Friday, January 27, 2017

HUKUM CANON DAN PENGAKUAN DOSA

HUKUM CANON DAN PENGAKUAN DOSA: 
KONFLIK BERIKUTNYA DENGAN AMORIS LAETITIA


Seperti yang telah diduga, kasus pertama kini muncul di mana ada imam-imam dihukum karena tidak sejalan dengan ‘semangat baru’ Amoris Laetitia. Artinya, karena imam-imam itu tidak bersedia memberikan Sakramen-sakramen (terutama Sakramen Tobat dan Ekaristi) kepada umat yang bercerai dan menikah lagi dimana umat itu tidak berniat untuk mengubah cara hidupnya (yang berdosa itu), namun dia ingin menerima Sakramen-sakramen.

Sekarang kita memiliki sebuah kasus di Kolombia, kasus yang dialami oleh Pastor Luis Alberto Uribe Medina, yang "ditegur dan ditangguhkan tugas imamatnya oleh Uskupnya karena dia mengkritik secara terbuka ‘doktrin baru’ yang diciptakan [sic] oleh Paus Francis tentang Perkawinan dan penerimaan Sakramen Mahakudus, demikian menurut media Katolik Rorate Caeli.

Kasus ini telah disebarkan secara internasional, oleh Marco Tosatti dan Profesor Roberto de Mattei di Italia dan Giuseppe Nardi di Jerman, di antara sumber-sumber yang lain. Penulis Jerman, Mathias von Gersdorff, bulan April 2016, telah mengangkat isu kemungkinan terjadinya tekanan terhadap imam-imam agar mematuhi aturan-aturan baru yang bersumber dari Amoris Laetitia. Dalam pembicaraan pribadi, dia telah melaporkan kepada kami bahwa artikelnya yang terbit sebelumnya telah memperoleh banyak perhatian, dalam konteks kasus Don Uribe ini.

Judul dari postingan von Gersdorff sebelumnya adalah: "Akankah Wali Gereja [Jerman] akan memaksa imam-imam Jerman untuk melakukan sakrilegi." Disitu Von Gersdorff mengangkat isu ‘apakah orang-orang Katolik konservatif yang masih berpendapat bahwa Amoris Laetitia tidak merubah doktrin, mereka akhirnya akan menolak ketika mereka, sebagaimana imam-imam, secara pribadi diminta untuk melakukan suatu pelanggaran (sakrilegi), dengan cara mengijinkan mereka yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni Kudus dan Sakramen Tobat. Von Gersdorff menyimpulkan: "Dengan demikian mereka akan dihadapkan kepada alternatif: melakukan suatu penistaan (sakrilegi) atau secara terbuka menolak uskup mereka sendiri"

Von Gersdorff, dengan cara yang tajam, menunjukkan bahwa para imam-imam di Jerman ini yang secara potensial akan ditekan untuk memberikan Komuni Kudus kepada beberapa (atau bahkan banyak) orang yang bercerai dan menikah lagi, agar mereka bisa mendapatkan dukungan dari Roma:
Mereka (para imam yang setia kepada Kristus), tentu saja akan menoleh kepada Roma, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa dari Roma mereka akan menerima bantuan. Karena Paus telah menyatakan setelah publikasi (Amoris Laetitia) bahwa dia tidak akan membuat pernyataan lebih lanjut tentang masalah ini. Dalam sebuah wawancara, dia (PF) mengatakan bahwa Kardinal (Christoph) Schönborn telah menafsirkan Amoris Laetitia dengan cara yang benar. Namun, kardinal dari Wina ini adalah anggota dari kelompok yang sama dengan PF yang mempromosikan pemberian Komuni Kudus kepada orang yang bercerai dan menikah lagi.

Imam-imam yang percaya bahwa adalah sebuah pelanggaran (sakrilegi) untuk memberikan Komuni Kudus kepada umat yang bercerai dan menikah lagi tidak akan didukung oleh kenyataan bahwa banyak teolog telah menulis dalam berbagai pernyataan pada minggu-minggu terakhir ini yang mengatakan seolah ada perubahan dalam ajaran Gereja. Dengan demikian mereka (imam-imam itu) seakan berdiri di depan alternatif untuk melakukan suatu pelanggaran sakrilegi (terhadap perintah Tuhan) atau menolak secara terbuka perintah dari uskup mereka sendiri.

Von Gersdorff juga menyampaikan pertanyaan apakah seorang imam yang memberikan pengampunan (secara sakrilegi) bagi pasangan yang bercerai dan menikah lagi dan hidup bersama sebagai suami-istri, dimana mereka tidak memiliki niat untuk mengubah (memperbaiki) hidup mereka yang penuh dosa itu, tidak menempatkan profesi imamat mereka dalam resiko?.

Memang, sebenarnya ada ayat dalam Hukum Canon yang melarang seorang imam mendorong, dengan cara apapun, seorang peniten di dalam ruang pengakuan dosa untuk melanggar Perintah Keenam. Imam seperti ini akan dihukum dengan pemberhentian tugas imamatnya atau bahkan yang lebih buruk lagi. Misalnya, Canon 1387 Hukum Canon Gereja Katolik mengatakan:

1387. Imam, yang dalam melayani atau dalam kesempatan melayani maupun dalam berpura-pura melayani sakramen pengakuan, mengajak peniten untuk berdosa melawan perintah keenam dari Dekalog, hendaknya dihukum menurut beratnya tindak pidana dengan suspensi, larangan, pencabutan, dan dalam kasus-kasus yang lebih berat hendaknya dikeluarkan dari status klerikal.

Dengan demikian, terlepas dari tekanan yang terjadi saat ini yang mungkin sekarang atau segera diterapkan kepada imam-imam di seluruh dunia (tidak hanya di Jerman saja) untuk bertindak sejalan dengan kelemahan baru ‘pastoral care’ (pendampingan atau nasihat pastoral)  yang dihasilkan oleh Amoris Laetitia, tetapi Hukum Canon sendiri masih tetap berlaku dengan ancaman hukuman berat kepada imam-imam yang mengumbar pengampunan dan memberi kelonggaran untuk ‘menikah lagi’ bagi umat yang ingin menerima Absolution – meski dia masih berada dalam keadaan berdosa berat – dan imam itu akan mendapatkan hukuman berat bahkan sampai pemecatan dari profesinya sebagai imam. Artinya: Tidak ada imam di bumi ini yang diperbolehkan untuk memberikan absolusi kepada orang yang terus-menerus dan terbiasa melanggar Perintah Keenam tanpa ada niatan yang tulus untuk mengubah dan memperbaiki hidupnya. Sebaliknya, seorang imam seperti ini akan menerima risiko kehilangan profesinya imamatnya. Demikian menurut Hukum Kanon.

Pengetahuan dan penerapan ayat ini (1387) dari Hukum Canon bisa sangat membantu para imam yang ‘tertindas’ yang kini bisa mengutipnya untuk bertahan menolak memberikan absolusi bagi para pelanggar Perintah Keenam dari Allah.

Dalam konteks ini, ada lagi fakta serius lainnya, yaitu bahwa jika seorang imam yang setia (kepada Kristus) saat ini  menolak memberikan absolusi di dalam Sakramen Tobat - karena keengganan si peniten untuk mengubah perilakunya yang berdosa, karena peniten itu bercerai dan menikah lagi – jika imam itu kemudian digugat oleh si peniten, atau bahkan sampai dibawa di hadapan pengadilan gerejawi! Selain itu, dalam kasus seperti itu seorang imam yang setia bahkan tidak bisa membela diri, lantaran dia masih terikat oleh Meterai Pengakuan Dosa (keharusan untuk merahasiakan dosa peniten). Dengan demikian, hal itu menunjukkan adanya bahaya intrinsik yang bisa mengancam keutuhan Meterai Pengakuan Dosa jika imam itu kemudian memilih untuk menggunakan alasan ‘pastoral care’ yang masih kacau penafsirannya itu di dalam Forum Internal.


Begitulah, banyak sekali yang dipertaruhkan disini, terutama dalam hal keselamatan jiwa-jiwa  dan kesucian profesi imam Katolik. Semoga kita semua berusaha bersama demi kebaikan yang lebih besar – termasuk upaya kita untuk membela dan mempertahankan kebijaksanaan dan keindahan dari ajaran Bunda Gereja Yang Kudus mengenai perkawinan.

No comments:

Post a Comment