Wednesday, September 11, 2019

PAUS DIKTATOR - 6







Anda dapat membodohi semua orang dalam beberapa waktu,
atau membodohi beberapa orang sepanjang waktu,
tetapi Anda tidak dapat membodohi semua orang sepanjang waktu.

ABRAHAM LINCOLN


  

PAUS DIKTATOR

Marcantonio Colonna





6. KREMLIN SANTA MARTA

Hukuman Dan Hadiah

Mengomentari pada awal 2017 tentang rezim yang dijalankan paus Francis di Vatikan, salah satu jurnalis Katolik Inggris paling terkenal, Damian Thompson, telah menulis: “Tidak sulit untuk mendeteksi adanya citarasa Amerika Latin terhadap setiap pembuatan kesepakatan dan penyelesaian skor yang telah nampak semakin mencolok selama setahun terakhir." Kenyataannya aspek itu telah menunjukkan dirinya di tanahnya sendiri sejak pada tahap awal. Sebelum pemilihannya, Kardinal Bergoglio telah berkonflik dengan kelompok agama, Institute of the Incarnate Word, yang didirikan di Argentina tiga puluh tahun sebelumnya, dan telah terbukti sangat sukses, berhasil menarik banyak panggilan. Namun ia ditentang oleh elemen-elemen dalam hirarki nasional yang merasa tertantang oleh gerakan karakter konservatif, tetapi Benediktus XVI telah menolaknya, menolak kasus uskup Argentina pada tahun 2009. Dalam beberapa hari setelah pemilihannya, Paus Francis membuka kembali dan segera mengirim pendiri dari Institut itu, Pastor Buela, ke pengasingan di Spanyol.

Dua anggota hierarki Gereja Argentina juga merasakan angin baru yang bertiup. Pada 2014 Mgr. José Luis Mollaghan diberhentikan sebagai Uskup Agung Rosario dengan alasan bahwa dia berselisih dengan klerusnya, dan pada tahun berikutnya Mgr. Oscar Sarlinga dicopot sebagai uskup Zárate yang diduga karena kesulitan ekonomi di keuskupannya. Kesamaan yang mereka miliki adalah bahwa pada tahun 2011, ketika ulang tahun ketujuh puluh Kardinal Bergoglio mendekat, mereka telah menulis surat kepada Roma yang mendesak agar usulan pensiun bagi Francis segera diterima.

Sosok lain yang menerima ‘seruan’ singkat adalah seorang kelahiran Argentina, Rogelio Livieres, Uskup Ciudad del Este di Paraguay. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dia telah mendirikan seminari yang memperoleh kesuksesan besar, menarik banyak siswa dari seluruh Amerika Selatan, termasuk beberapa dari seminari Bergoglio sendiri di Buenos Aires. Selama masa Livieres menjabat, keuskupannya menunjukkan peningkatan spektakuler dalam setiap aspek kegiatan keagamaan; jumlah imam diosesan saja meningkat dari 14 menjadi 83. Memang benar bahwa Livieres melakukan kesalahan serius: dia mempromosikan seorang imam asing, tertipu oleh apa yang oleh atasan sebelumnya digambarkan sebagai "kepribadiannya yang brilian dan karismatik", dan mengabaikan fakta bahwa pria itu telah dituduh dalam karier seminaris sebelumnya, karena menganiaya para seminaris secara sexual. Tetapi pada kenyataannya kesalahan penilaian ini bukanlah sebuah tuduhan yang dibuat oleh paus Francis terhadap Uskup Livieres; apa yang dia duga adalah bahwa Livieres bersengketa dengan sisa hierarki Paraguay - bagaimana dia tidak bersengketa, mengingat apa yang dilakukan mereka itu (hierarki)? Pada bulan September 2014 Uskup Livieres diberhentikan; seminarinya bubar dan karyanya yang luar biasa di Amerika Selatan hancur.

Merenungkan tindakan-tindakan ini, orang mungkin mengakui bahwa beberapa paus - yang sangat langka - telah naik takhta dengan ketidaksabaran terhadap masalah-masalah gerejawi tertentu yang mereka hadapi dalam masa pemerintahan mereka dan mereka menanganinya dengan singkat. Tetapi seorang ahli minutia kepausan harus memeras otaknya untuk menemukan apa pun yang cukup cocok dengan kasus-kasus yang diuraikan di atas: perombakan kurial yang diperintahkan oleh Paul VI (1963 - 78), dorongan anti-Modernis dari Pius X (1903-14 )? Mereka hampir tidak cocok dengan pola pembalasan pribadi yang sama. Faktanya adalah bahwa tidak ada paus di zaman modern yang naik takhta dalam hubungan buruk dengan begitu banyak orang seperti yang dilakukan Jorge Bergoglio; dan para pendahulunya pada dasarnya cukup berpikiran bijak untuk menghindari tindakan yang mungkin tampak seperti balas dendam yang tidak layak.

Yang sama-sama harum dari pekerjaan Peronis untuk anak laki-laki adalah hadiah yang diberikan kepada dua orang yang telah dipekerjakan Cardinal Bergoglio sebagai agennya di Roma ketika dia berada di Buenos Aires. Mgr. Guillermo Karcher bermandikan martabatnya sebagai cerimoniere kepausan, dan untuk sesaat ‘membuang berat badannya’ di Vatikan, tetapi sekarang tampaknya dia telah kehilangan dukungan paus Francis yang selalu berubah-ubah sikapnya. Monsignor Fabián Pedacchio pada awalnya ditunjuk sebagai sekretaris kepausan informal, dan sudah tahu akan kesulitannya dalam mempengaruhi pemegang resmi posisi itu (Mgr. Xuereb, dari Malta) sebelum dia menggantikannya secara resmi dalam jabatan pada tahun 2014.


Rezim Baru Casa Santa Marta

Ketika Paus Fransiskus terpilih, tidak ada tindakannya yang lebih dipuji, yang menunjukkan semangatnya yang segar dan demokratis, selain keputusannya untuk menghindari apartemen kepausan lama di Istana Apostolik dan pindah ke tempat tinggal di Casa Santa Marta, rumah tamu yang dirawat dengan baik, rumah bagi para kardinal yang berkunjung, tempat dia tinggal sejak saat itu. Implikasi lain dari pilihan ini agak terlewatkan oleh publik, misalnya fakta bahwa untuk merubah Casa Santa Marta untuk tujuan barunya, dikatakan menelan biaya dua juta euro - sementara apartemen kepausan lama, tentu saja, masih harus dipertahankan. Namun ada baiknya menilai lebih banyak aspek psikologis dari langkah tersebut. Omar Bello mencatat bahwa Paus Francis memandang apartemen tua itu, dengan kamar-kamarnya yang megah, tempat para paus makan makanan mereka secara tradisional dalam kesunyian, dan segera menyadari bahwa itu mengisolasi paus dari Kuria. Di Santa Marta, paus Francis memiliki para kardinal yang dekat dengannya, dan dia makan di ruang makan umum. Seorang jurnalis telah menunjukkan bahwa ini berfungsi sebagai "metode kontrol, untuk mendapat informasi saat makan siang, tentang kejadian di berbagai kamp di Vatikan." Cengkeraman erat yang dilakukan Kardinal Bergoglio pada kuria archiepiscopal di Buenos Aires, dengan demikian, dipindahkan ke posisi barunya di Vatikan.

Bab 3 telah sedikit menggambarkan rezim yang dikendalikan paus Francis dari posisinya saat ini: ini adalah salah satu harapan reformasi yang telah hancur dan telah digantikan oleh ketidakamanan yang kacau. The udienza di tabella, yang memastikan para pemimpin dicasteri untuk melakukan audiensi dua kali sebulan, telah dihapuskan, dan akses pada kehadiran kepausan diserahkan kepada kemauan paus Francis secara sepihak. Para uskup yang bekerja di Vatikan akan memberi tahu Anda bahwa pertemuan-pertemuan akrab dan penuh persaudaraan sebelumnya, yang biasa digunakan para paus untuk menemui para pembantunya, saat ini telah menghilang; beberapa dari mereka hampir tidak pernah berbicara dengan Francis sejak dia terpilih. Tidak ada yang bisa lebih “kolegial” daripada cara pahlawan lobi St. Gallen ini memperlakukan bawahannya. Kontrol Sekretariat Negara atas Kuria lainnya menjadi lebih absolut daripada sebelumnya. Dan setiap orang, mulai dari kardinal hingga monsignori, sengaja dibuat dalam keadaan gugup secara permanen oleh ucapan-ucapan yang mengomel, oleh kritikan secara terbuka dan kasar, oleh pemecatan serta pembongkaran dan perusakan rahasia yang merupakan ciri khas rezim baru sekarang.

Kardinal Pietro Parolin, yang ditunjuk sebagai Sekretaris Negara pada Oktober 2013, pada mulanya adalah favorit kurial, dan dimanjakan oleh Francis dalam tekadnya untuk melestarikan dan bahkan memperpanjang hak prerogatif jabatannya. Tapi itu bukan gaya Francis untuk membuat siapa pun merasa aman. Untuk beberapa waktu sekarang Paus telah menggunakan Sostituto Parolin, Uskup Agung Angelo Becciu, sebagai alat yang lebih siap, karena dia memiliki lebih banyak keuntungan dari tuannya. Becciu adalah orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor Paus, demi kepentingan paus, dan dia melakukannya secara efisien. Dialah yang menelepon PricewaterhouseCoopers pada 2015 untuk memberi tahu mereka bahwa audit Vatikan tidak boleh menyentuh Sekretariat Negara; dia adalah orang yang dikedepankan untuk menghadapi para Ksatria Malta dalam pengambilalihan secara kasar dari Francis atas Ordo itu; dan dia adalah tokoh kunci dalam pemberhentian kejam terhadap Auditor General pada Juni 2017. Dikenal secara luas di Vatikan bahwa Becciu sekarang memiliki kekuatan lebih nyata daripada Parolin, dan dia mungkin akan segera melangkah menggantikannya. Secara keseluruhan, apa yang kita miliki di sini adalah rezim yang murni politis, dan tidak bersifat spritual sama sekali, seperti yang terlihat di bawah Bertone dan Sodano.

Dalam rezim ini, para uskup yang menikmati dukngan paus adalah para penjilat, seperti Cardinal Coccopalmerio, yang menggunakan pengaruhnya untuk melindungi pastor Inzoli, anak buahnya, atas pelecehan anak, dan yang menjadi sekretarisnya adalah Mgr. Luigi Capozzi, sampai saatnya dia digerebek dan ditangkap polisi di sebuah pesta narkoba dan homosex di apartment Coccopalmerio. Atau seorang pedagang kendaraan yang tidak direformasi seperti Cardinal Calcagno, yang masa lalunya yang suram sebagai uskup Savona tidak mendiskualifikasi dia untuk bertanggung jawab atas kekayaan Gereja; atau Kardinal Baldisseri, manipulator terampil dari seruan "belas kasihan" dalam acara Sinode tentang Keluarga.

Di sisi lain, para kardinal yang merasakan ‘cuaca beku’ adalah mereka yang dipercayai oleh Paus Benediktus: Kardinal Burke, Müller dan Sarah, yang kepadanya seseorang dapat menambahkan Cardinal Ouellet, yang kini telah dikesampingkan karena dia memperlihatkan dirinya terlalu bersikap independent. Tanpa melihat ideologi, mereka ini adalah orang-orang yang tulus dalam kata dan perbuatan, dan tak ada kata yang terucap yang merendahkan karakter moral mereka. Orang-orang di sekitar paus Francis biasanya digambarkan oleh komentator sebagai "pembaharu", dan orang-orang yang dipinggirkan sebagai "anti-reformasi." Ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana kita menilai reformasi ini yang mempekerjakan orang-orang  yang licik serta mengusir orang-orang yang terbuka dan tulus?


Jubah Imam Dan Belati Di Curia

Seorang wartawan Inggris, Damian Thompson, mengutip seorang imam yang bekerja di Kuria, dan yang memulai tugasnya sebagai pendukung kuat paus Francis, dengan kata-kata berikut: “Bergoglio membagi Gereja menjadi orang-orang yang berada bersamanya dan orang-orang yang menentangnya - dan jika dia berpendapat bahwa Anda berada di kemah terakhir (yang menentangnya) maka dia akan mengejar Anda.” Ini adalah pengalaman tiga orang imam di Kongregasi untuk Ajaran Iman. Pada musim panas 2016 mereka dipanggil untuk menghadap Paus secara pribadi, dituduh membuat pernyataan yang tidak menyenangkan tentang dia, dan memecat Kardinal Müller yang berusaha untuk membela mereka, dan dalam sebuah audiensi yang diikuti Kardinal Müller, setelah beberapa bulan berusaha, dia memprotes Francis: "Orang-orang ini adalah orang yang terbaik dalam dicastery saya ... apa yang mereka lakukan?" demikian tanya Müller. Tetapi paus menolak protesnya dan menutup audiensi itu dengan kata-kata: "Saya adalah paus, saya tidak perlu memberikan alasan untuk setiap keputusan saya. Saya telah memutuskan bahwa mereka harus pergi dan mereka harus pergi."

Kardinal Müller sendiri, sebagai pengawas ex officio dari sikap ortodoksi Katolik, menerima beban kebencian dari paus karena penentangannya terhadap perubahan terhadap ajaran Gereja tentang pernikahan. Setelah beberapa kali menerima tindakan penghinaan selama empat tahun, di mana Cardinal Müller secara efektif digantikan dengan Kardinal Schönborn sebagai otoritas doktrinal resmi, kemudian Kardinal Müller diminta untuk pensiun pada Juli 2017, pada akhir masa jabatan lima tahunnya. Kegagalan untuk memperbarui jabatannya adalah kontras dengan praktik yang normal, karena dia ‘dipaksa’ pensiun pada usia 69 (sementara itu Kardinal Coccopalmiero, misalnya, terus menikmati perlindungan paus hingga umur 79 tahun). Juga patut dicatat bahwa pengganti Coccopalmiero di Kongregasi, Uskup Agung Ladaria, telah pernah dituduh melindungi seorang imam yang melakukan pencabulan terhadap anak laki-laki.

Yang lebih drastis lagi, dalam beberapa hal, adalah perlakukan yang diberikan kepada Kardinal Robert Sarah, Prefek Kongregasi untuk Ibadah Ilahi. Paus Francis mengangkatnya pada jabatan itu pada November 2014 dan menginstruksikan dia pada saat itu untuk melanjutkan kebijaksanaan garis liturgi yang dibuat oleh Paus Benediktus XVI. Kejatuhannya terjadi ketika dia menyatakan pandangannya tentang cara modern dalam mempersembahkan Misa. Pada bulan Juli 2016 Kardinal Sarah, berbicara kepada sebuah konferensi di London, mendesak pemulihan praktik tradisional perayaan misa ad orientem, yaitu dengan imam menghadap ke aras timur liturgis (imam menghadap tabernakel).

Bertentangan dengan apa yang biasa dilakukan, tidak ada perintah yang pernah diberikan bahwa imam harus mengadakan Misa menghadap kepada umat; itu adalah praktik yang diperkenalkan pada tahun sembilan belas enam puluhan, ketika diyakini bahwa itu adalah cara yang digunakan oleh Gereja awali, sebuah gagasan yang sekarang dianggap salah. Hal ini telah dikemukakan oleh Kardinal Ratzinger sejak tahun 1993, ketika dia menjadi Prefek Kongregasi untuk Iman, dan dia sangat akrab dengan tulisan-tulisan liturgi pada umumnya. Mengajari Gereja tentang keaslian liturgi seharusnya menjadi salah satu fungsi Kongregasi untuk Ibadah Ilahi; tetapi kata-kata Kardinal Sarah diterima dengan protes dari mereka yang menganggap bahwa praktik yang sudah dijalankan selama lima puluh tahun terakhir tidak perlu dipertanyakan lagi.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah, pertama, contoh terjadinya tindakan ‘penusukan dari belakang’ yang telah menjadi hal yang biasa di Kuria saat ini. Surat-surat protes masuk ke Roma ketika Kardinal Sarah sedang pergi dari Roma untuk musim panas. Tanpa memberi Kard. Sarah kesempatan untuk berurusan dengan surat-surat itu, Sekretaris Kongregasi, Uskup Agung Arthur Roche, membawa surat-surat itu kepada paus Francis, yang tidak dikenal karena keahliannya dalam masalah-masalah liturgi, dan dia bertindak dari pengetahuan hanya satu sisi dari pertanyaan itu, sisi orang yang bodoh. Reaksinya mungkin adalah yang terdekat dengan pembersihan Stalinis yang bisa kita lihat di Vatikan.

Pada bulan Oktober, hampir semua anggota Kongregasi untuk Ibadat Ilahi, yang banyak di antaranya telah ditunjuk oleh Benediktus XVI dan mengikuti garis kebijaksanaan liturginya diperintahkan keluar dalam sebah pemecatan massal yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan 27 anggota baru ditunjuk untuk menggantikan tempat mereka, sehingga meninggalkan Kardinal Sarah sepenuhnya terisolasi. Dia terpaksa membatalkan kehadirannya di sebuah konferensi liturgi di mana dia akan berbicara tentang “Makna Motu Proprio Summorum Pontificum untuk pembaruan liturgi di Gereja Latin.”

Tindakan terhadap Kardinal Sarah ini merupakan pola dari paus Francis yang memberikan satu set jaminan kepada pejabat yang ditunjuknya, sebelum tampil dengan sebah wajah yang jujur; dan juga tentang penyerangannya terhadap orang-orang yang dia anggap sebagai musuh, bukan dengan memberhentikan mereka, tetapi dengan melemahkan mereka dan membuat mereka menjadi tidak berdaya. Sedangkan untuk Uskup Agung Roche, ganjarannya atas intervensinya adalah bahwa dia sekarang menjadi orang yang berkuasa di Kongregasi untuk Ibadah Ilahi.

Kata semboyan dari Mafia St. Gallen adalah liberalisasi Gereja, dan dengan kandidat mereka yang berkuasa sekarang, kita bisa melihat apa artinya ini. Sikap ‘horor yang saleh’ pada siapa pun yang menunjukkan perbedaan pendapat dari garis kebijaksanaan kepausan, adalah sikap ortodoksi yang berkuasa. Ketika keempat kardinal Brandmüller, Burke, Caffarra dan Meisner menandatangani surat yang meminta klarifikasi tentang ambiguitas di dalam Amoris Laetitia, Dekan Rota Suci, Uskup Agung Vito Pinto, membuat pernyataan: “Apa yang telah dilakukan para kardinal ini adalah skandal yang sangat serius yang dapat menyebabkan Bapa Suci merampas topi kardinal mereka…. Orang tidak boleh meragukan tindakan Roh Kudus.” Sementara itu, Kardinal Blase Cupich dari Chicago (yang menerima topi merah kardinal pada bulan Oktober 2016, sebagai perbandingan terhadap beberapa uskup Amerika lainnya yang lebih layak untuk menerima topi merah daripada dia) menyatakan bahwa para kardinal dubia itu “membutuhkan pertobatan.”

Dalam bidang yang berbeda, Uskup Agung Rino Fisichella, Presiden Dewan Evangelisasi Baru, membuka Tahun Pengampunan dengan menyarankan bahwa mereka yang mengkritik paus Francis harus menanggung ekskomunikasi, seperti yang ditetapkan oleh hukum agama bagi mereka yang memberikan kekerasan fisik kepada paus, dengan alasan bahwa “kata-kata adalah  juga sebagai batu dan karang.” Itulah cara bekerja di dalam Gerejanya paus Francis, dan pelajaran ini hendaknya dimengerti dengan baik.


Pemikiran Polisi-Liberalisme

Mengikuti garis kepausan yang patuh tidak terbatas pada beberapa tindakan di Kuria, telah menjadi kebijakan di pos-pos Gereja yang jauh. Seseorang dapat mengingat nasib beberapa dari 45 penandatangan surat yang dialamatkan kepada para kardinal dan patriark, pada 29 Juni 2016, yang meminta mereka untuk mengajukan petisi kepada paus Francis untuk mengoreksi daftar proposisi yang dipertanyakan, yang disiratkan oleh nasihat Amoris Laetitia. Salah satu penandatangan itu dengan segera diberhentikan dari posisinya sebagai direktur urusan akademik di universitas kepausan, setelah mendapat tekanan dari uskup agungnya. Yang lain adalah seorang Dominika, dilarang oleh pemimpin agamanya untuk berbicara di depan umum tentang anjuran Amoris Laetitia; contoh yang ketiga, diperintahkan untuk mencabut tanda tangannya, dan seorang kardinal menekan orang yang keempat untuk menarik namanya dari daftar penandatangan.

Dapat ditunjukkan bahwa dubia kardinal dan surat yang baru saja disebutkan itu, berbentuk permintaan klarifikasi, bukan penentangan; keduanya mungkin disamakan dengan penolakan terbuka terhadap keputusan kepausan yang telah dibuat tanpa balasan oleh para teolog "progresif" di zaman modern ini, misalnya soal penahbisan wanita. Tetapi di bawah paus Francis, meminta penjelasan saja sudah merupakan pelanggaran. Seseorang dapat menyadari hukumannya sendiri dalam Evangelii Gaudium (2013) dari para penulis yang “mendiskreditkan mereka yang mengajukan pertanyaan, terus-menerus menunjukkan kesalahan orang lain dan terobsesi dengan penampilan.” Ada orang yang memiliki bakat untuk mengkritik kesalahan mereka sendiri.

Seperti yang dilaporkan Sandro Magister pada November 2016, pada awal tahun akademik ini, klub penggemar mengirim email kepada staf pengajar ‘Institut Kepausan John Paul II untuk Studi tentang Pernikahan dan Keluarga’ dengan ketentuan sebagai berikut:

“Seperti yang telah terjadi di lembaga pastoral, akademis dan budaya Katolik lainnya, Observatorium kami untuk Implementasi Reformasi Gereja Paus Francis - sebuah inisiatif umat awam Katolik dalam mendukung kepausan Paus Francis - telah dimulai pada tahun akademik saat ini, melakukan pemantauan atas isi publikasi fakultas dan ajaran-ajaran yang disampaikan di Institut Kepausan John Paul II Kepausan untuk Pernikahan dan Keluarga untuk memperjelas adaptasi atau kemungkinan ketidaksepakatan mengenai ucapan yang dibuat oleh Paus Francis pada kesempatan pembukaan tahun akademik baru dari Institut Anda (Sala Clementina, 28 Oktober 2016), di mana Anda dipanggil 'untuk mendukung pembukaan kecerdasan iman yang diperlukan untuk melayani perhatian pastoral dari penerus Peter.'

“Secara khusus, isi dari karya-karya yang diterbitkan, dan kelas-kelas yang diberikan akan dipertimbangkan sehubungan dengan apa yang diungkapkan dalam nasihat apostolik 'Amoris laetitia', sesuai dengan citra Gereja yaitu, bukan dari pemikiran Gereja dalam citra dan keserupaan dengan manusia, yang 'mengarahkan penelitian dan pengajaran tidak lagi ke arah 'cita-cita pernikahan yang terlalu abstrak, yang hampir dibangun secara artifisial, jauh dari situasi konkret dalam masyarakat dan dari kemungkinan keluarga yang efektif sebagaimana adanya' (pidato paus Francis, disebutkan sebelumnya, 28 Oktober 2016).

“Untuk tujuan ini, kami akan menggunakan bacaan analitis dan kritis dari berbagai studi yang diterbitkan oleh fakultas, pidato-pidato kelulusan dan tesis doktor yang disetujui oleh Institut, silabus kelas, bibliografi mereka, serta wawancara dengan siswa yang dibuat setelah kelas-kelas yang diikuti, di lapangan di depan Universitas Lateran.

“Yakinlah bahwa kami sedang melakukan tugas yang bermanfaat untuk meningkatkan layanan yang Anda lakukan dengan dedikasi kepada Gereja dan kepada Bapa Suci, dan kami akan terus memberi Anda informasi terkini tentang hasil penelitian pengamatan kami.”

Arti penting dari "penelitian observasional" ini adalah, tentu saja, bahwa Institut John Paul II adalah badan akademis yang dibentuk untuk melestarikan pengajaran Paus tentang keluarga, di mana paus yang berkuasa saat ini tidak merasakan antusiasme sama sekali.

Seperti yang ditunjukkan oleh Sandro Magister, ada preseden bagi sekelompok orang fanatik kepausan di dunia Katolik: itu adalah Sodalitium Pianum yang dibentuk pada masa pemerintahan Pius X (1903-14) untuk menegakkan kecaman paus terhadap Modernisme. Hal itu dilakukan dengan memantau ceramah para profesor seminari dan melaporkan kepada pihak berwenang ucapan-ucapan yang tampaknya tidak mendukung ortodoksi, dan sejak itu telah dicerca oleh kaum liberal sebagai contoh pemerintahan intelektual teror yang diperkenalkan oleh Pius X. Secara umum, orang mungkin menganggap hal itu memalukan, bahwa zaman kita seharusnya menghasilkan gema dari apa yang sampai sekarang dianggap sebagai kepausan paling ketat di zaman modern; tetapi ironisnya melangkah lebih jauh. Tidak diragukan lagi bahwa sebuah rezim yang menuntut ortodoksi yang ketat harus didukung, betapapun disayangkan, oleh langkah-langkah yang disukai negara-polisi; tetapi "Observatory" dari Big Brother modern ini bermunculan pada masa pemerintahan paus Francis yang liberal dan progresif, yang dipilih oleh pikiran terbuka Mafia St. Gallen guna menyapu bersih otoriterisme Benediktus XVI dan Yohanes Paulus II.


Kediktatoran Belas Kasih

Para jurnalis yang meliput segala urusan Roma menjadi semakin sadar bahwa "di bawah Paus Francis ini, Vatikan secara sistematis membungkam, menghilangkan, dan merubah segala kritik terhadap pandangan Paus", dan berita-berita mengerikan telah mengalir keluar tentang cara-cara yang digunakan oleh penguasa. Gianluigi Nuzzi melaporkan bahwa pada Maret 2015 ditemukan banyak gangguan di mobil-mobil, kantor-kantor dan rumah-rumah pribadi klerus Vatikan, dan dalam keanehan yang tidak dapat dijelaskan, Gendarmeria (dinas keamanan internal Vatikan) tidak juga dipanggil untuk menyelidiki hal itu. Klerus dan orang awam yang bekerja di Kuria menemukan tanda-tanda aneh dalam panggilan telepon mereka, di mana, setelah panggilan terputus, mereka mendengar audio saat-saat terakhir dari percakapan mereka diputar ulang kepada mereka - sebuah tanda yang dikenal dari ketukan telepon. Mereka yang berada di Kuria menerima begitu saja kenyataan bahwa panggilan telepon dan email mereka sedang dimata-matai secara sistematis.

Mengenai paus Francis sendiri, Damian Thompson melaporkan bahwa ledakan emosinya, kekasarannya terhadap bawahan dan bahasanya yang vulgar menjadi terkenal di seluruh Vatikan. Thompson mengutip sebuah sumber yang layak dipercaya: “Francis tidak harus mencalonkan diri untuk dipilih kembali oleh Konklaf. Percayalah pada saya, dan beruntung baginya, karena setelah kesengsaraan banyak orang dan omong kosong beberapa tahun terakhir ini, dia akan dieliminasi dalam pemungutan suara pertama.” Ini adalah kebenaran yang sedikit orang saja di Kuria yang meragukannya; mereka menjadi melek oleh fakta bahwa pemilihan "The Great Reformer" pada tahun 2013 memiliki efek yang  menempatkan mereka di bawah kediktatoran Argentina gaya lama, dengan semua metodenya. Pada bulan-bulan pertama, terinspirasi oleh kejenakaan hubungan masyarakat Francis, nama panggilan untuk guru mereka di kalangan klerus Vatikan adalah "Toto the Clown." Mereka sekarang menyadari bahwa mereka telah mengabaikan jati diri Bergoglio, dan nama panggilannya saat ini adalah "Ming", meniru nama kaisar kejam dalam komik Flash Gordon. Seorang kardinal mengatakan, “Di Vatikan, semua orang merasa takut pada paus Francis; tidak ada yang menghormatinya, dari Kardinal Parolin hingga ke jajaran bawah."

Ketakutan adalah warna dominan di dalam Kuria di bawah pemerintahan Francis, bersama dengan adanya rasa saling curiga. Bukan hanya para informan penjilat yang melaporkan segala pembicaraan yang tidak terkontrol - seperti yang dialami oleh tiga orang bawahan Kardinal Müller. Dalam sebuah organisasi di mana para koruptor moral dibiarkan berada di tempat, dan bahkan dipromosikan oleh paus Francis, maka pemerasan halus adalah merupakan perintah sehari-hari. Seorang pastor curia mengatakan, “Mereka melaporkan bukan apa yang Anda ketahui, tetapi siapa saja yang Anda kenal. Di Vatikan, pepatah ‘apa yang kau tahu tentang siapa yang kau kenal,’ adalah tidak berlaku dan dianggap tidak benar.”

Keadaan seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di Kuria Roma, tetapi kita dapat membaca tulisan Austen Ivereigh mengenai biografi paus Francis soal usaha untuk menemukan waktu dan tempat dengan sebuah ‘cincin yang biasa.’ Hal ini menggambarkan rezim Perón di masa muda Bergoglio, dimana dia menceritakan bagaimana setelah tahun 1952 “Perón menjadi bersikap defensif dan paranoid, turun kepada kegilaan otoriter yang biasanya menimpa pemerintah populis-nasionalis di Amerika Latin ... pejabat negara dituntut menjadi anggota partai, pertikaian dibingkai sebagai perbedaan pendapat, dan lawan ... didefinisikan sebagai musuh rakyat." Penulis sendiri belum memperhatikan korelasinya, tetapi beberapa elemen dapat ditemukan bahkan dalam narasinya. Ketika Austen Ivereigh memelototi kepausan Francis, dia menyajikan sketsa "reformasi" Vatikannya yang dapat disebut sebagai sebuah ‘mahakarya pelintiran,’ terutama di tengah tanda-tanda propaganda yang muncul melalui pertanyaan ‘seberapa otokratis dan tidak populernya metode paus,’ dimana tanda-tanda itu  adalah:

“Francis telah pindah kepada lingkaran terdekat di sekelilingnya, dalam hal apa yang biasanya ditangani oleh lembaga-lembaga Vatikan, dan menghindari saluran-saluran lama yang sampai menimbulkan kemarahan yang besar. Popularitas Francis yang luar biasa di luar perbatasan Gereja sangat kontras dengan pandangannya di Vatikan, di mana ada banyak sekali omelan ....
Ini adalah paradoks Bergoglio: paus kolegial, yang dekat dengan rakyat, menggunakan otoritas kedaulatannya dengan cara-cara yang tampaknya bisa dibujuk orang. Dia adalah pemerintahan yang sangat personalistis, yang mem-bypass sistem, tergantung pada hubungan dekat, bekerja melalui orang, bukan berdasarkan dokumen, dan mempertahankan kontrol yang ketat ... Dalam banyak hal, Francis adalah paus yang paling tersentralisasi sejak Pius IX.”

Pius IX (1846-78) dan masa-masa Negara Kepausan memang layak diingat oleh sebuah fenomena yang tidak pernah terlihat selama beberapa generasi. Pada 4 Februari 2017, orang-orang Roma bangun untuk menemukan kota mereka terpampang dengan gambar-gambar yang mengejek Paus. Poster-poster ini menggambarkan Francis dalam salah satu suasana hatinya yang kurang riang, dan di bawahnya ada tulisan:

"Hei, Frankie, Anda telah merusak Kongregasi, menggeser para pastor, memenggal Ordo Malta dan para Fransiskan Yang Tak Bernoda, mengabaikan para Kardinal ... lalu di mana belas kasih yang Anda gembar-gemborkan itu?"

Ringkasan, yang tersusun dalam dialek Romanesco (Roman Cockney), secara sadar mengingatkan kita akan pasquinades (patung zaman dulu yang menggambarkan seorang tokoh yang sering menyusahkan rakyat) yang dulu sering muncul pada zaman the Temporal Power; dan seseorang harus kembali ke masa itu untuk menemukan kasus belakangan ini yang berisi sindiran politik terhadap seorang paus yang berkuasa yang diperlihatkan secara publik di Roma. Ini adalah salah satu bukti dan fakta bahwa popularitas Francis, dengan mengasumsikan dia memakai gaya wajah cemberut, telah merosot di Italia dan sekitarnya. Tanda lain adalah angka-angka yang semakin merosot dari peserta audiensi kepausan di Lapangan Santo Petrus, yang diadakan kurang lebih setiap minggu dan yang digunakan untuk menarik puluhan ribu umat beriman. Statistik resmi untuk rata-rata kehadiran di acara-acara ini sejak Francis menjadi Paus diberikan sebagai berikut:

Tahun 2013: 51,617 orang
Tahun 2014: 27,883 orang
Tahun 2015: 14,818 orang


Untuk tahun 2016 tidak ada angka yang tersedia, tetapi jumlahnya diperkirakan di bawah 10.000 orang, kurang dari seperlima dari pengunjung pada empat tahun lalu, dan pada zaman Benediktus XVI. Bagi mereka yang melihat pita yang menyusut di dalam barisan tiang Santo Petrus, pesannya cukup jelas: Paus Rakyat sedang ditinggalkan oleh rakyatnya. Kehadiran misa juga telah merosot tajam di Italia, dan tampaknya di seluruh dunia. Kepausan Francis, yang diharapkan untuk menghidupkan kembali Gereja, setelah empat tahun dalam keadaan merana, membuktikan kegagalan yang tak terhindarkan.


Paus Politik

Tampaknya paus Francis sendiri telah mulai menyadari ‘tempat berbahaya’ di mana filsafatnya "menciptakan kekacauan" membawa dirinya. Dia dilaporkan telah berkomentar sebelum Natal 2016: “Bukan tidak mungkin saya akan turun dalam sejarah sebagai orang yang memecah belah Gereja Katolik.” Pikiran itu tidak luput dari pengaruh orang-orang di sekitarnya, dan pada Maret 2017 surat kabar Inggris The Times menerbitkan sebuah artikel di bawah judul “Para kardinal ‘anti-reformasi’ menghendaki Paus berhenti.” Artikel itu mengutip laporan beberapa hari sebelumnya, yang ditulis oleh Antonio Socci: “Sebagian besar kardinal yang memilihnya kini merasa sangat khawatir, dan kuria ... yang mengatur pemilihannya dan telah menemaninya selama ini, tanpa pernah memisahkan diri darinya, sedang memanen kekacauan moral dan berusaha untuk membujuknya agar pensiun." Para kardinal “anti reformasi” ini (perhatikan ortodoksi media yang mendefinisikan orang-orang yang meragukan Francis) dikatakan berjumlah sekitar selusin, dan apa yang mendorong mereka adalah ketakutan akan perpecahan yang diciptakan oleh paus Francis. Ini juga merupakan pertanda bahwa pada bulan-bulan akhir 2016 sebuah studi teologis tentang kemungkinan menggulingkan seorang paus dilaporkan menciptakan kekhawatiran di Vatikan. Jika itu membuahkan hasil, itu mungkin satu-satunya cara di mana kepausan Francis terbukti benar-benar inovatif: Senjata makan tuan.

Mereka yang terkejut mendengar Francis digambarkan sebagai seorang diktator, tidak akan mempertanyakan fakta bahwa dia adalah paus yang berpikiran politis untuk naik takhta selama berabad-abad. Ini bukanlah pencemaran nama baik dari pihak musuh-musuhnya, tetapi ini diusulkan oleh seorang pengagum yang tidak memenuhi syarat, seperti penulis Austen Ivereigh. Kita perlu memahami bahwa kunci dari gaya ceroboh Francis - ketidakpedulian terhadap reformasi, tindakan tiranik, demam untuk mencari citra populer - adalah bahwa perhatian utamanya bukan pada pemerintahan Gereja. Ivereigh telah melacak secara rinci ambisi Francis untuk menjadikan dirinya pemimpin dunia dalam bidang politik; dia berangkat dengan visi bombastis tentang "dekadensi" atau kemerosotan moral peradaban Barat yang akan dieksploitasi oleh Bergoglio dengan gaya Amerika Latin untuk menegaskan kembali kehebatan dirinya, dan mimpinya adalah untuk menggalang benua menuju "la patria grande" (tanah air besar) untuk menantang dominasi imperialis Amerika Serikat. Tujuan ini berada dibalik pengangkatan Kardinal Parolin sebagai Sekretaris Negara Vatikan, yang telah berpengalaman menjadi nuncio kepausan yang sangat dipuji untuk Meksiko dan Venezuela, dan dia akan bekerja untuk mengikat segala benua bersama-sama di bawah perlindungan Takhta Suci. Hasil aktualnya telah dianalisis oleh seorang jurnalis Italia:

"Citra Francis, yang memiliki peluang untuk menjadikan dirinya sebagai 'pemimpin moral benua', tanpa payung Barack Obama akan dengan cepat memasuki krisis, meskipun ada upaya luar biasa dari Sekretaris Negara Parolin: di Kuba, dengan Trump, diplomasi Vatikan tersandung;
di Kolombia referendum perdamaian gagal dengan sangat buruk karena umat Protestan negara itu menyabotnya; di Venezuela semua pendukung politik sepakat bahwa upaya perdamaian Vatikan telah memperburuk, bukannya memperbaiki situasi; dan akhirnya di Brazil, setelah keberhasilan hari kaum muda sedunia, Rio de Janeiro memiliki walikota yang adalah uskup Protestan, anti-Katolik dan yang paling penting: dia sering mengkritik Konferensi Episkopal.”

Sebagaimana ditunjukkan oleh analisis ini, pemilihan Donald Trump telah menghancurkan segala asumsi yang menjadi dasar strategi Francis. Dengan semua retorika macho Amerika Latin, rencana bergantung pada kehadiran seorang presiden liberal di Gedung Putih yang bersedia merendahkan diri (atau dirinya sendiri) untuk membela klaim Amerika Latin. Semua itu runtuh di hadapan seorang presiden yang jawabannya terhadap pembuat masalah di luar Rio Grande, adalah untuk membangun tembok pembatas terhadap mereka. Itulah sebabnya pada tahun 2016 paus Francis mempertaruhkan semua harapannya pada kepresidenan Clinton. Orang-orang di sekitarnya, dimulai dengan Kardinal Parolin (yang lebih baik memberi nasihat tentang urusan Amerika?) memberi tahu dia bahwa Donald Trump tidak punya harapan untuk menang, dan atas perintah Francis, APSA membiayai kampanye kepresidenan Hilary Clinton (Sekarang dikatakan bahwa uang yang digunakan untuk itu berasal dari Peter's Pence, yaitu sumbangan umat beriman yang diberikan untuk tujuan amal). Francis juga turun tangan dalam kampanye Hilary Clinton dengan kata-kata yang secara implisit menuduh Trump bukan seorang Kristen. Ketika melihat musuh menang meski ada berbagai upaya untuk mencegahnya, maka Francis marah kepada para penasihatnya. Ini mungkin salah satu alasan mengapa Kardinal Parolin kehilangan dukungan: dia membuktikan dirinya bisa keliru di Amerika Serikat, dan dia gagal mengirimkan barang di Amerika Latin.

Adegan global di mana Francis menggambarkan kemenangannya, telah berubah. Dengan pemulihan hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia, dan dengan Inggris meninggalkan Uni Eropa, Merkel dan Macron dibiarkan berkerumun bersama, berusaha melindungi karut marut tatanan dunia liberal, yang tampaknya telah disajikan dan siap untuk makan sedikit lebih banyak daripada setahun yang lalu. Tentang tatanan dunia itu, Francis menjadikan dirinya sendiri sebagai imam agung; kemana dia pergi selanjutnya?

Konsekuensi politik dari kegagalan itu bisa beragam. Gedung Putih memiliki kartu truf yang kuat untuk dimainkan melawan Vatikan, dan orang mungkin terkejut bahwa sejauh ini mereka menahan diri untuk tidak memainkannya. Diketahui bahwa CIA terus memantau Konklaf 2013, dan ingatan bahwa pemerintah Amerika akan menggunakan pengetahuannya yang amat banyak, dikatakan telah menyebabkan ‘malam-malam tanpa tidur’ di Curia. Kesempatan untuk melakukan intervensi membutuhkan sedikit temuan. Dengan kegagalan Tahta Suci untuk mereformasi struktur keuangan yang penuh aroma kriminal, yang bukti-buktinya terus meningkat setiap hari, orang dapat dengan mudah melihat bahwa komunitas internasional, yang dipimpin oleh Amerika, akan memutuskan untuk mengumumkan bahwa cukuplah sudah apa yang diperbuat oleh Francis. Pemecatan secara brutal pada Juni 2017 atas Libero Milone, Auditor General Vatikan, yang bukannya tidak memiliki banyak teman di Amerika, mungkin membuktikan akan adanya provokasi terakhir.

Alasan mendasar dari kesulitan ini adalah bahwa Francis telah bertindak melampaui batas kemampuannya. Dia adalah seorang politikus yang pandai - yang terpandai untuk menduduki takhta kepausan selama berabad-abad, mampu dengan baik mengendalikan lingkaran-lingkaran di sekitar gereja yang tidak menaruh curiga kepadanya, seperti misalnya Cardinals Burke, Sarah dan Müller - tetapi sebagai negarawan dunia, dia telah keluar dari pertandingan, tidak masuk hitungan. Jadi, dia sebagai penguasa Gereja Katolik, membutuhkan bakat lebih tinggi daripada seorang bos partai Peronis. Fakta ini mulai diakui oleh mereka yang mempelajari perjalanan kepausannya. Jurnalis yang baru saja dikutip, telah menulis:

“Setelah mengendarai kampanye Pers yang menjadi idola Paus Argentina, orang-orang menyadari bahwa, pada dasarnya, pekerjaan Ratzinger sangat diremehkan. Dalam sebuah Vatikan yang terpecah-belah oleh perselisihan, Paus Jerman (Ratzinger) membawa IOR ke dalam Daftar Putih, memberlakukan toleransi nol terhadap pencabulan anak dan melakukan penelitian mendalam tentang area kritis Gereja modern dalam menghadapi tantangan di masa depan. Dengan demikian, Francis tiba dengan keuntungan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mungkin bahkan tidak disadarinya, dikelilingi oleh klik biasa-biasa saja yang mengaburkan visinya dan yang tidak menunjukkan kepadanya titik-titik bahaya yang beresiko tinggi, dengan dimensi-dimensi yang semakin besar, serta menjauhkannya (Francis) dari pendahulunya sendiri.

Aspek yang lebih doktrinal dianalisis pada tahun 2016 oleh seorang ahli Vatikan, Giuseppe Nardi: “Tiga setengah tahun setelah dimulainya masa kepausannya, paus Francis telah mencapai batasnya. Kesan yang diberikan melalui gerak-gerik dan kata-katanya, tentang niat tersembunyi untuk mengubah doktrin Gereja, pada suatu saat harus mengambil bentuk tertentu atau Gereja harus runtuh .... Francis menemukan dirinya terpojok melalui atmosfer yang dia sendiri bertanggung jawab untuk menciptakan. Ini bukan lagi tentang ucapan spontan tentang ini atau itu, yang tetap diimprovisasi olehnya dan tidak mengikat. Pekerjaan penggembalaan dan keterampilan kepemimpinannya, yang menuntut rasa tanggung jawab dan karakter yang patut dicontoh, sedang mencapai batasnya. Inilah yang bisa membuat Francis gagal."

Komentar-komentar semacam ini menunjuk pada kesalahan amat besar yang dibuat oleh Konklaf 2013 dalam memilih kardinal "dari ujung bumi" untuk menjadi kepala Gereja Katolik. Dengan memilih orang luar yang kurang dikenal, mereka memilih seorang pria yang terbukti tidak layak, oleh karakternya dan oleh prioritas yang ditunjukkannya, untuk memegang jabatannya. Bagi banyak umat Katolik, gagasan ini sulit diterima. Dalam ingatan (sejarah) yang hidup, kita tidak pernah menemukan kasus di mana kesalahan penilaian dalam pemilihan paus telah terjadi. Beberapa paus modern adalah orang-orang hebat, yang lain memadai; selama berabad-abad tidak ada seorang pun, seperti yang harus dikatakan secara kasar dan jujur tentang Francis, yang jelas-jelas di bawah jabatannya. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Kita harus ingat bahwa Jorge Bergoglio adalah orang yang dibesarkan dalam lingkup budaya politik yang menjijikkan, dan dia dilatih dalam tatanan agama yang tradisi kepatuhannya dan keterlibatan politik dan sosialnya terganggu dan terdistorsi oleh pergolakan tahun 1960-an. Hal ini berarti bahwa dia kurang terbentuk dalam disiplin budaya yang berakar panjang, yang membuat para pendahulunya memenuhi standar tertentu untuk menjadi paus. Gereja tidak pernah menjadi orang asing bagi klerus, bahkan mereka yang berkarakter tinggi, yang membiarkan panggilan religius mereka terlalu berbau politis, dan Bergoglio tidak pernah menunjukkan kemurnian dedikasinya yang akan melindungi dirinya dari kesalahan semacam itu. Sebelum pemilihannya, dia tidak membedakan dirinya dengan tulisan atau khotbah spiritual atau doktrinal yang diketahui dari banyak paus. Minimnya minat pada doktrin dan liturgi sudah biasa dilakukannya, dan bahkan beberapa kebiasaan doanya mengundang komentar yang menggemparkan. Lucrecia Rego de Planas berkomentar bahwa ketika merayakan Misa, paus Francis tidak pernah mau berlutut ke arah tabernakel atau Hosti yang telah dikonsekrasikannya, sebagai aturan wajib dalam liturgi yang telah ditentukan, dan dia dikenal karena kelalaian itu jauh sebelum usia tua membuatnya secara fisik bisa dimaklumi. Apa yang bisa diharapkan oleh umat Katolik dari seorang Paus yang mengabaikan tanda-tanda hormat kepada Sakramen Mahakudus, yang selama ini telah dilakukan oleh semua imam dan umat beriman melalui aturan dan tradisi?

Kita dapat menghubungkan cacat-cacat ini dengan nada rendah dari magisterium ‘kerendahan hati’ yang dibuat oleh paus Francis sebagai ciri khasnya, dalam konferensi pers, dalam sebuah penerbangan internasional, dan alternatif improvisasi lainnya untuk cathedra Petrine. Aldo Maria Valli telah menunjukkan "kedangkalan’ Francis ini sebagai nada dominan, dan konformismenya sebagai kebiasaan intelektual." Orang mungkin mengatakan hal yang sama tentang penghinaan kasar yang sering dilontarkan paus Francis terhadap orang-orang yang dia tegur, dimana sikap seperti itu merupakan sebuah fenomena yang meluas sampai kepada dokumen-dokumen resminya. Sebuah ensiklik seperti Evangelii Gaudium (2013) penuh dengan frasa seperti "elitisme narsis dan otoriter", atau "Promethean Neo-Pelagianisme yang mementingkan diri sendiri." Yesus Kristus mengecam "nabi-nabi palsu, yang datang kepadamu dengan pakaian domba, tetapi di dalam hati mereka adalah serigala yang ganas"; tetapi kita harus menunggu sampai kepausan Francis untuk diperingatkan, dalam hal pengajaran kepausan, tentang bahayanya berbagi tempat duduk dengan seorang Promethean Neo-Pelagian. Rupanya, ini adalah bahasa penginjilan baru yang segar, yang diilhami oleh kebutuhan pastoral orang miskin.

Semua ini, untuk waktu yang lama, telah luput dari pandangan media yang dangkal, yang berada di luar kedalamannya dalam hal teologi dan jatuh ke dalam gerakan publisitas dengan kenaifan kekanak-kanakkan. Di Italia ada sejumlah jurnalis, diantaranya adalah Sandro Magister, yang telah melaporkan secara kritis tentang urusan Vatikan selama beberapa tahun ini, tetapi di dunia berbahasa Inggris keheningan itu telah cukup memekakkan telinga. Hanya segelintir situs web Katolik konservatif, termasuk National Catholic Register dan LifeSiteNews, yang menghasilkan, dengan alasan doktrinal, jenis pelaporan yang tajam yang diabaikan oleh media arus utama. Italia juga telah menghasilkan dua buku kritis, Non Soc Francesco (2014) karya Antonio Socci dan 266 karya Aldo Maria Valli (2016). Di Amerika tanda-tanda mulai muncul dari pecahnya peringkat, setidaknya di dunia penerbitan: George Neumayr's The Political Pope (2017) yang menyajikan kasus konservatif terhadap Francis, dan sebuah buku karya Philip Lawler yang saat ini sedang diterbitkan, berdasarkan pada tajamnya pelaporannya sebagai jurnalis Vatikan.

Dalam beberapa bulan terakhir tanda-tanda telah meningkat bahwa "Anda tidak dapat membodohi semua orang sepanjang waktu". Konsensus media yang menyebut Francis sebagai seorang reformator hebat menunjukkan celah serius pada 2 Juli 2017, ketika harian Romawi Il Tempo menghabiskan halaman depan dan halaman 2 dan 3 untuk serangkaian artikel yang menilai pencapaian Francis dan menemukan apa yang mereka inginkan.

Artikel utama berada di bawah judul, “Crollo di fedeli, temi etici, gay, immigrati e Isis-Islam. Quanti errori. Ora le epurazioni. Cala la popolarità di Francesco.”

Kepergian Libero Milone, Kardinal Müller, dan Kardinal Pell secara cepat dari Vatikan tidak dapat dikatakan gagal untuk menyampaikan beberapa keadaan kritis, dan upaya untuk menjelaskan soal paus Francis yang menumpahkan tindakan dan ucapannya yang salah, pasti akan menyerah sebelum penyelidikan lebih lanjut. Rumor bahwa dana Peter's Pence (uang hasil kolekte umat beriman di seluruh dunia) digunakan untuk mendanai kampanye kepresidenan Hilary Clinton semakin banyak terdengar, dan semua itu menunjukkan jalan menuju kepada skandal besar.

Paus Francis masih memiliki satu keuntungan luar biasa. Media liberal telah banyak berinvestasi dalam dirinya dengan menyebutnya sebagai sebagai ‘idola revolusioner’ - orang yang oleh The Wall Street Journal, pada Desember 2016, digambarkan oleh sebagai "pemimpin kiri global" - dan mereka tidak siap untuk melepaskan mitos itu. Dengan kepergian Obama dan Hillary Clinton dipermalukan, maka Francis menjadi lebih penting bagi mereka daripada sebelumnya. Bagi orang yang bukan Kristen, kekhawatiran yang digerakkan Francis melalui upayanya untuk meliberalisasi ajaran moral Gereja tentang tindakan seksual, tidaklah relevan bagi mereka. Memang, apa yang disukai kaum sekularis dalam diri Francis, yaitu gayanya sebagai pemecah tradisi dan mengabaikan masalah mistik serta otoritas Gereja. Namun kepercayaan bahwa media liberal dapat memaksakan pandangan mereka tentang dunia, telah memudar belakangan ini. Hillary Clinton yang mengandalkan mereka, dan gagal; kita mungkin melihat paus Francis juga berjalan dengan cara yang sama.


Paus Berikutnya

Kita kembali melihat kesalahan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan oleh para kardinal pada 2013 dalam memilih sosok seperti Jorge Bergoglio. Seperti telah dikomentari sebelumnya, umat Katolik terbiasa dengan pemilihan paus yang patut dipuji, atau setidaknya: memadai, dan mereka akan merasa sulit untuk percaya (bahkan meski dengan adanya bukti sekelompok kardinal yang licik untuk menjelaskannya) bahwa kesalahan yang benar-benar tidak suci dapat dilakukan di Vatikan atau di sebuah konklaf. Namun di dunia ini tidak ada prosedur pemilihan yang kebal terhadap kesalahan, betapapun jarangnya terjadi kejadian semacam itu. Kita harus kembali ke beberapa abad yang lalu untuk menemukan paus yang telah menjadi bencana pribadi, tetapi itu telah terjadi, seperti yang diperkirakan orang.

Mungkin paus terakhir dengan pendekatan duniawi dan politis seperti Francis adalah paus Urbanus VIII (1623-44). Dia melibatkan kepausan dalam konflik dengan kerajaan-kerajaan tetangga, yang menyerbu Negara-negara Kepausan dalam perang yang menghancurkan, sehingga pada saat kematian Urbanus, Tahta Suci bangkrut dan keluarganya diusir dari Roma. Kerusakan yang lebih panjang yang dilakukan Urbanus terhadap Gereja adalah kecamannya terhadap Galileo, bukan karena dia menganggap bahwa teori astronomi heliosentrisitas adalah bidaah (pandangan keliru yang selalu diambil dari kejadian itu) tetapi memang dia mau membalas dendam pribadi atas penghinaan terhadap Paus yang telah dirajut oleh Galileo ke dalam bukunya tentang hal itu. Di sini kita memiliki ilustrasi tentang fakta bahwa cacat pribadi seorang paus dapat berdampak pada bidang doktrinal Gereja.

Mungkin kasus semacam itu yang lebih dekat adalah penguasa seperti Paul IV (1555-59), seorang yang bersemangat untuk meluaskan kemiskinan religius, yang kemudian terpilih menjadi paus pada usia tujuh puluhan. Obsesi politiknya membawanya untuk berperang melawan Kaisar Charles V, juara utama perjuangan Katolik dalam perang melawan Protestan yang berkecamuk pada waktu itu, dan dia bertengkar, lagi-lagi karena alasan politik, dengan Mary Tudor dan Kardinal Pole, yang terlibat dalam tugas sulit memulihkan agama Katolik di Inggris. Masa pemerintahannya berakhir dengan skandal politik dan kerusuhan rakyat terhadap ketidakpopulerannya yang kejam. Atau seseorang dapat mempertimbangkan Urbanus VI (1378-89), yang terpilih sebagai orang luar sepenuhnya, dan segera menunjukkan bahwa dia tidak memiliki keseimbangan mental untuk memegang jabatannya. Para kardinal memintanya untuk turun tahta, dan dalam surat penolakannya paus menyatakan bahwa dirinya digulingkan dan kemudian para kardinal memilih seorang antipaus, yang kemudian menyulut Skisma Barat selama empat puluh tahun. Urbanus merespons dengan menciptakan 29 orang kardinal untuk menggantikan para kardinal yang telah meninggalkannya, tetapi dia juga segera bertengkar dengan para kardinal baru ini dan mengeksekusi lima dari mereka karena dituduh berkomplot melawannya, sementara beberapa yang lain pergi ke pihak lawan.

Kasus-kasus seperti ini menggambarkan bahayanya sebuah meriam yang sepenuhnya tidak dijaga di atas Bahtera St. Petrus, dan hal itu juga menunjukkan kesulitan dalam menggulingkan seorang paus. Peristiwa penggulingan semacam itu mungkin masih direnungkan oleh para kardinal yang saat ini berusaha membuat Francis turun. Apakah hal itu terjadi, atau apakah kita menunggu cara Tuhan yang lebih umum untuk membuat kekosongan di dalam Tahta Apostolik, namun pertanyaan besarnya adalah apa yang akan terjadi dalam pemilihan paus berikutnya, dan masih tidak ada kepastian bahwa kesalahan yang sama tidak akan dilakukan lagi. Marilah kita perhatikan bahwa para kardinal yang dikatakan bergerak melawan paus Francis saat ini, adalah setan kurial yang, pada 2013, memutuskan untuk memberi bobot pada Bergoglio, dan dengan demikian memastikan pemilihannya. Kali ini, kandidat yang mereka ajukan adalah Kardinal Parolin. Jadi: dari tim yang membawa paus Bergoglio kepada Anda, sekarang sambutlah paus Parolin. Seseorang yang dengan tulus berharap bahwa Sacred College telah belajar dengan pelajaran yang lebih baik.

Kita dapat merenungkan bahwa bahkan para kardinal yang telah diangkat oleh paus Francis selama masa kepausannya - dilaporkan sedang dalam upaya yang disengaja untuk mengemas Konklaf berikutnya – dan mereka tidak serta-merta berbagi pandangan dengan Francis tentang Gereja sebagai instrumen politik. Marilah kita meminta kepada mereka, dan berdoa kepada Tuhan, agar mereka dapat menolak visi bencana yang telah membawa Gereja ke dalam kebingungan dan kembali ke model spiritual, tentang apa yang seharusnya dilakukan seorang paus.

Marilah kita berdoa semoga para peserta dalam Konklaf berikutnya nanti, memastikan bahwa tidak ada klik yang mencoba mengubah pemilihan paus menjadi agenda mereka sendiri; kedua, bahwa mereka tahu benar siapa yang mereka pilih. Biarkan dia menjadi orang yang bereputasi mapan di Gereja, dan yang terutama dikenal sebagai abdi Allah dan bukan politisi; seorang pria yang prioritasnya adalah harta spiritual, ke arah mana dia dipanggil untuk menjaganya; seorang pria yang mengajarkan doktrin secara terbuka dan tidak dalam kesepakatan melalui ‘pintu belakang’ yang serba ambigu; seorang pria yang akan menjadi reformator yang tulus dan tidak akan bersekutu dengan kebusukan dalam upaya untuk mengendalikan Gereja. Bagi para kardinal, adalah tugas mereka untuk melakukan hal yang benar dalam hati nurani mereka dan meninggalkan sisanya di tangan Tuhan. Dan marilah kita berdoa agar keanehan alam yang secara tidak sengaja, muncul di Tahta Petrus, mungkin peristiwa seperti itu akan lama untuk terjadi sebelum malapetaka seperti itu berkunjung lagi di Gereja Katolik.

No comments:

Post a Comment