Friday, April 1, 2016

Vol 1 - Bab 6 Lokasi Api Penyucian



Volume 1 : Misteri Keadilan Allah

Bab 6

Lokasi Api Penyucian 
St.Frances dari Roma,
St.Magdalen de Pazzi

Adalah cukup memuaskan Allah dengan menunjukkan didalam roh tempat tinggal yang gelap dari Api Penyucian kepada jiwa-jiwa tertentu, untuk menyatakan misteri-misteri menyedihkan itu demi keuntungan umat beriman. Diantara sekian banyak kejadian, maka yang dialami oleh St.Frances ini, pendiri dari ‘the Oblates’, biara bagi kaum muda, yang meninggal pada 1440 di Roma, cukup terkenal. Tuhan mengaruniai dia dengan terang cahaya yang besar sehingga dia bisa mengetahui keadaan dari jiwa-jiwa di dunia sebelah sana. Dia bisa melihat neraka beserta siksaannya yang amat mengerikan itu. Dia juga melihat Api Penyucian serta tingkatan-tingkatan yang misterius (aku menyebutnya sebagai hirarki penebusan dosa), yang terjadi didalam lingkup wilayah Gereja Yang Menderita dari Yesus Kristus ini.  
Didalam kepatuhan kepada para atasannya, yang berasa bertanggung jawab untuk membimbingnya, dia menceritakan segala hal yang telah dinyatakan Tuhan kepadanya. Dan penglihatan-penglihatannya yang dituliskan atas permintaan dari Canon Matteotti Venerabilis, penasihat rohaninya, memiliki otentisitas yang dituntut didalam masalah ini. Kini hamba Allah itu menyatakan bahwa setelah menanggung segala ketakutan yang tak terkatakan besarnya atas penglihatan dari neraka itu, dia keluar dari lembah itu dan dituntun oleh penuntun Surgawinya menuju berbagai wilayah didalam Api Penyucian. Disana, bukannya rasa takut, putus asa ataupun kekacauan atau kegelapan yang kekal yang dia jumpai. Disana dia menjumpai pengharapan yang ilahi sifatnya yang memancarkan terangnya, dan dia diberitahu bahwa tempat pemurnian ini disebut juga sebagai ‘tempat sementara dari pengharapan’. Disini dia melihat jiwa-jiwa yang sangat menderita, namun para malaikat mengunjungi dan menolong mereka didalam penderitaan itu.
Api Penyucian itu, demikian katanya, dibagi dalam 3 bagian yang terpisah, seperti 3 buah wilayah kerajaan penderitaan, dimana yang satu terletak dibawah yang lain dan dihuni oleh jiwa-jiwa dengan berbagai tingkatan. Jiwa-jiwa ini terkubur lebih dalam sesuai dengan keadaan dosanya pada saat kematian mereka.  Bagian yang paling bawah berisi api yang berkobar-kobar amat mengerikan sekali, namun tidak bersuasana gelap seperti di neraka. Ia merupakan lautan api yang amat luas yang bernyala-nyala, dan sekali-sekali lautan itu melontarkan kobaran api ke atas. Terdapat banyak sekali jiwa-jiwa yang masuk kedalamnya. Mereka adalah jiwa-jiwa yang berdosa berat, yang telah mereka akukan secara layak, namun masih belum cukup mereka tebus selama kehidupan mereka di dunia dulu. Hamba Allah itu kemudian menyadari bahwa bagi semua dosa berat yang sudah diampuni, mereka masih harus menjalani 7 tahun penderitaan disitu. Istilah ini tak bisa diterapkan begitu saja sebagai ukuran yang jelas dan menetap, karena dosa-dosa berat berbeda dalam hal derajat kekerasannya, namun sebagai hukuman rata-rata. Meskipun jiwa-jiwa disitu diselimuti oleh nyala api yang sama, namun penderitaan mereka tidaklah sama. Hal itu berbeda sesuai dengan jumlah dan sifat dari dosa-dosa mereka semula. Didalam Api Penyucian yang bawah ini tinggallah orang-orang kudus dan orang-orang yang dipersembahkan kepada Allah. Orang-orang kudus adalah orang-orang yang setelah berbuat dosa, mereka segera bertobat. Orang-orang yang dipersembahkan kepada Allah adalah orang-orang yang tidak hidup sesuai dengan kesucian keadaan mereka. Pada saat yang sama itu dia melihat turunnya jiwa dari seorang imam yang dia kenal, tetapi dia tak mau menyebutkan namanya. Dia mengatakan bahwa wajah imam itu tertutup tirai yang berisi noda kotoran. Meskipun imam itu telah menjalankan kehidupan yang terpuji, tetapi imam ini tidak selalu bersifat teguh hati, dan dia terlalu menyukai kepuasan meja makan.
Orang kudus ini lalu dibawa menuju Api Penyucian pertengahan, yaitu tempat bagi jiwa-jiwa yang harus menerima pemurnian yang lebih ringan. Tempat ini terdiri dari tiga bagian. Yang satu nampak seperti lautan es, dinginnya sangat menggigit sekali. Yang kedua, sebaliknya, seperti sebuah tempat pembakaran yang amat besar yang berisi minyak mendidih. Yang ketiga, seperti kolam yang berisi logam cair dan panas seperti perak atau emas.
Api Penyucian bagian atas, yang tidak dijelaskan secara rinci oleh orang kudus ini, adalah merupakan tempat tinggal sementara bagi jiwa-jiwa yang hanya menderita sedikit, karena rasa kehilangan dan mendekati saat-saat bahagia, yaitu pembebasan mereka.
Begitulah substansi seperti yang disaksikan oleh St.Frances terhadap Api Penyucian.
Berikut ini adalah cerita dari St.Magdalen de Pazzi, seorang Karmelit Florentina, yang ditulis didalam buku ‘Life’ oleh Pastor Cepari. Tulisan itu menggambarkan lebih jauh keadaan Api Penyucian, sementara penglihatan yang sebelumnya hanya bercerita singkat saja.
Beberapa saat sebelum kematiannya pada tahun 1607, hamba Allah ini, Magdalen de Pazzi, suatu sore bersama beberapa rohaniwati berada didalam sebuah taman dari biara mereka. Tiba-tiba dia mengalami keadaan ekstase, dan dia melihat Api Penyucian dihadapannya. Pada saat yang sama, seperti yang dia ceritakan kemudian, sebuah suara terdengar yang mengundang dirinya untuk mengunjungi sebuah penjara dari Pengadilan Ilahi itu. Dia melihat betapa jiwa-jiwa yang berada disitu sangat memerlukan belas kasihan kita semua.
Dia berkata :”Ya, aku mau berangkat kesana”. Dia bertekad untuk melakukan perjalanan yang amat menyakitkan itu. Kenyataannya, dia berjalan-jalan selama 2 jam lamanya mengelilingi taman dari biara itu, yang menurut dia, amat luas sekali. Dia berjalan berkeliling sambil diselingi dengan perhentian sebentar dari saat ke saat. Setiap kali dia menghentikan jalannya, dia merenungkan dengan sungguh-sungguh akan penderitaan yang diperlihatkan kepadanya. Kemudian nampak dia menangkupkan kedua tangannya karena rasa kasihan, dan wajahnya menjadi pucat pasi, tubuhnya membungkuk karena beban penderitaan, dihadapan pemandangan yang amat mengerikan itu.
Dia lalu menangis keras sambil meratap dan memohon :”Kasihanilah Tuhan, kasihanilah ! Turunlah oh Darah Yang Amat Berharga, dan bebaskanlah jiwa-jiwa itu dari penjara mereka. Jiwa-jiwa yang malang ! engkau menderita dengan amat kejam sekali, namun engkau mau menerimanya dan senang melakukannya. Jika dibandingkan dengan tempat ini, maka penderitaan para martir di dunia ini adalah seolah taman-taman kebahagiaan. Namun ternyata masih ada tempat yang lebih randah lagi. Betapa bahagianya aku, karena tidak disuruh pergi kesana !”.  
Magdalen memang turun, karena dia didorong kesana untuk meneruskan perjalanannya. Namun ketika dia berjalan beberapa langkah, dia berhenti sambil merasa ketakutan, dan dia melenguh keras, dia berteriak :”Oh, betapa kaum religius juga berada di tempat yang amat suram itu. Tuhan yang maha baik, betapa mereka disiksa ! Ah, Tuhan !”. Dia tidak menjelaskan sifat dari penderitaan mereka, namun rasa ngeri yang dia nyatakan dengan memikirkan mereka saja, telah membuatnya menghela napasnya dalam-dalam didalam setiap langkahnya. Dia berjalan melewati tempat-tempat yang kurang begitu gelap. Dan itu adalah lembah-lembah bagi jiwa-jiwa yang sederhana dan anak-anak yang tidak mau memperhatikan tingkah lakunya dan mereka tak mau mengurangi banyak kesalahan mereka. Siksaan mereka ini nampaknya lebih bisa ditanggungkan oleh mereka dari pada tempat-tempat Api Penyucian sebelumnya. Disitu hanya terdapat lautan es dan api yang saling terpisah. Magdalen melihat bahwa jiwa-jiwa itu didampingi oleh malaikat pelindung mereka masing-masing, dimana hal ini sangat menguatkan mereka. Namun Magdalen juga melihat setan-setan dalam wujud yang amat mengerikan yang semakin memperberat penderitaan mereka disitu.
Magdalen maju beberapa langkah lagi, dan dia melihat jiwa-jiwa yang malang. Dia berteriak :”Oh ! betapa amat mengerikan tempat ini ! Penuh dengan setan-setan dan siksaan yang amat mengerikan. Oh Tuhanku, siapakah yang menjadi kurban dari siksaan yang amat kejam itu ? Celaka ! mereka ditusuk dengan pedang yang tajam dan dipotong-potong”. Magdalen menjelaskan bahwa mereka itu adalah jiwa-jiwa yang tingkah lakunya dikotori oleh kemunafikan.
Lebih jauh lagi Magdalen berjalan, dia melihat banyak sekali jiwa-jiwa yang nampak memar-memar, sepertinya mereka baru mendapatkan pukulan-pukulan pada dirinya. Dan Magdalen sadar bahwa mereka adalah jiwa-jiwa yang tindak tanduknya tidak sabar dan tidak patuh selama kehidupan mereka. Sementara memikirkan mereka itu, dengan segala penampilan dan keluhan-keluhan mereka, maka semua keadaan itu amat menimbulkan rasa belas kasihan dan rasa ngeri.
Sesaat kemudian Magdalen mengalami kejang-kejang dan berteriak keras dipenuhi dengan rasa ketakutan yang sangat. Dihadapannya terdapatlah lembah kebohongan yang kini terbuka. Setelah memperhatikan tempat itu, dia berteriak :”Para pembohong ditahan di tempat ini yang berada disekitar neraka, dan penderitaan mereka amat berat sekali. Timah hitam yang cair dan panas nampak dituangkan kedalam mulut mereka. Aku melihat mereka terbakar dan pada saat yang sama mereka juga merasa gemetar kedinginan”.
Lalu Magdalen pergi menuju penjara bagi jiwa-jiwa yang berdosa melalui kelemahan dan terdengar dia berseru :”Celakalah ! Aku sudah mengira akan menemukan engkau diantara orang-orang yang berdosa karena sikap acuh, tetapi aku keliru. Ternyata kamu terbakar oleh api yang lebih besar”. Lebih jauh lagi, dia melihat jiwa-jiwa yang melekat erat kepada barang-barang duniawi dan mereka melakukan dosa keserakahan.
“Begitu buta sekali !”, kata Magdalen, “begitu mudahnya dia mencari kesenangan yang cepat berlalu dari dunia. Mereka yang semula kaya, tak bisa memuaskan dahaganya, dan mereka berada disini bersama siksaan itu. Mereka mencair seperti logam didalam perapian”.
Dari situ Magdalen berjalan menuju tempat dimana terdapat jiwa-jiwa yang dipenjara yang dulunya mereka telah dikotori oleh sifat ketidak-murnian. Dia melihat mereka berada didalam lembah yang berbau busuk dan penuh dengan penyakit sehingga menimbulkan rasa mual jika memandangnya. Segera Magdalen memalingkan wajahnya dari pemandangan yang amat menjijikkan itu. Demi melihat orang-orang yang congkak dan penuh dengan ambisi pribadi, dia berkata :”Perhatikanlah mereka yang berharap untuk bersinar dihadapan manusia. Kini mereka dikutuk untuk hidup didalam tempat yang gelap dan menakutkan ini”.
Lalu Magdalen diperlihatkan kepada jiwa-jiwa yang bersalah karena tidak mau berterima kasih kepada Tuhan. Mereka menjadi mangsa dari siksaan yang tak terkirakan bengisnya, dimana mereka ditenggelamkan didalam timah hitam cair dan panas, karena sikap tidak berterima kasih mereka telah membuat kering sumber kesucian dalam diri mereka.
Akhirnya, di tempat yang terakhir, Magdalen diperlihatkan kepada jiwa-jiwa yang tidak termasuk pada kejahatan tertentu. Hal itu karena mereka tidak memiliki semangat untuk berdoa dan berjaga-jaga secara mencukupi, hingga mereka melakukan segala macam kesalahan yang kecil-kecil. Magdalen mengatakan bahwa jiwa-jiwa itu ikut merasakan pemurnian-pemurnian dari segala macam kejahatan yang ada, namun dengan derajat yang lebih ringan, karena semua kesalahan mereka itu dilakukan hanya dari saat ke saat saja, lebih ringan dari pada mereka yang melakukannya karena kebiasaan.
Setelah mengunjungi tempat yang terakhir ini, Magdalen, orang kudus itu, meninggalkan taman biara itu. Dia memohon kepada Tuhan untuk tidak lagi menjadi saksi dari peristiwa-peristiwa yang amat mengerikan dan menggetarkan hatinya itu, karena dia merasa tidak kuat lagi untuk menyaksikan hal itu. Tetapi keadaan ekstasenya masih terus berlangsung dan didalam berbicara dengan Yesus, dia mengatakan :”Katakanlah kepadaku, Tuhan, apakah rencanaMu dengan mengungkapkan penjara-penjara yang amat mengerikan itu kepadaku, dimana hanya sedikit sekali yang kuketahui tentang tempat itu selama ini, dan semakin sedikit lagi yang kupahami ! Ah ! kini aku tahu. Engkau berkehendak memberiku pengetahuan akan kesucianMu yang tak terbatas itu, dan membuatku merasa lebih jijik terhadap dosa sekecil apapun juga, dimana hal ini sangat membuatMu merasa benci sekali”.


No comments:

Post a Comment