Friday, October 30, 2015

Sinode : Beberapa pelanggaran disiplin telah dilakukan

Sinode : Beberapa pelanggaran disiplin telah dilakukan demi alasan ‘belas kasihan’ pastoral yang relativ





Declaration Concerning the Synod on the Family

Deklarasi mengenai Sinode tentang Keluarga

Dari  SSPX (Society of Saint Pius X)

Laporan Akhir  dari sesi kedua Sinode tentang Keluarga, yang diterbitkan pada tanggal 24 Oktober 2015, jauh dari menunjukkan konsensus para Bapa Sinode, karena ia merupakan ekspresi dari kompromi antara berbagai posisi yang sangat berbeda. Memang kami dapat membaca di dalamnya adanya beberapa pengingat doktrinal tentang pernikahan dan keluarga Katolik, tetapi kami perhatikan juga adanya beberapa ambiguitas dan kelalaian yang patut disesalkan, dan yang paling penting beberapa pelanggaran di bidang disiplin telah dilakukan dengan alasan "belas kasihan" pastoral yang relativ. Kesan umum yang diberikan oleh dokumen ini adalah kebingungan, yang akan dengan mudah untuk dieksploitasi melalui penafsiran yang bertentangan dengan pengajaran Gereja yang menetap.

Itulah sebabnya kami merasa perlu untuk menegaskan kembali kebenaran yang telah kita terima dari Kristus (1) tentang peranan paus serta uskup-uskuo dan (2) tentang perkawinan dan keluarga. Kami melakukan hal ini dengan semangat yang sama yang telah mendorong kami untuk mengirimkan petisi kepada paus Francis sebelum sesi ke dua dari Sinode ini dimulai.

1. Peranan Paus dan uskup-uskup

Sebagai anak-anak dari Gereja Katolik kami percaya bahwa Uskup Roma, Penerus St.Petrus, adalah Wakil Kristus, dan pada saat yang sama dia adalah kepala dari seluruh Gereja. Kuasanya adalah merupakan sebuah wilayah hukum dalam arti yang wajar. Kepada kuasa ini, para imam, umat awan serta Gereja-gereja, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terutama dalam sebuah Konsili, sebuah Sinode, atau pada wali gereja lokal, diwajibkan oleh sebuah tugas untuk tunduk secara hirarkis dan taat secara tulus.

Allah telah mengatur hal-hal sedemikian rupa, agar dengan mempertahankan kesatuan persekutuan dengan Uskup Roma dan dengan mengakui iman yang sama, Gereja Kristus menjadi satu kawanan di bawah satu Gembala. Gereja Kudus Allah dibentuk secara ilahiah menjadi sebuah masyarakat yang hirarkis, di mana otoritas yang mengatur umat berasal dari Allah, melalui Paus dan para uskup yang tunduk kepadanya. (2)

Ketika Magisterium kepausan tertinggi mengeluarkan pernyataan otentik tentang kebenaran yang terungkap, dalam masalah dogmatis serta dalam hal disiplin, maka hal itu tidak akan bisa beralih atau berada dalam kuasa organ gerejawi dengan tingkat otoritas yang lebih rendah - seperti misalnya konferensi wali gereja lokal, untuk melakukan perubahan atas putusan itu.

Makna dari dogma-dogma suci yang harus dipertahankan selamanya adalah merupakan salah satu yang harus diajarkan oleh Magisterium Paus dan para uskup, sekali dan untuk semuanya, dan tidak pernah diijinkan untuk menyimpang dari ajaran itu. Oleh karena itu pelayanan pastoral Gereja, ketika ia melaksanakan ajaran belas kasih, haruslah dimulai dengan menanggulangi kemiskinan-kebodohan, dengan memberikan kepada jiwa-jiwa pernyataan kebenaran yang akan menyelamatkan mereka.
Dalam hirarki yang dibentuk oleh Allah, dalam hal iman dan ajaran magisterial, kebenaran-kebenaran itu dipercayakan sebagai sebuah Deposit Suci kepada para rasul dan penerus mereka, paus dan para uskup, sehingga mereka akan menjaganya dengan setia dan mengajarkannya secara berwibawa. Sumber yang mengandung Deposit ini adalah Kitab Suci dan tradisi non-tertulis, yang setelah diterima oleh para rasul dari Kristus sendiri atau diserahkan oleh para rasul di bawah tuntunan dari Roh Kudus, telah sampai kepada kita.

Ketika Gereja menyatakan makna dari kebenaran yang terkandung dalam Kitab Suci dan Tradisi ini, ia menyampaikannya dengan otoritas kepada umat beriman, sehingga mereka mempercayainya seperti seperti yang diungkapkan oleh Allah. Adalah salah jika mengatakan bahwa tugas dari Paus dan para uskup adalah untuk meratifikasi atau merubah sensus fidei atau berdasarkan pengalaman bersama dari 'Umat Allah' yang disarankan kepada mereka.

Seperti sudah kami tulis dalam petisi kami kepada Bapa Suci: "Kegelisahan kami disebabkan oleh sesuatu yang dikutuk oleh Saint Pius X dalam bukunya Encyclical Pascendi: sebuah ikatan antara dogma dengan tuntutan kontemporer. Pius X dan anda, Bapa Suci, menerima kepenuhan otoritas untuk mengajar, menguduskan dan memerintah dalam ketaatan kepada Kristus, yang adalah merupakan Kepala dan Gembala kawanan di setiap zaman dan di setiap tempat, dimana wakilNya yang setia adalah Paus di dunia ini. Sasaran dari kecaman dogmatis itu, dengan berlalunya waktu, tidak mungkin bisa menjadi praktek pastoral resmi.”

Inilah yang telah mendorong Uskup Agung Marcel Lefebvre untuk menulis dalam Deklarasinya tanggal 21 November, 1974: "Tidak ada otoritas, bahkan dari hirarki yang paling tinggi sekalipun, dapat memaksa kita untuk meninggalkan atau mengurangi Iman Katolik kita, yang dinyatakan dengan jelas dan dianut oleh Magisterium Gereja selama sembilan belas abad sebelum ini. “Tetapi sekalipun kami,” kata St.Paulus, “atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.”

2. Perkawinan dan Keluarga Katolik

Adapun pernikahan, Allah menyediakan bagi peningkatan jumlah bangsa manusia dengan melembagakan pernikahan, yang merupakan serikat persekutuan yang stabil dan abadi antara seorang pria dan seorang wanita. Pernikahan dari orang yang dibaptis adalah sakramen, karena Kristus meninggikan martabat dari tindakan itu; karena itu perkawinan dan keluarga adalah merupakan institusi yang ilahiah dan alami.

Tujuan utama dari pernikahan adalah prokreasi (menghasilkan keturunan) dan pendidikan terhadap anak-anak, dimana tidak boleh ada niatan manusia yang mencegahnya dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan itu. Tujuan sekunder dari  perkawinan adalah saling membantu kepada satu sama lain yang diberikan oleh masing-masing sebagai pemenuhan bagi nafsu mereka.

Kristus menetapkan bahwa kesatuan pernikahan hendaknya bersifat definitif, baik bagi orang Kristen maupun bagi seluruh umat manusia. Kesatuan ini memiliki sebuah karakteristik yang tak terpisahkan, sehingga ikatan suami-istri tidak pernah bisa dirusak, baik oleh kehendak kedua belah pihak maupun oleh otoritas manusia: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Mt. 19:6. Dalam kasus pernikahan sakramental dari orang yang telah dibaptis, kesatuan dan keadaan yang tak dapat diceraikan ini dijelaskan lebih lanjut oleh fakta bahwa itu adalah tanda persatuan Kristus dengan Mempelai-Nya.
Apa pun yang mungkin dilakukan oleh manusia yang bertentangann dengan kesatuan atau tak terceraikannya pernikahan itu tidaklah sesuai dengan persyaratan alami atau dengan kebaikan masyarakat manusia. Selain itu, umat Katolik yang setia memiliki kewajiban yang serius untuk tidak menikah hanya melalui ikatan pernikahan sipil, tanpa melakukan pernikahan agama seperti yang ditentukan oleh Gereja.

Penerimaan Ekaristi (atau disebut Komuni sakramental) membutuhkan keadaan rahmat pengudusan dan persekutuan dengan Kristus melalui perbuatan kemurahan hati; Komuni itu akan meningkatkan kemurahan hati ini dan pada saat yang sama menandakan kasih Kristus bagi Gereja, yang bersatu dengan-Nya sebagai satu-satunya PasanganNya. Akibatnya, mereka yang secara sengaja berhubungan seks atau bahkan hidup bersama dalam zinah, tindakan mereka bertentangan dengan hukum Allah dan Gereja, dan mereka tidak dapat menerima Ekaristi atau Komuni, karena mereka memberikan contoh buruk karena tidak adanya keadilan dan kemurahan hati, dan mereka dianggap berdosa secara publik: (Mat. 19:9) :”Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."

Untuk menerima absolusi atas dosa-dosa seseorang dalam kerangka Sakramen Tobat, perlu sekali yang bersangkutan untuk memiliki niatan yang tegas untuk tidak berbuat dosa lagi, dan akibatnya mereka yang menolak untuk mengakhiri situasi yang tidak biasa (dosa) mereka, tidak dapat menerima absolusi yang valid.

Agar sesuai dengan hukum alam, manusia memiliki hak untuk melaksanakan seksualitas hanya dalam naungan perkawinan yang sah, sambil menghormati batas-batas yang ditetapkan oleh moralitas. Inilah sebabnya mengapa homoseksualitas bertentangan dengan hukum alam dan Ilahi. Hubungan yang tidak sesuai dengan pernikahan yang benar (kumpul kebo, berzinah, atau bahkan homoseksual) adalah sebuah ketidak-wajaran yang bertentangan dengan persyaratan hukum ilahi yang alami dan oleh karenanya itu adalah dosa; adalah mustahil untuk mengakui bahwa didalam hubungan seperti itu adanya moral yang benar, apapun juga bentuknya, bahkan semakin menurun saja moral mereka.
Mengingat kesalahan yang ada saat ini serta undang-undang perdata yang bertentangan dengan kesucian perkawinan dan kemurnian moral, hukum alam tetap tidak memberi kemungkinkan adanya pengecualian bagi mereka, karena Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, ketika Dia memberikan hukum-Nya, telah bisa melihat sebelumnya adanya segala kasus dan semua keadaan saat ini, tidak seperti para pembuat undang-undang manusia. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai ‘etika situasi’ (nilai etika yang disesuaikan dengan situasi yang ada saat itu), dimana ada beberapa orang yang mengusulkan untuk merubah aturan perilaku yang ditentukan oleh hukum alam agar disesuaikan dengan keadaan variabel budaya yang berbeda, tidaklah dapat diterima. 

Solusi bagi masalah di bidang tatanan moral ini tidak boleh diputuskan sendiri oleh hati nurani dari pasangan atau pastor mereka, dan hukum alam diterapkan pada hati nurani sebagai sebuah aturan bagi suatu tindakan.

Perawatan yang dilakukan oleh orang Samaria yang baik hati bagi orang berdosa itu dimanifestasikan oleh sikap kemurahan hati yang tidak berkompromi dengan, atau tidak memperhatikan dosanya, sama seperti dokter yang ingin membantu menyembuhkan orang yang sakit secara efektif dan tidak berkompromi dengan penyakitnya, tapi semata-mata hanya mau membantu dia untuk menyingkirkan rasa sakitnya. Seseorang tidak dapat membebaskan dirinya dari ajaran Injil demi nama pendekatan pastoral subyektiv yang, sementara mengingat kasus itu secara umum, akan menghapuskan dosanya dalam kasus-per kasus. Seseorang tidak bisa memberikan kepada para uskup kemampuan untuk menangguhkan atau membatalkan hukum tak terceraikannya pernikahan ad casum, tanpa berisiko melemahkan ajaran Injil dan memecah-belah otoritas Gereja. Sebab, dalam pandangan yang sesat ini, apa yang ditegaskan secara doktrinal bisa dipungkiri secara pastoral, dan apa yang dilarang secara de jure dapat disahkan secara de facto.

Dalam kebingungan yang meluas sekarang ini, kini tergantung kepada paus, sesuai dengan tanggung jawabnya, dan dalam batas-batas yang ditetapkan atas dirinya oleh Kristus – untuk menyatakan kembali dengan jelas dan tegas kebenaran Katolik quod sempre, quod ubique, quod ab omnibus, dan untuk menjaga kebenaran universal ini agar tidak dilanggar oleh praktek-praktek lokal.

Dengan mengikuti nasihat Kristus: vigilate et orate, kami berdoa bagi paus: oremus pro pontifice nostro Francisco, dan kami tetap waspada: non Tradat Eum di manus inimicorum ejus, agar Tuhan tidak menyerahkan dia kepada kekuatan musuh-musuhnya. Kami memohon kepada Maria, Bunda Gereja, untuk mendapatkan baginya rahmat yang memungkinkan dia untuk menjadi pelayan setia yang menjaga harta dari Putra Ilahinya.

Menzingen, October 27, 2015

† Bernard FELLAY
Superior General of the Society of Saint Pius X

No comments:

Post a Comment