ia menghendaki perubahan atas Gereja. Ia menunggu agar Gereja berkembang dan berjalan ke arah topik ini. Sedikit saja di dalam gerakan itu yang peduli apakah doktrin itu bisa dirubah (TIDAK DAPAT); begitulah perubahan di bidang pastoral sedang menyelesaikan tugasnya demi kepentingan kelompok mereka. Setidaknya untuk saat ini. Sebagai contoh perbandingan, lihatlah kepada kelompok kerasulan internasional Courage yang berusaha membantu orang-orang yang berjuang untuk mengatasi ketertarikan kepada sesama jenis. Dari situs mereka bisa dibaca:

Orang-orang dengan keinginan homoseksual selalu ada bersama kita; namun sampai saat ini, hanya sedikit, jika ada, pendekatan formal dari pihak Gereja kepada mereka atau kelompok pendukung mereka atau informasi yang tersedia bagi orang-orang semacam itu. Sebagian besar mereka dibiarkan bertindak di jalan mereka sendiri. Akibatnya, mereka banyak mendengarkan dan menerima pendapat dari masyarakat sekuler dan mereka memilih untuk bertindak berdasarkan hasrat mereka untuk berhubungan dengan sesama jenisnya.

Dalam menyimpulkan tujuan organisasinya, Courage menulis:

Dalam membantu individu mendapatkan pemahaman dan lebih menghargai ajaran Gereja, terutama di bidang kesucian, Courage memperluas ajakan Gereja kepada kehidupan yang damai serta rahmat. Dalam kehidupan yang murni, seseorang akan menemukan kedamaian dan rahmat untuk bertumbuh dalam kedewasaan Kristiani.

Tetapi karena inilah mengapa kerasulan seperti Courage ini tidak menerima dukungan dari para kardinal dan uskup, apalagi dukungan dari pastor James Martin, karena Courage memberikan pemahaman yang jelas bahwa dorongan kepada tindakan homoseksual, seperti seks pra-nikah, atau perzinahan, atau dosa daging lainnya, haruslah dikalahkan. Pendampingan mereka tidak berupa menabur kebingungan atau dengan diam-diam melestarikan gaya hidup homoseksual yang terus berlanjut.

Apa yang dimiliki oleh Courage dan tidak dimiliki oleh gerakan baru yang sesat itu adalah berupa komponen spiritual yang sangat dalam. Inilah jembatan mereka, yang dirancang untuk membawa kaum homoseksual aktif kembali kepada kehidupan yang penuh rahmat:

1.     Untuk menjalani kehidupan kemurnian sesuai dengan ajaran Gereja Katolik Roma tentang homoseksualitas.
2.      Untuk mempersembahkan seluruh kehidupan kita kepada Kristus melalui pelayanan kepada sesama, bacaan rohani, doa, meditasi, nasihat spiritual secara pribadi, sering mengikuti Misa Kudus, dan jika dimungkinkan, sering menerima sakramen Rekonsiliasi dan Ekaristi Kudus.
3.      Untuk menumbuhkan semangat persekutuan dimana kita bisa saling berbagi pemikiran dan pengalaman kita, dan dengan demikian memastikan bahwa kita tidak harus menghadapi masalah homoseksualitas secara sendirian saja.
4.      Untuk menyadari kebenaran bahwa persahabatan yang suci tidak hanya mungkin dilakukan, tapi perlu, dalam kehidupan Kristiani yang murni; dan untuk saling mendorong dalam membentuk dan mempertahankan persahabatan ini.
5.     Menjalani hidup yang bisa menjadi contoh baik bagi orang lain.


Alasan lain mengapa ‘jembatan’ baru versi pastor Martin yang dibangun ini berbahaya dan harus dikutuk adalah karena ini adalah bagian dari gerakan yang sedang berlangsung untuk melemahkan aturan yang ada di dalam Katekismus Gereja Katolik yang berkaitan dengan ketertarikan seks sesama jenis. Namun sayangnya, upaya dari pastor Martin itu konsisten dan sejalan dengan pesan-pesan yang diberikan oleh Vatikan akhir-akhir ini. Tapi bagaimanapun juga  Katekismus mengatakan:

Katekismus Gereja Katolik 2357. Homoseksualitas adalah hubungan antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau terutama, kepada orang sejenis kelamin. Homoseksualitas muncul dalam berbagai waktu dan kebudayaan dalam bentuk yang sangat bervariasi. Asal-usul psikisnya masih belum jelas sama sekali. Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besar, tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa "perbuatan homoseksual itu tidak baik" (CDF, Perny. "Persona humana" 8). Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.

Asal usul dari buku James Martin adalah esai dari majalah America yang berjudul Simply Loving’, dan pidatonya pada acara pemberian penghargaan kepadanya oleh New Ways Ministry pada bulan Oktober 2016. Keduanya bersama-sama memberi kita suguhan yang digunakan untuk tidak usah terlalu menekankan dan membingungkan ajaran Gereja tentang seksualitas manusia. Secara umum, kita dapat membagi bangunan ‘jembatan sesat’ ini menjadi tiga komponen:

Tidak adanya pertobatan: Tidak seperti pada kerasulan Courage, tidak ada satu pun dari strategi pastor Martin ini yang berbicara tentang penyesalan dan pertobatan. Sebaliknya, fokusnya adalah pada kalimat-kalimat yang bertujuan melemahkan dan sebagai terapi pura-pura bagi "rasa hormat, belas kasih, dan kepekaan." Pastor Martin menulis bahwa anjurannya ini berasal langsung dari paragraf 2358 Katekismus. Namun, bila dipisahkan dari bahasa paragraf sebelumnya di atas (2357), konteks dan kesinambungannya benar-benar hilang. Hal itu memang disengaja begitu. Pendampingan Katolik yang otentik mengharuskan kita memasukkan unsur dosa dan rahmat, belas kasihan dan penghakiman. Jika kurang dari ini maka hanya akan memberi kepada saudara-saudara kita LGBT dengan rasa belas kasihan yang salah, atau yang lebih buruk lagi, pembenaran atas kesalahan mereka.

Bahasa Sekuler dari LGBT ditinggalkan: Pastor Martin menyatakan bahwa orang memiliki hak untuk menyebut dirinya sendiri. Dia mengatakan kepada pendengarnya pada saat upacara New Ways Ministry:

"Nama adalah penting. Dengan demikian, para pemimpin Gereja diajak untuk memperhatikan bagaimana mereka memberi nama kepada komunitas LGBT, dan meninggalkan istilah atau nama atau ungkapan-ungkapan seperti "menderita ketertarikan terhadap sesama jenis," dimana saya tidak pernah melihat ada orang LGBT yang memakai ungkapan itu bagi dirinya, atau bahkan menyebut diri mereka sebagai "orang homosex", yang nampaknya istilah ini terlalu ‘membuat gatal’ bagi banyak orang ... saya mengatakan bahwa orang memiliki hak untuk menamai diri mereka sendiri. Menggunakan nama-nama itu adalah bagian dari rasa hormat. "

Di dalam suasana saat ini dimana definisi masing-masing orang telah berkembang untuk menentukan jenis kelamin dan transgenderisme, maka perkataan Martin sangat mirip dengan hasrat seksual kaum LGBT itu. Selanjutnya, sebutan "LGBT" yang sebenarnya untuk sekelompok tertentu adalah konstruksi tahun 1990 dari kelompok ‘kiri sekuler’. Ini adalah identifikasi dengan seperangkat keyakinan dan agenda, yang didasarkan pada persetujuan dan promosi homoseksualitas sebagai perilaku yang normal. Dan hal ini membawa kita ke pada tujuan strategis ketiga dan terakhir ...

Depersonalisasi Katolik: Apa yang dilakukan oleh kerasulan Courage dengan baik, dan apa yang selalu diajarkan oleh agama Katolik, adalah untuk menyadari dan menghargai martabat individu. Tetapi pastor Martin dan para uskup pendukungnya juga mengklaim hal ini. Masalahnya, adalah label dan gerakan LGBT yang mereka putuskan untuk mereka terima justru sebaliknya. Tiap-tiap Individu mengambil enaknya sendiri dari kelompok itu (LGBT) dan tingkah laku itu (homosex). Daya tarik terhadap sesama jenis pada umat Katolik didefinisikan oleh seksualitas mereka dan melalui politik identitas mereka.

Menarik untuk dicatat bahwa pastor Martin mengakui hal ini dalam pidatonya di acara New Ways Ministry, meskipun hal yang memalukan nampaknya telah hilang pada dirinya:

"Dalam hal ini, seperti dalam semua hal lainnya, Yesus adalah contoh kita. Ketika Yesus bertemu dengan orang-orang pinggiran, Dia tidak melihat sebuah kelompok orang yang terpinggirkan, tetapi Dia melihat manusia."

Dan ini, contoh Yesus yang seperti ini, bukanlah model yang dia ikuti.

Apa yang harus dilakukan saat ini, bagi para uskup, imam, dan umat awam yang setia, adalah secara terbuka menentang usulan kemurahan hati yang palsu itu yang diajukan pastor Martin melalui ‘jembatannya’ yang salah.

Uskup-uskup adalah penguasa di wilayah keuskupan mereka. Mereka dapat menolak imam atau uskup lain untuk berbicara di dalam wilayah paroki mereka. Inilah yang telah dilakukan oleh banyak orang terhadap pensiunan Uskup Thomas Gumbleton di Detroit, yang telah sering mengunjungi dan ikut serta dalam beberapa acara dari New Ways Ministry pada masa lalu.

Tidak diragukan lagi bahwa pastor James Martin akan mempromosikan buku barunya ini dalam beberapa minggu mendatang. Kemungkinan besar dia akan diminta untuk berbicara di beberapa paroki atau di radio Katolik setempat. Para uskup dan imam kami, dan umat awam yang bertugas untuk mengkomunikasikan ajaran Gereja yang benar, harus membantu mencegah kebingungan ini lebih lanjut.

Tidak ada yang lebih terancam oleh ‘jembatan’ Martin yang berbahaya ini daripada saudara-saudara kita yang memiliki ketertarikan kepada sesama jenisnya. Semoga kita bisa melihat ada lebih banyak lagi imam dan uskup kita yang mengarahkan mereka menuju kerasulan seperti organisasi Courage, dan menjauhkan saudara-saudara kita itu dari mereka yang ingin "mendampingi" mereka langsung ke tepi jurang.

Originally published at LiturgyGuy.com. The post has been updated.
[Images: Screengrab/Harper Collins]


Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment