Monday, April 4, 2016

Kiriman dari bu Lucy : Mengapa Yesus Tidak Membasuh Kaki Ibu-Nya?




Mengapa Yesus Tidak Membasuh Kaki Ibu-Nya?
   

Dear All,

Paskah sudah kita lalui dan tahun ini Tri Hari Suci diwarnai oleh sesuatu yang baru, khususnya pada Perayaan Kamis Putih, bagian upacara pembasuhan kaki. Di beberapa gereja (tidak semua), kita melihat adanya beberapa wanita yang ikut duduk di barisan para pria yang akan dibasuh kakinya. Bahkan ada gereja yang memilih 12 ibu-ibu tanpa seorang bapak pun..! Mungkin pemandangan ini membuat sebagian orang bertanya-tanya. Tapi sesungguhnya tidak ada yang salah dengan hal itu.

Paus Francis telah mengeluarkan ketetapan yang mengubah norma dalam ritual pembasuhan kaki pada Perayaan Kamis Putih. Keputusan yang diterbitkan pada Januari 2016 itu antara lain berbunyi: “Para Pastor dapat memilih sekelompok umat beriman yang mewakili setiap bagian dari Umat Allah. Kelompok ini bisa terdiri dari pria dan wanita, dan idealnya dari kaum muda dan tua, sehat dan sakit, para klerus, orang-orang yang telah dikonsekrasikan serta kaum awam”. (pope_changes_holy_thursday_decree)

Paus sendiri pada perayaan Kamis Putih yang lalu membasuh kaki 12 pengungsi yang terdiri dari sejumlah pria dan wanita dari berbagai agama termasuk Muslim, Kristen dan Hindu. Hal ini pun tidak salah, karena sudah diantisipasi dalam ketetapan baru di atas yang tidak menyebutkan harus Katolik, melainkan hanya “umat beriman yang mewakili umat Allah”, tidak spesifik Katolik. Maka sesuai ketetapan baru tersebut, apa yang dilakukan Paus adalah sah-sah saja, walaupun mungkin ada yang mengatakan bahwa “umat beriman” di situ seharusnya dibaca “umat Katolik”, karena ritual itu ada dalam Gereja Katolik. Tapi pada kenyataannya, kalimat itu tidak berbunyi demikian, apa boleh buat.

Dengan menetapkan norma baru terkait ritual pembasuhan kaki dalam Perayaan Perjamuan Terakhir Yesus, ada kesan bahwa makna yang terkandung dalam isyarat simbolis pembasuhan kaki itu menjadi kabur, surut, atau bahkan berubah. Mengapa dulu Yesus hanya memilih keduabelas rasul-Nya yang semuanya adalah laki-laki? Mengapa Yesus tidak membasuh kaki Ibu-Nya? Atau memilih dari beberapa wanita yang setia mengikuti Dia...? Mengapa Yesus juga tidak memilih beberapa dari murid laki-laki lainnya di luar 12 rasul-Nya? 

Berikut ini saya petik beberapa bagian dari tulisan Dr._Leroy_Huizenga  yang kiranya dapat memberikan pemahaman atau mengingatkan kita akan makna sesungguhnya dari ritual pembasuhan kaki itu. Dalam ulasannya yang berjudul “Holy Thursday, Footwashing, and the Institution of the Priesthood”, yang dimuat di Catholic World Report pada tanggal 16 April 2014, Dr. Huizenga antara lain menulis:

“..... adegan pembasuhan kaki di Injil Yohanes tidak hanya dimaksudkan sebagai contoh teladan kerendahan hati dalam pelayanan, tetapi terutama, sebagai catatan institusi imamat Kristen, dan dengan demikian menjadi dasar biblis dari Sakramen Tahbisan Suci .....”

“Apa yang sering dilupakan adalah bahwa para rasul memiliki kedudukan yang khusus dan istimewa. Mereka bukan sekedar murid-murid yang sama seperti semua orang Kristen lainnya yang menjadi murid Yesus ; mereka unik. Yesus memilih dua belas dari mereka karena suatu alasan, yaitu untuk menunjukkan bahwa Gereja yang akan mereka pimpin kelak akan melanjutkan karya penebusan dari dua belas suku Israel di dunia. Dalam pemahaman Gereja Katolik (dan Orthodox), para rasul adalah imam-imam dan uskup-uskup yang pertama, dan dengan demikian apa yang Yesus katakan kepada mereka dan lakukan bersama mereka, bisa jadi bukanlah teladan langsung yang relevan untuk semua orang Kristen. Misalnya, ketika Yesus memberikan kunci kerajaan surga hanya kepada Petrus (Matius 16), hal itu tidak berarti bahwa setiap orang Kristen memiliki kunci kerajaan surga dan memiliki kuasa untuk mengikat dan melepaskan.”

“Sesuatu yang lebih dari sekadar contoh teladan tersirat di Yohanes 13. Pembasuhan kaki para murid oleh Yesus memiliki makna imamat ; Yesus membentuk imamat .....”

“..... Singkatnya, di Yohanes 13, kita mendapati bahwa para rasul menerima status baru, yaitu status imam, seperti yang dijelaskan secara paralel oleh ayat-ayat tentang imamat dalam Perjanjian Lama. Jika laki-laki dan wanita modern bertanya-tanya mengapa Gereja Katolik memiliki imamat yang semuanya adalah laki-laki, yang memakai jubah dan mempersembahkan kurban Ekaristi di gereja-gereja yang menyerupai Bait Allah, itu karena Perjanjian Lama memiliki imamat yang semuanya adalah laki-laki, yang memakai jubah dan mempersembahkan kurban di Kenisah dan Bait Allah.”

(Untuk mengetahui lebih lanjut detail uraian Dr. Huizenga, silahkan menuju ke link  Dr._Leroy_Huizenga)

Sebagai tambahan, di bawah ini saya sajikan pula pendapat dari seorang biarawati mengenai pembasuhan kaki oleh Paus pada Kamis Putih yang lalu, serta fenomena gereja modern yang ingin meningkatkan peranan wanita di dalam liturgi Ekaristi.

“Perempuan? Jika begitu, mengapa Yesus dulu tidak membasuh kaki Maria?
Muslim? Protestan? Jika demikian, mengapa Yesus dulu tidak membasuh kaki para imam kepala dan ahli-ahli taurat, wakil dari agama-agama Yahudi, atau kaum Yunani?

Perjamuan Malam Terakhir adalah saat menentukan bagi dibangunnya Gereja, dengan penetapan Ekaristi sebagai puncak segala kegiatan kristen dan sumber hidup dari hidup kristen itu sendiri. Karena merupakan hari penetapan Ekaristi, maka Perjamuan Malam Terakhir Yesus di Senakel itu menyangkut imamat. Dan jika menyangkut imamat, maka secara yuridis telah ditetapkan secara sangat jelas sejak semula, yakni tidak dapat melibatkan perempuan. Hal ini dilakukan Yesus bukan untuk merendahkan martabat perempuan di mata laki-laki. Yesus tidak mengikutsertakan Ibu-Nya, karena halnya memang menyangkut tugas imamat yang hanya boleh diemban oleh laki-laki.

Setiap jenis kelamin membawa karakteristik dan kecenderungannya masing-masing. Yesus tahu bahaya apa yang akan menimpa Gereja jika perempuan dilibatkan dalam keimamatan. Perempuan, dipandang dari struktur fisiknya saja, tidak dapat ditempatkan sebagai figur yang dapat melindungi kaum yang lemah. Selain itu, dari struktur fisiknya, perempuan bukannya akan dipandang indah ketika merayakan Ekaristi, melainkan justru ada bahaya akan menjadi "ajang komersiil". Itulah sebabnya mengapa kita menyebut Allah bukan dengan sebutan "Ibu", kendati pada kenyataannya Allah tidaklah memiliki jenis kelamin. Kita memanggil-Nya Bapa, karena seorang bapa, sebagai figur laki-laki, memiliki potensi melindungi, menyelenggarakan dan menyelamatkan. Untuk itulah tugas imamat juga tidak dapat diemban oleh kaum perempuan, yang secara kodrati tidak memiliki kestabilan psikologis sebagai konsekuensi dari hormon yang terikat pada siklus periodik. Kondisi psikologis semacam ini dapat menjadi penghalang dalam situasi-situasi tertentu.

Para wanita pembaca Kitab Suci dan Mazmur saja kerapkali dapat membuat konsentrasi umat buyar, manakala mereka tidak mengenakan pakaian sepantasnya. Apa boleh buat? Wanita pada umumnya memang senang menjadi pusat perhatian. Sementara menjadi imam, harus selalu siap memperhatikan. Saya dibuat gusar dalam Pekan Suci ini, karena pemudi yang bertugas sebagai komentator dalam Perayaan Minggu Palma hingga Jumat Agung kemarin, mengenakan pakaian yang tidak terlalu sopan menurut saya, dan dia selalu sibuk merapihkan dirinya di atas Altar. Bayangkan jika yang demikian itu menjadi imam. Hal ini tak dapat dihindari. Menjadi biarawati saja terkadang masih terbawa oleh keduniawian. Wanita menjadi imam? Bagaimana jadinya?

Saya wanita, dan saya bangga menjadi umat biasa, seorang awam yang adalah religius. Saya tidak masuk dalam hirarki Gereja, tetapi saya bangga, karena yang mengangkat martabat saya bukanlah status saya dalam Gereja, melainkan bagaimana saya menghayati keanggotaan saya sebagai murid Yesus.

Maka Maria diangkat ke dalam kemuliaan tertinggi melebihi para malaikat, justru berkat kerendahan hatinya yang besar. Ia bukan imam. Ia seorang wanita, ibu rumah tangga biasa, namun ia menghayati kewanitaannya secara sangat luar biasa. Itulah sebabnya mengapa ia disebut "yang berbahagia" di antara para wanita ... Ia tidak pernah bermimpi menjadi imam. Impiannya hanya satu: melaksanakan kehendak Allah! Kerendahan hatinya itulah yang mengangkat martabatnya menjadi Ratu para Malaikat.”

Kemudian, ketika menanggapi soal pembasuhan kaki wanita, yang dapat dibenarkan karena merupakan tindakan berdasarkan kasih yang tidak membedakan wanita dari pria, suster menambahkan:

“Setiap kasus memiliki ruang dan kontrol/remedium/solusi terhadap persoalan yang dapat terjadi dalam ruang tersebut. Dalam ruang kasih, kita dapat bicara soal kesamaan martabat antara pria dan wanita. Namun dalam ruang/yurisdiksi imamat, kita tidak berbicara mengenai kasih, melainkan norma.

Dalam Perjamuan Malam terakhir, Yesus secara tidak langsung telah menetapkan norma bagi imamat, yang hanya akan berlaku bagi para pria, yakni para pria yang dipanggil-Nya secara khusus untuk mengambil bagian dalam imamat Kristus. Kita semua, umat beriman katolik, termasuk wanita, mengambil bagian dalam imamat Kristus, tetapi imamat kita bukanlah imamat jabatan, melainkan imamat umum. Hanya kepada orang-orang tertentu saja Yesus menganugerahkan imamat jabatan.

Berkaitan dengan ruang kasih, dengan tidak menyertakan Bunda-Nya dalam pembasuhan kaki, bukan berarti Yesus tidak mengasihi Bunda-Nya. Kasih tidak selalu harus diungkapkan dengan mempercayakan imamat kepada semua orang, bukan? Imamat itu karunia yang sangat mulia, yang tidak bisa dianugerahkan kepada semua orang.  Maka, tidak menyertakan wanita dalam pembasuhan kaki, juga bukan berarti tidak mengasihi wanita yang diciptakan setara dengan pria. Wanita memiliki kekhasan “indah”nya sendiri, yang lebih sesuai untuk tugas-tugas keibuan. Dan itu indah, indah sekali! Kesetaraan martabat bukan berarti kesamaan tugas..!”

Wanita memiliki "tempat" yang begitu luhur dan agung, tidak hanya dalam tata kodratinya melahirkan kehidupan, tetapi bahkan lebih dari itu, bahwa dengan melahirkan kehidupan baru dan mewariskan sifat-sifat baik kepada anak-anaknya, ia bekerja sama dengan Allah dalam karya penciptaan.

Membawa sebuah "kehidupan" dalam rahim ... Bukankah tugas ini justru mengangkat martabat kewanitaan kita ke tingkat kemuliaan yang sangat tinggi? Rahmat macam apa lagi yang kita tuntut dari Tuhan? Maria dahulu juga membawa "Kehidupan" itu dalam rahimnya, Kehidupan yang Sejati, Sumber Hidup itu sendiri. Bukankah sangat indah memiliki tugas sebagai pendukung kehidupan? Sebagai pembela kehidupan? Sebagai "pembawa" kehidupan dalam tubuhnya? Wanita dimasukkan dalam tatanan rahmat sebagai mitra kerja Allah dalam karya penciptaan!!! Betapa indahnya wanita di mata Allah dan di mata manusia! Tanpa wanita tak ada kehidupan baru!!

Jadi, tidak perlu risau hanya karena wanita tidak seharusnya dilibatkan dalam pelayanan imamat. Wanita sudah memiliki tempatnya sendiri yang begitu indah di mata Allah. Menjadi rendah hati berarti berani menerima realitas bahwa "saya" tidak sesuai untuk tugas-tugas tertentu. Menjadi biarawan/wati itu indah, mulia. Tetapi tidak semua orang cocok menjadi biarawan/wati. Menjadi guru itu pekerjaan yang mulia. Tetapi tidak semua orang memiliki bakat untuk itu. Setiap orang ditempatkan sesuai bakat dan potensinya masing-masing. Demikian pula, menjadi imam itu indah. Tetapi tidak semua orang sanggup menghayati kehidupan imamat. Rendah hatilah. Kerendahan hati mengangkat jiwa kita ke Surga. Sebaliknya, dengan setitik kesombongan saja, kita sudah menjalin persahabatan dengan Neraka!"

Kiranya ulasan dari dua sumber di atas cukup jelas bagi kita. Gereja Katolik mengadopsi banyak tradisi, yang dijalankan selama berabad-abad di sepanjang sejarah perjalanannya. Tradisi-tradisi tertentu, terutama yang berkaitan dengan perbendaharaan iman dan norma hirarkis, bukan hanya sekedar simbol, melainkan lebih dari itu, menyiratkan Misteri-misteri Ilahi yang sarat makna, sehingga jika diubah atau dimodifikasi, maka makna yang terkandung di dalamnya pun ikut bergeser, atau bahkan berubah.

Sejauh ini Paus Fransiskus selalu mengedepankan dan menunjukkan sikap kerendahan hati yang memukau dunia. Namun di sisi lain juga menimbulkan pertanyaan bagi banyak orang yang teguh pada ajaran dan tradisi asli Gereja, manakala Paus mengubah aturan tersebut, tanpa memberikan penjelasan dasar teologis yang meyakinkan, karena ketetapan liturgis yang disusunnya memberi kesan hanya berdasar pada "garis horizontal", yakni kasih terhadap sesama yang tidak membedakan gender. "Garis vertikal", yang mengandaikan relasi dengan Allah, dan dengan demikian tunduk pada hukum dan norma ilahi, seolah-olah dikesampingkan. Banyak orang dibuat tercengang oleh ketetapan baru itu, sehingga muncul pertanyaan, "Apakah ini sungguh-sungguh merupakan suatu wujud kerendahan hati di mata Allah?" Dengan mengubah tradisi tersebut, Paus seolah-olah telah melakukan “koreksi” atas apa yang telah Yesus tetapkan pada awal perjalanan hidup Gereja dalam dimensinya yang paling utama, yakni dimensi spiritual.

Seorang murid yang rendah hati sadar akan “siapa” dirinya, dan “siapa” gurunya. Paus juga adalah murid Kristus yang – sama dengan murid-murid lainnya – sedang dalam perjalanan untuk menjadi semakin serupa dengan Sang Guru sekaligus Junjungan dan Tuhannya. Dengan demikian, dapatkah dibenarkan seorang murid mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Guru, Junjungan dan Tuhannya, agar sesuai dengan maksudnya sendiri, dan berlutut di depan manusia atas nama kasih, namun seakan mengabaikan ketetapan ilahi? Bukankah kasih kepada sesama dan kasih kepada Allah mustinya berjalan beriringan? Bahkan kasih kepada Allah harusnya mendapat tempat yang pertama?!  

Kesetiaan dan ketaatan kita sebagai murid Kristus sangatlah penting agar kita dapat menjadi murid-murid yang rendah hati, bijaksana, dan "berjalan di belakang Sang Guru", mengikuti-Nya dan tunduk, taat pada ketetapan-ketetapan-Nya, ketetapan-ketetapan Tuhan kita.

Semoga dapat dijadikan refleksi, sehingga kita dapat tumbuh menjadi murid-murid Yesus yang kritis, namun juga konsekuen dalam jalan "kemuridan".

Tuhan memberkati kita semua..! Amin!

Salam,
Lucy


No comments:

Post a Comment