Wednesday, September 4, 2019

PAUS DIKTATOR - 4




4. MENGALAHKAN SEBUAH JALUR BARU YANG BENGKOK

4.1. SINODE KELUARGA: SEBUAH PENDEKATAN BARU TERHADAP MORALITAS SEKSUAL

Sinode Luar Biasa: Menetapkan Sebuah Agenda

Pada 8 Oktober 2013, Paus Francis mengumumkan bahwa dua sinode akan diadakan untuk membahas tantangan yang dihadapi keluarga. Yang pertama, Sinode Luar Biasa, akan diselenggarakan pada 5-19 Oktober 2014 dan yang kedua, Sinode Biasa, mulai 4-24 Oktober 2015.

Periode menjelang sinode didominasi oleh proposal, yang dipelopori oleh Walter Cardinal Kasper, dengan usulan bahwa umat Katolik yang telah bercerai dan masuk ke dalam perkawinan sipil yang tidak sah, dapat menerima sakramen Tobat dan Komuni Kudus meski tanpa perubahan pada jalan kehidupan mereka. Kasper telah mengejar tujuan ini selama bertahun-tahun. Pada bulan September 1993 dia dan dua uskup Jerman lainnya telah mengeluarkan surat pastoral yang meminta izin untuk melaksanakan praktik ini dalam kasus-kasus tertentu. Kongregasi untuk Ajaran Iman menanggapi dengan meneguhkan kembali ajaran tradisional Gereja, sebagaimana ditegakkan dalam Nasihat Apostolik 1981, Familiaris Consortio.

Kardinal Kasper diangkat menjadi tokoh baru di pidato Angelus pertama Paus yang baru, pada 17 Maret 2013. Pujian Francis terhadap bukunya adalah, sebagaimana disebutkan dalam Bab 1, merupakan sinyal paling awal tentang arah dari kepausan mendatang.

Pengorganisasian sinode berada di tangan Sekretariat Sinode yang dipimpin oleh Kardinal Lorenzo Baldisseri. Pada tanggal 26 Oktober 2013, Sekretariat mengirim kuesioner ke semua konferensi para uskup yang mengundang tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pernikahan, keluarga dan etika seksual, dengan fokus pada ‘perkawinan’ yang tidak wajar. Hanya tiga hari sebelumnya, Gerhard Cardinal Müller, Prefek CDF, telah menerbitkan sebuah artikel di L'Osservatore Romano yang menjelaskan mengapa tidak mungkin ada perubahan atas ajaran Gereja tentang penerimaan Sakramen-sakramen bagi umat yang bercerai dan menikah lagi. Müller merasa sangat khawatir tentang arah dari sinode, bahkan sebelum konsultasi resmi dilaksanakan.

Ketakutan Kardinal Müller memang bisa dibenarkan ketika, pada 7 November, Kardinal Reinhard Marx, anggota dewan internal Paus Francis dari sembilan kardinal (C9), berkata bahwa Müller tidak akan dapat "menghentikan perdebatan mengenai agenda sinode (‘perkawinan’ yang tidak wajar). Kardinal Kasper diundang untuk memberikan pidato di konsistori para kardinal yang diadakan pada tanggal 20 Februari 2014 dan dia menggunakan kesempatan itu untuk menjelaskan usulannya secara panjang lebar. Dialah satu-satunya orang yang diberikan kesempatan berbicara panjang seperti itu. Dilaporkan bahwa sekitar empat perlima dari kardinal yang hadir telah menentang usulannya itu. Kasper menanggapi reaksi perlawanan ini dengan menekankan bahwa dia bertindak atas nama Paus. Dia berterima kasih kepada "Bapa Suci atas kata-katanya yang bersahabat dan atas kepercayaannya karena telah mempercayakan kepada saya melalui laporan ini."

Pastor Federico Lombardi, petugas pers Takhta Suci, mengatakan kepada media bahwa Paus telah meminta para kardinal untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi keluarga tanpa memandang secara “kasuistis” dan bahwa pidato Kasper “sangat selaras” dengan perkataan Paus.

Hari berikutnya, Paus memuji Kasper:

“Kemarin, sebelum jatuh tertidur, meskipun tidak sampai tertidur, saya membaca, atau membaca kembali, komentar Cardinal Kasper. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepadanya, karena saya menemukan sebuah teologi yang mendalam; dan pemikiran yang tenang dalam teologi. Sungguh menyenangkan membaca teologi yang tenang itu. Hal itu sangat baik bagi saya dan saya punya ide, dan permisi jika saya mempermalukan Yang Mulia, tetapi idenya adalah: ini disebut melakukan teologi sambil berlutut. Terima kasih. Terima kasih."

Pidato Kasper diterbitkan beberapa minggu kemudian dengan kata-kata pujian dari Paus di sampul belakang. Sekitar waktu yang sama sebuah kumpulan ringkasan dari homili Paus Francis diterbitkan dengan judul The Church of Mercy. Kata pengantarnya ditulis oleh Uskup Agung Westminster, Vincent Cardinal Nichols, seorang yang terkenal sebagai pembangkang terhadap ajaran Katolik tentang etika seksual. Pendahulu Nichols di Westminster, Kardinal Murphy-O'Connor, pensiunan, anggota kelompok mafia St. Gallen dan seorang juru kampanye aktif bagi terpilihnya Kardinal Bergoglio, mengatakan kepada Vatican Insider pada Maret 2014: “Ketika para kardinal memilih Bergoglio, mereka tidak tahu kotak Pandora apa yang mereka buka, mereka tidak tahu karakter seperti apa dia, mereka tidak tahu bahwa dia adalah seorang Jesuit dengan cara berpikir yang sangat dalam, mereka tidak tahu siapa yang mereka pilih."

Antara Februari dan Oktober 2014 Kasper terus mencari dukungan atas usulannya dengan bepergian ke AS dan memberikan wawancara kepada berbagai publikasi, stasiun TV dan radio. Namun penentangan di dalam kolese para kardinal cukup tangguh. Lima orang Kardinal, Walter Brandmüller, Raymond Burke, Carlo Caffara, Gerhard Müller dan Velasio de Paolis berkontribusi, bersama empat cendekiawan lainnya, untuk memberikan jawaban yang komprehensif atas argumen Kasper, dan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul: Remaining in the Truth of Christ: Marriage and Communion in the Catholic Church. Ada indikasi bahwa tanggapan para kardinal tersebut mengecewakan baik Kardinal Kasper dan Paus. La Croix melaporkan bahwa Bapa Suci merasa “tidak senang” oleh sikap para kardinal yang telah berkontribusi dalam membuat buku Remaining in the Truth of Christ: Marriage and Communion in the Catholic Church. La Croix juga melaporkan bahwa paus “menuntut” agar Kardinal Müller tidak boleh ikut serta dalam mempromosikan buku ini.

Pada 18 September 2014 Kasper memberi tahu Il Mattino:

"Saya setuju dengan dia dalam segala hal. Dia setuju. Apa yang bisa dilakukan seorang kardinal, kecuali berada bersama Paus? Saya bukanlah sasaran, sasarannya adalah orang yang lain. ... Mereka tahu bahwa saya belum melakukan hal-hal ini sendiri. Saya setuju dengan Paus, saya berbicara dua kali dengannya. Dia menunjukkan dirinya merasa puas. Sekarang, mereka menciptakan kontroversi ini. Seorang Kardinal harus dekat dengan Paus, di sisinya. Para Kardinal adalah ko-operator Paus."

Mungkin fakta yang paling mencolok dari masa pra-sinode adalah apa yang dipublikasikan pada tanggal 20 September oleh Marco Tosatti dari La Stampa. Dia mengungkapkan bahwa Kardinal Baldisseri telah menjelaskan bahwa Sinode Luar Biasa nanti akan dikelola sedemikian rupa untuk mencapai hasil seperti yang diinginkan oleh sekretariat. Ini akan dilakukan dalam tiga cara; yang pertama, yang telah dilaksanakan, adalah bahwa semua intervensi dan usulan oleh para uskup peserta sinode harus diserahkan sebelum 8 September. Kemudian hal ini memungkinkan strategi kedua untuk dilaksanakan: yaitu membaca semua intervensi dan usulan para uskup dengan hati-hati untuk memastikan bahwa setiap poin yang bertentangan dengan agenda yang diinginkan dapat dijawab dengan cara yang paling efektif sebelum pembicara memiliki kesempatan untuk berbicara. Strategi ketiga adalah untuk mencegah para peserta sinode tertentu berpidato di dalam persidangan. Mereka akan diberitahu bahwa tidak ada lagi waktu untuk intervensi, tetapi pandangan atau pendapat mereka akan diperhitungkan dalam laporan akhir. Laporan Tosatti ini menyadarkan para peserta dan komentator akan adanya ancaman manipulasi. Pada konferensi pers pra-sinode pada 3 Oktober, Kardinal Baldisseri menjadi marah ketika wartawan mempertanyakan kurangnya transparansi; "Anda harus datang ke sini untuk tahu segalanya, mungkin Anda harus menjadi peserta sinode", katanya membentak seorang reporter wanita.


Mendapatkan Hasil Yang Diinginkan

Sinode Luar Biasa dimulai, pada 5 Oktober 2014, dengan pidato pembuka dari Paus Francis yang
mengutuk "para pastor jahat" yang "meletakkan beban tak tertahankan di pundak orang lain, dimana mereka sendiri sendiri tidak bersedia untuk mengangkat satu jari sekalipun untuk bergerak." "Majelis Sinode "lanjutnya "tidak dimaksudkan untuk membahas ide-ide yang indah dan cerdas, atau untuk melihat siapa yang lebih pintar."

Kekhawatiran bahwa kesempatan ini adalah upaya untuk mengintimidasi para peserta sinode diperkuat oleh wawancara yang diberikan oleh Bapa Suci kepada surat kabar Argentina La Nación, yang diterbitkan dua hari setelah khotbahnya itu. Paus ditanyai oleh pewawancara apakah dia “khawatir” tentang buku yang Remaining in the Truth of Christ. Dalam jawabannya, Francis membedakan dirinya dari para pengarang buku itu dengan menyatakan bahwa dia menikmati kegiatan “berdebat dengan uskup yang sangat konservatif, tetapi memiliki kecerdasan intelektual.” Tetapi, dia berkata, “dunia telah berubah dan Gereja tidak dapat mengunci dirinya dalam interpretasi-interpretasi dogma.

Selama minggu pertama sidang majelis, setiap peserta sinode diberi waktu empat menit untuk berbicara dalam sesi sidang pleno. Untuk pertama kalinya dalam sejarah sinode modern, tidak ada teks pidato atau ringkasan rinci yang diterbitkan oleh panitia atau sekretaris sinode; sebaliknya, petugas pers Vatikan hanya memberikan ikhtisar singkat tentang apa yang dikatakan yang diambil dari catatan tulisan tangan mereka sendiri. Dengan cepat menjadi jelas bahwa ringkasan dari kantor pers Vatikan ini memberikan kesan yang tidak seimbang dari jalannya intervensi-intervensi yang terjadi selama sidang. Pastor Rosica, juru bicara berbahasa Inggris, telah mengundang banyak kritikan karena bias yang dirasakan ada di dalam rangkuman-rangkumannya. Sebagai contoh, Rosica mengemukakan pandangannya bahwa "salah satu intervensi yang menonjol" pada saat itu adalah saran bahwa ada keinginan besar bagi bahasa kita "untuk berubah guna memenuhi situasi-situasi yang konkret" dan juga tentang ‘hidup di dalam dosa,’ 'secara intrinsik tidak wajar,’ atau 'mentalitas kontrasepsi' bukanlah merupakan kata atau istilah yang bisa mengundang orang untuk mendekat kepada Kristus dan Gereja.” Namun jauh dari jelas bahwa intervensi semacam ini adalah merupakan ciri khas yang disengaja. Seorang pejabat senior Vatikan mengatakan kepada wartawan Edward Pentin, "Hampir semua briefing Rosica dan Lombardi diarahkan untuk memutar-mutar sudut pandang liberal", sementara pidato "yang mendukung ajaran tradisionil Gereja tidak dilaporkan."

Marco Tossatti berkata bahwa sementara dalam sinode-sinode sebelumnya Anda dapat mengetahui apa yang dikatakan oleh setiap uskup, tetapi selama pertemuan saat ini “Anda tidak memiliki apa pun tentang hal ini, Anda hanya memiliki ‘riassunto’ yang samar-samar, atau ringkasan… Anda tidak bisa tahu apa yang dikatakan semua orang tentang masalah ini. "Kardinal Müller adalah di antara mereka yang berbicara menentang prosedur baru. Dia bersikeras bahwa "semua orang Kristen memiliki hak untuk memberitahu Bergoglio tentang usulan para uskup mereka." Kardinal Burke mengatakan kepada Il Foglio: “... bagi saya sepertinya ada sesuatu yang tidak berfungsi dengan baik jika informasi tersebut dimanipulasi sedemikian rupa sehingga hanya menekankan satu posisi atau satu sikap saja, bukannya melaporkan dengan setia berbagai posisi atau pendapat yang diungkapkan. Hal ini sangat mengkhawatirkan saya, karena ada sejumlah uskup yang konsisten tidak mau menerima gagasan penghentian pengajaran Gereja tradisional, namun hanya sedikit saja orang luar yang mengetahui hal ini, karena tidak dilaporkan oleh pihak panitia.”

Mungkin bukti manipulasi yang paling terkenal adalah Relatio Post Disceptationem (laporan pertengahan sinode), yang disajikan kepada para peserta sinode dan pers pada hari Senin 13 Oktober. Dokumen ini konon didasarkan pada usulan para peserta sinode. Di antara elemen yang paling kontroversial dari laporan ini adalah: (1) keterbukaan untuk menerima "proposal Kasper", (2) menyerukan Gereja untuk "menghargai" orientasi homoseksual dan (3) menyerukan agar Gereja berfokus pada elemen-elemen yang positif dari ‘perkawinan yang berdosa,’ seperti misalnya hidup bersama (kumpul kebo).


Suara-Suara Yang Berbeda

Laporan itu dielu-elukan sebagai revolusi di dalam Gereja oleh banyak orang di media, meskipun ada desakan dari banyak peserta sinode bahwa itu bukanlah refleksi akurat dari usulan yang dilakukan. Kardinal Napier, salah satu dari lima belas anggota dewan permanen sinode, mengutip para peserta sinode yang bertanya, “Bagaimana hal ini dapat dikatakan berasal dari sinode padahal bahkan sinode masih belum membahasnya?” Dan yang lainnya menyatakan, “…ada ada hal-hal yang dikatakan di sana tentang sinode yang mengatakan ini, itu, dan yang lain-lainnya, tetapi sesungguhnya semua itu tidak ada yang pernah mengatakannya.” Kemudian Napier menyimpulkan: "Jadi saat itulah menjadi jelas bahwa ada beberapa rekayasa yang terjadi." Dia telah diperingatkan tentang potensi ancaman ini. Beberapa bulan sebelum sinode dimulai, salah seorang yang terkait dengan sinode memberi tahu Napier bahwa dia “sangat terganggu” oleh apa yang dia saksikan. "Hal itu sama dengan memanipulasi sinode, merekayasa agar sinode berjalan ke arah tertentu," kenang Napier. "Saya bertanya: "Tapi mengapa?" Dia berkata: ‘…karena mereka menginginkan sebuah hasil tertentu.’ “

Kardinal Pell, Prefek dari Sekretariat Ekonomi, menanggapi Relatio (laporan pertengahan sinode) dengan menuduh bahwa “unsur-unsur radikal” telah menggunakan usulan untuk menerima Komuni Kudus oleh orang yang menikah kembali, sebagai “kuda penguntit” untuk melakukan perubahan lebih lanjut dalam ajaran Gereja tentang pertanyaan-pertanyaan soal moralitas seksual. Laporan itu, katanya, "…tendensius, cenderung menyimpang; tidak mewakili secara akurat perasaan para peserta sinode .... Dalam reaksi langsung terhadapnya, ketika ada waktu satu jam, dan satu setengah jam diskusi, maka tiga perempat dari peserta yang berbicara, menganggap ada masalah dengan dokumen (Relatio) itu," kata Pell.

Cardinal Burke mengatakan pada Catholic World Report:

“Dengan sepenuh hati saya setuju dengan apa yang telah dinyatakan oleh Kardinal George Pell dan Kardinal Wilfrid Fox Napier mengenai manipulasi Sinode melalui Relatio post disceptationem. Jelas bahwa siapa pun yang menulis dokumen Relatio itu memiliki agenda tersembunyi dan dengan menggunakan pertemuan serius para Kardinal dan Uskup untuk memajukan agendanya sendiri tanpa menghormati diskusi yang berlangsung selama minggu pertama Sinode.”

Kardinal Baldisseri kemudian mengkonfirmasi bahwa dokumen ini, dan semua dokumen sinode lainnya, telah menerima persetujuan Paus Francis sebelum dipublikasikan:

"Perhatikan, karena ini adalah sesuatu yang benar-benar harus diketahui ... Paus memimpin semua rapat dewan sekretariat. Dia yang memimpin. Saya sekretarisnya. Dan semua dokumen dibaca dan disetujui oleh paus, dengan persetujuan melalui kehadirannya. Bahkan dokumen-dokumen selama sinode, seperti Relatio ante disceptationem, Relatio post disceptationem, dan Relatio sinode, sudah diperiksa olehnya sebelum ia diterbitkan.”

Paus Francis telah menyetujui Relatio tetapi Kardinal Erdő, sebagai Relator Jenderal, secara teoritis bertanggung jawab untuk itu, namun dia menjauhkan dirinya dari pertanggungan jawab atas isinya. Pada konferensi pers di mana Relatio itu diluncurkan, dia dan Uskup Agung Bruno Forte, Sekretaris Khusus Sinode, keduanya ikut hadir. Ketika ditanya tentang arti ayat-ayat yang berkaitan dengan homoseksualitas, Erdő menunjuk kepada Forte dan berkomentar, “..dia yang menulis teks itu harus tahu apa yang dibicarakan.” Subjek homoseksualitas secara khusus telah memecah belah para peserta sinode. Dalam sebuah wawancara kontroversial, yang dilaporkan oleh Edward Pentin, Kardinal Kasper mengklaim bahwa "Afrika benar-benar berbeda dari Barat" dan bahwa "Anda tidak dapat berbicara tentang [homoseksualitas] dengan orang Afrika dan orang-orang di negara-negara Muslim. Itu tidak mungkin. Itu tabu. Bagi kami, kami mengatakan bahwa kami tidak boleh mendiskriminasi, kami tidak ingin mendiskriminasi dalam hal-hal tertentu." Dia juga tampak menyarankan bahwa posisi para uskup Afrika hanya didengarkan saja di Afrika," di mana itu adalah tabu," tetapi tidak di dalam  sinode ini. Kardinal itu melanjutkan, “Harus ada ruang bagi konferensi para uskup setempat untuk menyelesaikan masalah mereka, tetapi saya katakan bahwa dengan Afrika tidaklah mungkin (bagi kita untuk menyelesaikannya). Tetapi mereka seharusnya tidak mendikte kita terlalu banyak tentang apa yang harus kita lakukan.”

Banyak uskup Afrika menjadi marah oleh sindiran Kasper bahwa posisi mereka didasarkan pada masalah "tabu" yang dapat dianggap terbelakang, serta oleh pernyataannya bahwa mereka tidak boleh mendikte para uskup Eropa "terlalu banyak tentang apa yang harus kita lakukan". Kasper awalnya membantah bahwa dia telah mengatakan kalimat ini, dan dia segera menuduh jurnalis yang melakukan kesalahan. Hanya ketika jurnalis Pentin memutar ulang rekaman audio wawancaranya, barulah Kasper menyampaikan permintaan maaf.


Sebuah Tujuan Yang Diperoleh Setengahnya

Setelah rilis laporan sementara pada 13 Oktober para peserta sinode dipisahkan menjadi kelompok-kelompok kecil untuk menyarankan amandemen terhadap teks Relatio. Pada pagi hari Kamis 16 Oktober, laporan-laporan kelompok-kelompok kecil diserahkan kepada otoritas sinode dan segera diumumkan bahwa laporan-laporan itu tidak akan dipublikasikan. Hal ini bertentangan dengan kebiasaan. Segera saja pengumuman ini menimbulkan keributan di aula sinode ketika para kardinal dan uskup bangkit, satu demi satu, menuntut publikasi amandemen mereka. Dilaporkan bahwa sekretariat sinode dicemooh dan diejek selama sekitar lima belas menit sampai paus Francis mengindikasikan kepada Kardinal Baldisseri bahwa laporan itu dapat dipublikasikan.

Pentingnya publikasi amandemen (tanggapan peserta sinode) itu, dijelaskan oleh Kardinal Burke:

“Saya menganggap bahwa publikasi laporan sepuluh kelompok kecil yang sangat penting bagi mereka, hal itu menunjukkan bahwa para Bapa peserta Sinode sama sekali tidak menerima isi dari Relatio… Terasa sekali bahwa ada upaya untuk tidak mempublikasikan laporan dan agar pastor Lombardi sekali lagi bisa menyaring isinya, tetapi para Bapa peserta Sinode, yang sampai saat itu tidak diberi sarana komunikasi langsung dengan publik, bersikeras agar laporan itu dipublikasikan. Sangat penting bagi publik untuk mengetahui, melalui publikasi laporan, bahwa Relatio adalah dokumen yang sangat buruk dan sama sekali tidak mengungkapkan ajaran dan disiplin Gereja secara memadai dan, dalam beberapa aspek, bahkan menyebarkan kesalahan doktrinal dan pendekatan pastoral yang salah.”

Publikasi laporan-laporan ini memastikan bahwa dokumen akhir harus mencerminkan kontribusi para peserta sinode secara lebih akurat. Dalam versi terakhir, bagian-bagian kontroversial tentang homoseksualitas telah dihilangkan seluruhnya dan diganti dengan pernyataan singkat dan umum tentang ajaran Katolik. Ajakan untuk mengakui adanya aspek-aspek positif dari ‘perkawinan’ yang berdosa (kumpul kebo) masih tetap ada dalam draf akhir dan diterima oleh para peserta sinode. Bagian-bagian tentang penerimaan Komuni Kudus untuk umat bercerai dan menikah kembali, tetap dalam bentuk yang diamandemen, tetapi gagal untuk mencapai dukungan mayoritas dua pertiga. Meskipun demikian, Paus Francis memerintahkan agar paragraf yang ditolak itu tetap ada dalam rancangan. Dengan bertindak seperti ini berarti paus mengesampingkan aturan yang mengatur sinode. Pasal 26 § 1 dari Ordo Synodi Episcoporum menyatakan: “Untuk sampai pada suara terbanyak, jika suara itu diperlukan untuk menyetujui suatu masalah, diperlukan dua pertiga suara anggota yang memberikan suara; jika demi penolakan terhadap beberapa item, maka mayoritas absolut dari anggota yang sama diperlukan." Dengan memerintahkan pengabaian atas paragraf 52, 53 dan 55, Paus Francis sendiri memastikan bahwa "proposal Kasper" akan tetap menjadi agenda Sinode Biasa (pada tahun berikutnya nanti, 2015), meskipun hal itu telah ditolak oleh para peserta Sinode Luar Biasa.

Sesi terakhir sinode diadakan pada 18 Oktober. Dalam pidato penutupnya, paus Francis menyampaikan serangan pedas terhadap kaum "tradisionalis" dan "intelektual". Dia mengutuk: "…godaan untuk bersikap tidak fleksibel, yaitu, ingin mengurung diri di dalam kata-kata tertulis, dan tidak membiarkan diri sendiri dikejutkan oleh Tuhan, oleh kejutan Tuhan, (roh); di dalam hukum, di dalam kepastian tentang apa yang kita ketahui, dan bukan dari apa yang masih perlu kita pelajari dan kita capai. Dari zaman Kristus, ini adalah godaan dari orang yang terlalu bersemangat, yang teliti, yang peduli dan apa yang disebut - hari ini – kaum 'tradisionalis' dan juga para intelektual."

Paus Francis menyimpulkan: “…sekarang kita masih memiliki waktu satu tahun lagi untuk menjadi matang, dengan ketajaman rohani yang sejati, dengan ide-ide yang diusulkan dan untuk menemukan solusi konkret atas begitu banyak kesulitan dan tantangan yang tak terhitung banyaknya yang harus dihadapi keluarga-keluarga. Implikasi dari semua ini segera disimpulkan oleh Kardinal Marx: "Pintunya terbuka - lebih luas daripada yang pernah ada sejak Konsili Vatikan II. Debat dalam sinode itu hanyalah titik awal. Francis ingin membuat segalanya bergerak, untuk mendorong proses maju. Pekerjaan nyata akan dimulai."


Sinode Biasa (2015)
Pernyataan-pernyataan seperti ini memastikan bahwa ketegangan akan terus meningkat sementara Sinode Biasa 2015 semakin mendekat.

Satu kejadian, yang tampaknya mewakili banyak tindakan yang meragukan dari proses sinode adalah kisah, yang muncul pada bulan Februari 2015, tentang "lenyapnya" salinan buku Remaining in the Truth of Christ yang telah dikirim oleh Ignatius Press kepada semua peserta sinode.

Menurut kisah yang dikumpulkan oleh Edward Pentin, salinan-salinan buku itu dikirimkan kepada masing-masing peserta sinode, di aula sinode, dalam amplop-amplop yang ditujukan dengan nama pribadi, pada hari pertama sinode, Senin 6 Oktober. Buku-buku itu dikirim ke kantor pos Vatikan pada hari Kamis atau Jumat minggu itu. Setibanya di kantor pos, buku-kubu itu dibawa ke kantor sekretariat sinode. Di sinilah salah satu amplop dikatakan telah dibuka, buku itu diidentifikasi, dan Cardinal Baldisseri diberi tahu hal ini. Untuk alasan yang tidak jelas, prosedur yang benar dari pengiriman buku tidak diikuti di kantor pos Vatikan dan amplop tidak dicap oleh mereka.

Pentin menulis:

“Menurut berbagai sumber, kardinal Baldisseri merasa 'geram' demi mengetahui bahwa buku itu dikirim kepada para peserta sinode ... Sumber kedua di sekretariat mengatakan bahwa 'diskusi' kemudian terjadi di antara staf tentang apa yang harus dilakukan dengan buku-buku itu. Kardinal Baldisseri, katanya, 'memblokir’ semua buku yang dikirim ke sinode."

Sumber yang sama memberi tahu Pentin bahwa Kardinal Baldisseri menginginkan pengiriman buku-buku itu diblokir tetapi kepala kantor pos Vatikan mengatakan bahwa tindakan itu adalah ilegal. Karena itu dia meminta buku-buku itu dikirim kembali ke kantor pos untuk distempel dengan benar dan kemudian menunda pengiriman selama mungkin. Hanya pada hari Rabu minggu kedua, ketika sinode hampir ditutup, dan hampir seminggu setelah buku itu dikirim, akhirnya buku-buku itu dikirim ke kotak surat para peserta sinode. Buku-buku itu dibiarkan selama beberapa hari untuk memenuhi persyaratan hukum dan kemudian dimusnahkan. Karena itu, kebanyakan para peserta sinode merasa tidak pernah menerima salinan buku ini, buku yang isinya membela dan mempertahankan doktrin Gereja yang abadi.

Memang insiden ini cukup mengganggu, tetapi itu tidak sebanding dengan tantangan yang dihadapkan kepada doktrin Katolik tradisional melalui penerbitan Instrumentum Laboris, dokumen kerja Sinode Biasa, pada Juni 2015. Dalam dokumen ini Relasio Synodi dari Sinode Luar Biasa dilengkapi dengan komentar lanjutan yang lebih luas, yang mengembangkan tema-tema yang ada dalam dokumen sebelumnya, serta menangani beberapa subyek yang sebelumnya tidak dipertimbangkan.

Dokumen tersebut berisi paragraf 52, 53 dan 55 dari Relatio Synodi, meskipun saat sebelumnya telah ditolak oleh sinode pertama. Namun, masalah dengan Instrumentum Laboris yang ini jauh melampaui masalah yang satu ini. Para kritikus berpendapat bahwa dokumen tersebut:

-          merusak ajaran Gereja tentang kejahatan intrinsik dalam pengendalian kelahiran buatan dengan mengusulkan sebuah pemahaman yang salah tentang hubungan antara hati nurani dan hukum moral (paragraf 137)

-          memperkenalkan ambiguitas ke dalam ajaran Gereja tentang metode reproduksi buatan, seperti IVF, dengan membahas “fenomena” tanpa memberikan penilaian apa pun tentang moralitas metode tersebut atau membuat referensi apa pun pada pengajaran sebelumnya dari Donum Vitae dan Dignitatis Personae, atau perhatian kepada hilangnya nyawa manusia yang dihasilkan dari penggunaannya (paragraf 34)

-          mengurangi ketidakterceraikannya pernikahan menjadi sebuah pemahaman yang "ideal" menurut manusia  (paragraf 42)

-          menyarankan bahwa kumpul kebo bisa saja memiliki "aspek positif" dan, sampai batas tertentu, dapat dianggap sebagai bentuk ‘perkawinan’ yang sah (paragraf 57, 61, 63, 99, 102)

-          mempersiapkan jalan untuk diterimanya relasi homosex dengan mengakui perlunya mendefinisikan “karakter khusus dari relasi tersebut dalam masyarakat” (paragraf 8)

-          menolak hak penuh dari orang tua dalam pendidikan seks bagi anak-anak mereka (paragraf 86)


Koalisi pro-kehidupan, Voice of the Family, menyimpulkan bahwa: “Instrumentum Laboris 2015, yang sama dengan Relatio Post Disceptationem dan Relatio Synodi dari Sinode Luar Biasa 2014, sedang mengancam seluruh struktur ajaran Katolik tentang pernikahan, keluarga dan seksualitas manusia.”

Susunan komite yang akan menyusun laporan akhir sinode mengkonfirmasi ketakutan semacam itu. Jelas bahwa setidaknya ada tujuh dari sepuluh penyusun yang ditunjuk oleh Paus Francis adalah orang-orang yang memiliki pandangan progresif, liberal, modern. Selain Kardinal Baldisseri dan Uskup Agung Bruno Forte, disitu juga ada: Kardinal Wuerl dari Washington, Kardinal Dew dari Wellington, Uskup Agung Victor Manuel Fernandez dari Argentina, Uskup Marcello Semeraro dari Albano, dan Jenderal Yesuit, Pastor Adolfo Nicolás.

Paus Francis juga nampak menggunakan kekuatannya secara luas untuk membuat perintah khusus pada sinode untuk memberikan hak suara kepada para uskup yang terkenal liberal meskipun mereka tidak hadir dalam sinode. Terlepas dari Walter Kasper sendiri, mungkin pilihannya yang paling terkenal adalah Godfried Cardinal Danneels, seorang tokoh terkemuka dalam grup mafia St. Gallen. Catatan Danneels dalam kasus menutup-nutupi seorang uskup yang mencabuli anak-anak dan mendukung legalisasi aborsi dan relasi homoseksual, telah dijelaskan di atas. Penunjukkan oleh paus yang kontroversial lainnya termasuk kepada Cardinal Dew, Cardinal Cupich dari Chicago, yang secara terbuka mereka mendukung pemberian sakramen-sakramen kepada para pezinah yang tidak bertobat dan mempraktikkan homoseksual, dan juga kepada Walter Kasper sendiri.

Ketika pembukaan sinode (2015) akan segera terjadi, Kardinal Robert Sarah menyuarakan kecemasan dari banyak umat gereja yang terkemuka:

“Sementara tanggal dari Majelis Umum Biasa XIV dari Sinode para Uskup yang didedikasikan untuk “Panggilan dan Misi Keluarga di dalam Gereja dan Dunia Kontemporer,” semakin dekat, Gereja-gereja tertentu, fakultas-fakultas teologis, dan kelompok dan asosiasi keluarga mengintensifkan persiapan mereka untuk menghadapi acara gerejawi utama ini. Pada saat yang sama, ada perasaan bahwa para pembuat opini, kelompok penekan, dan lobi-lobi muncul kedepan. Kami juga melihat strategi komunikasi telah diimplementasikan; nampak bahwa cara-cara baru bagi majelis sinode sedang diperiksa ulang untuk memberikan suara pada beberapa garis pemikiran tertentu, sementara berusaha membuat yang lain tidak terdengar, atau jika mungkin, untuk membungkam mereka sepenuhnya. Semuanya menuntun kita untuk percaya bahwa majelis sinode berikutnya nanti, bagi banyak orang, adalah sebuah sinode dengan taruhan yang tinggi. Masa depan keluarga memang dipertaruhkan bagi umat manusia saat ini.”

Benar saja, dua hari sebelum sinode dibuka diumumkan bahwa Sekretariat Sinode telah "merancang metode baru" untuk melakukan diskusi. Para peserta sinode akan menghabiskan lebih banyak waktu dalam kelompok-kelompok kecil diskusi berbasis bahasa hingga mereka memiliki relatif sedikit waktu dalam sesi-sesi pleno yang besar. Tidak akan ada Relatio Post Disceptationem, yang berarti bahwa, tidak seperti tahun sebelumnya ketika laporan sementara (laporan pertengahan sinode) mengungkapkan agenda yang dibicarakan dan memicu berbagai perlawanan, namun kali ini para peserta sinode tidak akan menerima indikasi isi laporan akhir hingga hari terakhir dari Sinode.


Paus Francis Tidak Senang

Dalam konteks inilah tiga belas kardinal menulis surat kepada Paus Francis yang mengutarakan keprihatinan utama mereka.

Di antara para kardinal ini adalah Carlo Caffarra, Uskup Agung Bologna; Thomas Collins, Uskup Agung Toronto; Timothy Dolan, Uskup Agung New York; Willem Eijk, Uskup Agung Utrecht; Gerhard Ludwig Müller, prefek Kongregasi Doktrin Iman; Wilfrid Fox Napier, Uskup Agung Durban; George Pell, prefek Sekretariat Ekonomi; Robert Sarah, prefek Kongregasi untuk Ibadah Ilahi dan Disiplin Sakramen; Angelo Scola, Uskup Agung Milan dan Jorge L. Urosa Savino, Uskup Agung Caracas.

Teks dari surat itu, seperti diungkapkan oleh jurnalis Italia, Sandro Magister, pada 12 Oktober 2015, meminta Paus Francis untuk "mempertimbangkan sejumlah keprihatinan yang telah kami dengar dari para peserta sinode yang lain, dan yang juga kami rasakan." Di antara kekhawatiran ini adalah:

-          Instrumentum Laboris, yang “menjamin prosedur baru untuk menuntun jalannya sinode… memiliki pengaruh yang berlebihan ", memiliki "berbagai bagian yang bermasalah" dan karenanya ia tidak dapat "berfungsi sebagai teks panduan atau fondasi bagi dokumen akhir.”

-          "prosedur-prosedur baru bagi sinode" akan "dianggap di berbagai bagian sebagai kurangnya keterbukaan dan kolegialitas yang sejati.” Di masa lalu, proses penyampaian usulan dan pemungutan suara bagi mereka menjadi tujuan yang berharga guna mengetahui isi pikiran para peserta sinode.

-          Tidak adanya usulan dan diskusi yang terkait serta tidak adanya pemilihan suara, tampaknya menghambat debat terbuka dan membatasi diskusi pada kelompok-kelompok kecil; oleh karena itu terasa sangat mendesak bagi kita agar penyusunan usulan untuk bisa dipilih oleh seluruh peserta sinode harus dikembalikan lagi. Melakukan voting atas sebuah dokumen akhir akan terlambat karena harus dilakukan peninjauan secara penuh dan penyesuaian yang serius dari teks dokumen.”

-          “kurangnya masukan oleh para peserta sinode dalam komposisi komite perancang, telah menciptakan kegelisahan yang cukup besar. Para anggota telah ditunjuk, bukan dipilih, tanpa konsultasi. Demikian juga, siapa pun yang menyusun apa pun di tingkat kelompok kecil harus dipilih, bukan ditunjuk.”


Para kardinal menyimpulkan: “… semua ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa prosedur baru itu tidak sesuai dengan semangat tradisional dan tujuan sinode. Tidak jelas mengapa perubahan prosedural ini diperlukan. Sejumlah peserta merasa bahwa proses baru itu tampaknya dirancang untuk memfasilitasi hasil yang telah ditentukan sebelumnya atas pertanyaan-pertanyaan penting yang disengketakan."

Berbagai laporan mulai beredar bahwa paus Francis menjadi sangat marah di hadapan para uskup dan imam, ketika menerima surat itu di Casa Santa Marta, dan beritanya adalah bahwa paus Francis telah mengeluarkan kata-kata sangat kasar, yang pastinya, tidak pernah terdengar dari bibir kepausan selama beberapa abad sebelumnya. Il Giornale menyebutkan desas-desus bahwa paus berseru: "Jika ini masalahnya, mereka dapat segera pergi. Gereja tidak membutuhkan mereka. Saya akan mengusir mereka semua!" Laporan lain mengatakan bahwa dia berkata: "Tidakkah mereka tahu bahwa sayalah yang bertanggung jawab di sini? Sayalah yang memiliki topi-topi merah mereka."

Apa pun kebenaran dari kisah-kisah ini, tanggapan Paus Francis di Sinode Hall pada hari Selasa 6 Oktober itu menegaskan posisinya. Dalam sebuah pidato yang tidak dijadwalkan dalam sinode itu, Paus memperingatkan terhadap adanya "hermeneutik konspirasi" yang "secara sosiologis lemah dan tidak bisa membantu secara spiritual."


Memiringkan Keseimbangan

Intervensi paus Francis juga berkaitan dengan krisis lain yang muncul untuk partai “progresif”, yaitu pembelaan terus terang atas ajaran moral Katolik yang mapan oleh Kardinal Erdő, Relator Umum Sinode. Dalam laporan pembukaannya, yang disampaikan pada hari pertama majelis, Erdő menyatakan kembali ajaran Gereja di seluruh spektrum etika seksual, termasuk dengan tegas dia menolak “proposal Kasper.” Penegasan Erdö tentang ortodoksi Katolik memberikan dorongan positiv bagi banyak peserta sinode, tetapi Paus Francis segera bertindak tegas untuk merusaknya. Dalam intervensi yang tidak terjadwal keesokan paginya, Paus Francis menginstruksikan para peserta, bahwa mereka harus mempertimbangkan Sinode Biasa ini (2015) dalam kesinambungan sempurna dengan Sinode Luar Biasa 2014. Dia mengatakan kepada mereka bahwa mereka hanya mempertimbangkan tiga dokumen sebagai dokumen formal sinode; ini adalah pidato pembukaannya sendiri di Sinode Luar Biasa, Relasi Sinode Luar Biasa, dan pidato penutup sinode itu sendiri. Dia juga menekankan bahwa Instrumentum Laboris harus memandu diskusi dalam beberapa hari mendatang.

Perkataan Francis ini telah melemahkan wewenang laporan Kardinal Erdő dan memberi isyarat kepada para peserta sinode bahwa dia berharap diskusi berlanjut di sepanjang garis yang ditetapkan oleh Relatio Synodi yang menyimpang itu, bukan oleh arahan dari Kardinal Erdő. Paus juga memperjelas bahwa pertanyaan tentang penerimaan Komuni Kudus oleh "orang yang bercerai dan menikah lagi" ada dalam agenda untuk dipertimbangkan sinode. Isi dari intervensi paus ini diulang-ulang beberapa kali oleh Pastor Lombardi dan pembicara lain pada konferensi pers. Tindakan Paus Francis ini tampaknya diarahkan untuk melemahkan upaya Kardinal Erdő yang mau mengarahkan kembali Sinode Biasa ke arah penegasan dan pembelaan terhadap doktrin Katolik yang sejati.

Dalam banyak hal penting Sinode Biasa ini mengikuti jalan yang serupa dengan sinode sebelumnya. Kantor pers Vatikan sekali lagi tampaknya memanipulasi narasi. Pastor Rosica ingin melaporkan suatu intervensi di mana dikatakan bahwa “dalam pelayanan pastoral terhadap umat, maka kita haruslah memakai aturan Bergoglio sebagai bahasa kita, dan selalu mempertimbangkan kemungkinan dan solusi pastoral dan kanonik.” Dia juga membuat referensi yang menyerukan adanya "katekese baru untuk pernikahan", "bahasa baru untuk berbicara kepada orang-orang di zaman kita", "pendekatan pastoral baru untuk mereka yang telah hidup bersama sebelum menikah" dan “pendekatan baru terhadap homoseksualitas.”

Salah satu intervensi yang disampaikan oleh Rosica adalah saran bahwa pertanyaan mengenai Komuni Kudus untuk orang yang bercerai dan menikah lagi, dapat diselesaikan dengan cara yang berbeda di berbagai belahan dunia yang berbeda. Hal ini akan menuntun umat kepada praktik-praktik yang berbeda, dan secara implisit kepada doktrin yang berbeda-beda, di berbagai bagian Gereja. Seruan untuk "desentralisasi" seperti itu adalah bagian dari strategi keseluruhan yang diadopsi oleh partai "progresif" (liberal) dalam kepausan Francis.

Dalam sebuah pidato pada 17 Oktober 2015, pada setengah dari perjalanan sinode, Paus Francis menyatakan bahwa dia “merasa perlu untuk meluaskan kekuatan ‘desentralisasi' yang sehat kepada “Konferensi-Konferensi Episkopal” (keuskupan lokal). "Kita harus merenungkan untuk merealisasikan lebih banyak lagi melalui badan-badan ini," katanya, karena "harapan Konsili agar badan-badan semacam itu akan membantu meningkatkan semangat kolegialitas keuskupan, belum sepenuhnya terwujud."

Tuntutan untuk pelimpahan kekuasaan, termasuk "otoritas doktrinal sejati", diulangi oleh beberapa peserta sinode. Abbot Jeremias Schroder, yang menghadiri sinode itu sebagai perwakilan dari Union of Superior General, mengatakan bahwa keduanya, “penerimaan sosial terhadap homoseksualitas” dan cara berurusan dengan “orang-orang yang bercerai dan menikah lagi” adalah contoh-contoh “di mana konferensi-konferensi para uskup lokal seharusnya diizinkan oleh Bergoglio untuk merumuskan tanggapan pastoral yang selaras dengan apa yang dapat dikhotbahkan dan diumumkan serta hidup dalam konteks yang berbeda.”

Abbot menuduh bahwa delegasi semacam itu didukung oleh mayoritas peserta sinode. “Ini telah muncul berkali-kali, banyak intervensi dalam aula telah mengembangkan topik bahwa harus ada delegasi dan otorisasi untuk menangani isu-isu itu setidaknya secara pastoral dengan cara yang berbeda sesuai dengan budaya setempat…. Saya pikir saya pernah mendengar sesuatu seperti itu setidaknya dua puluh kali dalam intervensi peserta sinode, dan hanya sekitar dua atau tiga orang yang menentangnya, dengan menegaskan bahwa persatuan gereja perlu dipertahankan juga dalam semua hal dan bahwa akan cukup menyakitkan untuk mengikuti delegasi otoritas seperti itu."

Sebenarnya ada pertentangan yang cukup besar dari para peserta sinode konservatif, sebagaimana intervensi yang diterbitkan oleh para uskup seperti Uskup Agung Gadecki dari Poznan, Uskup Agung Tomas Peta dari Kazakhstan, dan Uskup Agung Utama Kiev, Sviatoslav Shevchuk membuktikan. Namun perlawanan dari para kardinal dan uskup semacam itu tidak mampu mencegah persetujuan dari banyak paragraf yang tampaknya merusak, atau bahkan secara langsung bertentangan dengan ajaran Katolik sebelumnya. Yang sangat penting dalam hal ini adalah paragraf 85 dari Relatio yang mengangkat pertanyaan tentang “integrasi” umat Katolik yang bercerai dan menikah kembali yang tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas dosa mereka. Paragraf ini direferensikan dan dimasukkan dalam anjuran Apostolik Amoris Laetitia. Dalam paragraf 305, dan catatan kaki yang menyertainya (n. 351), Paus Francis menunjukkan bahwa, dalam kasus-kasus tertentu, mereka yang hidup dalam “keadaan dosa obyektif” dapat menerima sakramen Tobat dan Komuni Kudus tanpa keharusan untuk memperbaiki kehidupannya, ketika dinilai bahwa mereka secara subyektif tidak bisa disalahkan atas dosa berat yang dilakukannya. Hal ini adalah merupakan penyimpangan sepenuhnya dari ajaran Gereja yang telah mapan bahwa mereka yang secara objektif bersalah atas dosa berat harus ditolak untuk menerima sakramen-sakramen, meskipun ada faktor-faktor yang dapat mengurangi kesalahan mereka. Sehubungan dengan orang yang bercerai dan menikah lagi, Paus Yohanes Paulus II mengajarkan: “Mereka tidak dapat menerima sakramen-sakramen karena kenyataan bahwa keadaan dan kondisi hidup mereka secara objektif adalah bertentangan dengan persatuan kasih antara Kristus dan Gereja yang ditandai dan ditegaskan oleh Ekaristi." Oleh karena itu ada benturan antara pengajaran paragraf 305 Amoris Laetitia dan paragraf 84 Familiaris Consortio.

Agar disetujui, setiap paragraf, menurut aturan sinode, membutuhkan dukungan mayoritas dua pertiga, dalam hal ini 177 suara. Paragraf 85 menerima dukungan 178 suara. Semua orang dapat melihat dalam kasus itu, bahwa jika Paus Francis tidak menambahkan ke sinode itu, sebagai penunjukan kepausannya sendiri yang khusus, kepada banyak orang - termasuk Kardinal Kasper sendiri - yang dikenal mendukung orang-orang berdosa yang tidak bertobat, untuk menerima sakramen-sakramen, maka paragraf 85 itu tidak akan disetujui. Fakta ini sendiri telah menunjukkan dengan jelas bahwa sinode-sinode tentang keluarga itu telah dicurangi oleh paus Francis sendiri. Juga ada cukup bukti manipulasi sistematis sepanjang keseluruhan proses sinodal yang membenarkan pernyataan yang dibuat oleh Uskup Athanasius Schneider: manipulasi sinode “akan tetap terjadi untuk generasi-generasi mendatang, dan bagi para sejarawan itu adalah sebuah bintik hitam yang telah menodai kehormatan Tahta Suci."


4.2. APA YANG SEDANG DIAJARKAN OLEH PAUS FRANCIS?

Amoris Laetitia Dan Dubia Para Kardinal

Paus Francis menindaklanjuti Sinode tentang Keluarga dengan menerbitkan pada bulan Maret 2016 nasihat Apostolik Amoris Laetitia, yang dimaksudkan untuk menyampaikan pengajaran Sinode. Pada lebih dari dua ratus halaman, nasihat itu sulit diringkas, tetapi bagian yang paling kontroversial adalah terutama ditemukan dalam bab 8.

Khususnya paragraf 305, bersama dengan catatan kaki 351, kini telah ditafsirkan oleh berbagai uskup sebagai anjuran, yang secara langsung memungkinkan pemberian Komuni bagi umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi secara sipil: “Karena adanya berbagai macam alasan dan faktor yang menghalangi, memang dimungkinkan bahwa ada orang yang berada dalam keadaan berdosa secara obyektiv, yang mungkin tidak bisa disalahkan secara subyektif, atau sepenuhnya salah seperti itu, namun orang tersebut bisa hidup dalam keadaan rahmat Allah, dapat mengasihi dan juga dapat tumbuh dalam kehidupan rahmat dan kemurahan hati, sambil menerima bantuan Gereja bagi masalah yang dihadapinya.” Dan catatan kaki 351 itu diikuti oleh kalimat berikut : “Dalam kasus-kasus tertentu bantuan Gereja dapat mencakup juga bantuan pemberian sakramen-sakramen.”

Meskipun kontroversi muncul atas penafsiran yang benar dari paragraf itu, atau seperti yang dimaksudkan dari petikan-petikan ini, dimana ada banyak uskup bersikeras bahwa tidak mungkin bagi dokumen kepausan untuk bertentangan dengan pengajaran sebelumnya, tetapi para uskup Buenos Aires mengeluarkan pedoman mereka sendiri pada bulan September 2016. Mereka mengatakan bahwa “…para imam dapat menyarankan sebuah keputusan untuk hidup dengan berpantang (dalam hal sexual),” tetapi mereka juga mengatakan bahwa “jika para pasangan gagal dalam melakukan saran ini,” setelah mengikuti “suatu proses pemahaman,” maka Amoris Laetitia “menawarkan kemungkinan untuk bisa menerima Sakramen Rekonsiliasi,” tanpa niatan untuk ikut campur dalam hal relasi suami-istri.

Sementara kontroversi atas interpretasi Amoris Laetitia berlanjut, Francis tetap bersikap diam dan belum juga mau mengoreksi para uskup, seperti Chaput dari Philadelphia dan Stanisław Gądecki dari Poznan, yang tetap mengambil sikap konservatif. Tetapi dukungan dari Paus telah dikirimkan kepada para uskup Buenos Aires dan Malta dalam bentuk surat pernyataan terima kasih kepada mereka atas interpretasi liberal mereka. Francis menulis kepada mantan rekannya di Argentina dan berterima kasih kepada mereka atas pedoman yang "sangat bagus" mereka, yang "sepenuhnya mampu menangkap makna dari bab VIII 'Amoris Laetitia'." Untuk menegaskan sikapnya, bahkan paus menambahkan, "Tidak ada interpretasi lain." Surat yang serupa juga dikirim ke Malta melalui wakil Paus, Sekretaris Jenderal Sinode para Uskup, Kardinal Lorenzo Baldisseri.

Mengingat interpretasi yang berbeda atas paragraf yang sama, dan subjektivitas yang tinggi yang diperkenalkan Amoris Laetitia kepada ajaran moral Katolik, maka sejumlah kardinal menulis surat yang dialamatkan kepada Paus untuk meminta klarifikasi atas dokumen itu. Para penandatangan surat itu, yang kemudian berjumlah sampai enam orang, meskipun hanya empat nama yang diumumkan - Kardinal Brandmüller, Burke, Caffarra dan Meisner - tetapi mereka dikatakan mendapat dukungan dari sekitar dua puluh atau tiga puluh tokoh Gereja lainnya. Mereka mulai dengan mengirimkan surat pribadi kepada Paus dan Kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman pada tanggal 19 September 2016 dengan permintaan yang disebutkan. Surat itu ditulis dalam bentuk lima pernyataan yang berisi keraguan, yaitu poin-poin yang disengketakan, yang disampaikan kepada Kongregasi untuk Ajaran Iman, ketika ajaran Gereja tampaknya menjadi tidak pasti. Lima dubia dapat diringkas sebagai berikut:

1. Apakah sah untuk mengijinkan kepada orang yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni Kudus?
2. Apakah ajaran Katolik masih mengajarkan bahwa ada norma moral yang absolut?
3. Apakah mereka yang hidup dengan melanggar suatu perintah (Allah), misalnya, perintah untuk menolak perzinahan, bisa dianggap sebagai hidup dalam dosa objektif?
4. Apakah pernyataan berikut ini masih merupakan ajaran Katolik: “Bahwa keadaan atau niat tidak pernah bisa merubah suatu tindakan yang secara intrinsik adalah jahat, menjadi tindakan yang "secara subyektif" baik?
5. Apakah masih termasuk dalam ajaran Katolik pernyataan berikut ini: ‘hati nurani tidak dapat membenarkan adanya pengecualian terhadap norma-norma moral absolut?


Atas pertanyaan-pertanyaan ini, Kongregasi untuk Doktrin Iman telah menolak untuk menjawab, dimana sikap mereka itu bertentangan dengan praktik normal, dan jelas bahwa mereka bertindak atas perintah paus Francis. Mengingat hal ini, para penandatangan mempublikasikan surat mereka pada bulan November, sehingga membuat tantangan terhadap ajaran Amoris Laetitia menjadi terbuka. Paus tidak juga membuat jawaban eksplisit, tetapi dia dilaporkan telah mendorong orang-orang di sekitarnya untuk mendiskreditkan para ‘pembangkang’ dubia itu dengan cara tidak langsung. Sebagian besar kardinal penandatangan dipensiunkan; satu-satunya dari mereka yang masih memegang jabatan resmi adalah Kardinal Burke, yang adalah Pemimpin dari Ordo Malta, dan pengalamannya akan dijelaskan dalam Bab 5. Selain itu, efek dari instruksi tidak resmi Paus itu adalah berupa sikap marah yang mengejutkan yang telah diungkapkan oleh beberapa juru bicara atas ‘kebutaan para kardinal (dubia) terhadap keterbukaan baru pengajaran Katolik.’ Apa keterbukaan itu tepatnya, Gereja masih belum bisa merincinya, karena Francis sendiri tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Untuk menyimpulkan di mana Paus bermaksud untuk merubah ajaran Gereja, kita perlu mempelajari kebijakan yang dia lakukan di dalam tubuh Vatikan yang dirancang untuk menjaga institusi keluarga.


Perombakan Akademi Kepausan Untuk Kehidupan

Dari tahun 1978 hingga pemerintahan Benediktus XVI, mereka yang terlibat dalam membela etika Katolik tradisional menjadi terbiasa memandang Vatikan sebagai benteng dukungan bagi perjuangan mereka, khususnya dalam perang melawan aborsi. Kombinasi John Paul II, "paus pro-kehidupan", dan Kardinal Ratzinger yang mendukungnya di Kongregasi untuk Ajaran Iman, memberi Vatikan kuasa untuk memberi keputuskan atas sejumlah pertanyaan moral yang sangat penting dalam politik. Otoritas moral Vatikan ini sangat dihormati bahkan oleh kaum konservatif non-Katolik yang mengikuti jejak Vatikan dalam masalah-masalah kompleks seperti teknologi baru di bidang reproduksi, kloning, dan penelitian stem-cell (sel induk). Meskipun CDF memainkan peran penting dalam mengembangkan posisi pro-kehidupan, salah satu organ utama pemikiran Katolik tentang masalah ini adalah badan yang didirikan pada tahun 1994, ‘the Pontifical Academy for Life’ (Akademi Kepausan untuk Kehidupan), yang didedikasikan untuk mempelajari “masalah utama bio-medis dan hukum, relatif terhadap promosi dan pembela kehidupan, terutama dalam hubungan langsung yang mereka miliki dengan moralitas Kristiani dan arahan Magisterium Gereja."

Didirikan oleh John Paul II dan dokter pro-kehidupan terkenal dan ahli genetika, Jérôme Lejeune, the Pontificial Academia Pro Vita (PAV) mempromosikan beberapa pemikiran Katolik yang paling penting di Eropa, termasuk para filsuf Michel Schooyans dan Joseph Seifert serta ahli bio-etika Elio Sgreccia. Tidak semua anggotanya dikenal luas, tetapi semua anggota pro-kehidupan diharuskan untuk mengambil “sumpah sebagai Hamba Kehidupan,” yang mengikat mereka untuk menegakkan ajaran Katolik tentang kesucian kehidupan manusia dalam semua tahapannya.

Bahkan sebelum pengunduran diri Paus Benediktus, keretakan mulai terlihat di PAV. Tanda-tanda perubahan dimulai pada 2008 dengan penunjukan sebagai presidennya, Uskup Agung Rino Fisichella, seorang pejabat karir Vatikan yang karirnya naik karena keterikatan yang lemah pada ajaran Katolik tradisionil tentang masalah-masalah kehidupan. Pada 2009, Fisichella mengkritik seorang uskup Brasil karena secara terbuka menegaskan ekskomunikasi terhadap para dokter yang melakukan aborsi terhadap bayi kembar yang dikandung oleh seorang korban perkosaan yang berusia sembilan tahun. Menurut hukum Gereja, aborsi adalah salah satu dari "graviora delicta," pelanggaran yang amat serius sehingga pelakunya bisa di-exkom secara otomatis, tanpa perlu deklarasi resmi. Uskup agung Fisichella menulis, bagaimanapun, bahwa tindakan para dokter itu bisa dibenarkan karena, menurut dia, mereka bertindak demi menyelamatkan hidup gadis itu.

Uskup yang lain, Uskup Cardoso Sobrinho dari Recife, kemudian mengklarifikasi bahwa anak itu dan keluarganya berada di bawah perawatan dokter yang siap untuk menyelamatkan nyawa si kembar melalui operasi caesar tanpa membahayakan hidup gadis itu, tetapi dia dipaksa, melalui menghilangnya gadis itu secara diam-diam, untuk mengeluarkan peringatan publik tentang konsekuensi kanonik dari aborsi. Insiden itu menjadi terkenal di Brasil dan uskup harus berjuang dalam pertempuran melawan pers sekuler dan pendukung aborsi. Pernyataan Fisichella, oleh karena itu, dianggap sebagai tanda bahwa Vatikan bersikap melawan uskupnya dan ajarannya sendiri, dan ketika Fisichella menjadi tersudut dan menyerang para pengritiknya, maka kesan sikap Vatikan ini semakin diperkuat.

Artikel itu segera menyebabkan kegemparan di kalangan pers sekuler, yang memuji hal itu sebagai sinyal bahwa Gereja Katolik akan segera mengubah ketidaktaatannya. Tetapi para anggota PAV harus memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap seorang presidennya yang secara terbuka menyetujui aborsi. Lima anggota merespons di depan umum terhadap artikel itu, tetapi, seperti yang sering terjadi di Vatikan modern, karier Fisichella didorong naik oleh skandal itu. Setelah dua tahun pertempuran sengit antara anggota pro-kehidupan dan Fisichella, dia dipindahkan pada 2010 tetapi ditempatkan pada posisinya saat ini sebagai kepala Dewan Kepausan untuk Evangelisasi Baru - sebuah postingan yang, di bawah Francis, sulit untuk tidak dilihat sebagai hadiah besar, yang melibatkan profil publik yang tinggi dan hubungan yang lebih dekat dengan Paus.

Pada tahun-tahun berikutnya, PAV terus menimbulkan keprihatinan bagi para pendukung pro-kehidupan tentang berbagai topik, termasuk dukungannya terhadap pendidikan seks eksplisit untuk anak-anak, yang dikembangkan oleh Dewan Kepausan untuk Keluarga dan dirilis selama Hari Pemuda Sedunia di Polandia. Pada 2012 Joseph Seifert menulis surat terbuka atas penggantian Fisichella oleh Mgr. Ignacio Carrasco de Paula, memperingatkan bahwa PAV berada dalam bahaya mengkhianati tujuan pendiriannya setelah Majelis Umum ke-18 organisasi tampaknya mendukung pembuahan in vitro (bayi tabung), sebuah proses yang dikutuk oleh dokumen CDF Donum Vitae (1987) dan Dignitas Personae (2008).

Aktivis pro-kehidupan Amerika, Judie Brown dari American Life League, adalah salah satu anggota PAV awal yang telah menentang pengesahan aborsi oleh Fisichella. Dia berkomentar pada Februari 2017 bahwa Paus Francis telah "meruntuhkan" PAV dengan aturannya yang baru dasar dan pengangkatan anggota baru. Judie Brown mengatakan bahwa itu adalah "salah satu peristiwa paling memilukan yang pernah saya saksikan dalam hidup saya. Tetapi mengingat politik Vatikan saat ini, maka hal itu tidaklah mengejutkan.”

“Apakah itu (kasus Recife) merupakan awal dari sebuah akhir? Beberapa kejadian berikutnya, termasuk oleh presiden Akademi saat ini, Uskup Agung Vincenzo Paglia, dalam mendukung pendidikan seks versi Vatikan, bukanlah menjadi pertanda yang baik bagi Akademi dan masa depannya,” demikian kata Judie Brown.


Francis Menyapu Bersih; Ketetapan Baru, Anggota Baru Dan Arahan Baru Oleh Amoris Laetitia

Dalam dua tahun pertama masa kepausannya, paus Francis memberi petunjuk kepada para pendukung pro-kehidupan tentang pemikirannya, meskipun selalu ditulis dalam istilah yang sangat ambigu. Pada bulan Juli 2013, di pesawat yang terbang kembali ke Roma setelah mengikuti acara Hari Pemuda Sedunia di Rio de Janeiro, sebagai jawaban atas pertanyaan tentang kehadiran Battista Ricca yang terkenal buruk di dalam lingkungannya, Francis menjawab dengan yang terkenal saat ini, “Who am I to judge?” New York Times mencatat, menyebutnya "revolusioner," dimana untuk pertama kalinya seorang paus menggunakan istilah sehari-hari "gay" untuk menggambarkan seorang homoseksual. NYT berkomentar: "Kata-kata Francis sangat berbeda dari kata-kata Benedict XVI, yang pada 2005 menulis bahwa ... pria dengan 'kecenderungan homoseksual yang dalam' tidak seharusnya menjadi imam." Sebagai ucapan terima kasih atas komentarnya, Paus Francis segera diangkat oleh majalah Advocate menjadi pahlawan lobi politik homoseksual; Majalah itu menampilkan wajahnya di sampul mereka dan menyatakannya "orang terbaik tahun ini." September berikutnya, paus Francis mendorong para pendukung pro-kehidupan ke dalam kerusakan ketika dia mengatakan bahwa dunia Katolik tidak boleh "khawatir" dengan aborsi, "perkawinan gay" dan kontrasepsi. Dalam wawancara panjang dengan Antonio Spadaro di La Civiltà Cattolica, Francis mengatakan, “Tidak perlu membicarakan masalah ini terus menerus. Ajaran dogmatis dan moral gereja tidak semuanya setara. Pelayanan pastoral gereja tidak boleh merasa terganggu dengan aliran dari banyak doktrin yang tidak saling behubungan satu dengan yang lain, untuk bisa menerimanya."

Pada Oktober 2016, setahun setelah Sinode kedua tentang Keluarga dan di tengah kehebohan berkembang atas dubia, Paus Francis mengarahkan kembali akademi (Pontificia Academia Pro Vita / PAV) pada jalur yang baru, dimana dia menyetujui undang-undang baru, dan  memberhentikan semua anggotanya dan melembagakan aturan selama lima tahun ke depan bagi semua orang. Aturan-aturan baru ini juga menghapuskan sumpah kesetiaan Lejeune terhadap ajaran Katolik, hingga memungkinkan orang non-Katolik untuk diangkat oleh Bergoglio dan tidak mengharuskan kepatuhan mereka terhadap ajaran Katolik.

Christine Vollmer, Venezuela, pendiri perlindungan bagi wanita, dan merupakan anggota pendiri yang diberhentikan Francis dari keanggotaannya pada organisasi itu, berkomentar tentang perubahan yang dilakukan Bergoglio: “Awalnya kita masing-masing harus membuat sumpah di depan Nuncio di negara kita bahwa kita akan menjadi pelayan Kehidupan dan menjunjung tinggi ajaran tentang kehidupan yang diberikan oleh Magisterium. Kami belum melihat adanya 'komitmen' baru disitu, tetapi kata-kata dari undang-undang baru itu terdengar lebih lunak dan longgar, dan karenanya, Akademi (PAV) sekarang terbuka untuk orang-orang dari agama apa pun atau tidak beragama sama sekali, hingga patut diragukan apakah mereka akan berkomitmen serius kepada Humanae Vitae!

Vollmer memperingatkan bahwa sejak kematian Dr. Lejeune, PAV telah menjadi "semakin diarahkan menuju 'sains keras' bukannya 'sains pro-kehidupan.'" Akademi, katanya, “didirikan dengan sebuah daftar para spesialis campuran yang termasuk pengacara, dokter, jurnalis, pemimpin pro-kehidupan, psikiater, aktivis keluarga, pastor, guru, dan sebagainya; niat para pendiri adalah untuk dapat untuk mempelajari dan menganalisis penyebab dari kecenderungan anti-kehidupan dan menemukan cara untuk menangkalnya.”

Memang, undang-undang baru itu melibatkan bahasa yang sebelumnya tidak pernah terlihat dari dikasteri Vatikan. Akademi yang berusaha membela kehidupan, katanya, haruslah termasuk upaya “promosi kualitas hidup manusia dengan mengintegrasikan nilai material dan spiritualnya dengan pandangan kepada 'ekologi manusia' yang otentik yang membantu memulihkan keseimbangan awali antara manusia dan seluruh alam semesta.” Penulis, bagaimanapun, tidak akan menawarkan definisi apa pun yang memberikan penjelasan atas hal-hal yang muluk ini.

Francis menindaklanjuti hal ini pada Juni 2017 dengan menunjuk empat puluh lima anggota penuh yang baru, di antaranya hanya tiga belas orang yang benar-benar baru. Mungkin yang paling terkenal dari kalangan non-Katolik adalah pemenang Nobel Jepang dalam bidang kedokteran, Shinya Yamanaka, pengembang metode kontroversial kloning sel induk "mirip embrio." Pilihan lainnya dari Francis adalah seorang Anglican, Nigel Biggar. Penunjukannya menyebabkan kemarahan ketika The Catholic Herald mengungkapkan bahwa Biggar mengatakan kepada filsuf Peter Singer, bahwa batas usia kehamilan 18 minggu dapat diijinkan untuk diaborsi secara legal karena janin tidak memiliki status moral yang sama dengan manusia dewasa.

The Herald mengutip perkataan Biggar:

“Tidak jelas bahwa janin manusia adalah jenis yang sama dengan orang dewasa atau manusia dewasa, dan apakah ia layak mendapatkan perlakuan yang sama. Hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan di mana kami menggambar sebuah garis, dan tidak ada alasan yang benar-benar meyakinkan untuk bisa menggambar lagi sebuah garis baru tepat pada garis sebelumnya."

Mengingat hal ini, penentangan Biggar terhadap eutanasia yang dilegalisasi - dengan alasan bahwa hal itu akan menciptakan "masyarakat yang secara libertarian radikal dengan mengorbankan masyarakat yang secara sosial manusiawi," - tampaknya ini adalah sebuah kualifikasi yang lemah untuk menerima keanggotaan dalam akademi kepausan yang awalnya didedikasikan untuk Ajaran Gereja tentang kesucian hidup manusia.

Tiga belas anggota dikonfirmasi dari daftar sebelumnya, tetapi mereka terutama tidak memasukkan daftar tokoh akademis dan pembela ajaran moral Katolik yang sudah lama berdiri, banyak dari mereka yang berada dekat dengan Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus, yang telah bekerja di dalam akademi itu sejak dari awal pendiriannya. Mereka ini termasuk filsuf Belgia Michel Schooyans, Joseph Seifert dari Austria, Robert Spaemann dari Jerman dan orang Inggris, Luke Gormally, yang semuanya memimpin suara-suara yang menentang Fisichella, dan kemudian mereka menjadi kritikus vokal atas kedua sinode keluarga dan Amoris Laetitia. Yang juga ditolak adalah filsuf Australia, John Finnis, dan ahli bio-etika Amerika-Prancis terkenal, Germain Grisez, yang ikut menulis "surat terbuka" kepada Paus Francis yang sangat kritis terhadap Amoris Laetitia. Penolakan lainnya adalah terhadap sekelompok psikolog Eropa tengah yang merupakan penentang utama "ideologi gender," Andrzej Szostek (Polandia), Mieczyslaw Grzegocki (Ukraina), dan Jaroslav Sturma (Republik Ceko). Francis tampaknya memperluas upaya ‘pembersihannya’ termasuk menyingkirkan ‘orang-orang awam yang menyusahkan’ yang menentang rencana-rencananya.


Institut John Paul untuk Studi Atas Pernikahan dan Keluarga; dipisahkan dari Sinode, dan kemudian dibersihkan

Pada periode menjelang Sinode 2014, panitia merilis informasi tentang siapa-siapa yang diundang dan yang tidak diundang untuk hadir dan memberikan masukan dalam sinode. Di antara ‘penyingkiran’ yang paling menonjol adalah terhadap para perwakilan dari Institut Studi untuk Pernikahan dan Keluarga John Paul II. Lembaga ini didirikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1982 setelah sinode 1980 tentang keluarga, dan pewartaan atas nasihat apostoliknya, Familiaris Consortio, dan terus berkembang hingga ada sepuluh afiliasi di seluruh dunia. Dokumen Yohanes Paulus II inilah, yang menegaskan kembali ketidakmungkinan bagi umat yang menikah lagi secara sipil, untuk menerima Komuni, yang akan diserang habis dalam sinode Paus Francis mendatang.

Lembaga JPII menerbitkan serangkaian makalah menjelang sinode 2014, mengulangi Ajaran klasik moral Katolik, sebagaimana disebutkan dalam Familiaris Consortio, dan hal itu jelas ditujukan pada proposal Kasper (yang mengijinkan umat yang menikah lagi secara sipil untuk menerima Komuni). Salah satu makalah mereka, “Injil Keluarga: Melampaui Usulan Kardinal Kasper dalam Debat tentang Perkawinan, Pernikahan Kembali secara Sipil, dan Komuni di dalam Gereja,” dengan kata pengantar oleh Cardinal Pell dan diterbitkan secara bersamaan di Italia, Amerika Serikat, Spanyol dan Jerman. Pada konferensi pendahuluan di Roma pada awal Oktober 2014, profesor filsafat Stanislaw Grygiel, yang dekat dengan Karol Wojtyla, dan mengajar di Institut JPII, memberi petunjuk mengapa Institut ini dipinggirkan dari sinode. Dia langsung menyangkal premis dalam proposal Kasper:

“Pengampunan ‘yang penuh belas kasih,’ seperti yang diminta oleh beberapa teolog, tidak akan mampu menghentikan kekerasan hati manusia yang tidak ingat bagaimana segala sesuatu adalah terjadi ‘sejak awal.’ Asumsi Marxis, yang dengan hal itu filsafat harus mengubah dunia, bukan merenungkannya, telah membuat terobosan ke dalam pemikiran para teolog tertentu sedemikian rupa sehingga dengan hal ini, disengaja mau pun tidak, bukannya melihat manusia dan dunia dalam terang Firman yang kekal dari Allah yang hidup, tetapi melihat Firman ini dari perspektif kecenderungan sosiologis sesaat. Sebagai hasilnya mereka membenarkan tindakan 'hati yang keras' tadi sesuai dengan keadaan, dan berbicara tentang belas kasihan Tuhan seolah-olah ini adalah masalah toleransi belaka yang diwarnai dengan rasa simpati.

“Sebuah teologi yang dibentuk dengan cara ini menunjukkan pengabaian terhadap manusia. Bagi para teolog ini, manusia tidak lagi cukup dewasa untuk melihat dengan berani, dalam terang belas kasihan Ilahi, pada kebenaran tentang dirinya sendiri untuk menjadi kasih, sama seperti kebenaran ini sendiri yang berlaku ‘sejak awal’ (lht.Mat 19: 8)."

Menyusul sinode-sinode itu, pada bulan September 2016, paus Francis mengabaikan aturan-aturan Institut itu sendiri, yang menetapkan bahwa kepala institut harus menjadi vikjen Roma, dengan menunjuk Uskup Agung Paglia untuk memegang peran itu, dan sebagai presiden baru, Mgr. Pierangelo Sequeri, yang telah mengambil garis yang serupa dalam hal kontroversi Amoris Laetitia. Segera setelah ini, Paus membatalkan pidato pembukaan oleh Kardinal Robert Sarah dan menyampaikan pidato sendiri, di mana dia menegur para teolog yang menawarkan "cita-cita teologis tentang pernikahan yang terlalu abstrak dan artifisial." Edward Pentin menulis tentang penunjukan Paglia dan Sequeri yang “memberikan kekuasaan pada mereka, dan pada sebuah dimana ajaran St. Yohanes Paulus II di bidang ini tampaknya dinilai tidak tepat, hingga masuknya mereka sebagai kepala lembaga kepausan itu tidak diragukan lagi akan menjadi penyebab dari keprihatinan di antara orang-orang yang bekerja di sana dan para pendukung institut itu."

Begitulah masa depan dari pengabdian Institut kepada Familiaris Consortio diragukan. Pada Oktober 2016, Uskup Agung Denis Hart mengumumkan penutupan cabang institut itu (JPII Institute) yang ada di Melbourne, dengan alasan bahwa Institut itu memiliki terlalu sedikit siswa dengan pengeluaran keuangan yang sangat besar. Tetapi Dan Hitchens, wakil editor The Catholic Herald, mengaitkan penutupan itu dengan penentangan Institut terhadap arah yang diambil oleh sinode (2014 & 2015) dan dia melaporkan kenyataan bahwa tidak hanya pendaftaran siswa meningkat, tetapi bahwa Melbourne adalah “…salah satu keuskupan terkaya di dunia” dengan sumber daya yang mampu membeli sebuah bangunan besar pada tahun 2011 sebesar A $ 36 juta, “ini adalah uang yang cukup membuat Institut JPII bisa terus berjalan selama beberapa dekade ke depan.”

Hitchens menulis, "Ada seekor gajah di ruangan itu: Institut John Paul II memiliki banyak musuh di Australia ... Pendukung institut memandang Institut JPII sebagai "cahaya terang ortodoksi Katolik di tengah rawa modernisme pada banyak struktur pendidikan Katolik. Keterikatan Institut pada paham ortodoksi (tradisionil) telah membuatnya tidak populer.”


Kehadiran Uskup Agung Vincenzo Paglia, Merupakan ‘Pesan’ Paus Francis Untuk Dunia Pro-Life

Tidak terkenal di luar Italia, Vincenzo Paglia telah menjadi tokoh terkemuka di Gereja Italia yang ditinggalkannya selama beberapa dekade. Sementara dia sesekali berbicara untuk mendukung ajaran moral Katolik tradisional, tetapi kebiasaannya yang bersikap ambigu telah membuatnya menjadi ‘gema’ dari paus Francis. Pada bulan Agustus 2015, di bawah kepemimpinannya, Dewan Kepausan untuk Keluarga mengeluarkan sebuah buku yang mengusulkan alasan-alasan untuk mengizinkan orang-orang Katolik yang bercerai dan menikah kembali secara sipil, untuk menerima Komuni, setelah menjalani sebuah "jalan pilihan," yang pada dasarnya adalah merupakan pengulangan proposal Kardinal Kasper. Mengenai hal ini, mungkin yang menjadi subjek paling menjengkelkan di Gereja kontemporer, bahwa Paglia sendiri telah mempertahankan di depan umum sebuah ambiguitas yang telah dihafalkannya. Dia menyebut umat tradisionil “seperti orang Parisi, dengan membatasi diri kita untuk melafalkan hukum-hukum dan mengecam dosa.” Gereja, katanya, “harus seperti Bergoglio yang siap untuk menemukan jalan baru untuk diikuti.”

Pada bulan Februari 2017 Uskup Agung Paglia membangkitkan badai protes ketika dia memuji Marco Pannella, pendiri Partai Radikal Italia, dan menyebutnya sebagai “seorang pria dengan spiritualitas yang hebat.” Dia mengatakan bahwa Pannella - yang partainya telah mendorong kita untuk melegalkan perceraian, kontrasepsi, aborsi dan eutanasia, serta narkoba - telah "menghabiskan hidupnya" untuk "membela martabat semua orang, terutama mereka yang paling terpinggirkan." Paglia menyebut kehidupan Pannella sebagai "inspirasi untuk kehidupan yang lebih indah, bukan hanya untuk Italia, tetapi juga bagi dunia kita, yang membutuhkan lebih banyak orang yang dapat berbicara seperti dia ... Saya harap semangat Marco Pannella dapat membantu kita menjalani kehidupan ini ke arah yang sama." Pidato itu telah menyulut banyak tuntutan bagi pengunduran diri Paglia sebagai kepala Akademi Kepausan untuk Kehidupan dan Institut untuk Studi Pernikahan dan Keluarga JPII.

Paglia telah menjadi berita utama sejak 2012, sebagai pendukung klerus dari gerakan politik homoseksual, dengan selalu mempertahankan sikap ambiguitas yang cukup untuk memastikan tidak ada penyangkalan atas dirinya. Pada bulan Februari 2013, hanya beberapa minggu sebelum pengunduran diri Paus Benediktus, dia mengatakan kepada seorang pewawancara bahwa negara harus memberikan pengakuan hukum kepada pasangan kumpul kebo, termasuk juga homoseksual. Ini terjadi pada saat parlemen Italia sedang memperdebatkan undang-undang yang memberikan hak yang sama pada ‘perkawinan’ homoseksual yang mirip dengan pernikahan alami.

Dengan penunjukan Paglia, menjadi jelas bahwa PAV dijadwalkan untuk membersihkan dirinya dari tujuan pendiriannya dulu. Penunjukan Neil Biggar diperkirakan telah diusulkan oleh Paglia, bersama dengan Uskup Agung Canterbury, Justin Welby. Mengingat bahwa Biggar tercatat sebagai pendukung legalisasi aborsi dan menyangkal kepribadian anak yang belum lahir, hal itu menimbulkan pertanyaan tentang betapa seriusnya Francis atau Paglia berniat untuk menjalankan ajaran mereka sendiri.

Mengenai tugasnya sebagai kepala Akademi Kepausan untuk Kehidupan, Uskup Agung Paglia memberikan indikasi sikapnya dalam kasus anak Inggris yang sakit parah, Charlie Gard. Orang tua Charlie Gard telah melakukan pertempuran melalui pengadilan dan media, yang menyatakan hak mereka untuk menentukan perawatan atas putra mereka, guna melawan rumah sakit yang telah menentukan bahwa anak itu harus "diizinkan untuk mati," dan telah menolak untuk melanjutkan merawat anak itu. Paglia mengeluarkan pernyataan bahwa pada dasarnya menegaskan hak negara atas orang tua untuk menentukan perawatan terhadap anak itu, dengan mengatakan bahwa orang tua tidak boleh "dibiarkan menghadapi keputusan menyakitkan mereka sendirian." Michael Brendan Dougherty menulis dalam The National Review:

"Selain menggurui, pernyataan Vatikan merupakan distorsi yang besar bagi situasi ini. Ini menggambarkan seolah keluarga Gard bertindak bersama para dokter, tetapi tunduk pada manipulasi luar. Kenyataannya keluarga Gard menentang para dokter. Keluarga Gard tidak menghadapi keputusan-keputusan mereka.’ Keluarga Gard menghadapi pihak berwenang yang telah menimpa mereka. Uskup yang baik menulis bahwa pemikiran keluarga Gard 'harus didengar dan dihormati, tetapi mereka juga harus dibantu untuk memahami kesulitan unik dari situasi mereka.' Orang-orang yang 'membantu’ keluarga Gard untuk memahami, berbicara dalam bahasa yang lembut 'kematian secara bermartabat.' ”

Begitu hebatnya kegemparan terhadap pernyataan Paglia sehingga paus turun tangan, mungkin untuk mengantisipasi bencana media jika Gereja terlihat jelas menentang ajarannya sendiri dan keinginan orang tua yang dilanda kesedihan. Kemudian ‘pengendalian kerusakan’ datang dalam bentuk catatan yang di-posting ke akun Twitter Paus dua hari setelah pernyataan Paglia, dimana dia mengatakan, "Untuk mempertahankan kehidupan manusia, terutama ketika manusia terluka oleh penyakit, adalah tugas kasih yang dipercayakan Tuhan kepada semua orang."

Sebuah pengamatan tentang karir masa lalu Uskup Agung Paglia bisa dikembalikan pada tahun 2017 ketika Dr. Thomas Ward, presiden Asosiasi Nasional Keluarga Katolik di Inggris berkata bahwa gambar mural yang dianjurkan Paglia untuk dipajang di sebuah katedral, sebagai ‘penghujatan’ karena penggambaran tentang Kristus yang “erotis.”

Mural itu telah dilukis untuk katedral Paglia, sementara dia adalah Uskup Terni, dan dilukis oleh seorang pelukis, homoseksual, dari Argentina, Ricardo Cinalli. Mural itu menggambarkan sosok Kristus yang hampir telanjang, mengangkat dua jala yang penuh dengan sosok manusia yang bertingkah, termasuk penggambaran diri Paglia sendiri disitu. Cinalli, si pelukis, membenarkan bahwa Paglia telah menyetujui setiap tahap pekerjaannya; dia menambahkan bahwa Paglia telah menarik garis besar hanya untuk menggambarkan sosok-sosok dalam tindakan bersanggama, dan Paglia setuju "bahwa aspek erotis adalah yang paling menonjol di antara orang-orang di dalam jaring yang dipegang Yesus."


Apa arti semua itu?

Kita dibiarkan dengan pertanyaan tentang apa yang ingin diajarkan oleh paus Francis  di bidang keluarga dan moralitas seksual. Salah satu bukti adalah percakapan yang terkait dengan Uskup Agung Bruno Forte, yang ditunjuk Francis sebagai Sekretaris Khusus untuk sinode. Pada sebuah konferensi tentang Amoris Laetitia pada bulan Mei 2016, Forte mengatakan bahwa sebelum sinode, Paus mengatakan kepadanya, “Jika kita berbicara secara eksplisit tentang Komuni bagi orang yang bercerai dan menikah lagi, Anda tidak tahu kekacauan apa yang akan kita buat. Jadi kita sengaja tidak akan berbicara dengan jelas, kita melakukannya dengan sebuah cara dimana dasar-dasar pemikiran ada di situ, maka saya akan menarik kesimpulan." Soal Uskup lukisan mural Agung Paglia, Forte ini bercanda: "Ciri khas dari seorang Jesuit." Mungkin benar. Mereka yang mengenal Serikat Yesus ( Ordo Jesuit) mungkin menjawab bahwa itu bukan cara yang diajarkan oleh para teolog Jesuit besar seperti St. Robert Bellarmine di masa lalu, meskipun itu mungkin kesan yang diberikan oleh beberapa anggota ordo yang loyo di masa kemerosotan moral terjadi. Jika itu adalah untaian tradisi Yesuit yang dibawa Francis ke tahta kepausan, maka Gereja telah menuai panenan yang kurang menguntungkan.

Dalam pemerintahannya selama empat tahun, paus Francis tidak pernah mundur dengan mengumbar berbagai hukuman dan teguran, dan ciri khasnya adalah dengan menyerang sikap kekejaman dan ketidaktulusan dan mengajak kita kembali kepada semangat sejati ajaran Kristus. Tetapi ada satu ajaran yang sepertinya telah dilupakannya adalah, “Katakanlah yang baik itu baik, dan yang buruk itu buruk.” Di tengah kerasnya suara dan ambiguitas, umat beriman bertanya-tanya: apa yang ingin dia ajarkan? Kaum konservatif terkejut melihat ditinggalkannya sikap di mana John Paul II dan Benedict XVI berdiri teguh; kaum liberal juga tidak lebih bahagia dengan pengajaran Amoris Laetitia yang tidak jelas itu. Dokumen itu (Amoris Laetitia) tidak menjelaskan apakah Gereja benar-benar berniat untuk mengijinkan orang yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni, dan hal itu menyisakan berbagai pertanyaan berikutnya tentang moralitas seksual, mulai dari aborsi hingga homoseksualitas, yang harapkan oleh orang banyak untuk dapat ditangani. Dalam beberapa hal, paus Francis telah menunjukkan dirinya sebagai musuh liberalisme; dia telah berulang kali mengutuk aborsi (meskipun bukan tanpa sinyal yang membingungkan) dan dia telah berbicara keras menentang ideologi gender. Tetapi jika program pembebasannya adalah jalan yang benar bagi masa depan, tidak dapatkah kita berharap dia mewartakannya dengan kejelasan dan keberanian orang yang berbicara dalam roh Kristus?

Berbagai pertanyaan yang tidak terjawab telah disuguhkan oleh masa kepausan Francis. Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kebijakan Paus dengan badan-badan Vatikan yang dulunya adalah pengawas doktrin Gereja? Bisakah kita yakin bahwa ajaran Katolik masih mengutuk perbuatan aborsi, atau apakah ajaran itu sedang dimodifikasi oleh kaum Protestan dan agnostik yang telah dibawa masuk kedalam  Akademi Kepausan untuk Kehidupan? (Pontifical Academy for Life) Francis mengatakan kepada kita bahwa Gereja di masa lalu menjunjung tinggi "idealisme pernikahan", tetapi apakah isi dari doktrin pernikahan yang sekarang dia khotbahkan kepada kita? Apa artinya bahwa, di bawah paus Francis ini, Kongregasi untuk Ajaran Iman tidak akan menjawab pertanyaan apakah ajaran Katolik percaya pada norma-norma moral yang objektif, dan bahwa tampaknya telah dianggap sebagai pelanggaran untuk mengajukan pertanyaan? Bagaimana mungkin orang seperti uskup agung Paglia dinilai layak untuk mengepalai Institut JPII untuk Studi Pernikahan dan Keluarga dan Akademi Kepausan untuk Kehidupan? Pernahkah kita berharap, di bawah kepemimpinannya, untuk menemukan lukisan-lukisan mural homo-erotis muncul pada dinding gereja-gereja Katolik dari San Francisco hingga Manila? Jika demikian, apakah paus Francis akan mengabaikannya, dengan semboyannya yang terkenal:  “Who am I to judge?” Atau akankah dia tidak mau memberi tahu kita sama sekali? Pada tingkat yang lebih umum, apakah Francis percaya bahwa kawanannya layak mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu, atau apakah mereka hanya sebagai domba yang tidak berotak, yang akan diseret ke mana pun tuannya memilih untuk menyeret mereka?



No comments:

Post a Comment