By Thomas L. Mulcahy
Fri Sep 21, 2018 - 2:17 pm EST
AMORIS LAETITIA HANYA AKAN MEMBUAT KRISIS PELECEHAN SEX SEMAKIN MEMBURUK
21
September 2018 (Catholic
Strength) - Amoris Laetitia,
dengan mempertanyakan ajaran moral mendasar Gereja dalam bidang moralitas
seksual, hampir tidak bisa menolong dalam menyelesaikan krisis seks di
lingkungan klerus yang sangat monumental, hingga menyebabkan kerusakan besar
bagi misi Gereja.
Sebagaimana
telah ditunjukkan oleh seorang imam dalam sebuah artikel yang terkait di bawah
ini, tujuan mendasar dari Amoris Laetitia adalah memberikan sebuah argumen yang
berdasarkan pada hati nurani bagi hubungan homoseksual. Lihat
disini.
Bayangkan
bahwa anda adalah seorang seminaris Katolik yang memiliki kecenderungan sifat homoseksual,
namun demikian anda berusaha menjalani kehidupan yang suci. Tetapi kemudian di
kelas anda yang mengajarkan tentang moralitas, anda diperkenalkan pada
ajaran-ajaran dari Amoris Laetitia, khususnya no. 301-303, yang tampaknya sangat menyarankan bahwa dalam keadaan
tertentu Tuhan bahkan menyetujui perilaku yang tidak selaras dengan ajaran
Katolik.
Ini
adalah saat yang membebaskan bagi anda: karena anda sekarang dapat mengklaim
dengan hati nurani yang baik bahwa tindakan homoseksual tidak secara intrinsik
jahat dalam situasi anda (dan bahwa Allah memahami hal itu). Sebelum anda menyadarinya,
maka kaul kesucian anda telah lenyap dan anda adalah bagian dari subkultur homoseksual
di dalam Gereja, dan langkah-langkah yang lebih drastis menuruni lereng licin
tampaknya sudah dekat bagi anda.
Bahkan,
dalam Bab 8 yang kontroversial dari Amoris Laetitia, Paus Francis menyatakan
bahwa jenis "belas kasih" yang dimaksudkan disitu, yang dianjurkan
tidak hanya untuk orang yang bercerai dan menikah lagi, tetapi juga mencakup semua
orang "dalam situasi apa pun." Disitu Paus Francis menyatakan:
297.
Ini adalah masalah untuk menjangkau semua orang, membutuhkan upaya untuk
membantu setiap orang guna menemukan cara mereka yang tepat untuk
berpartisipasi dalam komunitas gerejani, dan dengan demikian mengalami perasaan
disentuh oleh belas kasihan "meski tanpa jasa, tanpa syarat dan secara gratis".
Tidak seorang pun dapat dikutuk untuk
selamanya, karena itu bukanlah logika Injil! Di sini saya tidak hanya
berbicara tentang orang yang bercerai dan menikah lagi, tetapi semua orang,
dalam situasi apa pun yang mereka hadapi.
Inilah
bagian yang sangat meresahkan dari Amoris Laetitia (no. 301) yang dengan jelas
menunjukkan bahwa seseorang dapat berada dalam "situasi konkrit" di
mana dia tidak memiliki pilihan lain selain
hidup dalam keadaan dosa berat (dan dengan demikian dia dibenarkan tetap berada
dalam kondisi dosa objektifnya itu, meskipun dia tahu aturannya):
301.
Bagi pemahaman yang memadai tentang kemungkinan dan kebutuhan pembedaan yang khusus
dalam situasi "tidak teratur" (tidak wajar) tertentu, satu hal harus
selalu diperhitungkan, jangan sampai ada yang berpikir bahwa tuntutan Injil
dengan cara apa pun sedang dikompromikan. Gereja memiliki sebuah badan refleksi
yang kuat mengenai faktor-faktor dan situasi yang meringankan. Oleh karena itu
tidak dapat lagi dikatakan bahwa semua orang yang hidup dalam situasi
"tidak teratur", dia berada dalam keadaan dosa berat dan kehilangan
rahmat pengudusan. Karena ada lebih banyak pertimbangan yang terlibat di sini
daripada sekedar ketidaktahuan tentang aturan yang ada. Seseorang mungkin tahu
betul aturannya, namun dia mengalami kesulitan besar dalam memahami
"nilai-nilai yang melekat", atau dia berada dalam situasi konkret
yang tidak memungkinkan dia untuk bertindak lain dan memutuskan sebaliknya,
tanpa berbuat dosa lebih lanjut.
Amoris
Laetitia, no. 303, berisi pernyataan lain yang sangat kontroversial yang dibuat
oleh Paus Fransiskus, yang menyatakan bahwa seseorang dapat mencapai kesadaran bahwa Tuhan menghendakinya untuk
tetap dalam kondisi berdosanya. Bunyinya, di bagian yang bersangkutan:
Namun
hati nurani dapat melakukan lebih dari sekadar mengakui bahwa situasi tertentu (misalnya
hubungan perzinahan ataupun homosex) tidak sesuai secara obyektif dengan
tuntutan keseluruhan Injil. Hati nurani juga dapat mengenali dengan ketulusan
dan kejujuran atas apa yang saat ini menjadi tanggapan yang paling banyak yang
dapat diberikan kepada Tuhan, dan sampai pada kesimpulan bahwa dengan cara mempertimbangkan
segi keamanan moral tertentu maka hal itu (perzinahan dan homosex) adalah apa
yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri di tengah kerumitan konkret dari keterbatasan
seseorang, meski hal itu belum sepenuhnya ideal obyektif. Dalam hal apa pun,
mari kita ingat bahwa tindakan pembedaan ini bersifat dinamis; ia harus tetap
terbuka terhadap tahap-tahap pertumbuhan baru dan keputusan-keputusan baru yang
memungkinkan hal-hal yang ideal bisa lebih disadari sepenuhnya.
Dalam
ensikliknya yang agung tentang moralitas Katolik, Veritatis Splendor, Santo Paus Yohanes Paulus II secara khusus
meramalkan dan menolak jenis argumen yang diajukan dalam Amoris Laetia (303)
yang dikutip di atas. Dia menyatakan dengan sangat jelas bahwa:
Akan
menjadi sebuah kesalahan yang sangat serius ... jika menyimpulkan bahwa ajaran
Gereja pada dasarnya hanya sebuah "ideal" yang kemudian ia harus
disesuaikan, secara proporsional, dan diijinkan untuk diterapkan kepada apa
yang disebut ‘kemungkinan-kemungkinan konkrit dari manusia.’ (VS 103)
Lebih
jauh lagi, Santo Yohanes Paulus II menyatakan:
...
keadaan atau niatan seseorang tidak pernah dapat mengubah tindakan yang secara
intrinsik jahat berdasarkan objeknya, hingga menjadi sebuah tindakan yang "subyektif"
baik atau dipertahankan sebagai pilihan bagi seseorang. (VS 81)
Paus Yohanes Paulus II
menjelaskan dalam Veritatis Splendor tentang
ajaran Katolik yang jelas bahwa tindakan yang secara intrinsik adalah jahat,
tidak dapat secara kreatif dirubah menjadi sesuatu yang dikehendaki oleh Allah
dalam keadaan konkret (seperti saran yang diajukan dalam Amoris Laetitia no. 303
dan 301).
Ajaran-ajaran
moral yang bersifat melarang, yaitu yang melarang tindakan konkret tertentu
atau jenis perilaku tertentu sebagai tindakan yang jahat secara intrinsik,
tidak memungkinkan untuk diberi pengecualian secara sah. Ajaran-ajaran itu tidak
memberi ruang atau peluang, dengan cara apa pun, hingga perbuatan jahat itu dapat
diterima secara moral, demi mengakomodir "kreativitas" dari tujuan yang
bertentangan, apa pun alasannya. (Veritatis Splendor 67)
Ajaran-ajaran
yang bersifat melarang dari hukum alam ini, berlaku universal. Ajaran-ajaran itu
mewajibkan masing-masing dan setiap individu, selalu dan dalam setiap keadaan, untuk
melaksanakannya. Ini adalah masalah larangan yang melarang tindakan tertentu semper et pro semper (selalu dan selamanya),
tanpa kecuali. (VS 52)
Dalam
mencoba untuk mengatakan bagi tindakan yang pada hakekatnya adalah jahat,
seperti perzinahan, percabulan atau lainnya sebagai "situasi yang tidak
biasa", mungkin tanggapan yang paling murah hati dari seseorang yang bisa diberikan
kepada Allah pada saat tertentu dalam hidupnya, maka Paus Francis telah memeluk
etika situasi dan telah menyimpang jauh dari dasar yang kuat dan otentik dari moralitas
Katolik. St. Yohanes Paulus II sejak jauh-jauh hari sudah memperingatkan bahwa
argumen tersebut jelas keliru.
KESIMPULAN:
Amoris Laetitia berpotensi membuka pintu bagi
pembenaran terhadap hampir semua jenis dosa berat, bukan hanya karena Amoris
Laetitia bisa dibilang paling cocok untuk
"semua orang" dalam "segala situasi," tetapi juga karena di
dalamnya terkandung pengertian "tidak ada bagian manapun dari moralitas
Kristen yang dapat tetap dalam keadaan tak bisa dirubah," jika pernyataan
umum tentang tindakan moral dalam dokumen itu dianggap sah, dengan mengutip
tulisan ilmuwan besar Dominikan, Pastor Aidan Nichols. Misalnya, mengapa
pasangan gay yang menikah tidak bisa mengklaim, dengan alasan saling mencintai,
bahwa persatuan mereka adalah respon terbaik yang bisa mereka lakukan dalam situasi
konkret mereka. Bagaimana halnya dengan seorang imam yang memiliki kecenderungan
homoseksual? Jadi, ketika Dr. Joseph Seifert menyebut Amoris
Laetitia sebagai "bom atom
teologis" yang pada intinya ia akan meledakkan Moralitas Katolik, dimana Amoris Laetitia bisa membuat semua
Moralitas Katolik pada dasarnya bersifat opsional, maka pendapatnya itu bukan
sekedar sebuah kemungkinan yang terbuka seluas-luasnya.
Begitulah Amoris Laetitia telah menciptakan cukup banyak
kekacauan dan berantakan bagi mereka yang mengajarkan teologi moral, dan bagi
para seminaris yang mempelajarinya. Orang dapat berkata dengan keras bahwa Amoris
Laetitia adalah ancaman terbesar bagi
moralitas Gereja Katolik yang pernah dialaminya selama ini.
Thomas L. Mulcahy, M.A., J.D.
Published with permission from Catholic
Strength.
No comments:
Post a Comment