Wednesday, July 10, 2019

GEMBALA YANG SESAT - Pengantar


GEMBALA YANG SESAT
BAGAIMANA PAUS FRANCIS SEDANG MENYESATKAN KAWANANNYA







Oleh
Philip F. Lawler

  
  
Copyright © 2018 by Philip F. Lawler
All rights reserved. No part of this publication may be reproduced or transmitted in any form or by any means electronic or mechanical, including photocopy, recording, or any information storage and retrieval system now known or to be invented, without permission in writing from the publisher, except by a reviewer who wishes to quote brief passages in connection with a review written for inclusion in a magazine, newspaper, website, or broadcast.

Regnery Gateway™ is a trademark of Salem Communications Holding Corporation Regnery® is a registered trademark of Salem Communications Holding Corporation.

Cataloging-in-Publication data on file with the Library of Congress e-book ISBN 978-1-62157-753-9

Published in the United States by Regnery Gateway An imprint of Regnery Publishing
A Division of Salem Media Group 300 New Jersey Ave NW Washington, DC 20001

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1


Books are available in quantity for promotional or premium use.
For information on discounts and terms, please visit our website: www.Regnery.com.




PENGANTAR


Setiap hari saya selalu berdoa untuk Paus Fransiskus. Namun (hampir) setiap hari, Paus Fransiskus mengeluarkan pernyataan-pernyataan baru bahwa dia tidak menyetujui umat Katolik seperti saya ini.

Jika Bapa Suci sampai memarahi saya karena dosa-dosa saya, saya tidak akan punya alasan untuk mengeluh. Tetapi, setelah hari-hari yang melelahkan, dalam berbagai homili Misa pagi di kediamannya St. Martha, Vatikan, paus mencela saya — serta ribuan umat Katolik lainnya yang setia — karena kami berpegang teguh pada, dan kadang-kadang menderita, demi kebenaran yang selalu diajarkan oleh Gereja selama ini. Kami dituduh keras kepala, begitu tuduhnya kepada kami. Kami adalah seperti ‘para ahli taurat, orang-orang Farisi, yang hanya ingin ‘merasa nyaman’ dengan Iman kami.

Pada masa-masa awal kepausannya, Francis telah mempesona khayalan publik dengan seruannya untuk melakukan misi yang baru, penuh semangat, dan mendunia. Saya adalah salah satu dari jutaan orang yang terjebak dalam ‘efek Francis,’ ini, saya merasa sangat  antusias dengan visinya. Saya mendapati bahwa teman-teman dan tetangga-tetangga, yang terinspirasi oleh apa yang mereka baca dan dengar tentang paus, ingin berbicara dengan saya tentang Iman Katolik: bukan tentang politik Vatikan atau skandal para klerus, tetapi tentang pesan mendasar dari Injil.

Namun seiring waktu berlalu, nada dan bahkan isi pernyataan publik paus membuat saya bingung, lalu membuat saya sedih. Selama berbulan-bulan, dalam pekerjaan saya melaporkan berita harian dari Vatikan, saya berusaha melakukan yang terbaik untuk memberikan jaminan – bagi para pembaca saya dan kadang-kadang bagi diri saya sendiri - bahwa meskipun komentar-komentar paus kadang-kadang mengkhawatirkan, tetapi Fransiskus tidak bersifat radikal, tidak membawa Gereja menjauh dari sumber-sumber kuno dari Iman. Tetapi secara bertahap, perlahan, namun menyakitkan, saya sampai pada kesimpulan bahwa dia adalah seperti itu, seperti yang saya duga dan saya khawatirkan.

Paus Roma seharusnya menjadi pusat persatuan di dalam Gereja. Tetapi Francis, sayangnya, telah menjadi sumber perpecahan. Ada dua alasan bagi perkembangan yang tidak menyenangkan ini: gaya pemerintahan otokratis dari paus dan sifat radikal dari program-programnya yang tak berhenti dan terus berkembang.

Gaya bertindaknya yang otokratis, yang sangat kontras dengan janji-janjinya tentang  pemerintahan kolegial dan sinodal, tidak pernah begitu jelas seperti pada Januari 2017, ketika dia mengesampingkan status independen dan berdaulat dari sebuah ordo persaudaraan Katolik kuno, the Knights of Malta (Kesatria Malta). Menulis tentang kudeta yang luar biasa itu di Wall Street Journal, Sohrab Ahmari mengamati bahwa tindakan paus itu “telah memecah belah gereja di sepanjang garis yang telah dikenal banyak orang.” Ahmari, seorang yang baru masuk Katolik, melanjutkan:

Seperti halnya dengan masalah-masalah baru lainnya, misalnya: soal pemberian Komuni kepada umat yang bercerai dan yang menikah lagi; status dari Misa Latin; Keterlibatan Vatikan dengan rezim Komunis China — maka nampak jelas bahwa kaum konservatif berada di satu pihak dan Paus Fransiskus berada di pihak lain.

Tetapi seorang paus seharusnya tidak boleh berada di ‘satu pihak’ dari perselisihan di dalam Gereja. Tentu saja Paus Roma harus membuat keputusan dan menetapkan kebijakan. Tetapi tidak seperti seorang pemimpin politik, dia tidak diharapkan untuk membawa agenda khususnya kepada jabatannya sebagai paus, untuk mempromosikan sekutu-sekutunya dan menghantam serta menghukum lawan-lawannya. Seperti halnya kita mengharapkan Presiden Trump untuk membalikkan kebijakan Presiden Obama — sama seperti Obama membalikkan kebijakan Presiden Bush — kita juga mengharapkan seorang paus untuk mempertahankan keputusan para pendahulunya. Karena Gereja tidak, atau tidak seharusnya, dibagi-bagi menjadi partai yang saling bersaingan.

Setiap paus bisa membuat keputusan yang kontroversial, dan setiap keputusan yang  kontroversial bisa membuat beberapa orang merasa tidak senang. Tetapi seorang paus yang berhati-hati akan berusaha menghindari penampilannya yang sewenang-wenang. Sadar bahwa dia melayani sebagai kepala dari sekumpulan para uskup — bukan sebagai raja tunggal — maka dia harus melakukan yang terbaik untuk mengusulkan, bukannya  memaksakan solusi-solusi bagi masalah-masalah pastoral.

Meskipun dia menjalankan otoritas yang sangat besar di dalam Gereja, tetapi seorang paus juga harus bertindak di bawah kendali yang besar. Dia didorong untuk berbicara bagi Gereja universal, tetapi dalam arti bahwa dia musti mengurangi atau bahkan menghilangkan pembicaraan demi kepentingan dirinya sendiri. Paus tidak bisa bersikap memihak. Dia diharapkan untuk menyelesaikan argumen, bukan untuk memulai. Pada saat Konsili Yerusalem, Santo Petrus menetapkan standar bagi para penerusnya: mendengarkan argumen dari kedua belah pihak dan kemudian membuat penilaian (meski dia harus memutuskan sesuatu yang bertentangan dengan posisi sebelumnya yang dia pegang sendiri).

Sesuai dengan sifatnya, peran paus adalah bersifat konservatif, dalam arti yang terbaik. Dia bertugas melestarikan kemurnian dan kejelasan Iman kita, suatu Iman yang tidak berubah. Karena keyakinan fundamental kita ditetapkan oleh Yesus Kristus, maka tidak ada uskup yang dapat mempertanyakannya tanpa meruntuhkan otoritas Gereja yang didirikan oleh Tuhan kita — Gereja yang sama yang memberinya satu-satunya klaim atas otoritasnya. Sementara paus adalah guru tertinggi dari Iman Katolik, maka paus hanya bisa mengajarkan apa yang Gereja selalu ajarkan: Deposit Iman yang telah diwariskan kepadanya dari para rasul. Dia dapat berbicara tanpa salah (infallible), tetapi hanya saat ketika dia memproklamasikan dan mendefinisikan apa yang dipercaya umat beriman Katolik “selalu dan di mana saja”.
Singkatnya, paus tidak dapat mengajarkan sesuatu yang baru. Dia dapat mengungkapkan kebenaran lama dengan cara-cara baru, tetapi jika dia memperkenalkan pembaharuan yang nyata, maka dia telah menyalahgunakan otoritasnya. Dan terlebih lagi jika ajaran-ajarannya yang "baru" itu  bertentangan dengan doktrin Gereja yang mapan, maka dia telah merusak otoritasnya sendiri.

Banyak umat Katolik yang setia percaya bahwa dengan Amoris Laetitia, Francis telah mendorong keyakinan dan praktek yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja sebelumnya. Jika keluhan itu dibenarkan, maka dia telah melanggar kepercayaan suci yang diberikan kepada penerus Petrus. Jika keluhan itu tidak dibenarkan, maka Bapa Suci setidaknya telah berhutang (untuk memberikan) penjelasan kepada kita, bukannya memberikan tuduhan dan penghinaan.

Sesuatu telah menyentak di dalam diri saya pada 24 Februari 2017, ketika Francis mengubah bacaan Injil hari itu (Mark. 10: 1–12) menjadi satu kesempatan lagi untuk mempromosikan pandangannya sendiri tentang perceraian dan pernikahan kembali. Dia mengutuk kemunafikan dan "logika kasuisme," Paus mengatakan bahwa Yesus menolak pendekatan para ahli hukum. Cukup sudah. Tetapi dalam teguran-Nya kepada orang-orang Farisi, apa yang Yesus katakan tentang pernikahan?

Maka, mereka bukan lagi dua, melainkan satu daging. Apa yang telah disatukan Allah, janganlah manusia memisahkannya, dan siapa pun yang menceraikan istrinya dan menikahi yang lain, dia melakukan perzinahan terhadapnya; dan jika dia menceraikan suaminya dan menikahi yang lain, dia melakukan perzinahan.

Kadang-kadang, dalam homilinya, penafsiran Paus terhadap Kitab Suci terasa dipaksakan; seringkali penyebutannya terhadap umat Katolik yang berpikiran tradisionil bernada menghina. Tetapi dalam kasus ini, paus telah membalikkan bacaan Injil sepenuhnya. Dari laporan Radio Vatikan tentang homili yang mengejutkan itu, saya mendapati bahwa saya tidak dapat lagi berpura-pura dan menganggap bahwa Francis hanya menawarkan penafsiran baru terhadap doktrin Katolik. Tidak, itu lebih dari itu. Dia terlibat dalam upaya yang disengaja untuk mengubah apa yang diajarkan oleh Gereja.

Selama lebih dari dua puluh tahun saya menulis setiap hari tentang berita-berita dari Vatikan. Saya telah berusaha jujur ​​dalam penilaian saya terhadap setiap pernyataan dan isyarat dari paus. Saya telah mengkritik paus St. Yohanes Paulus II dan paus Benediktus XVI ketika saya berpikir bahwa tindakan mereka tidak bijaksana. Tetapi tidak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa ada satu paus yang menimbulkan bahaya terhadap integritas Iman Katolik. Melihat kembali lebih jauh di sepanjang sejarah Gereja, saya menyadari bahwa ada paus-paus yang buruk, yaitu orang-orang yang tindakan pribadinya dimotivasi oleh keserakahan dan kecemburuan serta nafsu akan kekuasaan dan oleh nafsu birahi. Tetapi pernahkah sebelumnya ada seorang Paus Roma yang mengabaikan begitu mudahnya apa yang selalu diajarkan dan diyakini oleh Gereja selama ini, dan yang serta merta diterapkan pada isu-isu mendasar seperti perkawinan dan Ekaristi?

Paus Fransiskus telah memicu kontroversi sejak dia terpilih sebagai pengganti St. Petrus. Tetapi kontroversi itu akhirnya menjadi begitu kuatnya, hingga menimbulkan kebingungan di kalangan umat beriman, mempengaruhi sistem pemerintahan di Vatikan dengan begitu sewenang-wenang — dan celaan-celaan paus terhadap musuh-musuhnya (yang nyata atau hanya dibayangkan) begitu maniak — hingga saat ini Gereja universal sedang bergegas menuju krisis terbesar.

Dalam sebuah keluarga besar, bagaimana seharusnya seorang putera bersikap ketika dia menyadari bahwa perilaku ayahnya mengancam kesejahteraan seluruh keluarga? Dia pasti harus terus menunjukkan rasa hormat kepada ayahnya, tetapi dia tidak bisa tanpa batas menyangkal bahayanya. Akhirnya, keluarga yang disfungsional itu terpaksa harus membutuhkan intervensi.

Dalam ‘keluarga dunia,’ yaitu Gereja Katolik, cara terbaik untuk melakukan intervensi adalah dengan selalu berdoa.

Tetapi intervensi juga membutuhkan kejujuran — pengakuan yang jujur bahwa kita memiliki masalah serius.

Mengenali masalah juga bisa memberikan semacam keringanan, sebuah relaksasi atas ketegangan yang terakumulasi. Ketika saya memberi tahu teman-teman saya, bahwa saya menganggap kepausan ini sebagai bencana, lebih sering daripada tidak, mereka merasa aneh dan sulit untuk diyakinkan mengenai hal ini. Mereka dapat sedikit mereda, jika menyadari bahwa kekhawatiran mereka sendiri bukanlah khayalan saja, bahwa ada orang lain yang ikut merasakan ketakutan mereka tentang masa depan Iman, bahwa mereka tidak perlu melanjutkan pencarian tanpa hasil bagi cara-cara untuk mendamaikan sesuatu yang tidak dapat didamaikan. Selain itu, setelah menyebutkan masalahnya secara tepat, mereka dapat mengenali apa krisis Katolikisme saat ini dan mengesampingkan penjelasan yang ditawarkan oleh beberapa tradisionalis radikal. Menurut mereka Fransiskus bukanlah antipaus, apalagi Antikristus. Tahta Petrus tidaklah kosong, dan Benediktus bukanlah paus yang "sejati".

Francis adalah paus kita, baik atau buruk, mau atau tidak mau. Dan jika kenyataannya lebih buruk - seperti yang saya simpulkan dengan sedih – maka sebenarnya Gereja telah bertahan dalam mengahadapi beberapa paus yang bermasalah di masa lalu. Kita umat Katolik telah dimanjakan selama beberapa dekade, dengan menikmati suksesi para paus yang luar biasa yang merupakan guru berbakat dan orang-orang suci. Kita telah terbiasa untuk menoleh ke Roma untuk mencari bimbingan. Tetapi sekarang kita tidak bisa lagi seperti itu.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Francis telah kehilangan kharisma infalibilitasnya. Jika dia mengeluarkan pernyataan ex cathedra, di dalam persekutuan dengan uskup-uskup di dunia, maka kita yakin bahwa dia memenuhi kewajibannya untuk meneruskan apa yang Tuhan berikan kepada St. Peter: Deposit Iman. Tetapi paus ini, secara karakteristik, memilih untuk tidak berbicara dengan otoritas kepausan; sebaliknya, dia telah menolak untuk memberikan klarifikasi atas dokumen pengajarannya yang paling provokatif (Amoris Laetitia).

Tetapi jika kita tidak dapat mengandalkan arahan yang jelas dari Roma, ke manakah kita bisa menoleh? Pertama, umat Katolik dapat mengandalkan ajaran Gereja yang konstan, doktrin-doktrin yang sekarang terlalu sering dipertanyakan. Jika paus bertindak membingungkan, maka Katekismus Gereja Katolik tidak. Kedua, kita dapat dan harus meminta uskup di keuskupan kita sendiri untuk maju dan memikul tanggung jawab mereka. Para uskup, juga telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk merujuk pertanyaan-pertanyaan sulit ke Roma. Dan sekarang, karena kebutuhan yang mendesak, mereka harus memberikan penegasan mereka sendiri yang jelas dan tegas tentang doktrin Katolik.

Mungkin Francis akan membuktikan bahwa saya salah dan dia muncul sebagai seorang guru Katolik yang hebat. Saya berharap dan berdoa agar dia melakukan hal itu. Mungkin seluruh argumen saya adalah salah arah. Saya pernah berbuat salah sebelumnya dan tidak diragukan lagi bahwa saya akan salah lagi; namun satu lagi pandangan saya yang salah tidak akan mendatangkan konsekuensi yang besar. Tetapi jika saya benar, dan kepemimpinan paus saat ini telah menjadi bahaya besar bagi Iman, maka umat Katolik lainnya, dan terutama pemimpin Gereja yang ditahbiskan, harus memutuskan bagaimana menanggapi hal ini. Dan jika saya benar bahwa kebingungan tentang ajaran-ajaran Gereja yang fundamental telah meluas, maka para uskup, sebagai guru utama iman, tidak dapat mengabaikan tugas mereka untuk segera campur tangan. Sejarah Gereja Katolik menunjukkan bahwa para uskup akan menanggapi keributan dari umat beriman, dan uskup Roma (Paus), yang tugasnya adalah menyatukan umat, tidak dapat mengabaikan uskup-uskupnya.







No comments:

Post a Comment