Sunday, July 14, 2019

GEMBALA YANG SESAT - Bab 2




GEMBALA YANG SESAT
BAGAIMANA PAUS FRANCIS SEDANG MENYESATKAN KAWANANNYA



BAB DUA

Efek Francis


Selama masa-masa awal kepausannya, Paus Fransiskus menarik perhatian dunia dengan gayanya yang tidak biasa. Pidatonya yang sederhana dan kebenciannya terhadap kemegahan bertentangan dengan pandangan stereotip tentang bagaimana seorang paus harus berbicara dan bertindak. Beberapa orang merasa senang dengan pendekatan egaliternya, sementara yang lain - terutama pecinta tradisi Vatikan – merasa kecewa. Tapi semua orang terus memperhatikannya.

Lapangan Santo Petrus dipenuhi untuk khalayak umum pertama paus pada hari Minggu, 17 Maret 2013. Dia menyapa orang banyak dengan sederhana, dengan cara yang sama seperti dia memperkenalkan diri setelah pemilihannya: Buon giorno! (Selamat pagi!) Berbicara dalam bahasa Italia dan membumbui komentarnya dengan komentar-komentar ringan, dia mendapat tepuk tangan meriah. Kemudian setelah sekitar lima belas menit dia membawa pidatonya pada tengah hari kepada sebuah kesimpulan yang menggembirakan: "Semoga harimu menyenangkan, dan nikmatilah makan siangmu."

Setelah mengunjungi apartemen kepausan, Francis memutuskan bahwa dia tidak dapat tinggal dalam isolasi ketat dari istana kepausan dan dia pindah secara permanen ke Domus Sanctae Marthae — St. Martha's House — wisma Vatikan, tempat dia dan para kardinal lainnya menginap selama konklaf. Di sana dia akan menikmati arus pengunjung yang ramai ke Roma bersama dengan lalu lintas yang sibuk dari para pejabat Vatikan.

Selanjutnya paus mulai merayakan Misa setiap pagi di kapel kediamannya, St. Martha, dengan jemaat yang terdiri dari siapa pun yang kebetulan tinggal di sana pada saat itu. Di sini juga dia membuka fondasi yang baru, karena para pendahulunya merayakan Misa harian secara pribadi atau dengan beberapa tamu undangan di sebuah kapel di istana apostolik. Dia berkhotbah setiap hari — tanpa mitra yang melambangkan pangkat kepausannya — dan laporan singkat tentang homili yang singkat itu diberitakan setiap hari oleh Radio Vatikan.

Fransiskus memang tidak dapat diprediksi. Dia melakukan panggilan teleponnya sendiri, dengan  mengejutkan mereka yang menerima panggilan tak terjadwal dari Paus Roma. Segera setelah pemilihannya, dia menelepon pemilik kios di Buenos Aires di mana dia mengambil sendiri korannya setiap pagi untuk membatalkan kebiasaannya berlangganan — dan mengobrol sebentar. Dia muncul tiba-tiba di toko-toko di seluruh Roma, pertama, untuk membeli kacamata baru, kemudian, untuk membeli sepasang sepatu ortopedi.

Para wartawan menyukai paus baru ini yang memberi mereka banyak cerita menarik, dan dia menerima liputan media yang sangat baik. Berbicara dengan seorang wartawan di Roma yang telah meliput Vatikan selama beberapa tahun, saya menyampaikan adanya perlakuan simpatik yang diterima Francis dari pers. Teman wartawan ini dengan tegas setuju, dan dia mencatat bahwa wartawan - termasuk beberapa yang tidak terlalu terpikat dengan gaya paus ini –menghapus beberapa cerita yang berpotensi merusak, dan tidak mereka laporkan, karena mereka pikir tidak ada yang ingin mendengar berita buruk tentang Paus ini. "Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan untuk mengubah pemberitaan media melawan Francis,” katanya.

Ada sebuah contoh dalam hal ini, karena kurangnya rasa tertarik dari media saat itu untuk memberitakan hal-hal yang kurang baik mengenai paus. Setelah kesibukan singkat yang berupa perhatian besar kepada paus, maka pastor Bergoglio, sebagai seorang Jesuit provinsial, diberitakan telah mendukung kediktatoran militer Argentina pada 1970-an. Seorang wartawan sayap kiri Argentina, Horatio Verbitsky, menuduh Bergoglio terlibat dalam penangkapan dua imam Yesuit radikal yang berada di bawah tanggung jawabnya. Verbitsky memberikan bukti-bukti bagi perkataannya itu, selain dari kecurigaan yang disuarakan oleh salah satu imam yang bersangkutan. Imam itu sudah meninggal pada saat Bergoglio menjadi paus, dan yang lainnya menyatakan keyakinan bahwa Bergoglio tidak terlibat. Tetapi para wartawan telah diketahui suka menyelidiki kisah semacam itu, meski dengan peluang tipis bahwa mereka mungkin bisa  menemukan skandal yang sensasional. (Sampai hari ini, beberapa penulis menyebutkan bahwa Benediktus XVI adalah anggota dari pemuda kelompok Nazi - tidak peduli bahwa Ratzinger muda memang dipaksa untuk bergabung, dan akhirnya dia keluar dari kelompok itu tanpa izin, meski dengan resiko penangkapan karena melakukan desersi.) Sementara itu ada sedikit bukti, bahwa Bergoglio bertanggung jawab atas penahanan dua  orang Yesuit ini, masih ada banyak ruang untuk menanyakan tentang hubungan paus masa depan dengan pemerintah militer. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dibuka, dan media dengan cepat mengesampingkan ceritanya.

Media justru berfokus pada pesan-pesan yang disampaikan oleh paus, sering kali dalam bahasa yang kasar dan sembrono. Dia mendorong orang-orang muda untuk "mengguncangkan segalanya" dan "membuat kekacauan." Dia mengatakan bahwa uskup-uskup yang baik, seperti gembala-gembala yang baik, harus memiliki "bau dari domba mereka." Dia menyesalkan bahwa beberapa umat Katolik menjadi "terobsesi" dengan masalah-masalah publik, seperti aborsi, ketika mereka harus menghabiskan energi mereka pada tugas yang lebih penting untuk menarik orang-orang lebih dekat kepada Kristus. Dia berbicara — dengan frekuensi yang dikhawatirkan beberapa orang — tentang iblis. Dia menyamakan Gereja dengan rumah sakit lapangan, merawat orang yang terluka. Berbeda sekali dengan Benediktus XVI yang sangat berhati-hati dan ilmiah, Francis berbicara secara impulsif; dia sering tampak memprovokasi pendengarnya secara sengaja.

Dengan paus yang terus-menerus menjadi berita utama, umat Katolik dan non-Katolik sama-sama sering membicarakan tentang Gereja Katolik. Imam-imam Italia melaporkan antrean panjang orang yang datang untuk mengaku dosa, termasuk banyak yang telah jauh dari sakramen selama bertahun-tahun. Para klerus Amerika mengatakan bahwa mereka melihat adanya tren yang sama. Kegembiraan di sekitar sosok Paus ini tampaknya mendorong orang untuk mempraktekkan iman mereka dengan cara yang sederhana dan langsung. Para jurnalis menyebut hal ini sebagai “efek Francis,” dan para pendukung paus yang paling antusias memprediksi bakal ramai orang-orang yang bertobat kepada Iman Katolik.

"Siapakah saya hingga berhak menilai?"

Tetapi "efek Francis" terjadi dengan ongkos. Jika pernyataan kurang ajar dari paus kadang-kadang memberi inspirasi, terkadang juga hal itu membingungkan, dan jika dia bermaksud memprovokasi, dia kadang-kadang juga merasa tersinggung. Seiring waktu berlalu, dukungan Paus kepada hal-hal yang kontroversial dan kecenderungannya untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan serampangan mulai menyulut banyak pertanyaan, dan kemudian menyulut keprihatinan orang banyak.

Pada mulanya, Francis kelihatannya menentang klasifikasi sederhana mengenai adanya kelompok "liberal" dan kelompok "konservatif," tetapi ketika bulan-bulan berlalu, sebuah pola tertentu muncul dari dukungan-dukungannya terhadap isu-isu yang biasanya dikaitkan dengan politik Kiri (komunis) — environmentalisme, perlucutan senjata, imigrasi tak terbatas, redistribusi pendapatan. Peringatannya tentang "orang-orang yang terobsesi" dengan aborsi dan kontrasepsi membuat banyak umat Katolik yang setia menjadi gelisah; tidak perlu mengeluh tentang "obsesi" dengan isu-isu yang jarang dibicarakan di paroki. Namun, bahkan seorang Katolik pro-kehidupan yang gigih, yang dapat menelan teguran keras dan menerima peringatan paus ini, akan membacanya sebagai seruan untuk strategi retoris baru atau untuk mengakui bahwa evangelisasi lebih penting daripada aktivisme politik.

Lagi pula, pada isu-isu politik hangat lainnya, Francis kelihatannya mengambil posisi konservatif — setidaknya pada awalnya. Selama masa jabatannya sebagai uskup agung Buenos Aires dia mencela proposal untuk penerimaan pernikahan sesama jenis dengan mengatakannya sebagai ulah iblis. Namun baru-baru ini, dia mengakui bahwa dia khawatir tentang kemungkinan pengaruh dari "lobi gay" di Vatikan.

Tetapi jika umat Katolik ortodoks menyimpulkan bahwa Francis akan berdiri teguh melawan pengaruh homoseksual di dalam Gereja, kepercayaan mereka menjadi hancur oleh ucapannya kepada wartawan dalam perjalanan ke Brasil pada Juli 2013. Ditanya tentang para imam homoseksual, dia menjawab, "Jika mereka menerima Tuhan dan memiliki niat baik, siapakah saya hingga berhak untuk menghakimi mereka?"

Konteks pernyataan itu sangatlah penting. Sandro Magister, reporter Vatikan berpengaruh untuk jurnal Italia L'Espresso, telah melaporkan bahwa Msgr. Battista Ricca, yang baru-baru ini ditunjuk Francis sebagai kepala bank Vatikan, memiliki sejarah dalam urusan homoseksual yang amat memalukan. Magister melanjutkan dengan tuduhan bahwa "lobi gay" Vatikan telah ‘memutihkan’ catatan buruk Mgr. Battista Ricca untuk memperlancar jalan bagi pengangkatannya. Francis bersikeras bahwa dia telah memeriksa tuduhan-tuduhan itu dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa "tidak ada apa-apa dengan Ricca."

Setelah menjawab pertanyaan wartawan, paus seolah berhenti di sana, tetapi ternyata dia melanjutkan, dan tampaknya ingin mengatakan sesuatu tentang homoseksualitas. Meskipun ada banyak laporan tentang “lobi gay” di Vatikan, tidak ada kelompok yang dapat dikenali dengan jelas — dia “tidak pernah melihatnya di kartu identitas Vatikan,” kata Francis bercanda. Adalah penting, katanya, untuk membedakan antara para imam yang mungkin memiliki orientasi homoseksual dan mereka yang mungkin aktif dalam “lobi” di dalam Gereja. "Masalahnya bukan orientasinya," ia menyimpulkan; "Masalahnya adalah memiliki lobi."

Ya, tetapi pernyataan paus tidak membahas kebijakan Vatikan yang ada, yang ditetapkan pada 2005 dalam sebuah instruksi dari Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, bahwa pria dengan kecenderungan homoseksual tidak boleh ditahbiskan menjadi imam. Instruksi itu juga tidak meredakan kekhawatiran tentang pengaruh imam homoseksual di Roma dan di tempat lain.
Yang lebih penting lagi, kata-kata kunci dalam jawaban paus Francis terhadap pertanyaan — sebagai ‘gigitan tajam’ yang akan dibawa ke seluruh dunia dan diulang-ulang selama bertahun-tahun - adalah "Siapakah saya hingga berhak menilai?" Seperti dilansir wartawan yang pada umumnya suka menyoroti masalah-masalah homoseksual di Vatikan, pernyataan paus itu tampaknya menyarankan bahwa Gereja harus menjauh dari ajarannya yang jelas dan menetap bahwa tindakan homoseksual sangat tidak bermoral. Dan siapakah seharusnya yang menjadi pembela utama ajaran menetap Gereja di dunia? Uskup Roma. Sejauh dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang otoritas pengajaran Gereja, Francis justru meremehkan dan mengabaikan otoritasnya sendiri sebagai paus. Filsuf politik Hannah Arendt berpendapat bahwa hati nurani yang aktif kadang-kadang mengharuskan seseorang untuk menilai tindakan orang lain. Ketika dia menulis dalam catatan pribadinya, "Jika Anda berkata pada diri sendiri dalam hal-hal seperti itu: ‘Siapakah aku hingga berhak menilai?’ — maka Anda sudah tersesat."

Pernyataan paus telah banyak menimbulkan kegemparan secara langsung, ketika ada aktivis gay bergegas mengklaim paus Francis sebagai sekutu mereka, dan para penulis editorial menyambut gempar apa yang mereka lihat sebagai posisi Gereja Katolik yang lebih tercerahkan. Sementara itu umat Katolik Ortodoks terus berusaha keras untuk membatasi kerusakan ini, menunjukkan bahwa paus berbicara tanpa persiapan, bahwa dia tidak membuat pernyataan yang resmi, dan bahwa dalam hal apa pun dia tidak bertentangan dengan aspek mana pun dari pengajaran Gereja. Namun paus Francis telah membuat pernyataan yang menentukan— “Siapakah aku hingga berhak menilai?” - dan dunia Katolik akan dipaksa untuk hidup dengan harta warisannya.

Mengapa Francis membiarkan dirinya membahas topik kontroversial seperti itu tanpa menyiapkan jawaban dengan hati-hati? Mengapa kata-kata paling terkenal dari kepausannya justru diucapkan dalam sesi tanya jawab informal di pesawat terbang? 


Pewawancara Favorit Paus

"Wawancara bukanlah keahlian saya," kata Kardinal Jorge Bergoglio kepada wartawan di Buenos Aires. Karena alasan itu maka dia jarang duduk untuk berbicara dengan jurnalis dalam rekaman. Ketika dua wartawan mencari wawancara formal yang panjang, dia menolak permintaan mereka dan malah mendorong mereka untuk menerbitkan kutipan dari khotbah dan esainya. Tetapi sekarang, sebagai Paus Roma, ketika kata-katanya lebih banyak diperhatikan orang, dia sering memberikan wawancara — seringkali dengan hasil yang amat merusak.

Pada Oktober 2013, misalnya, paus duduk bersama jurnalis Eugenio Scalfari, seorang yang mengaku dirinya atheis. Perbincangan mereka, yang diterbitkan di La Repubblica, sebuah surat kabar yang berhaluan kiri yang didirikan oleh Scalfari, berisi serangkaian ‘bom.’ Paus menolak pewartaan Injil dan menganggapnya sebagai “omong kosong yang khusyuk,” dia menyebut pengadilan Vatikan sebagai “kusta kepausan,” dan menyatakan, “Kejahatan paling serius yang menimpa dunia dewasa ini adalah pengangguran kaum muda dan kesepian orang jompo.” Mengomentari tentang gagasan paus, Scalfari menulis: "Jika Gereja menjadi lebih seperti dia dan menjadi seperti yang dia inginkan, itu akan menjadi sebuah perubahan besar."

Setelah wawancara itu dipublikasikan — hal itu mengejutkan staf humas Vatikan, karena mereka belum diberi tahu tentang hal itu — beberapa detail mengejutkan muncul. Scalfari, yang berusia sembilan puluh tahun saat itu, tidaklah mencatat jawaban-jawaban paus atas pertanyaannya atau bahkan mencatat tetapi dia lebih mengandalkan ingatannya untuk merekonstruksi kata-kata paus. Karena itu, keakuratan kutipan yang dikaitkan dengan Paus di La Repubblica patut dipertanyakan. Tidak ada penasihat PR yang kompeten yang akan membiarkan kliennya terperangkap dalam situasi berbahaya seperti itu. Tetapi Francis tidak meminta nasihat dari stafnya sebelum memberikan wawancara itu.

Luar biasanya, paus kemudian mengajukan wawancara berikutnya dengan Scalfari pada Juli 2014, dan sekali lagi jurnalis tua itu mengandalkan ingatannya untuk mengambil kutipan-kutipan paus. Tanpa memakai memori fotografis, Scalfari menjelaskan bahwa ia lebih suka memasukkan pemikiran subjeknya (dalam hal ini Paus Francis) ke dalam kata-katanya sendiri, yang mungkin lebih elegan. Pendekatan seperti itu mungkin bisa dibenarkan jika Scalfari mengerti dengan sempurna apa yang dikatakan oleh subjeknya, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa memahami orang lain dengan sempurna. Kutipan-kutipan yang direkonstruksi Scalfari, kemudian, mencerminkan apa yang dimengerti oleh Scalfari sendiri pada apa yang dikatakan paus, yang mungkin sangat berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh paus.

Benar saja, wawancara itu lagi-lagi, mengandung beberapa dinamit. Francis dikutip mengatakan bahwa ada imam, dan ”bahkan para uskup dan kardinal,” yang bersalah karena pedofilia. "Dan yang lain-lain lagi, lebih banyak jumlah mereka, tahu kasus itu tetapi mereka tetap diam," tambahnya. Kantor pers Vatikan merasa perlu mengeluarkan peringatan bahwa kutipan yang dikaitkan dengan paus itu tidak dapat diandalkan. Pastor Federico Lombardi, juru bicara kepausan, memperparah masalah dengan mengatakan bahwa wawancara paus dengan Scalfari telah "sangat ramah dan paling menarik" dan bahwa "tema keseluruhan artikel itu menangkap semangat dari percakapan paus." Jadi pembaca yang tidak berdaya dan tidak mengerti, dibiarkan begitu saja untuk menebak-nebak sendiri bagian mana, jika ada, yang tidak akurat.

Pada bulan Maret 2015, paus yang suka bicara itu kembali mengadakan wawancara dengan Scalfari untuk media La Repubblica. Kali ini Francis — setidaknya, sebagaimana ditafsirkan oleh pewawancara favoritnya itu — tampak meragukan keberadaan neraka:

Apa yang terjadi pada jiwa yang sesat itu? Apakah ia akan dihukum? Dan bagaimana? Tanggapan Francis sangat berbeda dan sangat jelas: tidak ada hukuman, tetapi ada penghancuran atas jiwa itu. Semua jiwa yang lain akan ikut serta dalam kebahagiaan hidup di hadirat Bapa. Jiwa-jiwa yang dimusnahkan tadi tidak akan ikut ambil bagian dalam perjamuan itu; dengan kematian tubuh perjalanan mereka selesai sudah.


Ensiklis pertama

Seolah larut dan hilang dalam badai wawancara, homili, dan pernyataan-pernyataan yang tidak resmi, adalah beberapa dokumen pengajaran formal pertama paus. Ensiklik pertamanya, Lumen Fidei (“Terang Iman”), yang diterbitkan pada Juni 2013, relatif segera setelah pemilihannya, yang dimulai oleh Benediktus XVI sebagai yang ketiga dari trio ensiklik tentang keutamaan teologis yang berupa kemurahan hati, pengharapan, dan iman. Francis mencangkokkan idenya sendiri ke dalam draft yang ditinggalkan oleh Benediktus padanya, hasilnya adalah sebuah dokumen hibrida yang aneh.

Dalam bentuknya yang lengkap, Lumen Fidei jelas merupakan karya Francis, bukan Benedictus. Ensiklik adalah dokumen pengajaran, yang membawa wewenang dari Paus Roma. Benediktus telah melepaskan otoritas itu. Maka Francis bebas melakukan apa pun yang dia inginkan dengan manuskrip yang ditinggalkan oleh Benediktus — dibuang, dirubah, atau pun diselesaikan — dan itu telah menjadi ensikliknya. Namun pembaca yang jeli dan cerdik dapat mendeteksi jejak gaya prosa Benedictus dan bahkan mengidentifikasi bagian-bagian mana dari  dokumen itu yang disiapkan oleh paus yang mana.

Pada saat konferensi pers untuk memperkenalkan ensiklis baru, Uskup Agung Rino Fisichella, presiden Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru, mengomentari pertanyaan tentang kepenulisan ensiklis itu: “Harus dikatakan tanpa ragu, bahwa sementara Lumen fidei melanjutkan beberapa intuisi dan tema-tema khas dari pelayanan Benediktus XVI, maka ensiklis ini sepenuhnya adalah teks dari paus Francis.” Francis sendiri, dengan jelas bermaksud menggarisbawahi bahwa ajarannya itu sepenuhnya sesuai dengan ajaran Benediktus, mengatakan dalam pengantarnya bahwa teks itu “sejalan dengan semua yang telah dinyatakan oleh magisterium Gereja tentang kebajikan teologis."

Ensiklis ini mencakup beberapa argumen yang merupakan inti dari pengajaran Benediktus XVI selama masa kepausannya, seperti misalnya, pentingnya menggabungkan iman dengan nalar dan bahayanya jika kita menghilangkan Tuhan dari perbincangan-perbincangan publik. Dokumen (ensiklis) itu juga memiliki nada ilmiah dari paus emeritus, termasuk acuannya terhadap Nietzsche, Dante, Dostoevsky, Wittgenstein, dan T. S. Eliot, bersama dengan kutipan-kutipan dari para Bapa Gereja dan sejumlah besar referensi Kitab Suci. Pada saat yang sama, ensiklis ini mencakup tema-tema yang ditekankan oleh Francis, termasuk ketidakmungkinan mendapatkan penilaian yang benar karena melihat jasa seseorang, dan pentingnya melaksanakan iman melalui pertolongan kepada kaum miskin.

Lumen Fidei dibuka dengan pengamatan bahwa karunia iman selalu dikaitkan dengan terang, yang memungkinkan umat beriman untuk melihat sesuatu dengan jelas. Namun, dalam pemikiran modern, ternyata "iman menjadi terkait dengan kegelapan," dan para filsuf telah mencari kebenaran secara terpisah dari iman. Pencarian itu terbukti ilusi belaka, dimana Paus menulis: “Namun perlahan tapi pasti, menjadi jelas bahwa terang dari penalaran yang mandiri tidak cukup untuk menerangi masa depan; akhirnya masa depan tetap dalam keadaan gelap dan penuh dengan ketakutan akan hal-hal yang tidak diketahui.” Ensiklik ini menekankan perlunya mendapatkan kembali pemahaman yang benar tentang kemitraan alami antara iman dengan akal. "Saat ini, lebih daripada sebelumnya, kita perlu diingatkan tentang ikatan antara iman dan kebenaran, dengan mengingat adanya krisis kebenaran di zaman kita."

“Siapa pun yang berangkat di jalan untuk berbuat baik kepada orang lain,” tulis Francis, “sudah semakin dekat dengan Tuhan, sudah ditopang oleh pertolongan-Nya, karena hal itu adalah sifat khas dari cahaya ilahi untuk mencerahkan mata kita setiap kali kita berjalan menuju kepenuhan kasih.”Meski demikian, ia menulis, Adalah mustahil untuk percaya pada diri kita sendiri.” Dalam Perjanjian Baru, Yesus menawarkan Gereja sebagai penjamin iman. Selain itu, Iman disebarkan dan diperkuat melalui kehidupan sakramental Gereja, khususnya dalam baptisan. Berbagi di dalam Iman, semua anggota Gereja, setiap saat, “memiliki sebuah persatuan yang memperkaya kita, karena ia diberikan kepada kita dan menjadikan kita satu.”


Sebuah Cetak Biru untuk Kepausan?

Dokumen penting berikutnya yang dikeluarkan oleh Francis adalah juga merupakan hibrida, tetapi dalam arti yang berbeda. Evangelii Gaudium (“Sukacita Injil”), yang dipublikasikan pada November 2013, adalah nasihat apostolik — sebuah dokumen kepausan yang menanggapi sebuah pertemuan Sinode para Uskup. Sinode itu telah berlangsung pada bulan Oktober 2012, selama kepausan Benediktus XVI, untuk mempertimbangkan adanya "evangelisasi baru." Tetapi Benediktus tidak membuat tanggapan atas hal itu, dan Francis, mewarisi rekomendasi yang telah diterima oleh para uskup, dan mengatakan bahwa dia ingin menempatkan hal itu dalam kerangka kerja yang lebih luas.

Hasilnya, sayangnya, adalah sebuah dokumen yang sangat panjang. Tidak diragukan lagi bahwa Paus mulai dengan sebuah ringkasan dari tema-tema yang muncul dalam diskusi-diskusi sinode sebelumnya dan dia melakukan yang terbaik untuk menggabungkan semuanya, tetapi sesekali dia menyimpang dari fokus utamanya atau berputar kembali ke topik-topik yang telah dia diskusikan. Panjangnya teks (222 halaman, dalam versi yang dirilis oleh Vatikan) akan membuat banyak orang enggan membacanya.

Namun demikian, para pembaca yang meluangkan waktu untuk membaca nasihat apostolik ini — atau bahkan bagian pembuka saja, yang memberikan pengertian yang baik tentang pesan keseluruhan paus — memperoleh ‘imbalan.’ Francis menulis dengan energi yang besar, dan teks itu ditaburi secara bebas dengan bagian-bagian yang sangat mudah dikutip. (Aman untuk mengatakan, saya pikir, bahwa ini adalah dokumen kepausan pertama di mana terjemahan bahasa Inggris resmi berisi kata "sourpusses.")

Di dalam Evangelii Gaudium, Francis tidak hanya menawarkan panduan untuk “evangelisasi baru” tetapi juga garis besar rencananya bagi reformasi Gereja. Dengan kata lain, dokumen tersebut merupakan cetak biru untuk kepausannya ke depan.

Evangelisasi, kata paus menekankan, adalah inti dari misi Gereja. Dorongan untuk membagikan Kabar Baik Injil disemangati - seperti kata-kata pembuka dari nasihat itu - oleh sukacita yang ditemukan umat beriman di dalam iman mereka. Hari ini, Gereja harus menyampaikan sukacita itu kepada sebuah dunia yang penuh dengan masalah. Francis menyerukan rasa urgensi yang baru dan mengurangi struktur dan sikap birokrasi. Dalam sebuah kalimat yang merangkum pendekatannya untuk reformasi, dia menulis: "Pelayanan pastoral dalam kunci misionaris berusaha untuk meninggalkan sikap berpuas diri dengan mengatakan: ‘Kami selalu melakukannya dengan cara ini.’ "

Pastor Roger Landry, seorang pastor dan pengkhotbah berbakat dari Massachusetts, menangkap pesan itu dengan baik: "Paus Francis mengatakan bahwa reformasi mendasar yang dibutuhkan Gereja adalah beralih dari upaya mempertahankan berbagai struktur Gereja kepada sebuah keadaan misi yang permanen."

“Terdapat beberapa struktur gerejawi yang dapat menghambat upaya evangelisasi,” tulis Francis, “namun bahkan struktur yang baik hanya membantu ketika ada sebuah kehidupan yang terus-menerus mendorong, mempertahankan, dan mengawasinya.” Dia menyatakan tekadnya untuk merampingkan organisasi Gereja untuk merangsang, bukannya menghambat, aktivitas apostolik.

Menjabarkan rencananya bagi reformasi ini, paus mengakui perlunya desentralisasi. Dia menegaskan, Vatikan ada untuk membantu para uskup diosesan, bukan untuk mengendalikan mereka, dan dia mengusulkan peran yang lebih besar pada konferensi-konferensi uskup lokal  sehingga mereka dapat merangsang upaya-upaya di tingkat nasional daripada selalu memandang ke Roma. “Sentralisasi yang berlebihan, alih-alih terbukti membantu, mempersulit kehidupan Gereja dan diluar jangkauan upaya misioner,” tulis paus.

Kepausan sendiri harus direformasi, lanjut Francis, demi persatuan Kristiani. Mengutip keinginan Yohanes Paulus II untuk menemukan cara dalam menjalankan pelayanan Petrus yang akan melestarikan keutamaan kepausan sambil memberikan ruang lingkup penuh bagi otoritas para uskup diosesan, dia berkata seakan menyesali, “Kami telah membuat sedikit kemajuan dalam hal ini.”

Bagian terbesar dari Evangelii Gaudium dikhususkan untuk menghadapi tantangan evangelisasi. Francis memberikan beragam saran yang bermanfaat bagi para pastor dan bagi umat awam yang ingin membagikan iman mereka. Dalam bagian yang paling terinci dan praktis, dia memusatkan perhatian panjang lebar— dengan “agak cermat,” seperti yang dia katakan — tentang bagaimana para imam harus mempersiapkan homili mereka.

Pada saat yang sama, paus mencemooh upaya untuk "mempertahankan ego" dan menjaga prestise kelembagaan Gereja. Dia mengkritik setiap orang Katolik yang "lebih suka menjadi jenderal pasukan yang kalah daripada menjadi pribadi dalam unit yang terus berjuang."

Dalam dokumen yang panjang ini, Francis membahas panjang lebar tentang urusan ekonomi, menantang umat beriman untuk mengakui bahwa mengejar kekayaan bukanlah tujuan hidup. Dia terutama bersikap kritis terhadap sistem ekonomi global, yang katanya didasarkan pada ‘penyembahan berhala keberhasilan materi.’ Pesan itu telah mengundang kemarahan dari para pembela sistem ekonomi pasar bebas, yang mengeluhkan bahwa paus telah mengabaikan keberhasilan kapitalisme dan dia secara jelas telah mendukung sosialisme.

Uskup James Conley dari Lincoln, Nebraska — yang daripadanya orang mengharapkan simpati terhadap ahli teori pasar bebas — menolak kritik itu dan menganggapnya sebagai “karikatur sophomoric” dari dokumen kepausan, yang mengikuti jalur pengajaran sosial Katolik yang sudah usang. Seperti yang dia tulis dalam jurnal konservatif National Review:

Evangelii Gaudium tidaklah menolak kapitalisme, atau bahkan teori-teori pasar tertentu. Sebaliknya, ia menolak penyembahan berhala dari sistem ekonomi apa pun sebagai obat yang mujarab, dan ia menyerukan umat Katolik untuk mewujudkan solidaritas manusia dalam konteks kebijakan publik. Paus menegaskan bahwa pasar harus dipahami dan dikelola dengan adil, dengan memperhatikan kedaulatan dan solidaritas keluarga dan martabat manusia. Paus Benediktus XVI menyajikan gagasan serupa secara mendalam pada tahun 2009, seperti halnya Santo Thomas Aquinas dan Santo Agustinus.


Ensiklis Lingkungan

Lumen Fidei bukanlah sebuah dokumen yang kontroversial, dan sementara itu Evangelii Gaudium membuat beberapa pembaca konservatif merasa gelisah, yang lain bersikeras bahwa paus tidaklah tersesat ke dalam politik partisan. Namun, dengan ensiklis keduanya, Francis telah beralih ke topik dengan implikasi politik yang jelas: lingkungan.

Lihat saja ensiklis 'Laudato Si', yang menyandang subtitle On Care for Our Common Home (Peduli Pada Rumah Kita Bersama), yang telah dibocorkan ke media sebelum publikasi resmi pada Juni 2015, dan para wartawan dengan cepat mengumumkan bahwa ensiklis itu dikhususkan untuk topik “perubahan iklim.” Penilaian itu dilakukan tidak cukup akurat — lebih akurat untuk mengatakan bahwa Romeo dan Juliet karya Shakespeare adalah drama tentang bunuh diri. Ya, topiknya disebutkan; memang itu adalah bagian yang sangat penting dari cerita ini. Tapi itu bukanlah tema utama.

Seorang pembaca yang terlibat dalam pertempuran ideologis ini, setelah mencerna teks setebal 192 halaman penuh, mungkin menyimpulkan bahwa ensiklik ini banyak bicara tentang pembangunan berkelanjutan, atau antroposentrisme, atau keuntungan dan beban yang tidak setara, terkait dengan eksploitasi sumber daya alam. Secara umum, ini adalah tentang hidup secara harmoni dengan alam, melestarikan penghormatan pada keindahan alam yang rumit dan keseimbangan dari penciptaan. Seorang pembaca yang tanggap akan dapat berkomentar dengan cukup akurat, bahwa Laudato Si dapat dibaca sebagai penghormatan paus ini kepada dua pendahulunya yang terbaru, yang pemikirannya sering dikutip olehnya.

Dapat dikatakan bahwa aspek yang paling menarik dari ensiklik ini adalah pengembangan konsep “hutang ekologis” paus.” Paus-paus sebelumnya merujuk pada “hipotek sosial” pada properti pribadi. Maka “Hutang ekologis” adalah konsep serupa. Dalam ajaran sosial Katolik, hak atas kepemilikan pribadi sangat penting, tetapi itu tidak mutlak. Karena semua sumber daya materi harus melayani kebaikan bersama, dan karena siapa pun yang memiliki harta benda yang berharga pada akhirnya berhutang budi kepada Tuhan atas berkah-Nya, maka segelintir orang kaya memiliki kewajiban moral untuk menggunakan sumber daya mereka untuk melayani orang miskin. Maka istilah "Hipotek sosial," kira-kira setara dengan kewajiban bangsawan — dengan datangnya uang dan kekuasaan, maka datang juga kewajiban tertentu kepada masyarakat. Demikianlah konsep "hutang ekologis" juga didasarkan pada logika yang sama. Ketika kita mengekstrak bijih atau bahan bakar fosil dari bumi atau memasukkan bahan kimia berbahaya ke udara dan air, maka kita meninggalkan masalah bagi anak-anak dan cucu kita. Jadi, kita harus berhenti menanggung hutang lingkungan yang harus dibayar oleh generasi mendatang atau setidaknya, demikian argumen Francis, kita harus menemukan cara untuk membantu mereka membayar hutang-hutang itu.

Banyak analis telah meramalkan bahwa paus ini akan mengecam sikap skeptisisme terhadap perubahan iklim. Dan mereka tidak kecewa. "Sebuah konsensus ilmiah yang sangat kuat menunjukkan bahwa kita saat ini menyaksikan pemanasan yang mengganggu dari sistem iklim dunia," Francis menulis, dan dia mencatat bahwa "sejumlah penelitian ilmiah menunjukkan bahwa sebagian besar pemanasan global dalam beberapa dekade terakhir adalah karena konsentrasi gas rumah kaca yang besar (karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, dan lainnya) dilepaskan terutama sebagai hasil dari aktivitas manusia."

Francis, seorang pemimpin spiritual, yang mempertimbangkan perdebatan ilmiah, jelas dia telah keluar dari kapasitasnya. Perubahan iklim buatan manusia adalah kenyataan ilmiah atau bukan. Pernyataan Paus - yang tidak memiliki otoritas khusus dalam masalah ilmiah seperti ini - tidak akan memengaruhi kenyataan itu dengan satu atau lain cara. Dalam Laudato Si, paus telah berpihak pada pendapat mayoritas, dan dia melakukannya secara tidak perlu, karena pertanyaan tentang perubahan iklim tidak penting dan tidak berhubungan dengan argumen moral yang dia eksplorasi.(1)

Terjun lebih jauh ke dalam debat ilmiah dan politik, Francis melanjutkan dengan menyatakan bahwa alam “sekarang menjerit kepada kita karena kerugian yang telah kita timbulkan kepadanya oleh penggunaan dan penyalahgunaan barang-barang yang tidak bertanggung jawab yang telah diberikan Tuhan kepadanya.” Sama seperti Paus Yohanes XXIII telah mengeluarkan ensiklis Pacem in Terris ketika umat manusia berdiri di ambang bencana nuklir, maka Francis juga menyatakan, bahwa dia mengeluarkan Laudato Si pada saat bencana lingkungan telah menjulang.

“Simpati hijau" dari Paus terlihat jelas di seluruh dokumen ensiklis. Dalam keluh kesahnya atas hilangnya pemandangan alam dan pertanian keluarga, perusahaan multinasional yang kuat, dan lanskap perkotaan yang rusak, Francis dapat dibaca sebagai seorang liberal konvensional. Tetapi keluhan yang sama itu adalah ciri khas dari strain penting konservatisme, yang diwakili oleh kaum agraris dan distributor, pengikut Russell Kirk dan murid kecil yang cantik dari E. F. Schumacher. Pembaca dari kedua ujung spektrum politik ini dapat menemukan dalam dokumen ini beberapa alasan untuk bersorak.

Ambil contoh misalnya, (meskipun ini jelas bukan masalah kecil), desakan paus tentang penghormatan terhadap seluruh kehidupan manusia. Adalah "menyusahkan," demikian tulis Francis, "bahwa ketika beberapa gerakan ekologis mempertahankan keutuhan lingkungan, dengan tepat mereka menuntut batasan-batasan tertentu untuk diberlakukan pada penelitian ilmiah, tetapi mereka kadang gagal menerapkan prinsip-prinsip yang sama itu dalam kehidupan manusia." Dan dia memperingatkan tentang adanya "skizofrenia konstan, di mana teknokrasi yang tidak melihat nilai intrinsik pada makhluk yang lebih rendah, hidup berdampingan dengan titik ekstrem lainnya, yang tidak melihat nilai khusus pada manusia." Argumen bahwa pertumbuhan populasi adalah menjadi sumber dari kesengsaraan lingkungan kita, dia katakan ‘adalah salah satu cara untuk menolak dalam menghadapi masalah."

Di sisi lain, para pembela ekonomi pasar bebas sekali lagi terguncang oleh argumen paus bahwa hanya mengandalkan pasar saja merupakan bentuk relativisme moral. Kemudian dia menambahkan: "Untuk mengklaim kebebasan ekonomi, sementara kondisi nyata menghalangi banyak orang dari akses aktual ke sana, dan sementara kemungkinan untuk lapangan pekerjaan terus menyusut, adalah dengan cara mempraktikkan ‘pembicaraan ambigu’ hingga membuat politik menjadi jelek."

Di atas semua itu, Francis mengkritik masyarakat yang mendefinisikan kemajuan dari sudut stimulasi dan kepuasan kebutuhan materiil murni: "Paradigma ini membuat orang percaya bahwa mereka bebas, selama mereka memiliki kebebasan, untuk mengkonsumsi.”

Mengeluarkan tantangan bagi profesi ekonomi, Francis menulis, "Prinsip maksimalisasi keuntungan, yang sering terpisah dari pertimbangan lain, mencerminkan kesalahpahaman konsep ekonomi."

Tetapi tunggu — jika tujuan kegiatan ekonomi bukan untuk memaksimalkan laba, lalu apa tujuannya? Francis menyarankan konsepsi yang lebih luas tentang apa yang merupakan kesuksesan. Berkali-kali dia berbicara tentang "pembangunan berkelanjutan," dengan menekankan bahwa kegiatan ekonomi masyarakat yang sehat harus membuka jalan untuk "pembangunan berkelanjutan" bagi generasi mendatang.

Naluri khas Kristiani untuk berbagi — baik dengan yang kaum miskin maupun dengan generasi mendatang — secara diametris adalah menentang impuls yang oleh Fransis dianggap sebagai “budaya yang dibuang”. Dalam Laudato Si, paus memperluas tema ini, dengan mengutuk kecenderungan manusia modern yang mengidentifikasi sumber daya produktif, menggunakannya, dan menghabiskannya tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjangnya. Kaum miskin tidak menikmati kesempatan yang sama untuk mengambil keuntungan dari hasil kemajuan teknologi, demikian pendapat paus, namun mereka menderita secara tidak proporsional dari kerusakan lingkungan. Karena itu kepedulian terhadap lingkungan adalah bentuk kepedulian terhadap orang miskin.


Pawai Untuk Reformasi Iklim di Lapangan St. Petrus

Jika ensiklik ini memberikan argumen untuk kegiatan aktivisme lingkungan oleh umat Katolik, Vatikan menindaklanjuti dengan sebuah aplikasi konkret - dan jelas partisan - beberapa bulan kemudian. Pada bulan Desember 2015, sebuah pertunjukan cahaya yang disebut “Fiat Lux: Illuminating Our Common Home” ditampilkan di seluruh bagian depan Basilika Santo Petrus.
Uskup Agung Fisichella mengatakan bahwa pertunjukan itu, “diilhami oleh ensiklik Paus Fransiskus, Laudato si , dan dimaksudkan untuk menyajikan keindahan penciptaan, terutama pada kesempatan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-20.” Promotor acara tersebut juga membuat situs web Fiat Lux, yang mendorong pengunjung untuk "menuntut reformasi iklim" dan mendesak mereka untuk menandatangani petisi yang ditujukan kepada "Presiden Obama dan para pemimpin Cina, Uni Eropa, India dan Rusia," yang "mewakili lima produsen karbon terbesar di dunia dan oleh karena itu mereka memegang tanggung jawab atas masa depan spesies yang tak terhitung jumlahnya di tangan [mereka].”

"Fiat Lux," adalah sebuah urusan dan acara yang murni sekuler, diproduksi oleh yayasan yang terlibat dalam kegiatan politik partisan, dengan dukungan dari beberapa orang terkaya di dunia, termasuk Paul Allen, pendiri Microsoft, dan Li Ka Shing, dari Hong Kong, yang diyakini sebagai orang terkaya di Asia. Jika pertunjukan seperti itu, yang berupa pencapaian teknis yang mengesankan, ditampilkan dalam lingkungan sekuler — misalnya pada dinding Grand Canyon, atau pada tebing putih Dover — hanya sedikit orang yang merasa keberatan. Kemudian lagi, disana akan sedikit saja yang menontonnya. Tetapi pertunjukan di Vatikan itu menarik perhatian dunia justru karena ditampilkan di gereja yang paling terkenal di dunia, simbol Iman Katolik yang diakui secara universal. Tujuan dari pertunjukan cahaya adalah untuk menempatkan lingkungan hidup di latar depan dan Iman Katolik sebagai latar belakang, untuk meminta dukungan dari agama, tanpa mendukung agama sama sekali.

Eksekutif yayasan yang canggih itu, yang meminta Vatikan untuk mengatur pertunjukan ini, tahu persis apa yang mereka lakukan. Apakah Vatikan, di bawah Francis, mengakui bagaimana pengaruh Gereja telah dan sedang dieksploitasi? Orang Kristen mana pun — orang beragama apa pun, dalam hal ini — harus mengakui kewajiban moral untuk menjadi pemelihara ciptaan yang baik. Jika perdebatan politik yang panas telah membuat sebagian dari kita cenderung curiga terhadap retorika lingkungan, maka semakin banyak alasan bagi paus Roma untuk mencari perspektif yang berbeda, yang lebih konsisten dengan Iman.

Pembelaan terhadap lingkungan dari paus Francis telah membelok ke wilayah doktrinal dalam pesannya untuk ‘Hari Doa Sedunia untuk Ciptaan’ pada September 2016, ketika ia mengatakan bahwa kepedulian terhadap lingkungan harus ditambahkan ke dalam daftar tradisional Gereja tentang karya-karya fisik dan spiritual dari perbuatan belas kasihan rohani. Tidak seperti penilaiannya yang dipertanyakan tentang masalah-masalah ilmiah dan politik, pernyataannya tentang karya-karya belas kasihan berkaitan langsung dengan ajaran moral Gereja.

Jika pernyataannya tidak dianggap sebagai retorika yang berkembang, paus menyarankan perubahan dalam Katekismus. Orang muda Katolik dari generasi masa depan akan diajari bahwa ada delapan karya dalam setiap kategori. Bersamaan dengan karya-karya fisik, seperti memberi makan kepada yang lapar dan memberi pakaian kepada yang telanjang, mereka akan menemukan kepedulian terhadap lingkungan juga. Di samping karya-karya rohani seperti mengajar orang yang bodoh dan menegur orang yang berdosa, mereka akan menemukan… apa tepatnya? Dukungan untuk Sierra Club? Perubahan itu tidak mudah dibatalkan.

Francis tidak mengusulkan perubahan organik pada daftar karya-karya belas kasihan. Dia menempatkan segala sesuatu — tindakan kebajikan, mungkin — dalam sebuah kategori di mana hal itu tidak termasuk. Mematikan lampu yang tidak perlu, seperti yang diminta paus, tidak diragukan lagi adalah sebuah ide yang bagus. Tetapi ini bukanlah karya belas kasihan, karena umat Katolik selalu memahami istilah itu. Karya-karya belas kasih tradisional — jasmani dan rohani — semuanya memiliki pribadi manusia sebagai subjek dan objek. Objeknya adalah seseorang yang membutuhkan. Subjeknya adalah Anda atau saya — seseorang yang ditantang untuk meniru Kristus dengan memenuhi kebutuhan itu. Dalam karya belas kasih baru yang diusulkan Francis, objeknya adalah lingkungan alami, bukan jiwa manusia. Dan banyak orang beranggapan bahwa subyek dari karya-karya baru ini bukanlah individu Kristiani tetapi pemerintah, yang seharusnya membuat undang-undang untuk melindungi lingkungan.

Mendesak umat yang setia untuk mematikan lampu, ikut memakai kendaraan umum, dan memisahkan kertas dari plastik - betapapun baiknya tindakan tersebut – hal itu telah melemahkan otoritas wewenang pengajaran paus, hal itu mengundang bahaya bahwa kecaman-kecamannya atas penistaan agama dan aborsi akan dianggap sama derajatnya seperti sarannya yang lain, misalnya ajakannya untuk menggunakan kendaraan umum.


Menjelaskan Pernyataan-pernyataan Paus

Pernyataan-pernyataan paus tentang urusan lingkungan mensyaratkan penilaian bukti ilmiah yang tidak memenuhi syarat untuk dibuat. Kritik yang sama juga bisa ditujukan pada banyak komentarnya tentang urusan ekonomi.

Pada bulan Maret 2017, Francis secara terbuka mengenali sekelompok eksekutif dari jaringan televisi Sky Italy yang hadir pada audiensi umum mingguannya. Sky Italy baru-baru ini mengumumkan rencana untuk berhemat dan merestrukturisasi, dan tiga ratus pekerja akan diminta untuk pindah dari Roma ke Milan. Berbicara kepada para eksekutif ini, Paus mengatakan, "Dia yang menutup pabrik dan menutup perusahaan sebagai akibat dari operasi ekonomi dan negosiasi yang tidak jelas, yang membuat laki-laki dan perempuan kehilangan pekerjaan, melakukan dosa yang sangat berat." Harus diakui disini bahwa pernyataan itu sungguh kacau. (Penerjemah tidak dapat disalahkan karena kebingungan; hukumannya sama tidak jelasnya dalam bahasa Italia). Tetapi dalam konteks berbicara dengan perwakilan perusahaan tertentu, paus tampaknya menuduh eksekutif Sky Italy telah melakukan "dosa yang sangat berat." Apakah dia mengerti keadaan yang mendorong keputusan perusahaan itu? Ketika dia mengatakan bahwa PHK tidak boleh dilakukan dengan alasan "operasi ekonomi," apa yang dia maksud? Jika pengusaha dilarang menutup pabrik, haruskah mereka membiarkan pabrik tetap terbuka bahkan ketika mereka kehilangan uang, sampai perusahaan mengalami kebangkrutan — dan karyawan toh tetap kehilangan pekerjaan mereka?

Dengan pernyataan yang amat tidak bijaksana seperti ini, Francis memberi kepada umat Katolik yang setia untuk mencari cara dalam menafsirkan pesan-pesannya sehingga mereka dapat mempertahankan dukungan sepenuh hati yang selalu mereka berikan kepada Paus Roma. Ketika bulan-bulan kepausan terus berlalu, dan buku besar pesan-pesan partisan tumbuh semakin tidak seimbang, maka upaya itu menjadi semakin sulit.

Sejak awal, pendekatan paus yang tidak konvensional telah mengecewakan banyak umat Katolik. Segera setelah pemilihannya, dia mengunjungi kantor pers Vatikan untuk memperkenalkan dirinya kepada para wartawan yang meliput Tahta Suci. Para jurnalis mengharapkannya untuk mengakhiri kunjungan dengan memberikan berkat. Tetapi paus yang baru itu memutuskan untuk tidak membuat tanda Salib, dan berkata kepada mereka, “Karena banyak dari Anda bukan dari Gereja Katolik, dan yang lain-lainnya bukan orang beriman, maka saya dengan hormat akan memberikan berkat ini kepada Anda masing-masing secara diam-diam, dengan menghormati hati nurani setiap individu, tetapi dalam pengetahuan bahwa Anda masing-masing adalah anak Allah.” Kemudian ia menundukkan kepalanya, berdoa dalam keheningan selama beberapa saat, dan meninggalkan ruangan begitu saja. Para wartawan Katolik yang kebingungan saat itu — dan sebagian besar jurnalis Vatikan adalah Katolik — saling memandang satu sama lain dengan bingung, merasa seolah-olah peristiwa itu belum berakhir. Seorang reporter memberi tahu saya bahwa dia merasa dicurangi karena tidak adanya berkat kepausan.

Demikian pula ketika dia berbicara di Gedung Putih dan sebelum sidang gabungan Kongres pada September 2015, Francis tidak pernah menyebut nama Yesus Kristus sama sekali. Para pembelanya menjelaskan bahwa tidak pantas menyebutkan nama Tuhan dalam pidato resmi kepada audiensi sekuler. Tetapi ingat, ketika Santo Petrus dinasihati "untuk tidak mengajar dalam nama ini" (Kis. 5:28), dia mengabaikan batasan itu. Mengapa penggantinya (Francis) harus bertindak berbeda sekarang? Dalam penampilannya di hadapan Kongres, paus diperlakukan sebagai kepala negara sekuler dan dengan ceroboh diperkenalkan kepada majelis dengan gelar yang tidak masuk akal "Paus Tahta Suci". Tetapi mengapa para politisi Amerika harus tertarik pada pendapat pemimpin negara-kota yang kecil itu? Ketika uskup Roma bepergian ke luar negeri, dia mungkin menjelaskan mengapa orang harus mendengarkan pesannya: karena dia berbicara dalam nama Yesus.

Pada bulan-bulan awal kepausannya, masih dimungkinkan untuk menjelaskan pernyataan-pernyataan paus yang lebih merepotkan, sebagai bagian dari upaya untuk mencapai keseimbangan antara pandangan liberal dan konservatif. Pada November 2013, Ross Douthat, seorang kolumnis untuk New York Times dan seorang Katolik, menyarankan agar paus berusaha untuk mengakhiri "semacam perang saudara kelembagaan tingkat rendah" yang telah menimpa Gereja sejak Konsili Vatikan Kedua hingga membuat semua orang menjadi pihak yang kalah.” Saya sendiri menulis bahwa para analis di kedua ujung spektrum politik dan teologis, untuk tujuan partisan mereka sendiri, mencoba menggambarkan paus sebagai seorang radikal. Setahun kemudian, saya siap untuk menyimpulkan bahwa mungkin Francis benar-benar radikal, dan Douthat ada beberapa langkah di depan saya, menyarankan bahwa umat Katolik ortodoks “mungkin ingin mempertimbangkan kemungkinan bahwa mereka memiliki peran untuk dimainkan, dan bahwa Paus ini mungkin dilindungi dari kesalahan hanya jika Gereja sendiri yang menolaknya."

Sandro Magister menulis pada bulan Maret 2015 bahwa Francis sedang melakukan “dua langkah,” mencampur pernyataan-pernyataan tentang pengajaran Katolik tradisional dengan konsesi yang mengejutkan bagi pemikiran sekuler liberal. "Pembaruan kepausannya ini," tulisnya, "adalah bahwa bersamaan dengan penegasan kembali doktrin abadi Gereja, hal itu juga memberikan kebebasan untuk mengendalikan doktrin dan praktik pastoral yang berbeda dan terkadang bertolak belakang."


Pesan Yang Campur Aduk Tentang Kontrasepsi…

Pada Januari 2015, Francis menjadi berita utama karena salah satu wawancaranya yang  terkenal di udara. Dalam perjalanan ke Filipina, dia mengungkapkan kepada wartawan bahwa dia pernah "menegur" seorang wanita dengan riwayat kehamilan bermasalah yang saat itu menantikan kelahiran anaknya yang kedelapan, dan Francis bertanya kepada ibu itu, "Tetapi apakah Anda ingin meninggalkan tujuh anak yatim?" Dia menyerukan untuk "menjadi orang tua yang bertanggung jawab." Paus tidak mendukung kontrasepsi buatan dan dengan hati-hati menyatakan bahwa "Tuhan memberi Anda metode untuk bertanggung jawab," dimana hal ini mengacu kepada keluarga berencana alami. Tetapi perkataannya itu memicu putaran baru olok-olok editorial umat Katolik atas penolakan mereka terhadap kontrasepsi - ejekan di mana Paus sendiri tampaknya membela komentarnya, “Beberapa orang berpikir seperti itu, maaf jika saya menggunakan kata itu, bahwa untuk menjadi umat Katolik yang baik kita harus seperti kelinci. Tidak!"

Sekali lagi, pola pernyataan yang membingungkan pada 2015 mulai tampak jelas setahun kemudian. Pada bulan Februari 2016, dalam wawancara dalam pesawat lain - wawancara yang sama di mana dia menyarankan bahwa pembangunan tembok pembatas oleh Donald Trump adalah "bukan berjiwa Kristiani" - paus menanggapi pertanyaan tentang proposal PBB untuk mendistribusikan alat kontrasepsi di beberapa bagian Amerika Latin yang terkena dampak Virus Zika, yang dapat menyebabkan cacat lahir yang serius. "Menghindari kehamilan (dengan pemakaian kontrasepsi) bukanlah kejahatan absolut," demikian jawab Francis.

Ditanya apakah kontrasepsi adalah "lebih rendah dari dua kejahatan" ketika virus Zika bisa menyebabkan cacat lahir, paus menjawab sebagian, "Pada kejahatan yang lebih rendah, menghindari kehamilan, kita berbicara dalam hal konflik antara Perintah Kelima dan Keenam." Konflik apa? Apakah dia bermaksud menyarankan bahwa dalam beberapa kasus, mematuhi salah satu hukum Tuhan mungkin berarti melanggar hukum Tuhan yang lainnya?

Dalam kalimat berikutnya, paus merujuk pada keputusan yang diakui oleh Paus Paulus VI yang mengizinkan biarawati di Kongo Belgia untuk menggunakan alat kontrasepsi ketika mereka diancam akan diperkosa. Tetapi tidak sepenuhnya jelas arah apa yang sebenarnya diberikan Paulus VI kepada para biarawati. Jika dia mengizinkan penggunaan kontrasepsi, beberapa teolog moral Katolik berpendapat, nasihatnya tidak bijaksana. Bagaimanapun, arahan kepausan itu tidak berlaku untuk situasi di Amerika Latin yang dilanda virus Zika. Kontrasepsi adalah tidak bermoral karena melanggar integritas tindakan perkawinan. Di Kongo, beberapa teolog moral berpendapat, kontrasepsi dibenarkan sebagai cara untuk menggagalkan tindakan kekerasan — ini memang logis tetapi tidak berlaku untuk kasus virus Zika.

Memang benar bahwa paus tidak benar-benar mengatakan jika kontrasepsi dapat dibenarkan. Dia hanya mengatakan bahwa "menghindari kehamilan bukanlah kejahatan absolut." Tapi apa kesimpulan lain yang kemungkinan diambil wartawan dari pernyataannya ini? Jika Anda bertanya kepada saya apakah dapat dibenarkan untuk merampok bank, dan saya menjawab bahwa perampokan bank bukanlah kejahatan absolut, belumkah saya menunjukkan bahwa saya terbuka untuk diskusi tentang apakah perampokan bank itu sah dalam keadaan tertentu? Tentu saja saya belum memberi kesan bahwa saya pikir perampokan bank selalu tidak bermoral.

Para pejabat PBB menyarankan bahwa pasangan yang sudah menikah harus secara rutin melakukan kontrasepsi buatan karena epidemi Zika. Tidak ada dalam pernyataan paus yang menyatakan bahwa ada masalah moral dengan pendekatan itu. Selain itu, paus telah gagal menunjukkan kelemahan dalam premis utama argumen untuk pemakaian kontrasepsi rutin: asumsi bahwa virus Zika bertanggung jawab atas penyakit mikrosefali pada anak. Tetapi ada sedikit bukti ilmiah yang mendukung asumsi itu, seperti yang ditunjukkan oleh perwakilan paus sendiri dalam presentasi di PBB.

Seberapa merusak wawancara kepausan ini? Para pembela setia paus mengatakan bahwa kata-katanya telah dikeluarkan dari konteks. Tapi masalahnya bukan pelaporan sensasional. Para pendukung kontrasepsi dan aborsi telah mengeksploitasi epidemi Zika untuk memajukan perjuangan mereka. Dalam pernyataannya yang membingungkan, Francis menyampaikan kesan bahwa dia siap untuk membahas moralitas kontrasepsi dalam konteks epidemi Zika.


….Dan Juga Mengenai Ideologi Gender

Kemudian pada tahun 2016, paus menyebabkan kekecewaan orang banyak dengan pernyataannya tentang topik hangat lainnya: ideologi gender. Selama kunjungan bulan Oktober ke Tbilisi, Georgia, paus mengecam keras ideologi gender. "Saat ini ada sebuah perang dunia untuk menghancurkan pernikahan," katanya, dan teori gender adalah bagian penting darinya. Dia mendesak rakyat Georgia untuk menentang "penjajahan ideologis yang menghancurkan — bukan dengan senjata tetapi dengan gagasan." Ini adalah pernyataan yang keras.

Tetapi pada hari berikutnya, dalam sebuah ilustrasi tentang apa yang oleh Sandro Magister disebut sebagai "dua langkah," paus membatalkan pernyataannya sendiri. Dalam sebuah wawancara dengan para wartawan dalam penerbangannya kembali ke Roma — wawancara dengan pesawat lain! — dia menunjukkan bahwa dirinya bersedia memberi kepada para ahli teori gender apa yang paling mereka inginkan: kebebasan untuk mengubah ucapan.

Sebagai jawaban atas pertanyaan seorang jurnalis Amerika tentang kecamannya terhadap teori gender, paus memberikan jawaban yang berbelit-belit namun terbuka:

Tahun lalu saya menerima surat dari seorang Spanyol yang menceritakan kisahnya sebagai seorang anak, seorang pemuda. Aslinya dia adalah seorang gadis, seorang gadis yang sangat menderita karena dia merasa seperti anak laki-laki, tetapi secara fisik dia adalah seorang gadis. Dia memberi tahu ibunya dan ibunya. . . gadis itu berusia sekitar 22 tahun mengatakan bahwa dia ingin melakukan intervensi bedah (ganti kelamin) dan semua hal yang berhubungan dengan itu. Dan sang ibu berkata untuk tidak melakukan hal itu saat dia masih hidup. Dia sudah tua dan dia meninggal segera setelah itu. Kemudian gadis itu menjalani operasi dan seorang pegawai kementerian di kota Spanyol pergi melapor kepada uskup, yang banyak mendampingi [orang ini]. Uskup yang baik. Saya menghabiskan sementara waktu menemani pria ini. Kemudian pria (yang semula adalah wanita) itu menikah, dia mengubah identitas sipilnya, menikah dan menulis surat kepada saya yang mengatakan bahwa baginya akan menjadi sebuah penghiburan untuk bisa bertemu saya, bersama istrinya, pria itu yang sebelumnya adalah wanita, tetapi dia pria (sekarang)!

Perhatikanlah bahwa baris terakhir: referensi paus untuk "pria itu yang semula adalah wanita, tetapi dia pria (sekarang)!" Kata-kata itu tidak termasuk dalam ringkasan resmi wawancara dengan Vatikan, tetapi frasa penuturannya dilaporkan oleh kantor berita lain, dengan hanya sedikit variasi dalam terjemahan. Paus mengatakan bahwa "wanita itu" telah menjadi "pria." Bahkan menurut ringkasan resmi Vatikan, paus memperkenalkan seseorang, yang lahir sebagai wanita, dengan ucapan "pria Spanyol." Disini paus menerima perubahan identitas seksual sebagai fakta yang bisa dia terima.

Paus melanjutkan dengan mengatakan bahwa dia telah bertemu dengan pasangan Spanyol itu, “dan mereka sangat bahagia.” Dan dia sama sekali tidak menyarankan bahwa “pria yang sesungguhnya wanita itu” sedang bermasalah atau telah berbuat kesalahan. Memang, jawaban paus terhadap pertanyaan wartawan hanyalah menyarankan bahwa mengajarkan ideologi gender di sekolah berarti “mengubah mentalitas” siswa. Dalam kasus ini, gadis Spanyol itu rupanya membuat keputusan sendiri untuk memanipulasi identitas seksualnya, dan paus tidak menyatakan keberatan atas hal itu. Dia memuji uskup Spanyol yang bersedia mendampingi dan menasihati gadis itu. Apakah uskup itu mendesak gadis itu untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri, tidak memberontak terhadap rencana Tuhan bagi hidupnya? Jika ya, Francis tidak menyebutkannya.

Seorang gadis muda yang tidak bahagia menjadi seorang gadis, membutuhkan simpati, dukungan, dan perhatian penuh kasih. Tetapi jika dia menganggap dirinya sebagai anak laki-laki, dia tidak boleh didorong terus berada dalam khayalan itu. Perempuan adalah perempuan, dan laki-laki adalah laki-laki, dan prosedur medis maupun suntikan hormon tidak dapat mengubah kenyataan itu. Ketika Tuhan menetapkan bangsa manusia, Kitab Kejadian memberi tahu kita, "pria dan wanita diciptakan-Nya." Perbedaan antara identitas pria dan wanita adalah "pemberian besar," merupakan bagian integral dari rencana Allah — bukan hanya untuk kemanusiaan sebagai keseluruhan, tetapi untuk kita masing-masing. Gagasan bahwa seseorang dapat memutuskan jenis kelaminnya sendiri berarti dia menolak penciptaan. Itu adalah sebuah klaim bahwa individu dapat menentukan realitasnya sendiri, bahwa tidak ada "pemberian" itu - singkatnya hal itu adalah sebuah penolakan terhadap kedaulatan Allah.

Jadi apa yang terjadi dalam kasus gadis Spanyol yang malang itu? Apakah Tuhan menciptakannya sedemikian rupa sehingga tubuhnya bertentangan dengan jiwanya? Saran itu menggelikan, jika tidak boleh dianggap sebagai menghujat. Lalu apakah dia memberontak terhadap rencana Tuhan? Jika demikian, dia membutuhkan bantuan pastoral, bukan justru dorongan dalam upaya pemberontakannya. Dan hal yang sama juga berlaku untuk orang muda bingung lainnya, yang mungkin mendengar tentang kasus ini, dan menyimpulkan (secara keliru, tidak diragukan lagi, tetapi dapat dimengerti) bahwa paus akan mendukung keputusan mereka untuk mengubah identitas seksual mereka.

"Saya ingin menjadi jelas," kata paus. “Tolong jangan katakan, 'Paus merestui transgender' '- sebuah baris kalimat garis yang dihilangkan olehnya, cukup aneh, dari ringkasan Vatikan. Sayangnya, ingin jelas, tetapi idak menjamin kejelasan. Pastinya Bapa Suci tidak menjadikan orang transgender sebagai model. Dan kita semua bisa sepakat bahwa paus tidak mendukung operasi perubahan jenis kelamin. Tetapi jika ada seorang anak muda yang bingung membaca jawaban paus, dan dia mencari beberapa alasan untuk tidak mengubah identitas seksualnya, maka dia tidak akan menemukannya dalam jawaban paus Francis. Dalam pertempuran penting antara kebenaran dan kepalsuan, para pembela kebenaran baru saja dihantam oleh tembakan persahabatan dari paus.

Banyak orang (termasuk saya) yang tertarik dengan pendekatan baru Francis dalam dua minggu pertama masa kepausannya, kemudian merasa khawatir setelah dua tahun pertama, dan pada ulang tahun keempat kenaikannya ke tahta St. Peter menjadi benar-benar kecewa.

Sementara itu perubahan lain telah terjadi, yang sebagian besar diabaikan oleh media sekuler. Kerumunan orang yang dulu memadati audiensi paus tahun 2013, kini mulai jauh berkurang. Diskusi energetik tentang Katolisitas juga mereda. "Efek Francis" mulai menghilang.

Jean-Marie Guénois, editor agama dari harian Prancis Le Figaro, mungkin adalah jurnalis pertama yang menyaksikan tren seperti itu. Pada November 2014, ketika Francis melakukan perjalanan ke Strasbourg untuk berpidato di Parlemen Eropa, Guénois — yang telah menjadi anggota korps pers Vatikan selama lebih dari dua puluh tahun dan ikut berada di pesawat kepausan selama lebih dari lima puluh perjalanan paus Farncis ke luar negeri — memperhatikan bahwa ada dua hal yang berubah. Pertama, jalan-jalan Strasbourg hampir kosong ketika iring-iringan kendaraan kepausan Francis  bergerak dari bandara menuju ke gedung Parlemen Eropa. Hampir tidak ada orang di trotoar yang menyambutnya — atau bahkan untuk mencela — paus. Kedua, perjalanan singkat paus disana tidak memasukkan acara yang terbuka untuk umum (umat), betapapun singkatnya. Francis berpidato di Parlemen Eropa, berbicara dengan para pemimpin Dewan Eropa, dan dengan cepat naik pesawat kembali ke Roma. Guénois menyimpulkan dengan sedih, "Paus tidak ingin melihat orang-orang Alsace, dan orang-orang Alsace juga tidak ingin melihat Paus."

Dalam perjalanan kepausan yang lain kemudian, orang banyak yang tidak mau menyambutnya. Selama kunjungannya ke Amerika Serikat pada tahun berikutnya, misalnya, paus berbicara kepada orang banyak yang mengesankan di Washington dan New York, dan pada audiensi itu  diperkirakan beberapa ratus ribu orang menyambutnya di Philadelphia. Tetapi reaksi publik yang dingin terhadap kunjungan kepausan ke Strasbourg mungkin merupakan insiden yang patut dicermati. Karena perjalanan singkat ke Strasbourg merupakan indikasi bahwa antusiasme awal dari publik kepada paus Francis mulai terkikis.

________________________

1. Uskup Marcelo Sánchez Sorondo, kanselir Akademi Ilmu Pengetahuan Kepausan, telah menyalah-artikan perkataan paus pada bulan Desember 2015 dengan menyatakan pada sebuah konferensi bahwa penilaian paus tentang perubahan iklim “harus dianggap sebagai ajaran magisterium [yaitu, pengajaran resmi Gereja] — itu bukanlah sebuah opini paus." Kemudian seorang Jesuit Amerika, Joseph Fessio, mengoreksi kesalahan itu dalam sebuah wawancara dengan LifeSite News:" Baik Paus maupun Uskup Sorondo tidak dapat berbicara tentang masalah sains dengan otoritas kepausan yang mengikat, sehingga menggunakan kata 'magisterium' dalam kedua kasus tersebut adalah samar-samar dan dalam hal apa pun itu adalah bodoh. Menyamakan sikap kepausan tentang aborsi dengan sikap terhadap pemanasan global [seperti yang dilakukan Uskup Sorondo] adalah lebih buruk daripada salah; hal itu sangatlah memalukan bagi Gereja.”

No comments:

Post a Comment