Sunday, December 8, 2019

POPE FRANCIS: AMORIS LAETITIA ADALAH AJARAN ‘MAGISTERIUM GEREJA’




Pope Francis (center) visits Thailand.Paul Bronstein / Getty Images

by Dorothy Cummings McLean 

NEWSCATHOLIC CHURCHFAITHMARRIAGEFri Dec 6, 2019 - 7:38 pm EST

POPE FRANCIS: AMORIS LAETITIA ADALAH AJARAN ‘MAGISTERIUM GEREJA’ MENGENAI PERCERAIAN DAN MENIKAH LAGI



BANGKOK, Thailand, 6 Desember 2019 (LifeSiteNews) - Paus Francis mengatakan kepada para  Jesuit di Thailand bahwa Gereja harus bersikap pastoral kepada umat Katolik yang ‘bercerai dan menikah kembali’ yang bisa ditemukan dalam bab 8 dari nasihatnya yang kontroversial tahun 2016 Amoris Laetitia, sebuah ajaran yang telah digunakan oleh para uskup di seluruh dunia untuk memungkinkan umat Katolik yang secara objektif hidup dalam perzinaan untuk menerima Komuni Kudus.

Paus mengindikasikan bahwa ajaran seperti itu adalah "Magisterium Gereja."

Saat bertemu dengan sekelompok Yesuit Tenggara di Bangkok bulan lalu, Paus Francis mengundang pertanyaan mereka. Salah satunya mengatakan bahwa mereka memiliki umat Katolik yang ‘bercerai dan menikah kembali’ di komunitas mereka dan bertanya bagaimana mereka harus ‘berperilaku pastoral terhadap mereka.’

“Saya bisa menjawab Anda dengan dua cara: dengan cara kasuistik, yang bagaimanapun juga, bukanlah cara Kristiani, meski hal itu bisa bersifat gerejawi; atau menurut ajaran Magisterium Gereja seperti yang disebutkan dalam Amoris Laetitia bab delapan, yaitu, perjalanan, menemani dan melakukan pembedaan untuk menemukan solusi,” jawab paus. "Dan ini tidak ada hubungannya dengan etika situasi, tetapi dengan tradisi moral Gereja yang agung."

Francis tidak menjelaskan bagaimana sesuatu yang bersifat gerejawi tetapi tidak bersifat Kristiani, bahkan dia langsung berpindah ke pertanyaan tentang pengalamannya dengan Gereja di Thailand.

Kata ‘magisterium’ memiliki beberapa makna potensial, termasuk pengajaran resmi seorang paus atau uskup di dalam persekutuan dengan paus, atau doktrin yang sedang diajarkan. John Zmirak, penulis The Politically Incorrect Guide to Catholicism, mengatakan kepada LifeSiteNews bahwa kata ‘magisterium’ itu biasanya menggunakan dua cara:

"Satu, bagian yang sempurna yang mencerminkan Deposit Iman, baik tradisi suci atau yang secara otoritatif mengajarkan penilaian Hukum Alam; dan dua, apa pun yang dikatakan beberapa paus dimana dengan seorang paus lain belum saling bertentangan."

Zmirak mengambil pengecualian untuk Paus Francis yang menggunakan kata-kata ‘kasuistis’ dan ‘Magisterium.’

"Seperti biasanya, Paus Francis berdalih, dengan menggunakan bahasa sembarangan, dan mengandalkan konotasi yang bersifat anti-Katolik, dengan memakai kata-kata yang disampaikan oleh pamflet-pamflet anti-Kristen," kata Zmirak.

“'Kasuistis' tidak lebih dan tidak kurang adalah penerapan aturan-aturan umum untuk kasus-kasus tertentu. Ini adalah istilah Latin yang paling baik diterjemahkan sebagai 'hukum kasus.' Suatu hukum yang bisa berubah menurut kasusnya. Padahal seorang hakim seharusnya menolak 'hukum kasus.' Dan itulah arti yang masuk akal bagi seorang guru moral (paus) yang seharusnya mengecam tindakan kasuistis," lanjutnya.

Zmirak juga mengkritik paus Francis yang mengutamakan ‘pendapatnya sendiri yang tidak berdasar dan bersifat tidak-Katolik, yang disampaikan dalam dokumen yang keliru atau sesat, Amoris Laetitia, sampai diangkat ke tingkat Magisterium.’

“Bagi Francis yang simpatisan Marxis, Magisterium berarti harus mengikuti 'Garis Partai,' kata penulis. "Dan garis Partai bisa bergeser, seperti halnya kepemimpinan Partai."

"Untuk memahami kepausan Francis ini, Anda tidak perlu membaca tulisannya Francis, tetapi bacalah bukunya Arthur Koestler Darkness at Noon.”

Dr. John Rist, profesor emeritus dari University of Toronto, mengatakan kepada LifeSiteNews bahwa jawaban Paus Francis atas pertanyaan itu adalah contoh khas dari "Peronisme." Peron adalah mantan presiden Argentina, seorang komunis.

“Langkah pertama adalah menyangkal 'kasuistis,' yang tampaknya dipahami oleh (Paus) Bergoglio sebagai beberapa bentuk etika konsekuensial / situasi (yang ia anggap sebagai non-Kristen),” kata Rist.

“Langkah kedua adalah mencoba mengacaukan kita dengan menggunakan kata-kata tradisional seperti istilah 'pembedaan atau pengenalan masalah’ tetapi hal itu untuk menyiratkan bahwa dengan mencoba membedakan apa yang harus dilakukan akan memberi Anda jawaban yang non-konsekuensialis sekaligus mengabaikan norma-norma yang telah diajarkan Gereja secara tradisional, dan meminta Magisterium, demi kepentingan dirinya sendiri, untuk membenarkan prosedur ini,” lanjut filsuf itu.

"Yang penting adalah menerima kembali etika konsekuensialisme / situasi dari pintu belakang dan memberinya nama lain (itulah yang disebut oleh Francis sebagai pembedaan atau kearifan)."

Bab delapan dari Amoris Laetitia menuai banyak sekali kritikan  setelah anjuran kerasulan itu diterbitkan pada 8 April 2016 karena mengizinkan interpretasi yang melemahkan atau bahkan bertentangan dengan doktrin Katolik yang abadi. Gereja Katolik mengajarkan bahwa pernikahan sakramental berakhir hanya dengan kematian, dan bahwa siapa pun dalam pernikahan seperti itu yang menceraikan dan mencoba menikah lagi berarti dia melakukan perzinaan (lht. Mat 5: 31-32; 19: 3–12; Mrk 10: 2 –12; Luk 16:18; 1 Kor 7: 1–16). Karena perzinahan adalah dosa berat yang menghentikan rahmat pengudusan bagi jiwa seseorang, maka umat Katolik yang berada dalam ‘perkawinan tidak teratur’ seperti ini tidak dianggap dalam keadaan layak untuk menerima Komuni Kudus. Amoris Laetitia sangat dikritik karena membalikkan ajaran ini dalam sebuah catatan kakinya.

Menyadari bahwa pada saat pasca-konsiliar terdapat ledakan dalam jumlah umat Katolik yang bercerai dan menikah kembali secara ilegal, yang melanggar doktrin Gereja, maka St. Yohanes Paulus II mengajarkan melalui Familiaris Consortio bahwa umat Katolik semacam itu dapat pergi mengaku dosa dan menerima Komuni Kudus selama mereka hidup dalam kesucian yang sempurna, atau, dengan kata lain, sebagai ‘kakak dan adik’ (bukan sebagai suami-istri):

Rekonsiliasi dalam sakramen Tobat, yang akan membuka jalan menuju Ekaristi, hanya dapat diberikan kepada mereka yang bertobat karena telah melanggar tanda Perjanjian dan kesetiaan kepada Kristus, dengan tulus siap untuk menjalani cara hidup yang tidak lagi bertentangan dengan asas tidakterceraikannya pernikahan. Hal ini berarti, dalam praktiknya, bahwa ketika, karena alasan serius, seperti misalnya demi pengasuhan anak-anak hingga seorang pria dan wanita tidak dapat memenuhi kewajiban untuk berpisah, maka mereka ‘mengambil sendiri tugas untuk hidup dalam kelanjutan yang lengkap, yaitu, dengan berpantang dari tindakan yang hanya pantas bagi pasangan yang sudah menikah.” [Familiaris Consortio, 180]

Amoris Laetitia, bagaimanapun, telah digunakan untuk mengizinkan orang-orang yang bercerai dan ‘menikah kembali’ dengan orang lain untuk menerima sakramen-sakramen Tobat dan Komuni Kudus tanpa sebuah janji atau niatan untuk hidup dalam kesinambungan (tidak melakukan hubungan sex) (catatan kaki 351) dan bahkan Amoris Laetitia itu digunakan secara lebih luas untuk menyatakan bahwa tindakan pantang sex adalah salah bagi orang-orang yang hidup dalam perselingkuhan.

Saran ini, mungkin salah satu inovasi paling eksplosif dari kepausan Francis, dimana semuanya itu terkubur dan disamarkan di dalam catatan kaki, Catatan Kaki 329, yang salah dalam mengartikan Gaudium et Spes:
329. ... Dalam perzinahan (yang disebut sebagai perkawinan kedua), banyak orang, yang mengetahui dan mau menerima kemungkinan hidup sebagai ‘saudara dan saudari’ yang ditawarkan oleh Gereja kepada mereka, beralasan bahwa jika tindakan keintiman tertentu (hubungan sex) tidak ada, maka sering terjadi bahwa kesetiaan mereka terancam punah dan kebaikan bagi anak-anak akan menderita.” (Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Modern Gaudium et Spes, 51).

Gaudium et Spes merujuk bukan pada ‘perkawinan’ yang tidak teratur di sini, tetapi merujuk pada pernikahan yang sah di mana pasangannya harus abstain dari hubungan sex dalam waktu yang berkelanjutan agar tidak menghasilkan anak.

Sementara kebingungan dan perdebatan tentang Amoris Laetitia bergejolak, empat orang kardinal dengan mengikuti prosedur normal, mengirimkan pertanyaan kepada paus Francis atau yang populer disebut dubia mengenai implikasi teologis dari Amoris Laetitia. Namun hingga kini Francis tidak mau menjawab dubia tersebut. Dan pada tanggal 9 September 2016, Francis justru menulis surat pribadi kepada para uskup Argentina, yang kemudian dibocorkan kepada pers, bahwa interpretasi mereka (uskup-uskup Argentina) terhadap Amoris Laetitia - yaitu yang mengizinkan orang Katolik yang menikah secara tidak wajar, meski mereka tidak bersedia menjalani pantang hubungan sex, untuk menerima sakramen-sakramen setelah periode persiapan pertobatan – adalah interpretasi yang benar.

No comments:

Post a Comment