Thursday, June 1, 2017

SEORANG IMAM BERKATA: ADA INKONSISTENSI DI DALAM AMORIS LAETITIA...

SEORANG IMAM BERKATA: ADA INKONSISTENSI DI DALAM AMORIS LAETITIA (SEPERTI YANG DITAFSIRKAN OLEH USKUP-USKUP MALTA)
by Pastor Alexander Lucie-Smith
posted Friday, 19 May 2017
Berbagai pertanyaan yang mencerminkan mengapa panduan dari uskup-uskup Malta mengenai Amoris Laetitia adalah cacad.
Ketika doktrin runtuh, maka akibat dalam praktek beragama akan menyimpang dalam beberapa dekade ke depan.

Kita semua telah tahu istilah dubium (bentuk jamak dari dubia). Hal itu berarti keraguan, dimana saat ini hal itu dinyatakan dalam sebuah pertanyaan untuk mencari klarifikasi atau kejelasan atas sebuah doktrin atau praktek keagamaan, dan biasanya hal itu ditujukan kepada penguasa eklesiastik yang berwenang di Roma.

Saya sendiri memiliki sebuah dubia atau keraguan, yang akan saya kirimkan ke Roma dengan harapan agar mendapatkan jawaban. Keraguan itu adalah berikut ini.

Jika ada suatu pasangan, yang hidup dalam perkawinan kedua - katakanlah, salah satu pihak telah menikah secara sakramental sebelumnya, kemudian bercerai, dan kemudian menikah lagi secara sipil dengan orang lain, tanpa pembatalan 'perkawinan' pertama - jika pasangan ini, setelah mendekati seorang pastor untuk memperoleh pendampingan yang diperlukannya (seperti yang tercantum dalam Amoris Laetitia pasal 8, dan seperti yang ditafsirkan, misalnya oleh konferensi Waligereja Malta), dan dengan hati nuraninya mereka telah memutuskan untuk menerima Komuni Kudus, dan jika pasangan ini kemudian meminta agar perkawinan sipil mereka itu disahkan oleh pastor paroki mereka, apa yang harus dilakukan oleh pastor?

Dengan banyaknya dubia, saya pikir kita tahu jawabannya. Pastor tidak mungkin mengesahkan pernikahan itu, karena pernikahan 'yang pertama' masih ada dan masih berlaku. Dan memang pernikahan 'yang pertama' adalah satu-satunya pernikahan. Namun, jawaban ini tentu saja akan membingungkan dan membuat sedih pasangan tersebut, yang telah diberi tahu bahwa mereka dapat menerima Komuni Kudus dan karenanya tidak dalam keadaan dosa yang subjektif. Mereka mungkin juga merasa bahwa pernikahan sipil mereka adalah apa yang akan mereka sebut sebagai pernikahan sejati.

Tapi pertanyaan semacam ini pasti layak untuk disampaikan, karena pastinya, hanya soal waktu saja sebelum pertanyaan semacam itu dilakukan.

Kembali pada tahun 1930, Konferensi Lambeth menghasilkan beberapa resolusi, yang salah satunya, Resolusi 11, yang mengizinkan pihak yang bercerai yang telah menikah kembali untuk menerima Komuni Kudus. Sementara pada saat yang sama, Konferensi itu berusaha menegakkan prinsip tidak-terceraikannya perkawinan. Resolusi yang sama juga melarang umat yang bercerai untuk menikah kembali di Gereja (jika tanpa proses anulasi). Memang, dengan membaca resolusi-resolusi lama itu, kebanyakan hal itu amat mengejutkan saya, dan hal itu menjadi pengingat yang menyedihkan tentang bagaimana segala sesuatu telah berubah sejak saat itu di dalam Gereja Katolik, dan juga di dunia yang lebih luas.

Desakan untuk meresmikan perkawinan orang-orang yang bercerai (dimana pasangan yang lama masih hidup) di dalam Gereja (bagi umat Katolik yang  taat, hal itu tidaklah mungkin), telah ditolak sejak di Lambeth pada 1930. Tetapi desakan itu hingga kini masih ada. Dan ketika doktrin runtuh, maka akibat dalam praktek beragama akan menyimpang dalam beberapa dekade ke depan. Lambeth 1930 adalah sebuah dokumen yang sangat konservativ, namun di dalamnya mengandung benih-benih kehancurannya sendiri.  

Karena itu dimanakah jawaban atas keraguan (dubia) saya disini? Dubia saya ini bertujuan untuk mengungkapkan adanya inkonsistensi di dalam Amoris Laetitia, seperti yang ditafsirkan oleh uskup-uskup Malta.

Saya sama sekali tidak menyukai permainan kata, tapi terkadang hal itu membuat kita merenungkan konsekuensi dari kepercayaan dan praktik beragama kita!

Read the full article at Catholic Herald UK

Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/


No comments:

Post a Comment