Thursday, October 22, 2015

Krisis pertama PF

Francis “gets an A-plus on public relations, but an F on all the rest”


Pope Francis’s First Crisis



From the New Yorker
Bulan madu bagi Paus Francis telah usai - setidaknya di Roma. Dua minggu pertama dari pelaksanaan Sinode mengenai Keluarga telah ditandai dengan pemberontakan terbuka, intrik-intrik didalam koridor, dokumen yang bocor, tuduhan kurangnya transparansi, dan perpecahan tajam di antara para uskup dan kardinal. Dalam krisis nyata pertama dari kepausannya, Francis mendapati dirinya dalam posisi menikmati popularitas yang langka di kalangan masyarakat tetapi menghadapi gelar yang tidak biasa dari perbedaan pendapat yang muncul dalam sebuah institusi yang pada umumnya sangat menghormati hirarki.
Ada beberapa firasat dari hal ini selama kunjungan kemenangan Paus ke AS "Jika konklaf harus diadakan hari ini, maka Francis akan beruntung mendapatkan dukungan sepuluh orang," kata seorang sumber Vatikan saya pada saat itu. "Dia mendapatkan nilai A-plus dalam hal ‘hubungan masyarakat’, tetapi nilai F dalam semua hal lainnya." Pernyataan ini tentu berlebihan, tetapi itu merupakan cerminan dari kegelisahan yang ada didalam Kuria Romawi. Sebuah tanda yang jelas dari adanya masalah, datang ketika duta besar kepausan di Washington mengatur pertemuan Paus dengan Kim Davis, petugas negara Kentucky yang menolak untuk memberikan (atau mendelegasikan orang lain untuk memberikan) surat nikah untuk pasangan gay. Langkah dari seorang Monsignor yang tidak asing dengan adanya intrik dan kekuasaan politik di Vatikan – membuat malu Paus dan mencetak beberapa poin kemenangan bagi kaum konservatif Gereja pada hari-hari menjelang sinode.
Kelompok Tradisionalis dalam Gereja khawatir dengan beberapa perkembangan pada sesi pertama dari Sinode, yang diadakan musim gugur yang lalu (2014). Para kardinal dan uskup yang progresif - menggambarkan karya teolog Jerman Walter Kasper -- mendorong sebuah agenda yang termasuk kemungkinan mengijinkan umat Katolik yang bercerai dan telah menikah lagi untuk menerima komuni, dan sikap yang lebih terbuka terhadap pasangan homoseksual dan pasangan yang tinggal bersama tanpa menikah. Mereka memperkenalkan kembali konsep "graduality/kebertahapan," sehingga pasangan yang tidak menikah (kumpul kebo), pasangan yang bercerai sebelumnya, dan pasangan gay, jika mereka menunjukkan kasih dan kesetiaan terhadap satu sama lain, hal itu bisa dilihat sebagai sedang bergerak menuju ajaran Injil, bukan hanya sebagai "hidup dalam dosa." Seperti yang dikatakan oleh kardinal Jerman Reinhard Marx, "Ambillah kasus dua orang homoseksual yang telah hidup bersama selama tiga puluh lima tahun dan mereka telah saling merawat satu sama lain, bahkan dalam fase terakhir dari hidup mereka ... Bagaimana saya bisa mengatakan bahwa relasi ini tidak memiliki nilai?"
Lengkapnya silakan klik disini :

No comments:

Post a Comment