Tuesday, July 31, 2018

SEBUAH PANGGILAN BAGI KERJASAMA ANTARA KATOLIK DAN FREEMASON?


SEBUAH PANGGILAN BAGI KERJASAMA ANTARA KATOLIK DAN FREEMASON?




"Anak-anakku, aku meminta kepada para pastorku untuk mendengarkan aku sebagai Ibumu, ketika aku memberitahu kamu agar kamu melepaskan dirimu dari semua perkumpulan-perkumpulan rahasia itu. Mereka tidak secara terbuka berencana menentang Gereja Puteraku, tetapi mereka melakukan hal ini secara rahasia! Para Mason, anak-anakku - Hirarki Gereja harus melepaskan diri dari organisasi yang keji ini. Kamu tidak dapat menyangkal bahwa banyak di kalangan para Mason sedang mempraktekkan ilmu sihir dan guna-guna." - Our Lady of the Roses, 1 Juni 1978


OnePeterFive.com reported on December 5, 2017:

Oleh Pastor  Paolo M. Siano

Pada tanggal 12 November 2017 di Syracuse, Sisilia, Grand Orient Italia, Palazzo Giustiniani (GOI), mensponsori konferensi dengan judul "Gereja dan Freemason: Begitu Dekat Namun Begitu Jauh?" Para presenter dalam konferensi itu termasuk teolog Mgr. Maurizio Aliotta; Uskup Antonio Staglianò dari Noto, Sisilia; dan Sergio Rosso serta Santi Fedele, guru besar Pondok Grand Masonic Italy.

Mengapa konferensi itu diadakan? Menurut sebuah wawancara yang diberikan kepada Avvenire pada 1 November 2017, pastor Ennio Stamile (pastor paroki Cetraro, Italia) menjelaskan bahwa “… secara otonom dalam menghadapi perbedaan-perbedaan kita, adalah baik untuk melakukan jalan pelayanan yang otentik demi kebaikan bersama dan untuk melakukan komitmen yang bertanggung jawab dan transparan terhadap keadilan sosial.”

Apakah kita berbicara tentang hubungan Katolik-Masonik pada tingkat keadilan sosial dan solidaritas? Mari kita lihat apa yang dikatakan para pembicara utama tentang hal itu.
1) Dalam pembicaraan selama sebelas menit, Mgr. Aliotta menunjukkan bahwa dirinya memiliki pengetahuan tentang Freemason dengan baik, dan dia menunjukkan beberapa elemen yang membuatnya tidak sesuai dengan Gereja: anthropocentrism, elemen agama dan ritual inisiasi “super-denominasi”, dan semangat toleransi relativistik. Aliotta, sementara menyadari bahaya dialog ini telah dieksploitasi, tampaknya dia mendukung "kolaborasi di sekitar proyek yang membantu kita berjalan bersama menuju humanisasi yang lebih besar."

2) Sergio Rosso, yang berbicara selama hampir sembilan belas menit, mengilustrasikan karya filantropis (kemurahan hati) Pondok Grand Masonic Italy dan memberikan pujian besar untuk aksi amal Gereja Katolik di dunia. Rosso berusaha membedakan dan memisahkan "sekularisme" Masonik dari sikap "anti-Katolik." Dia juga merekomendasikan kerja sama Katolik-Masonik pada tingkat solidaritas untuk "menghidupkan kembali zaman Roh yang sudah dekat dengan kita." Roh yang mana?

3) Pidato Uskup Staglianò, yang paling lama, berlangsung sekitar lima puluh menit. Pidatonya hanya semakin menunjukkan bahwa dirinya memiliki pengetahuan tentang Freemason yang tidak lengkap. Dia mengakui dalam sebuah wawancara bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang Freemasonry.


Pada awalnya, Uskup Staglianò mengutip beberapa kata dari The Magic Flute, sebuah opera terkenal karya komposer Katolik-Masonik, Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791). Dia mengutip dan memuji teolog Hans Urs von Balthasar, yang menyatakan The Magic Flute sebagai “sebuah opera dari sifat ilahi” (demikian kata Stagliò). Yang Mulia juga melaporkan penilaian Hans Küng tentang keanggotaan Mozart dalam Freemason: Mozart menjadi Mason karena hanya di sanalah dia bisa menemukan dan mewujudkan cita-cita Pencerahan tentang kesetaraan, persaudaraan, dan kebebasan, yang tidak dia temukan dalam hierarki Gereja Katolik Salzburg.

Mungkin pembicara ini akan bisa melakukan ceramahnya dengan baik jika saja dia mau menekankan  fakta bahwa, sudah sejak abad ke-18, keanggotaan dalam Freemasonry (termasuk saat Mozart dulu) sudah tidak sesuai dengan iman Katolik, karena ketidakpedulian religius, relativisme, rasionalisme, esoterisme, dan sumpah Masonik Freemasonry (dengan hukuman yang kejam / ancaman bagi mereka yang mengkhianati rahasia Masonik). Meskipun benar bahwa Uskup Staglianò kemudian mengatakan bahwa seseorang tidak bisa menjadi Katolik dan Mason, tetapi dia tidak menjelaskan atau memberikan alasan untuk ketidakcocokan ini. Memang, Mgr. Aliotta benar-benar membutuhkan lebih banyak waktu untuk berbicara, karena apa yang disampaikannya saat itu benar-benar tidak akurat.

Namun, Uskup Staglianò tidak bersikap "lunak" terhadap Mason. Dia mengatakan beberapa kali bahwa mereka dikucilkan, dengan mengutip penegasan dari tahun 1983 oleh Kardinal Ratzinger (Paus Benediktus XVI) sebagai kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman. Oleh karena itu, kata Staglianò, antara umat Katolik dan Freemason ada "jarak seperti jurang"; ada semacam "ekskomunikasi yang dijalankan." "Anda benar-benar dilempar keluar, benar-benar keluar," kata uskup itu, yang secara langsung berbicara kepada para anggota Mason yang hadir.

Uskup Staglianò bahkan menyebutkan adanya "desas-desus" yang menurutnya bahwa ada imam dan uskup yang menjadi anggota Mason. Jika itu benar, dia menekankan, para imam dan uskup itu juga harus dikucilkan dan mengalami “masalah dengan identitas mereka.”

Sayangnya, Uskup Staglianò tidak mengatakan, atau tidak mengatakan dengan jelas, mengapa kaum Mason dikucilkan, atau mengapa Freemasonry tidak sesuai dengan Gereja. Dalam hal ini, saya ingin membuat klarifikasi. Hukum Canon 2235 dari Undang-Undang Hukum Kanon 1917, yang menjatuhkan hukuman ekskomunikasi latae sententiae terhadap umat Katolik yang bergabung dengan Freemasonry, yang tidak diperbarui dalam UU Hukum Kanonik yang baru pada tahun 1983 (yang berlaku sejak 27 November 1983).

Berdasarkan Canon 2235 dari Kode 1917, setiap umat Katolik adalah ipso facto di-exkomunikasi oleh tindakan kepatuhannya, atau inisiasi ke dalam, kelompok Freemasonry. Dalam deklarasinya 26 November 1983, CDF mengulangi ketidakcocokan antara Freemasonry dan Gereja, dan menetapkan bahwa umat Katolik yang menjadi anggota Freemason berada dalam keadaan dosa besar dan tidak dapat menerima Komuni Kudus. Titik. Ia tidak berbicara tentang ekskomunikasi. Sebagai referensi, saya punya beberapa artikel tentang hal ini.

Namun dalam kenyataan, para Mason yang Katolik tidaklah dikucilkan secara ipso facto oleh tindakan mengikuti, atau diinisiasi ke dalam Freemasonry (dalam tingkat pertama dari Apprentice). Namun, jika dalam proses pembentukan Masonik berikutnya mereka merangkul dan memanifestasikan doktrin heterodoks (dari ajaran Masonik), atau jatuh ke dalam kemurtadan karena hal itu, maka mereka menerima ekskomunikasi dengan alasan sebagai delik bidaah atau kemurtadan.

Juga patut dicatat bahwa saat itu Uskup Staglianò mengecam orang-orang Katolik yang bingung dengan partisipasinya dalam konferensi itu. Dia menuduh mereka sebagai umat Katolik yang menganggap diri mereka “benar” dan “murni”, padahal kenyataannya mereka secara tidak sadar telah berada “jauh.” (Dari siapa? Dari Gereja? Dari Kristus?) Uskup Staglianò memarahi mereka karena memiliki masalah dengan identitas Katolik mereka. Dia kemudian berkata kepada para Mason yang hadir saat itu bahwa jika ada “masalah mendesak, atau bisa kita katakan sebagai masalah antropologis” (masalah bagi para Mason yang mau menyatukan diri mereka dengan umat Katolik) dan jika mereka juga ingin meningkatkan suara mereka untuk membela martabat manusia dan kebebasan beragama, maka mereka harus "menunjukkan" wajah mereka yang sebenarnya (sebagai orang yang peduli terhadap kebaikan sejati kemanusiaan) sehingga orang-orang yang telah mengucilkan mereka (Tahta Suci) mungkin akan menyadari bahwa mereka telah mengucilkan "sesuatu yang tidak ada." Lalu dia menyemangati para Mason itu: "Marilah kita berjalan bersama ke arah itu."

Tapi sekarang, mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Apa artinya bagi para Mason untuk menunjukkan wajah mereka yang sebenarnya? Juga, apakah tindakan ekskomunikasi atau "menjauhkan" para Mason itu tidak perlu dilakukan asalkan mereka "mau menunjukkan wajah mereka"? Jika, di satu sisi, Uskup Staglianò dengan penuh semangat ingin menyalahkan “tindakan menjauhkan” antara kita di pihak Katolik yang murni dengan Mason, dan di sisi lain, dia tampak terlalu samar dalam hipotesisnya bahwa memang ada "kedekatan" di antara Katolik dengan Mason.

Kenyataannya, Uskup Staglianò bersikeras pada pentingnya hati nurani, dan mengatakan kepada kaum Mason bahwa dia tidak ingin mengukur jauh atau dekatnya mereka, tetapi bahwa mereka harus benar dalam hati nurani mereka, dalam antropologi mereka, untuk mengatakan bahwa mereka bukan pencuri, tidak bersikap buruk, atau berencana melawan Gereja, dll. Tetapi dengan berbicara seperti ini, bagaimana kaum Mason tidak merasa dibiarkan dan dipersilakan tinggal dalam subjektivisme pikiran mereka? Akibatnya, orang-orang Katolik yang mengikuti Freemason sudah mengikuti hati nurani mereka sesuai dengan anjuran Uskup Staglianò itu.

Oleh karena itu, hanya dengan mengikuti kata hati nurani saja tidaklah cukup; sebaliknya, seseorang harus juga memberikan arah yang jelas dan pasti. Sebagai contoh: Katakan kepada para Mason di Grand Lodge di Italia bahwa mereka harus meninggalkan paham esoterisme, Gnostisisme, sekularisme, dan keengganan mereka terhadap dogma-dogma iman dan moral, jika mereka ingin mendekatkan diri kepada kita umat Katolik.

Mungkin terganggu oleh kata-kata kasar dari Bishop Staglianò, maka grand master Santi Fedele, berbicara selama 18 menit untuk membela Grand Lodge of Italy, membela "transparansi" publiknya, dan haknya untuk memiliki privasi. Fedele mendefinisikan Yang Mulia Rosy Bindi (seorang politikus Italia) sebagai "komunis Katolik." Dia menyangkal bahwa Freemason melakukan "ritual sihir yang aneh di Bait Suci." (Bahkan pada titik ini, saya harus merasa keberatan.) Dia mengagungkan "moralitas sekuler" Freemasonry dan mengakui bahwa "Arsitek Agung Alam Semesta" yang disebut dalam buku James Anderson yang berjudul Freemasonry (1723) adalah Deist. Akhirnya – dia membalas terhadap Staglianò - dia menyatakan dengan bangga bahwa dia memiliki "kesadaran yang baik " karena dia menjadi orang yang berada "di luar komunitas umat beriman."

Izinkanlah saya untuk merujuk beberapa artikel saya, di sini dan di sini, di mana, atas dasar teks Masonik yang saya baca, saya menggarisbawahi identitas esensial Freemasonry of the Grand Lodge sebagai bersifat esoterik dan berbasis pada ritual inisiasi. Inisiasi dan esoterisme (Gnostisisme) - di sini adalah "jantung " yang sesungguhnya dari Freemasonry, yang jauh melampaui rasionalisme, sekularisme, dan kegiatan kemanusiaan.

Oleh karena itu, mari kita bertanya kepada diri sendiri: Sejauh mana, dan sampai titik mana, apakah mungkin kita, umat Katolik, untuk bekerja sama secara terbuka dalam karya-karya keadilan sosial dan solidaritas dengan mereka yang mempraktekkan ritual esoterik dan Gnostik, yang sangat mungkin mereka terbuka untuk menerima pengaruh manusia-super atau preternatural?

No comments:

Post a Comment