Tuesday, December 24, 2019

SEBUAH NATAL YANG DITANDAI OLEH PENCEMARAN...





SEBUAH NATAL YANG DITANDAI OLEH PENCEMARAN, DIMANA BERGOGLIO SENDIRI SEBAGAI PENCEMAR UTAMANYA



Saya belum melihat DI SINI perayaan yang menghormati berhala Pachamama dengan Bergoglio berada di depan altar, di Basilika Santo Petrus, 4 Oktober 2019 lalu, pada saat pembukaan Sinode Amazon. Sangat mengejutkan! Sekarang saya mengerti mengapa orang-orang berbicara tentang pencemaran melalui penyembahan berhala serta perlunya melakukan konsenkrasi ulang atas Basilika Santo Petrus. Mungkin itu bukanlah (masih belum) “kekejian yang membinasakan di tempat kudus” (Mat 24:15) yang dinubuatkan oleh Yesus, tetapi perbuatan Bergoglio itu tentu saja menimbulkan banyak keprihatinan.

Ini adalah Natal yang menyedihkan bagi umat Kristiani jika kita memikirkan banyak sekali ‘penodaan dan pencemaran’ yang baru-baru ini terjadi, yang tidak akan pernah bisa ditoleransi oleh agama lain mana pun. Cukuplah dengan melihat beberapa tajuk berita terbaru.

Dua minggu yang lalu, ada sebuah acara di University of Bologna, berjudul “Immaculate Con(tra)ception.” Mengomentari poster dari acara itu,  Il Giornale menampilkan berita utama: “Syok Kolektif: Semangat Penghujatan. Sang Madonna dikelilingi oleh kondom."

Masih ada lagi. Pada hari Kamis media Il Messagero memuat berita utama: “Netflix, sindiran terhadap Yesus yang gay.” Partai politik Fratelli d'Italia menyerukan penarikan kembali film tersebut.”


Poster Bunda Maria dikelilingi oleh kondom
dengan judul “Immaculate Con(tra)ception.”

Sepuluh hari yang lalu, ada kasus poster yang dipajang di Roma dimana soal itu Vittorio Feltri sempat marah dan menulis kata-kata yang berapi-api. Judul utama dalam media Il Tempo: “Yesus bernafsu terhadap seorang anak. Sebuah badai kecaman ditujukan terhadap Makro (Museum Seni Kontemporer) atas sebuah penggambaran Kristus yang dilukiskan sebagai seorang penganiaya anak). Kecaman yang dilakukan oleh (partai politik) Fratelli d'Italia: Karena merasa malu, Raggi (Walikota Virginia) sampai turun tangan."

Dalam masing-masing kasus ini, suara protes justru tidak datang dari Vatikan, atau dari Konferensi Waligereja Italia, tetapi justru berasal dari partai kanan-tengah, bersama dengan umat awam Katolik (yang telah ditinggalkan oleh para pastor mereka) dan beberapa jurnalis yang masih memiliki akal sehat. Dan akhirnya beberapa pastor mengeluarkan kata-kata yang memalukan dan hina.

Para klerus nampaknya tidak punya waktu untuk membela Yesus Kristus, Bunda Terberkati, dan iman umat Katolik sederhana dari segala tindakan penghujatan ini, karena hari ini mereka sepenuhnya dipenuhi dengan sorak sorai memuliakan Paus Argentina ini, yang sekarang menjadi komoditas media dunia, yang dirayakan oleh budaya sekuler.

Bahkan dengan film Netflix The Two Popes, di mana - jauh melampaui kekonyolan - Benediktus XVI digambarkan sebagai seorang paus yang mencari seseorang untuk menuntun dirinya dan Bergoglio digambarkan sebagai orang yang mendapatkan peran ini tanpa pernah mencarinya. Kita hanya perlu sebuah kesadaran minimal saja akan kenyataan sebenarnya, untuk bisa mengetahui bahwa justru kebalikannya adalah benar: Kenyataannya, Ratzinger-lah yang mengundurkan diri, sementara Bergoglio berjuang selama bertahun-tahun untuk naik ke puncak (bahkan gagal menerima dukungan suara dari saudara-saudaranya di Yesuit). Tetapi - kembali kepada tindakan provokasi yang melawan Katolik ini - tidaklah mengejutkan bahwa dunia klerus justru bersembunyi. Bahkan lebih buruk lagi.

Magisterium Bergoglio sendiri dipenuhi dengan demonstrasi dan tindakan yang membuat umat beriman bingung, seperti ketika dia memamerkan palu dan sabit (lambang komunis) dengan salib yang terpasang disitu, yang diberikan kepadanya oleh mantan presiden Bolivia Evo Morales (komunis). 
                  


Salib komunis Evo Morales untuk Bergoglio

Atau ketika dia mengatakan bahwa dalam kisah Injil tentang wanita yang berzina, “Yesus bersikap agak bodoh” (16 Juni 2016) atau ketika, pada 16 Mei 2013, dia menyangkal mukjizat penggandaan roti yang dilakukan oleh Yesus ("Roti itu tidak berlipat ganda. Tidak, itu bukanlah sungguhan.") atau ketika (pada 21 Desember 2018) Bergoglio menyangkal dogma “Maria Dikandung Tanpa Noda.” Kasus Sinode Amazon baru-baru ini telah menimbulkan skandal ketika - menurut Corrispondenza Romana - "…pada tanggal 4 Oktober 2019 paus Francis berpartisipasi dalam tindakan pemujaan terhadap dewi pachamama di Taman Vatikan," hingga tindakan itu memprovokasi ‘protes dari seratus orang ilmuwan Katolik’ yang menandatangani dokumen yang dimulai dengan kalimat sebagai berikut: "Kami, yang bertanda tangan di bawah ini, para klerus, ilmuwan, cendekiawan, dan intelektual Katolik, memprotes dan mengutuk keras tindakan asusila dan takhayul yang dilakukan oleh Paus Francis."

Daftar ini bisa menjadi lebih panjang. Selama minggu-minggu persiapan Natal ini, ada lebih banyak lagi kemarahan. Pada 12 Desember 2019, misalnya, Bergoglio menegaskan bahwa Bunda Terberkati "adalah berdarah campuran," dan bahkan berkata, "Maria telah menyebabkan Tuhan berdarah campuran."

Niat Bergoglio yang jelas untuk secara politis mengeksploitasi Tuhan dan Bunda Allah untuk melegitimasi gagasannya yang masih sangat layak untuk diperdebatkan tentang migrasi, dapat digabungkan – demi kedalaman pemikiran - dengan penegasan kartunis Vauro [Senesi], yang mengatakan, "Yesus adalah orang Palestina." (Dia terus menarget Santa Claus yang meskipun miskin, namun dengan kalimat-kalimat kebijaksanaan yang luar biasa.)

Tetapi pernyataan Bergoglio tentang ‘Tuhan berdarah campuran,’ apakah dia mengetahuinya atau tidak, bahwa dirinya jatuh ke dalam “bidaah Eutyches (378–454),” seperti yang diamati oleh Profesor Roberto De Mattei.

           


Salib pengungsi ala Bergoglio


Selain itu, niat Bergoglio untuk menggunakan simbol-simbol keagamaan yang suci demi menyebarkan ide-ide politiknya terlihat jelas dalam banyak isyaratnya. Dalam beberapa hari terakhir, misalnya, dia mengumumkan di Twitter bahwa dia telah "memutuskan untuk mengekspos 'salib jaket pelampung' untuk meminta agar pelabuhan-pelabuhan terbuka terhadap para pengungsi.”

Kita juga yakin bahwa pada tahun ini - seperti tahun-tahun sebelumnya – Bergoglio tidak akan ragu untuk mengeksploitasi Natal secara politis untuk menyebarkan gagasan - yang sangat disenangi oleh para pendukung kuat globalisasi - dari krisis pengungsi di seluruh dunia.

Lebih jauh, dalam lingkungannya sendiri, para kroninya berusaha untuk membantunya bahkan sampai dengan ‘menulis ulang’ Alkitab. Dalam beberapa hari terakhir Komisi Alkitab Kepausan telah menerbitkan volume yang berjudul “What Is Man?” Menurut situs web Katolik The Daily Compass, teks ini “menyatakan bahwa Sodom dihancurkan bukan karena tindakan homoseksual dari para warganya, tetapi karena kurangnya keramahan pada mereka. Obsesi soal pengungsi telah menjadi kriteria penafsiran dari teks Kitab Suci. ”

Kebingungan akan hal-hal yang sakral serta tindakan pencemaran telah jauh melampaui hal-hal yang konyol di dunia klerus. Begitulah, pencemaran oleh dunia sekuler masih lebih kecil dibandingkan dengan pencemaran yang dilakukan oleh lembaga religius.

Presiden emeritus Senat Italia, Marcello Pera, seorang intelektual sekuler, mengatakan dalam sebuah wawancara: "Kepausan ini adalah sebuah skandal dalam arti Alkitabiah, ia sangat membingungkan umat beriman dan membuat mereka terjatuh, tidak berbuah, dan sebaliknya, perbuatan itu membuat mereka sangat berkurang dalam hal jumlah [.] Sejauh yang berkaitan dengan dasar-dasar iman Katolik, kepausan ini memperlihatan kemarahan terhadap akal sehat."

This article was first published in Libero on December 22, 2019. It is reprinted here with Antonio Socci’s permission and translated by Giuseppe Pellegrino.


*****

Antonio Socci is an Italian journalist and author. He has worked at Il Sabato and 30 Giorni and at Giornale, in collaboration with Il Foglio and Panorama. Since 2004, he has also served as the director of the Perugia Broadcasting Journalism School. He works for RAI (Radiotelevisione italiana) and is a contributor to the Italian newspaper Libero. He is the author of some 15 books, including The Fourth Secret of Fatima.


No comments:

Post a Comment