RAMALAN TENTANG SEBUAH GEREJA YANG DIROMBAK
Ringkasan dari Bab 1 buku: THE GREAT TRANSFORMATION
Golongan kiri menginginkan gereja yang lebih bersifat
liberal, tanpa keagungan formal, lebih banyak memakai musik-musik rakyat di
dalam Misa, struktur yang lebih sederhana dan tidak terlalu formal, pandangan
yang lebih liberal (modern) tentang orang yang bercerai dan menikah lagi untuk dapat
menerima Komuni, ajaran dan aturan yang longgar tentang aborsi, kontrasepsi, pengungsi,
pernikahan homoseksual, dan imam wanita. Mereka (kelompok kiri) menganggap
bahwa Tuhan mau menerima semua orang tanpa menghiraukan doktrin yang telah
diajarkan sejak pembentukan gereja awali. Mereka percaya bahwa Gereja saat ini sudah
ketinggalan jaman dan usang dalam bentuknya yang sekarang, dan saat ini Gereja tidak
bisa memenuhi kebutuhan (keinginan) dari
orang banyak. Banyak kelompok yang condong ke kiri menginginkan Gereja tanpa
batasan-batasan dan melemahkan strukturnya yang agung. Injil yang lebih liberal
secara sosial dapat ditemukan akarnya pada Zaman Pencerahan di Perancis dan
Eropa Barat, menjelang zaman Revolusi Prancis (1789) dan seterusnya. Kelompok kiri
ingin menyingkirkan pembatasan-pembatasan resmi dari Gereja dan supremasi
Petrus, sementara kelompok kanan lebih menyukai struktur monarki dan kontrol
terpusat.
Siapa yang akan memenangkan pertempuran jangka
pendek hingga jangka menengah ini, tidak diketahui. Namun, dengan pemerintahan-pemerintahan
yang besar dan kelompok-kelompok yang disuplai dana dan terorganisir dengan
baik, yang secara terus-menerus berusaha menggerus otoritas Gereja, maka kelompok
kiri saat ini dapat memenangkan pertempuran. Berbagai macam pidato dan ucapan
akan disampaikan dengan keras ketika menyangkut masalah-masalah yang dibawa ke alun-alun
umum atau meja ruang makan di antara teman-teman dan keluarga, yaitu masalah mengenai
arah perjalanan Gereja, dan apa yang mereka pikirkan tentang setiap paus yang
memegang Kunci Petrus. Banyak yang mungkin tidak dapat mengartikulasikan
masalah, tetapi kebanyakan orang memiliki pendapat ke arah mana Gereja harus
menuju.
Uskup Joseph Ratzinger pada tahun 1969
menyuarakan pendapat di mana dia melihat kemana Gereja akan menuju. Hal itu
mungkin saja merupakan ramalan, prediksi, atau hanya wawasan berdasarkan
pengetahuannya tentang sejarah. Meskipun demikian, inilah yang dia katakan pada
tahun 1969, empat tahun setelah sesi terakhir Konsili Vatikan Kedua:
“Gereja akan direstrukturisasi dengan anggota
yang jauh lebih sedikit, yang dipaksa untuk melepaskan banyak tempat ibadah dimana
mereka telah bekerja keras untuk membangunnya selama berabad-abad. Sebuah Gereja
Katolik yang minoritas, dengan sedikit sekali pengaruhnya atas keputusan
politik, yang secara sosial tidak relevan lagi, yang dibiarkan untuk dipermalukan
dan dipaksa untuk memulai kembali dari awal. Sebuah Gereja yang lebih sederhana
dan lebih bersifat spiritual.” Uskup Ratzinger mengatakan bahwa dia yakin jika Gereja
sedang mengalami sebuah era yang serupa dengan masa Pencerahan dan Revolusi
Prancis dulu.
“Kita berada di sebuah titik balik yang penting
dalam evolusi umat manusia. Momen ini telah menjadikan peralihan dari Abad
Pertengahan kepada jaman modern, menjadi nampak sangat kecil dibandingkan dengan
sekarang ini.”
Profesor Ratzinger membandingkan era sekarang
ini dengan zaman Paus Pius VI yang diculik oleh pasukan Revolusi Perancis dan
meninggal di penjara pada tahun 1799. Gereja saat itu berjuang melawan kekuatan
yang bertujuan untuk memusnahkannya secara definitif, menyita harta miliknya, dan
melemahkan ordo-ordo religius.
Gereja saat ini akan menghadapi situasi yang
serupa, karena dirongrong oleh godaan untuk mengurangi peranan para imam
menjadi sekedar “pekerja sosial,” dan gereja serta semua karyanya dikurangi hingga
hanya sekedar kehadiran politik yang minimal saja. Dari krisis saat ini akan
muncullah sebuah Gereja yang telah kehilangan banyak sekali.
Gereja akan menjadi kecil dan harus mulai dari
awal lagi. Ia tidak akan lagi bisa menggunakan gedung-gedung yang dibangunnya semasa
tahun-tahun kemakmurannya dulu. Pengurangan jumlah umat yang setia akan
menyebabkan hilangnya bagian penting dari hak-hak sosialnya. Gereja seperti ini
akan dimulai dengan kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan kecil dan sebuah minoritas
yang akan menjadikan iman sebagai pusatnya, untuk dilaksanakan kembali. Hal ini
akan menjadi sebuah Gereja yang lebih bersifat spiritual, dan tidak akan menuntut
mandat politik yang menggoda yang bergerak ke kanan satu menit, dan kemudian
bergerak ke kiri pada menit berikutnya. Gereja seperti ini akan menjadi miskin
dan akan menjadi Gereja orang-orang
miskin.”
Kita harus ingat bahwa hal ini telah dikatakan
ketika Pastor Ratzinger masih sebagai seorang profesor teologi yang terhormat
dan terkenal di Regensburg, Jerman. Dia kemudian menjadi Uskup Agung Munich dan
Freising, Jerman, dari 1977-1982 ketika kemudian dia ditunjuk menjadi Kardinal
pada tahun 1977 oleh Paus Paulus VI, dan kemudian menjadi kepala Kongregasi
untuk Ajaran Iman (CDF) di bawah Yohanes Paulus II, dan kemudian menjadi Dekan dari
College of Cardinals dari 2002-2005, sebelum menjadi Paus Benediktus XVI. Dia menjabat
sebagai paus dari tahun 2005 hingga pengunduran dirinya yang tak terduga pada
2013.
Ini bukanlah hal yang kecil jika berbicara soal
arah perjalanan Gereja di masa depan yang dilakukan oleh seorang sosok
Benediktus, dan sebuah Gereja dimana dia telah menjadi bagian yang erat didalamnya
sepanjang hidupnya. Benediktus XVI dianggap sebagai salah satu teolog terbesar
Gereja Katolik dalam sejarahnya. Konsekuensi dari pandangannya memiliki
implikasi yang sangat besar untuk hari ini dan arah perjalanan gereja ke depan.
Dalam banyak pesan yang diberikan kepada beberapa orang mistikus, Bunda
Terberkati telah mengatakan bahwa Gereja akan berjalan melewati sebuah
pencobaan yang luar biasa dengan hasil akhir yang serupa dengan apa yang
dikatakan oleh Uskup Ratzinger pada tahun 1969. Jika Santo Yohanes Paulus II
berbicara tentang Musim Semi Baru yang datang kepada umat manusia, hal itu
menunjukkan bahwa perubahan besar akan datang kepada dunia dan Gereja.
Kardinal Karol Wojtyla (dua tahun sebelum
menjadi Paus Yohanes Paulus II) mengatakan pada Kongres Ekaristi di
Philadelphia, Pa., 3 Agustus 1976:
“Kita sekarang menghadapi konfrontasi
kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah yang telah dilaluinya. Saya tidak
berpikir bahwa lingkaran luas masyarakat Amerika atau lingkaran luas Komunitas
Kristen menyadari hal ini sepenuhnya. Kita sekarang menghadapi konfrontasi
terakhir antara Gereja dan anti-Gereja, Injil versus anti-Injil. Konfrontasi
ini sudah ada di dalam rencana Kuasa Ilahi; ini adalah sebuah pencobaan yang
harus diterima oleh seluruh Gereja, dan terutama Gereja Polandia. Ini adalah
pencobaan yang tidak hanya menyangkut bangsa kita dan Gereja, tetapi dalam pengertian
2.000 tahun kebudayaan dan peradaban Kristen, dengan segala konsekuensinya kepada
martabat manusia, hak individu, hak asasi manusia dan hak-hak dari
bangsa-bangsa.”
Karena ketidakstabilan umum dalam masyarakat
dengan begitu banyak orang yang bergantung pada bantuan pemerintah sampai batas-batas
tertentu, maka orang akan menyambut seorang penyelamat yang sangat mereka cari
untuk memecahkan segala permasalahan mereka. Yang Mulia Fulton Sheen memberikan
apa yang dia pikir akan menjadi tipe penguasa masa depan yang dapat kita terima
dengan sukarela:
“Nabi palsu itu akan memiliki sebuah agama
tanpa salib. Sebuah agama tanpa jaminan dunia yang akan datang. Sebuah agama
untuk menghancurkan agama-agama. Akan ada sebuah gereja palsu. Gereja Kristus
(Gereja Katolik) akan menjadi gereja yang satu, dan nabi palsu akan menciptakan
gereja yang lain. Gereja palsu itu akan bersifat duniawi, ekumenis, dan global.
Ini akan menjadi sebuah federasi gereja-gereja yang longgar yang akan membentuk
sejenis asosiasi global. Sebuah parlemen gereja-gereja sedunia yang akan kosong
dari semua konten yang bersifat ilahi dan ia akan menjadi tubuh mistik dari
Antikristus. Tubuh mistik Kristus di dunia saat ini akan memiliki Yudas
Iskariotnya sendiri dan dia adalah nabi palsu. Setan akan merekrutnya dari
antara uskup-uskup kita.”
Penganiayaan dan Gereja.
Pastor Joseph Esper adalah seorang penulis
Katolik terkemuka yang memahami keseriusan zaman kita sekarang, dimana dia
menceritakan tentang realitas yang dihadapi umat manusia. Dia menulis tentang
tahapan-tahapan yang mengarah kepada penganiayaan agama:
“Penganiayaan, entah itu agama, politik atau
etnis, pada umumnya terjadi dalam lima tahap.
Pertama, kelompok sasaran akan dituduh atau
dinilai berdasarkan persepsi atau digambarkan secara sinis, dan menjadikannya sebagai
korban empuk bagi sifat kefanatikan, fitnah, atau pelecehan. Kedua, kelompok
ini akan dipinggirkan atau didorong menuju masyarakat kelas dua, sehingga
mengurangi otoritas dan pengaruh moralnya, sambil menekankan perbedaan dari anggotanya
dengan orang-orang lain. Ketiga, kelompok ini akan difitnah atau diserang
dengan kejam dan disalahkan atas masalah-masalah yang ada dalam masyarakat dan
dituduh memiliki agenda rahasia dan jahat. Pada tahap keempat, kelompok ini akan
dikriminalisasi dengan cara pembatasan hukum atas keanggotaan dan kegiatannya. Tahapan
terakhir adalah berupa penganiayaan terang-terangan, di mana anggota kelompok dipaksa
tunduk pada berbagai tingkat diskriminasi, penindasan, atau pemenjaraan — dan
kadang-kadang bahkan tindakan yang lebih keras dan lebih permanen. Banyak
komentator mengklaim Amerika berada pada tahap ketiga dari proses ini, dan
dengan cepat bergerak ke tahap keempat — dan ada banyak bukti yang mendukung
pernyataan ini.”
Untuk masuk ke tahap empat atau bahkan lima,
bisa terjadi dengan melalui satu peristiwa penting, dan hal itu terjadi dengan sangat
cepat. Kita bisa melihat kerusuhan sipil meningkat dengan cepat dan menyulut
diberlakukannya hukum darurat militer. Pada titik itu, segala sesuatu bisa saja
terjadi ketika orang-orang tidak mengikuti agenda yang dituntut oleh negara.
Bahaya terhadap kesehatan masyarakat atau virus ganas semacam itu akan menjadi sebuah
prediksi yang banyak benarnya.
Ketika negara menjadi semakin dominan pada hampir
setiap bidang kehidupan, keadaan darurat militer di beberapa titik tidak akan dapat
dihindarkan. Umat beriman akan dipaksa untuk mematuhi aturan mereka guna mendapatkan
barang dan jasa, dan keputusan harus segera dibuat, siapakah yang anda percaya
— Kaisar atau Tuhan? Hal ini telah membuat Kardinal Francis George dari Chicago
mengatakan, “Aku akan mati di tempat tidurku. Penerusku akan mati di penjara,
dan penggantinya akan mati sebagai martir di lapangan umum.”
Sementara itu pemerintah terus bergerak untuk
merebut supremasi atas hak individu di seluruh dunia, maka perang terhadap
agama Kristen akan meningkat.
Mereka yang berpikir bahwa masa-masa
kekristenan yang nyaman dan dapat diterima secara sosial akan terus berlanjut,
sangatlah keliru. Di seluruh dunia, penganiayaan terhadap umat beriman sedang
terjadi. Akan ada penderitaan dan ongkos yang besar untuk menjadi seorang murid.
Seorang ahli teologi Jerman yang terhormat, Dietrich Bonhoeffer, dalam bukunya The Cost of Discipleship, mengatakan di
baris pertama bukunya, “Ketika Kristus
memanggil seseorang kepada-Nya, Dia menawari orang itu untuk datang dan mati.”
Melalui Alkitab kita tahu bahwa suara para nabi
serasa kesepian dan seringkali sulit dimengerti. Kami akan menunjukkan dalam
buku ini banyak contoh dari dinamika itu. Nabi Yeremia hanyalah orang yang
mencerminkan emosi dalam memproklamirkan kebenaran di tengah-tengah mayoritas
orang yang menolak untuk mendengarkan. Dia menyesali panggilannya ketika dia
menulis, “Engkau telah membujuk aku, ya TUHAN, dan
aku telah membiarkan diriku dibujuk; Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau
menundukkan aku. Aku telah menjadi tertawaan sepanjang hari, semuanya mereka
mengolok-olokkan aku. Sebab setiap kali aku berbicara,
terpaksa aku berteriak, terpaksa berseru: "Kelaliman! Aniaya!" Sebab
firman TUHAN telah menjadi cela dan cemooh bagiku, sepanjang hari. Tetapi
apabila aku berpikir: "Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau
mengucapkan firman lagi demi nama-Nya", maka dalam hatiku ada sesuatu yang
seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku
berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup.” (Yer. 20: 7-9).
Inilah nabi besar di saat keraguan, stress, dan
dalam keadaan terpinggirkan, yang bertanya-tanya apakah Tuhan berada dekat.
Kita juga sering merasakan emosi yang sama ini karena keadaan di sekitar kita.
Ketahuilah hal ini, secara historis, bahwa anda memiliki penyertaan Tuhan yang
baik dan menetap, dan emosi yang muncul adalah emosi alami. Tetapi, seperti
Yeremia, kita tidak dapat berpaling dari panggilan kita untuk menyatakan
kebenaran, tidak peduli dengan tekanan yang ada di sekitar kita.
Seseorang dapat mengetahui apakah ada ketakutan
di sekitarnya dari apa yang tidak
dibicarakan orang. Hingga baru-baru ini, orang memilih untuk menjauh dari
topik "secara politis tidak benar" ketika berada dalam pertemuan-pertemuan
sosial. Hari ini, hal itu telah meningkat menjadi ketakutan langsung, karena
orang-orang berusaha menempatkan dirinya jauh dari masalah yang bisa menjadikan
mereka dituduh sebagai musuh negara atau sesuatu yang dapat merugikan mereka. Dari
sini ke depan akan ada biaya bagi pandangan anda jika anda memilih untuk
menjadi kritikus terhadap seorang tirani dan agenda anti-Tuhan dari negara.
Untuk menjadi saksi bagi Yesus Kristus di keramaian akan seperti menaruh CCTV
di punggung anda, dan akan ada biaya yang harus anda bayar dalam bentuk peluang
yang hilang demi kemajuan pribadi anda. Karena adanya kebijakan fasik di berbagai
tempat bisnis, keuangan, budaya, dan bidang minat bagi individu, maka peluang
untuk kesuksesan pribadi akan tidak konsisten dengan pesan Injil. Kemajuan
pribadi akan dihambat jika seseorang yang mengikuti Tuhan tidak mau ikut dalam
banyak kegiatan seperti apa yang diminta oleh si pemberi lapangan kerja.
Adalah selalu terjadi seperti itu dalam sejarah,
karena umat beriman, yang akan menjadi terang dunia, yang akan berbicara
menentang ketidak-adilan. Seperti yang dikatakan oleh Salomo, “Tidak ada yang baru di bawah matahari”
(Pengkhotbah 1: 9).
Hakim Agung Antonin Scalia, berbicara kepada
mahasiswa hukum di University of Hawaii
pada 3 Februari 2014, mengatakan, "Jangan membodohi diri sendiri dengan
percaya bahwa Mahkamah Agung tidak akan pernah lagi membiarkan pelanggaran terhadap
hak-hak sipil di masa perang, karena keadaan seperti itu memang memungkinkan adanya
para tawanan perang untuk orang Amerika dan Jepang selama PD II.”
”Ini adalah pernyataan yang luar biasa dari
Senior Associate Justice dan anggota terlama saat ini (sejak 1986) di Mahkamah
Agung AS. Kenapa dia mengungkit hal ini? Betapa banyak dari apa yang dia
katakan adalah merupakan sinyal bagi mereka yang memiliki telinga untuk
mendengar!
Dia menggunakan istilah bahasa Latin untuk mengatakan
peristiwa-peristiwa yang dialami oleh para tawanan, yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, "Di masa perang,
hukum menjadi diam."
Tetapi kita harus ingat berikut ini:
Flp 4:7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala
akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.
JESUS, I TRUST IN YOU
No comments:
Post a Comment