Sunday, September 23, 2018

AMORIS LAETITIA HANYA AKAN MEMBUAT KRISIS PELECEHAN SEX SEMAKIN MEMBURUK






By Thomas L. Mulcahy
Fri Sep 21, 2018 - 2:17 pm EST

AMORIS LAETITIA HANYA AKAN MEMBUAT KRISIS PELECEHAN SEX SEMAKIN MEMBURUK


21 September 2018 (Catholic Strength) - Amoris Laetitia, dengan mempertanyakan ajaran moral mendasar Gereja dalam bidang moralitas seksual, hampir tidak bisa menolong dalam menyelesaikan krisis seks di lingkungan klerus yang sangat monumental, hingga menyebabkan kerusakan besar bagi misi Gereja.

Sebagaimana telah ditunjukkan oleh seorang imam dalam sebuah artikel yang terkait di bawah ini, tujuan mendasar dari Amoris Laetitia adalah memberikan sebuah argumen yang berdasarkan pada hati nurani bagi hubungan homoseksual. Lihat disini.

Bayangkan bahwa anda adalah seorang seminaris Katolik yang memiliki kecenderungan sifat homoseksual, namun demikian anda berusaha menjalani kehidupan yang suci. Tetapi kemudian di kelas anda yang mengajarkan tentang moralitas, anda diperkenalkan pada ajaran-ajaran dari Amoris Laetitia, khususnya no. 301-303, yang tampaknya sangat menyarankan bahwa dalam keadaan tertentu Tuhan bahkan menyetujui perilaku yang tidak selaras dengan ajaran Katolik.

Ini adalah saat yang membebaskan bagi anda: karena anda sekarang dapat mengklaim dengan hati nurani yang baik bahwa tindakan homoseksual tidak secara intrinsik jahat dalam situasi anda (dan bahwa Allah memahami hal itu). Sebelum anda menyadarinya, maka kaul kesucian anda telah lenyap dan anda adalah bagian dari subkultur homoseksual di dalam Gereja, dan langkah-langkah yang lebih drastis menuruni lereng licin tampaknya sudah dekat bagi anda.

Bahkan, dalam Bab 8 yang kontroversial dari Amoris Laetitia, Paus Francis menyatakan bahwa jenis "belas kasih" yang dimaksudkan disitu, yang dianjurkan tidak hanya untuk orang yang bercerai dan menikah lagi, tetapi juga mencakup semua orang "dalam situasi apa pun." Disitu Paus Francis menyatakan:

297. Ini adalah masalah untuk menjangkau semua orang, membutuhkan upaya untuk membantu setiap orang guna menemukan cara mereka yang tepat untuk berpartisipasi dalam komunitas gerejani, dan dengan demikian mengalami perasaan disentuh oleh belas kasihan "meski tanpa jasa, tanpa syarat dan secara gratis". Tidak seorang pun dapat dikutuk untuk selamanya, karena itu bukanlah logika Injil! Di sini saya tidak hanya berbicara tentang orang yang bercerai dan menikah lagi, tetapi semua orang, dalam situasi apa pun yang mereka hadapi.

Inilah bagian yang sangat meresahkan dari Amoris Laetitia (no. 301) yang dengan jelas menunjukkan bahwa seseorang dapat berada dalam "situasi konkrit" di mana dia tidak memiliki pilihan lain selain hidup dalam keadaan dosa berat (dan dengan demikian dia dibenarkan tetap berada dalam kondisi dosa objektifnya itu, meskipun dia tahu aturannya):

301. Bagi pemahaman yang memadai tentang kemungkinan dan kebutuhan pembedaan yang khusus dalam situasi "tidak teratur" (tidak wajar) tertentu, satu hal harus selalu diperhitungkan, jangan sampai ada yang berpikir bahwa tuntutan Injil dengan cara apa pun sedang dikompromikan. Gereja memiliki sebuah badan refleksi yang kuat mengenai faktor-faktor dan situasi yang meringankan. Oleh karena itu tidak dapat lagi dikatakan bahwa semua orang yang hidup dalam situasi "tidak teratur", dia berada dalam keadaan dosa berat dan kehilangan rahmat pengudusan. Karena ada lebih banyak pertimbangan yang terlibat di sini daripada sekedar ketidaktahuan tentang aturan yang ada. Seseorang mungkin tahu betul aturannya, namun dia mengalami kesulitan besar dalam memahami "nilai-nilai yang melekat", atau dia berada dalam situasi konkret yang tidak memungkinkan dia untuk bertindak lain dan memutuskan sebaliknya, tanpa berbuat dosa lebih lanjut.

Amoris Laetitia, no. 303, berisi pernyataan lain yang sangat kontroversial yang dibuat oleh Paus Fransiskus, yang menyatakan bahwa seseorang dapat mencapai kesadaran bahwa Tuhan menghendakinya untuk tetap dalam kondisi berdosanya. Bunyinya, di bagian yang bersangkutan:

Namun hati nurani dapat melakukan lebih dari sekadar mengakui bahwa situasi tertentu (misalnya hubungan perzinahan ataupun homosex) tidak sesuai secara obyektif dengan tuntutan keseluruhan Injil. Hati nurani juga dapat mengenali dengan ketulusan dan kejujuran atas apa yang saat ini menjadi tanggapan yang paling banyak yang dapat diberikan kepada Tuhan, dan sampai pada kesimpulan bahwa dengan cara mempertimbangkan segi keamanan moral tertentu maka hal itu (perzinahan dan homosex) adalah apa yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri di tengah kerumitan konkret dari keterbatasan seseorang, meski hal itu belum sepenuhnya ideal obyektif. Dalam hal apa pun, mari kita ingat bahwa tindakan pembedaan ini bersifat dinamis; ia harus tetap terbuka terhadap tahap-tahap pertumbuhan baru dan keputusan-keputusan baru yang memungkinkan hal-hal yang ideal bisa lebih disadari sepenuhnya.

Dalam ensikliknya yang agung tentang moralitas Katolik, Veritatis Splendor, Santo Paus Yohanes Paulus II secara khusus meramalkan dan menolak jenis argumen yang diajukan dalam Amoris Laetia (303) yang dikutip di atas. Dia menyatakan dengan sangat jelas bahwa:

Akan menjadi sebuah kesalahan yang sangat serius ... jika menyimpulkan bahwa ajaran Gereja pada dasarnya hanya sebuah "ideal" yang kemudian ia harus disesuaikan, secara proporsional, dan diijinkan untuk diterapkan kepada apa yang disebut ‘kemungkinan-kemungkinan konkrit dari manusia.’ (VS 103)

Lebih jauh lagi, Santo Yohanes Paulus II menyatakan:

... keadaan atau niatan seseorang tidak pernah dapat mengubah tindakan yang secara intrinsik jahat berdasarkan objeknya, hingga menjadi sebuah tindakan yang "subyektif" baik atau dipertahankan sebagai pilihan bagi seseorang. (VS 81)

Paus Yohanes Paulus II menjelaskan dalam Veritatis Splendor tentang ajaran Katolik yang jelas bahwa tindakan yang secara intrinsik adalah jahat, tidak dapat secara kreatif dirubah menjadi sesuatu yang dikehendaki oleh Allah dalam keadaan konkret (seperti saran yang diajukan dalam Amoris Laetitia no. 303 dan 301).

Ajaran-ajaran moral yang bersifat melarang, yaitu yang melarang tindakan konkret tertentu atau jenis perilaku tertentu sebagai tindakan yang jahat secara intrinsik, tidak memungkinkan untuk diberi pengecualian secara sah. Ajaran-ajaran itu tidak memberi ruang atau peluang, dengan cara apa pun, hingga perbuatan jahat itu dapat diterima secara moral, demi mengakomodir "kreativitas" dari tujuan yang bertentangan, apa pun alasannya. (Veritatis Splendor 67)

Ajaran-ajaran yang bersifat melarang dari hukum alam ini, berlaku universal. Ajaran-ajaran itu mewajibkan masing-masing dan setiap individu, selalu dan dalam setiap keadaan, untuk melaksanakannya. Ini adalah masalah larangan yang melarang tindakan tertentu semper et pro semper (selalu dan selamanya), tanpa kecuali. (VS 52)

Dalam mencoba untuk mengatakan bagi tindakan yang pada hakekatnya adalah jahat, seperti perzinahan, percabulan atau lainnya sebagai "situasi yang tidak biasa", mungkin tanggapan yang paling murah hati dari seseorang yang bisa diberikan kepada Allah pada saat tertentu dalam hidupnya, maka Paus Francis telah memeluk etika situasi dan telah menyimpang jauh dari dasar yang kuat dan otentik dari moralitas Katolik. St. Yohanes Paulus II sejak jauh-jauh hari sudah memperingatkan bahwa argumen tersebut jelas keliru.

KESIMPULAN:
Amoris Laetitia berpotensi membuka pintu bagi pembenaran terhadap hampir semua jenis dosa berat, bukan hanya karena Amoris Laetitia  bisa dibilang paling cocok untuk "semua orang" dalam "segala situasi," tetapi juga karena di dalamnya terkandung pengertian "tidak ada bagian manapun dari moralitas Kristen yang dapat tetap dalam keadaan tak bisa dirubah," jika pernyataan umum tentang tindakan moral dalam dokumen itu dianggap sah, dengan mengutip tulisan ilmuwan besar Dominikan, Pastor Aidan Nichols. Misalnya, mengapa pasangan gay yang menikah tidak bisa mengklaim, dengan alasan saling mencintai, bahwa persatuan mereka adalah respon terbaik yang bisa mereka lakukan dalam situasi konkret mereka. Bagaimana halnya dengan seorang imam yang memiliki kecenderungan homoseksual? Jadi, ketika Dr. Joseph Seifert menyebut Amoris Laetitia  sebagai "bom atom teologis" yang pada intinya ia akan meledakkan Moralitas Katolik, dimana Amoris Laetitia bisa membuat semua Moralitas Katolik pada dasarnya bersifat opsional, maka pendapatnya itu bukan sekedar sebuah kemungkinan yang terbuka seluas-luasnya.

Begitulah Amoris Laetitia  telah menciptakan cukup banyak kekacauan dan berantakan bagi mereka yang mengajarkan teologi moral, dan bagi para seminaris yang mempelajarinya. Orang dapat berkata dengan keras bahwa Amoris Laetitia  adalah ancaman terbesar bagi moralitas Gereja Katolik yang pernah dialaminya selama ini.

Thomas L. Mulcahy, M.A., J.D.
Published with permission from Catholic Strength.

No comments:

Post a Comment