Thursday, September 13, 2018

RAMALAN TENTANG SEBUAH GEREJA YANG DIROMBAK



Bottom of Form
RAMALAN TENTANG SEBUAH GEREJA YANG DIROMBAK

by TED FLYNN SEPTEMBER 6, 2018

Ringkasan dari Bab 1 bukuTHE GREAT TRANSFORMATION



Golongan kiri menginginkan gereja yang lebih bersifat liberal, tanpa keagungan formal, lebih banyak memakai musik-musik rakyat di dalam Misa, struktur yang lebih sederhana dan tidak terlalu formal, pandangan yang lebih liberal (modern) tentang orang yang bercerai dan menikah lagi untuk dapat menerima Komuni, ajaran dan aturan yang longgar tentang aborsi, kontrasepsi, pengungsi, pernikahan homoseksual, dan imam wanita. Mereka (kelompok kiri) menganggap bahwa Tuhan mau menerima semua orang tanpa menghiraukan doktrin yang telah diajarkan sejak pembentukan gereja awali. Mereka percaya bahwa Gereja saat ini sudah ketinggalan jaman dan usang dalam bentuknya yang sekarang, dan saat ini Gereja tidak bisa  memenuhi kebutuhan (keinginan) dari orang banyak. Banyak kelompok yang condong ke kiri menginginkan Gereja tanpa batasan-batasan dan melemahkan strukturnya yang agung. Injil yang lebih liberal secara sosial dapat ditemukan akarnya pada Zaman Pencerahan di Perancis dan Eropa Barat, menjelang zaman Revolusi Prancis (1789) dan seterusnya. Kelompok kiri ingin menyingkirkan pembatasan-pembatasan resmi dari Gereja dan supremasi Petrus, sementara kelompok kanan lebih menyukai struktur monarki dan kontrol terpusat.

Siapa yang akan memenangkan pertempuran jangka pendek hingga jangka menengah ini, tidak diketahui. Namun, dengan pemerintahan-pemerintahan yang besar dan kelompok-kelompok yang disuplai dana dan terorganisir dengan baik, yang secara terus-menerus berusaha menggerus otoritas Gereja, maka kelompok kiri saat ini dapat memenangkan pertempuran. Berbagai macam pidato dan ucapan akan disampaikan dengan keras ketika menyangkut masalah-masalah yang dibawa ke alun-alun umum atau meja ruang makan di antara teman-teman dan keluarga, yaitu masalah mengenai arah perjalanan Gereja, dan apa yang mereka pikirkan tentang setiap paus yang memegang Kunci Petrus. Banyak yang mungkin tidak dapat mengartikulasikan masalah, tetapi kebanyakan orang memiliki pendapat ke arah mana Gereja harus menuju.

Uskup Joseph Ratzinger pada tahun 1969 menyuarakan pendapat di mana dia melihat kemana Gereja akan menuju. Hal itu mungkin saja merupakan ramalan, prediksi, atau hanya wawasan berdasarkan pengetahuannya tentang sejarah. Meskipun demikian, inilah yang dia katakan pada tahun 1969, empat tahun setelah sesi terakhir Konsili Vatikan Kedua:

“Gereja akan direstrukturisasi dengan anggota yang jauh lebih sedikit, yang dipaksa untuk melepaskan banyak tempat ibadah dimana mereka telah bekerja keras untuk membangunnya selama berabad-abad. Sebuah Gereja Katolik yang minoritas, dengan sedikit sekali pengaruhnya atas keputusan politik, yang secara sosial tidak relevan lagi, yang dibiarkan untuk dipermalukan dan dipaksa untuk memulai kembali dari awal. Sebuah Gereja yang lebih sederhana dan lebih bersifat spiritual.” Uskup Ratzinger mengatakan bahwa dia yakin jika Gereja sedang mengalami sebuah era yang serupa dengan masa Pencerahan dan Revolusi Prancis dulu.

“Kita berada di sebuah titik balik yang penting dalam evolusi umat manusia. Momen ini telah menjadikan peralihan dari Abad Pertengahan kepada jaman modern, menjadi nampak sangat kecil dibandingkan dengan sekarang ini.”

Profesor Ratzinger membandingkan era sekarang ini dengan zaman Paus Pius VI yang diculik oleh pasukan Revolusi Perancis dan meninggal di penjara pada tahun 1799. Gereja saat itu berjuang melawan kekuatan yang bertujuan untuk memusnahkannya secara definitif, menyita harta miliknya, dan melemahkan ordo-ordo religius.

Gereja saat ini akan menghadapi situasi yang serupa, karena dirongrong oleh godaan untuk mengurangi peranan para imam menjadi sekedar “pekerja sosial,” dan gereja serta semua karyanya dikurangi hingga hanya sekedar kehadiran politik yang minimal saja. Dari krisis saat ini akan muncullah sebuah Gereja yang telah kehilangan banyak sekali.

Gereja akan menjadi kecil dan harus mulai dari awal lagi. Ia tidak akan lagi bisa menggunakan gedung-gedung yang dibangunnya semasa tahun-tahun kemakmurannya dulu. Pengurangan jumlah umat yang setia akan menyebabkan hilangnya bagian penting dari hak-hak sosialnya. Gereja seperti ini akan dimulai dengan kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan kecil dan sebuah minoritas yang akan menjadikan iman sebagai pusatnya, untuk dilaksanakan kembali. Hal ini akan menjadi sebuah Gereja yang lebih bersifat spiritual, dan tidak akan menuntut mandat politik yang menggoda yang bergerak ke kanan satu menit, dan kemudian bergerak ke kiri pada menit berikutnya. Gereja seperti ini akan menjadi miskin dan akan menjadi Gereja orang-orang  miskin.”

Kita harus ingat bahwa hal ini telah dikatakan ketika Pastor Ratzinger masih sebagai seorang profesor teologi yang terhormat dan terkenal di Regensburg, Jerman. Dia kemudian menjadi Uskup Agung Munich dan Freising, Jerman, dari 1977-1982 ketika kemudian dia ditunjuk menjadi Kardinal pada tahun 1977 oleh Paus Paulus VI, dan kemudian menjadi kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman (CDF) di bawah Yohanes Paulus II, dan kemudian menjadi Dekan dari College of Cardinals dari 2002-2005, sebelum menjadi Paus Benediktus XVI. Dia menjabat sebagai paus dari tahun 2005 hingga pengunduran dirinya yang tak terduga pada 2013.

Ini bukanlah hal yang kecil jika berbicara soal arah perjalanan Gereja di masa depan yang dilakukan oleh seorang sosok Benediktus, dan sebuah Gereja dimana dia telah menjadi bagian yang erat didalamnya sepanjang hidupnya. Benediktus XVI dianggap sebagai salah satu teolog terbesar Gereja Katolik dalam sejarahnya. Konsekuensi dari pandangannya memiliki implikasi yang sangat besar untuk hari ini dan arah perjalanan gereja ke depan. Dalam banyak pesan yang diberikan kepada beberapa orang mistikus, Bunda Terberkati telah mengatakan bahwa Gereja akan berjalan melewati sebuah pencobaan yang luar biasa dengan hasil akhir yang serupa dengan apa yang dikatakan oleh Uskup Ratzinger pada tahun 1969. Jika Santo Yohanes Paulus II berbicara tentang Musim Semi Baru yang datang kepada umat manusia, hal itu menunjukkan bahwa perubahan besar akan datang kepada dunia dan Gereja.

Kardinal Karol Wojtyla (dua tahun sebelum menjadi Paus Yohanes Paulus II) mengatakan pada Kongres Ekaristi di Philadelphia, Pa., 3 Agustus 1976:

“Kita sekarang menghadapi konfrontasi kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah yang telah dilaluinya. Saya tidak berpikir bahwa lingkaran luas masyarakat Amerika atau lingkaran luas Komunitas Kristen menyadari hal ini sepenuhnya. Kita sekarang menghadapi konfrontasi terakhir antara Gereja dan anti-Gereja, Injil versus anti-Injil. Konfrontasi ini sudah ada di dalam rencana Kuasa Ilahi; ini adalah sebuah pencobaan yang harus diterima oleh seluruh Gereja, dan terutama Gereja Polandia. Ini adalah pencobaan yang tidak hanya menyangkut bangsa kita dan Gereja, tetapi dalam pengertian 2.000 tahun kebudayaan dan peradaban Kristen, dengan segala konsekuensinya kepada martabat manusia, hak individu, hak asasi manusia dan hak-hak dari bangsa-bangsa.”

Karena ketidakstabilan umum dalam masyarakat dengan begitu banyak orang yang bergantung pada bantuan pemerintah sampai batas-batas tertentu, maka orang akan menyambut seorang penyelamat yang sangat mereka cari untuk memecahkan segala permasalahan mereka. Yang Mulia Fulton Sheen memberikan apa yang dia pikir akan menjadi tipe penguasa masa depan yang dapat kita terima dengan sukarela:

“Nabi palsu itu akan memiliki sebuah agama tanpa salib. Sebuah agama tanpa jaminan dunia yang akan datang. Sebuah agama untuk menghancurkan agama-agama. Akan ada sebuah gereja palsu. Gereja Kristus (Gereja Katolik) akan menjadi gereja yang satu, dan nabi palsu akan menciptakan gereja yang lain. Gereja palsu itu akan bersifat duniawi, ekumenis, dan global. Ini akan menjadi sebuah federasi gereja-gereja yang longgar yang akan membentuk sejenis asosiasi global. Sebuah parlemen gereja-gereja sedunia yang akan kosong dari semua konten yang bersifat ilahi dan ia akan menjadi tubuh mistik dari Antikristus. Tubuh mistik Kristus di dunia saat ini akan memiliki Yudas Iskariotnya sendiri dan dia adalah nabi palsu. Setan akan merekrutnya dari antara uskup-uskup kita.”

Penganiayaan dan Gereja.

Pastor Joseph Esper adalah seorang penulis Katolik terkemuka yang memahami keseriusan zaman kita sekarang, dimana dia menceritakan tentang realitas yang dihadapi umat manusia. Dia menulis tentang tahapan-tahapan yang mengarah kepada penganiayaan agama:

“Penganiayaan, entah itu agama, politik atau etnis, pada umumnya terjadi dalam lima tahap.
Pertama, kelompok sasaran akan dituduh atau dinilai berdasarkan persepsi atau digambarkan secara sinis, dan menjadikannya sebagai korban empuk bagi sifat kefanatikan, fitnah, atau pelecehan. Kedua, kelompok ini akan dipinggirkan atau didorong menuju masyarakat kelas dua, sehingga mengurangi otoritas dan pengaruh moralnya, sambil menekankan perbedaan dari anggotanya dengan orang-orang lain. Ketiga, kelompok ini akan difitnah atau diserang dengan kejam dan disalahkan atas masalah-masalah yang ada dalam masyarakat dan dituduh memiliki agenda rahasia dan jahat. Pada tahap keempat, kelompok ini akan dikriminalisasi dengan cara pembatasan hukum atas keanggotaan dan kegiatannya. Tahapan terakhir adalah berupa penganiayaan terang-terangan, di mana anggota kelompok dipaksa tunduk pada berbagai tingkat diskriminasi, penindasan, atau pemenjaraan — dan kadang-kadang bahkan tindakan yang lebih keras dan lebih permanen. Banyak komentator mengklaim Amerika berada pada tahap ketiga dari proses ini, dan dengan cepat bergerak ke tahap keempat — dan ada banyak bukti yang mendukung pernyataan ini.”

Untuk masuk ke tahap empat atau bahkan lima, bisa terjadi dengan melalui satu peristiwa penting, dan hal itu terjadi dengan sangat cepat. Kita bisa melihat kerusuhan sipil meningkat dengan cepat dan menyulut diberlakukannya hukum darurat militer. Pada titik itu, segala sesuatu bisa saja terjadi ketika orang-orang tidak mengikuti agenda yang dituntut oleh negara. Bahaya terhadap kesehatan masyarakat atau virus ganas semacam itu akan menjadi sebuah prediksi yang banyak benarnya.

Ketika negara menjadi semakin dominan pada hampir setiap bidang kehidupan, keadaan darurat militer di beberapa titik tidak akan dapat dihindarkan. Umat beriman akan dipaksa untuk mematuhi aturan mereka guna mendapatkan barang dan jasa, dan keputusan harus segera dibuat, siapakah yang anda percaya — Kaisar atau Tuhan? Hal ini telah membuat Kardinal Francis George dari Chicago mengatakan, “Aku akan mati di tempat tidurku. Penerusku akan mati di penjara, dan penggantinya akan mati sebagai martir di lapangan umum.”

Sementara itu pemerintah terus bergerak untuk merebut supremasi atas hak individu di seluruh dunia, maka perang terhadap agama Kristen akan meningkat.

Mereka yang berpikir bahwa masa-masa kekristenan yang nyaman dan dapat diterima secara sosial akan terus berlanjut, sangatlah keliru. Di seluruh dunia, penganiayaan terhadap umat beriman sedang terjadi. Akan ada penderitaan dan ongkos yang besar untuk menjadi seorang murid. Seorang ahli teologi Jerman yang terhormat, Dietrich Bonhoeffer, dalam bukunya The Cost of Discipleship, mengatakan di baris pertama bukunya, “Ketika Kristus memanggil seseorang kepada-Nya, Dia menawari orang itu untuk datang dan mati.”

Melalui Alkitab kita tahu bahwa suara para nabi serasa kesepian dan seringkali sulit dimengerti. Kami akan menunjukkan dalam buku ini banyak contoh dari dinamika itu. Nabi Yeremia hanyalah orang yang mencerminkan emosi dalam memproklamirkan kebenaran di tengah-tengah mayoritas orang yang menolak untuk mendengarkan. Dia menyesali panggilannya ketika dia menulis, Engkau telah membujuk aku, ya TUHAN, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk; Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku. Aku telah menjadi tertawaan sepanjang hari, semuanya mereka mengolok-olokkan aku. Sebab setiap kali aku berbicara, terpaksa aku berteriak, terpaksa berseru: "Kelaliman! Aniaya!" Sebab firman TUHAN telah menjadi cela dan cemooh bagiku, sepanjang hari. Tetapi apabila aku berpikir: "Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya", maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup. (Yer. 20: 7-9).

Inilah nabi besar di saat keraguan, stress, dan dalam keadaan terpinggirkan, yang bertanya-tanya apakah Tuhan berada dekat. Kita juga sering merasakan emosi yang sama ini karena keadaan di sekitar kita. Ketahuilah hal ini, secara historis, bahwa anda memiliki penyertaan Tuhan yang baik dan menetap, dan emosi yang muncul adalah emosi alami. Tetapi, seperti Yeremia, kita tidak dapat berpaling dari panggilan kita untuk menyatakan kebenaran, tidak peduli dengan tekanan yang ada di sekitar kita.

Seseorang dapat mengetahui apakah ada ketakutan di sekitarnya dari apa yang tidak dibicarakan orang. Hingga baru-baru ini, orang memilih untuk menjauh dari topik "secara politis tidak benar" ketika berada dalam pertemuan-pertemuan sosial. Hari ini, hal itu telah meningkat menjadi ketakutan langsung, karena orang-orang berusaha menempatkan dirinya jauh dari masalah yang bisa menjadikan mereka dituduh sebagai musuh negara atau sesuatu yang dapat merugikan mereka. Dari sini ke depan akan ada biaya bagi pandangan anda jika anda memilih untuk menjadi kritikus terhadap seorang tirani dan agenda anti-Tuhan dari negara. Untuk menjadi saksi bagi Yesus Kristus di keramaian akan seperti menaruh CCTV di punggung anda, dan akan ada biaya yang harus anda bayar dalam bentuk peluang yang hilang demi kemajuan pribadi anda. Karena adanya kebijakan fasik di berbagai tempat bisnis, keuangan, budaya, dan bidang minat bagi individu, maka peluang untuk kesuksesan pribadi akan tidak konsisten dengan pesan Injil. Kemajuan pribadi akan dihambat jika seseorang yang mengikuti Tuhan tidak mau ikut dalam banyak kegiatan seperti apa yang diminta oleh si pemberi lapangan kerja.

Adalah selalu terjadi seperti itu dalam sejarah, karena umat beriman, yang akan menjadi terang dunia, yang akan berbicara menentang ketidak-adilan. Seperti yang dikatakan oleh Salomo, “Tidak ada yang baru di bawah matahari” (Pengkhotbah 1: 9).

Hakim Agung Antonin Scalia, berbicara kepada mahasiswa hukum di University of Hawaii pada 3 Februari 2014, mengatakan, "Jangan membodohi diri sendiri dengan percaya bahwa Mahkamah Agung tidak akan pernah lagi membiarkan pelanggaran terhadap hak-hak sipil di masa perang, karena keadaan seperti itu memang memungkinkan adanya para tawanan perang untuk orang Amerika dan Jepang selama PD II.”

”Ini adalah pernyataan yang luar biasa dari Senior Associate Justice dan anggota terlama saat ini (sejak 1986) di Mahkamah Agung AS. Kenapa dia mengungkit hal ini? Betapa banyak dari apa yang dia katakan adalah merupakan sinyal bagi mereka yang memiliki telinga untuk mendengar!

Dia menggunakan istilah bahasa Latin untuk mengatakan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh para tawanan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, "Di masa perang, hukum menjadi diam."

Tetapi kita harus ingat berikut ini:

Flp 4:7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

JESUS, I TRUST IN YOU



No comments:

Post a Comment