Surat dari Casey berikut ini muncul karena ada api
yang menyulutnya. Jika tak ada api maka tak ada asap yang hitam seperti ini.
Sesuai dengan pesan MDM barusan (Kamis, 27 Nopember 2014, jam
19.50) bahwa umat beriman akan menderita lebih secara spirituil, didalam roh.
Maka hendaknya kita membaca artikel berikut ini dengan bijaksana, tanpa ada
rasa benci sama sekali kepada sesama. Justru kita harus mendoakan mereka yang
salah.
Hak dan kewajiban untuk menolak
seorang Paus
oleh : Casey
Para
Paus, para kudus,
para Bapa Gereja, para Doktor Gereja
dan para teolog yang telah diakui oleh Gereja
Katolik Roma telah mengatakan
kepada kita selama berabad-abad ini bahwa seorang paus bisa menjadi sesat dan melawan iman Katolik
Roma dan berusaha untuk menghancurkan
Gereja melalui berbagai kebijakan yang tidak pantas. Paus demikian ini tidaklah perlu dipatuhi
dan hendaknya ditolak demi kewajiban kita.
Perintah St.Petrus
Paus Pertama, Santo Petrus
(† 67) memberi kita
prinsip umum tentang ketidak-taatan dan penolakan terhadap hirarki-hirarki
yang busuk serta perintah-perintah mereka ketika dia
dilarang untuk memberitakan Kristus
oleh orang-orang Yahudi yang murtad. Ketika ada konflik antara keinginan
dari pemimpin agama dengan kehendak Tuhan,
maka kita harus menaati Tuhan. (Kis. 5:29 - Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, katanya:
"Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.”)
St. Thomas Aquinas OP, Doktor Gereja, († 1274) mengatakan masalah seperti ini sebagai indikasi bahwa semua atasan tidak perlu ditaati perintahnya
seandainya perintah mereka bertentangan dengan Kehendak
Tuhan.
Ada tertulis :"Kita harus mematuhi Allah dan bukan manusia.” Kadang-kadang hal-hal yang diperintahkan oleh atasan adalah melawan
Allah. Karena itu, atasan tidak harus ditaati dalam
segala hal. "(Summa Theologiae,
IIa IIae, T.
104, A. 5)
Teolog Juan Kardinal De Torquemada OP († 1468) secara tegas mengatakan adanya kutipan Alkitab mengenai kewajiban untuk menolak Paus yang salah.
"Meskipun jelas bahwa ada Paus pada keadaan tertentu bisa berbuat salah, dan memerintahkan sesuatu yang tidak perlu dilakukan, hingga kita tidak perlu patuh kepadanya dalam segala hal, namun hal itu tidak berarti bahwa dia tidak harus ditaati oleh semua orang ketika perintah-perintahNya adalah baik. Untuk mengetahui dalam kasus apa dia layak dipatuhi dan mana yang tidak, maka dikatakan dalam Kisah Para Rasul: "Seseorang haruslah mematuhi Allah dan bukan manusia,” karena itu, seandainya Paus memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan Kitab Suci, ataupun artikel-artikel iman, atau kebenaran dari Sakramen-sakramen, atau perintah-perintah dari hukum alam atau hukum ilahi, maka dia tidak harus dipatuhi, tetapi perintah tersebut, haruslah untuk diabaikan. "(Summa de Ecclesia)
Jadi, "atasan tidak harus ditaati dalam segala hal"; seorang "Paus dapat berbuat salah pada saat-saat tertentu, dan memerintahkan sesuatu yang tidak layak untuk dilakukan" dan "kita tidak perlu patuh kepadanya dalam segala hal." Seorang Paus bisa memerintahkan sesuatu yang melanggar Kitab Suci, atau artikel-artikel iman, atau kebenaran dari Sakramen-sakramen, atau perintah dari hukum alam atau ilahi" maka kemudian "dia tidak sepatutnya ditaati."
Contoh dari St.Paulus
Paus St. Petrus I sendiri pernah secara terbuka ditolak langsung oleh St. Paulus karena dia membahayakan kebenaran Injil. (Gal 2:11 - Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah.)
Para Bapa Gereja menjelaskan bahwa insiden itu menunjukkan kepada kita bahwa benarlah menolak para rohaniwan yang tersesat, bahkan Paus sekalipun. Seorang pengamat Alkitab yang terkenal, Cornelius a Lapide († 1637), menulis sebagai berikut:
"Para pemimpin bisa
ditegur oleh bawahan
mereka dengan segala kerendahan hati dan kemurahan hati, sehingga kebenaran dapat dipertahankan: ini
adalah dasar dari (Galatia 2,
11) yang didukung pula oleh St. Augustinus, St. Siprianus,
St. Gregorius, St. Thomas dan banyak lainnya. Mereka mengajarkan secara cukup tegas bahwa Santo Petrus, meskipun unggul dalam kewenangannya diatas St. Paulus, namun
dia ditegur oleh St.Paulus. Dan St. Gregorius dengan benar menyatakan bahwa, "Petrus bersikap diam saja, sehingga, sebagai yang pertama dalam hierarki para Rasul, dia juga menjadi yang pertama dalam hal kerendahan
hati.” St Agustinus menulis :"Dengan menunjukkan bahwa para atasan mengakui bahwa mereka bisa saja ditegur oleh bawahan
mereka, maka St Petrus memberi
contoh kepada para pewarisnya dengan contoh kesucian yang lebih baik dari yang diberikan oleh St Paulus, meskipun St.Paulus menunjukkan bahwa adalah mungkin bagi bawahan untuk memiliki keberanian
melawan para atasan mereka tanpa rasa takut, ketika dengan segala
kerendahan hati mereka berbicara untuk
membela kebenaran."(Commentary Ad Gal., II, 11)
Jadi, Doktor Gereja, St Agustinus mengatakan kepada kita bahwa kita harus "berani" melawan atasan, termasuk Paus, "tanpa rasa takut", jika kita membela Iman.
St. Thomas Aquinas menulis bahwa kutipan Alkitab menunjukkan jika ada Paus yang menyimpang dari Iman harus ditolak secara terbuka karena adanya bahaya bagi umat beriman untuk menjadi rusak dan dituntun menuju kesesatan.
"Jika ada sebuah bahaya yang mengancam Iman, maka para uskup harus ditanya, bahkan secara terbuka, oleh umat mereka. Begitulah, St. Paulus, yang merupakan bawahan dari St. Petrus, bertanya kepada St.Petrus secara terbuka akan adanya bahaya perbuatan yang memalukan dalam hal Iman. Dan, seperti Glossa dari St Augustinus menyebutkan hal itu (Ad Galatas 2.14), 'Santo Petrus sendiri memberi contoh kepada mereka yang memerintah sehingga jika suatu saat mereka menyimpang dari jalan yang benar, mereka tidak akan menolak adanya koreksi dan dikatakan sebagai tidak layak, meski jika hal itu berasal dari bawahan mereka. "(Summa Theologiae, IIa IIae, T. 33, A. 4)
Dia juga berkata :
"Teguran itu adalah adil dan berguna, dan alasan untuk itu tidaklah sepele : ada sebuah bahaya bagi pelestarian kebenaran Injil [...] Cara dari teguran itu disampaikan juga tepat, karena ia dinyatakan secara terbuka. Karena alasan ini, St. Paulus menulis: "Saya berbicara dengan Kefas," yaitu, Petrus, “di hadapan semua orang, karena perbuatan yang dilakukan oleh St. Petrus penuh dengan bahaya bagi semua orang". (Super Epistulas S. Pauli, Ad Galatas, 2, 11-14 (Taurini / Roma:... Marietti, 1953), lec III, nn 83f)
Begitulah bagaimana seorang Paus yang sesat dan kesalahannya harus ditolak : secara "berani", "tanpa rasa takut", "terbuka" dan "di hadapan semua orang", karena dia menjadi "bahaya bagi semua orang". Itulah ajaran para Bapa dan Doktor Gereja.
Perintah para Paus
Beberapa Paus mengatakan kepada kita bahwa ada sementara Paus yang bisa salah dengan menyimpang dari Iman dan kemudian dia ditolak. Paus Innocent III († 1216) mengatakan bahwa Paus dapat "menjadi loyo dan menjadi bidaah" dan menjadi "tidak percaya" akan Iman.
"Paus seharusnya
tidak menyanjung dirinya sendiri mengenai kekuasaannya,
tidak memamerkan kemuliaan dan kedudukannya yang tinggi,
karena semakin sedikit dia dinilai oleh manusia, semakin
banyak dia dinilai oleh Allah.
Juga semakin sedikit Uskup Roma bisa membesarkan dirinya,
karena dia dapat
dinilai oleh orang lain, atau lebih tepatnya, dia
terbukti sudah dihakimi,
jika misalnya saja dia menjadi loyo dan
menjadi bidaah, karena ""barangsiapa
tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman." (St. John 3:18), maka
dalam kasus seperti ini layaklah dikatakan
tentang dia: "Jika garam harus kehilangan asinnya, maka ia
tidak bermanfaat apa-apa selain dibuang
dan diinjak oleh orang banyak."
(Sermo 4)
Paus Adrianus VI († 1523) mengatakan bahwa "Adalah
sungguh sulit dibayangkan" bahwa ada seorang paus
bisa "berbuat salah dalam hal Iman", hingga dia bisa "mengajarkan ajaran sesat" dalam berbagai keputusannya. Dia juga
mengatakan "Namun banyak Paus
Roma yang sesat".
"Jika yang anda maksudkan dengan Gereja Roma adalah kepala atau Paus, maka sulit dibayangkan bahwa dia dapat berbuat salah terutama dalam hal-hal yang menyangkut iman. Dia melakukan hal ini ketika dia mengajarkan kesesatan dengan melalui penilaian atau dekritnya sendiri. Sebenarnya, banyak Paus Roma yang sesat. Yang terakhir dari mereka adalah Paus Yohanes XXII († 1334). "(Quaest. In IV Sent; dikutip dalam Viollet, Infalibilitas Paus dan Silabus, 1908).*
"Jika yang anda maksudkan dengan Gereja Roma adalah kepala atau Paus, maka sulit dibayangkan bahwa dia dapat berbuat salah terutama dalam hal-hal yang menyangkut iman. Dia melakukan hal ini ketika dia mengajarkan kesesatan dengan melalui penilaian atau dekritnya sendiri. Sebenarnya, banyak Paus Roma yang sesat. Yang terakhir dari mereka adalah Paus Yohanes XXII († 1334). "(Quaest. In IV Sent; dikutip dalam Viollet, Infalibilitas Paus dan Silabus, 1908).*
(* Menurut Catholic Encyclopedia 1907, karya ini diterbitkan pada 1512 dari catatan yang dibuat oleh muridnya dan tanpa pengawasan darinya, tapi karena adanya "banyak edisi" maka nampaknya bahwa Paus tidak menolak tulisan itu meski itu bukanlah tulisannya sendiri, meski diterbitkan dalam sebuah karya yang dikaitkan dengannya.)
Yang Mulia Paus Pius IX († 1878) mengakui adanya bahaya bahwa Paus masa mendatang akan menjadi sesat dan "mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan iman Katolik", dan dia memerintahkan : "Jangan mengikutinya."
"Jika ada seorang Paus pada masa mendatang mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan iman Katolik, jangan mengikutinya." (Surat kepada Uskup Brizen)
Paus Adrian II († 872) mengakui bahwa adanya bidaah kepausan "bisa membenarkan adanya perlawanan dari bawahan kepada atasan mereka, serta penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran yang merusak dari atasan."
"Kita membaca bahwa Paus
Roma selalu memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian atas kepala semua Gereja (yaitu, para bapa dan
uskup), tetapi kita tak pernah membaca
bahwa dia telah menjadi sasaran penghakiman dari
bawahannya. Memang benar bahwa Honorius,
ketika selesai menjabat, dikutuk oleh gereja-gereja Timur, tetapi
harus diingat bahwa dia telah
dituduh sesat, satu-satunya pelanggaran yang membuat
perlawanan dari bawahan
kepada atasan mereka menjadi sah, disertai
penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran yang merusak dari Paus".
Namun, saya tidak setuju dengan Paus Adrian ketika dia mengatakan bahwa bidaah adalah satu-satunya pelanggaran yang boleh dilawan, namun orang-orang kudus dan para Doktor Gereja telah memberitahu kita tentang kesalahan lainnya, seperti yang akan kita lihat dibawah ini.
Selanjutnya, Paus Honorius I († 638) tidak hanya "dituduh
sesat" atau "dikutuk oleh
Gereja-gereja Timur": dia dikutuk sebagai sesat
oleh Dewan ekumenis dari Konsili Konstantinopel III, dimana hasil Konsili itu dikonfirmasi
oleh Paus Leo
II († 683).
"Kami meramalkan
bahwa, bersama-sama dengan mereka,
juga Honorius, sebelum
Paus dari Roma Lama diusir dari Gereja Katolik Allah dan dikutuk,
karena kita telah menemukan dalam
tulisan-tulisannya yang dikirim kepada
Sergius (yang sesat), bahwa dia mengikuti cara berpikir Sergius dalam segala hal, dan dia terus
melanjutkan pemikiran-pemikirannya yang fasik itu. [...] Bagi Sergius,
yang sesat itu, laknat!
Bagi Cyrus, yang sesat itu, laknat! Bagi Honorius,
yang sesat itu, laknat!
"
Begitulah kita mengetahui bahwa para Paus telah mengatakan kepada kita bahwa ada Paus yang dapat “menjadi loyo dan menjadi bidaah" dan "tidak percaya" kepada Iman; bahwa "tak bisa dibayangkan" kalau ada Paus bisa "berbuat salah dalam hal Iman", dia bisa "mengajarkan ajaran sesat" melalui keputusan-keputusannya; bahwa "banyak Paus Romawi yang sesat"; bahwa Paus mungkin saja sesat dan "mengajarkan sesuatu [...] yang bertentangan dengan iman Katolik", dimana dalam hal ini kita harus mengikuti instruksi untuk "tidak mengikutinya"; dan bahwa adanya bidaah kepausan menjadikan ‘penolakan bawahan kepada atasan mereka menjadi sah, termasuk penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran yang merusak dari Paus yang sesat itu."
Ajaran dari para kudus dan para
teolog
Para kudus dan para teolog telah mengatakan kepada kita tentang hal yang sama selama berabad-abad ini : kita tidak harus mematuhi, bahkan menolak Paus yang sesat beserta hierarki mereka yang korup.
Doktor Gereja pertama, St. Athanasius († 373), mengatakan kepada kita bahwa "umat Katolik yang setia kepada Tradisi" dapat berkurang jumlahnya hingga menjadi "segelintir orang saja". Dia menulis selama krisis Arian, ketika keuskupan global yang membelot kepada aliran Arianisme dan Paus Liberius († 366) terjerumus kedalam kesesatan pula, dan menandatangani kredo Arian yang sesat dan cacad, kemudian menjatuhkan hukuman ekskomunikasi kepada St. Athanasius, seperti yang dilakukan terhadap para uskup sesat dari Timur.
"Bahkan jika umat Katolik yang setia kepada Tradisi semakin berkurang jumlahnya hingga menjadi hanya segelintir orang saja, tetapi mereka adalah orang-orang yang merupakan Gereja Yesus Kristus sejati." (Surat kepada umat Katolik)
St. Vincent dari Lerins († 445) adalah Bapa Gereja yang paling terkait dengan upaya bertahan pada tradisi doktrinal yang tak bisa berubah. Ini adalah menjadi inti dari risalah utamanya, the Commonitory. Dia meramalkan bahwa jika seluruh Gereja terjerumus kedalam bidaah maka kita harus tetap menjaga Iman tradisional yang diturunkan oleh para Bapa Gereja.
"Lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang Katolik jika beberapa
bagian dari Gereja melepaskan
diri dari persekutuan Iman
yang universal? Apa pilihan yang bisa dilakukannya jika ada beberapa
gangguan mencoba untuk meracuni, bukan
saja sebagian kecil dari Gereja, tetapi
seluruh Gereja sekaligus ? Maka perhatiannya yang
serius adalah menyatukan dirinya kepada ajaran lama yang
tidak lagi dapat disesatkan oleh pembaharuan palsu apapun."(Commonitory)
Sebuah kebusukan umum dari hirarki Gereja telah diramalkan dan telah terjadi sebelumnya dan para kudus telah mengatakan kepada kita bagaimana kita menanggapinya : kita harus mempertahankan ajaran tradisional dan benar dari Iman Katolik yang telah diwariskan dari para Bapa Gereja serta menolak ‘pembaharuan palsu‘ dari Paus dan hirarkinya.
Sebuah kebusukan umum dari hirarki Gereja telah diramalkan dan telah terjadi sebelumnya dan para kudus telah mengatakan kepada kita bagaimana kita menanggapinya : kita harus mempertahankan ajaran tradisional dan benar dari Iman Katolik yang telah diwariskan dari para Bapa Gereja serta menolak ‘pembaharuan palsu‘ dari Paus dan hirarkinya.
Teolog Sylvester Prieras, OP († 1523) membahas penolakan terhadap seorang Paus yang sesat dengan panjang lebar. Dia bertanya, "Apa yang harus dilakukan dalam kasus-kasus di mana Paus merusak Gereja melalui berbagai tindakannya yang jahat?" dan "Apa yang harus dilakukan jika Paus secara tidak masuk akal ingin menghapuskan hukum-hukum gereja atau negara?" Jawabannya adalah sebagai berikut:
"Dia pastilah akan berdosa, dan akan melanggar hukum jika kita mengijinkan dia untuk bertindak dengan cara seperti itu, dan juga untuk mematuhinya dalam hal-hal yang jahat; sebaliknya, ada kewajiban untuk melawan dia dengan cara memberikan teguran yang sopan.”
"Jadi, jika dia berharap untuk membagikan kekayaan Gereja, atau Warisan Petrus diantara saudara-saudaranya sendiri; jika dia berharap untuk menghancurkan gereja atau melakukan sebuah tindakan yang besar, maka ada kewajiban kita untuk mencegah dia, dan juga sebuah kewajiban untuk menentang dan melawannya. Alasannya adalah bahwa dia tidak memiliki kuasa untuk menghancurkan Gereja, dan dengan demikian jika dia melakukan hal itu maka dibenarkan jika kita menentangnya.”
"Jelas dari uraian diatas bahwa, jika Paus dengan perintah-perintahnya, anjuran atau dengan tindakannya akan menghancurkan gereja, maka dia bisa ditolak dan pelaksanaan atas perintahnya boleh dicegah. Hak untuk melawan secara terbuka terhadap penyalah-gunaan wewenang dari wali gereja ini juga berasal dari hukum alam."(Dialogus de Potestate Papae)
Akan menjadi "pelanggaran hukum jika membiarkan dia (Paus) untuk bertindak dengan cara seperti itu", tanpa ada perlawanan, dan "juga untuk mematuhinya." Ada "kewajiban untuk mencegah dia, dan juga kewajiban untuk menentangnya dan melawannya." Karena dia memiliki kuasa kepausan adalah hanya untuk membangun Gereja dan bukan untuk menghancurkan, maka adalah "sah untuk menentang dia." Dia harus "dilawan dan pelaksanaan perintah-perintahnya boleh dicegah." "Perlawanan secara terbuka" adalah hak dan kewajiban.
Teolog Tommaso Cardinal de Vio Gaetani Kayetanus OP
(† 1534) mengatakan:
"Adalah sangat penting untuk
melawan seorang Paus yang secara
terbuka menghancurkan Gereja." (De Comparata
Auctoritate Papae et Concilio). Paus
seperti itu harus dilawan, kebijakannya
ditentang dan dicegah,
dan Iman Katolik yang sejati serta pelaksanaan
ibadahnya tetap dipertahankan. Perlawanan harus ditetapkan dan terus dilakukan.
Seorang ahli hukum Kanonik dan teolog, Fr. Francisco de Victoria, OP († 1546) mengatakan kepada kita hal yang sama.
"Menurut hukum alam, kekerasan bisa saja secara sah ditentang oleh kekerasan. Sekarang, melalui tindakan yang diperkenankan dan melalui perintah-perintah dari apa yang telah dibicarakan diatas, maka Paus sungguh telah melakukan kekerasan, karena dia bertindak bertentangan dengan apa yang sah. Oleh karena itu maka sah juga untuk menentangnya secara terbuka. Cajetan mengungkap fakta bahwa ini tidak boleh ditafsirkan seolah siapapun juga bisa menilai Paus, atau menganggap otoritas ada pada dirinya, melainkan bahwa adalah sah untuk membela diri terutama terhadap Paus. Setiap orang, pada kenyataannya, memiliki hak untuk menentang tindakan yang tidak adil untuk mencegah, jika ia mampu, apa yang sedang dilakukan itu, dan dengan demikian dia membela dirinya. "(Obras, pp. 486-7)
Semua umat beriman memiliki hak untuk menentang tindakan Paus yang salah dan untuk mencegah kebijakannya yang merugikan untuk dilaksanakan. Adalah "sah untuk menentangnya secara terbuka."
Teolog, Francisco Suarez S.J. († 1617), mengatakan hal yang sama.
"Jika Paus memberikan perintah yang bertentangan dengan kebiasaan yang benar, dia tidak boleh ditaati; jika dia mencoba untuk melakukan sesuatu yang nyata menentang keadilan dan kebaikan bersama, maka adalah sah untuk melawannya; jika dia menyerang dengan kekuatan, maka dengan kekuatan pula dia dapat ditolak, dengan cara yang tepat untuk memberikan pembelaan diri yang adil. "(De Fide, Disp. X, Sec. VI, N. 16)
Doktor Gereja, St. Robert Bellarmine, SJ († 1621), menulis sebuah risalah mengenai Kepausan yang digunakan sebagai dasar untuk memberikan definisi mengenai batas-batas infalibilitas kepausan yang dibuat dalam Konsili Vatikan I. Dia menulis sebagai berikut:
"Seperti halnya sah untuk melawan Paus yang menyerang tubuh, maka juga sah untuk melawan orang yang menyerang jiwa atau yang mengganggu ketertiban sipil, atau, di atas semuanya itu, yang mencoba untuk menghancurkan Gereja. Aku mengatakan bahwa adalah sah untuk melawan Paus dengan cara tidak melakukan apa yang dia perintahkan dan mencegah keinginannya untuk dilaksanakan."(De Romano Pontifice, Lib. II, Ch. 29)
Seorang Paus "yang mencoba untuk menghancurkan Gereja" tidaklah layak untuk dipatuhi, tetapi layak untuk "ditentang dengan tidak melakukan apa yang dia perintahkan dan mencegah keinginannya untuk dilaksanakan."
Konsili Vatikan I (1870) mendefinisikan bahwa
seorang Paus tidak memiliki kekuasaan atau hak untuk mengeluarkan ajaran-ajaran baru atau merubah
Iman yang telah
diturunkan dari para Rasul, tetapi hanya untuk mempertahankan dan memberitakannya.
"Karena Roh
Kudus telah
dijanjikan kepada para penerus Petrus bukannya agar mereka, melalui pewahyuan-Nya, membuat beberapa
doktrin baru, tapi
agar dengan pertolonganNya, mereka
bisa menjaga secara religius dan dengan setia menjelaskan wahyu atau Deposit
Iman yang disampaikan oleh para Rasul."(Pastor Aeternus, topi. 4)
Seorang Paus tidak berhak untuk berbuat yang lain kecuali untuk menjaga Iman Katolik yang sejati, persis seperti ia diterima dulu. Jika Paus mencoba untuk melakukan sebaliknya, maka dia harus ditolak dan ditentang beserta semua inovasi doktrinal yang dicobanya untuk diterapkan kepada umat beriman.
Kesimpulan atas pengajaran abadi
Kita telah melihat tradisi yang mengajari kita bahwa keuskupan global bisa terjatuh dari Iman dan bahwa umat Katolik yang sejati bisa hanya berupa segelintir orang saja. Paus dapat menyimpang dari Iman dan "mengajarkan" bidaah melalui keputusan-keputusannya. Mereka dapat menghancurkan Gereja dengan tindakan mereka. Maka kita tidak harus mematuhinya, tetapi harus secara terbuka menolak Paus dan hirarki dan mencoba untuk menghentikan kebijakan mereka agar tidak dilaksanakan.
Ringkasan
:
Paus
St Petrus I memerintahkan
kita bahwa kita harus taat kepada Allah daripada manusia jika
timbul konflik antara keduanya. Para
Doktor dan teolog
Gereja menekankan hal ini dengan mengatakan kepada kita "atasan tidak harus
ditaati dalam segala hal"; seorang "Paus kadang-kadang dapat berbuat salah, dan memerintahkan sesuatu yang
tidak boleh dilakukan"; dan "kita tidak usah selalu taat kepadanya dalam
segala hal." Seorang Paus dapat
memerintahkan sesuatu "yang bertentangan dengan Kitab Suci, atau artikel-artikel iman, atau
kebenaran Sakramen-sakramen, atau perintah-perintah yang sesuai dengan hukum
alam atau hukum ilahi", dan kemudian hal itu "tidak seharusnya dipatuhi."
Selanjutnya, St. Paulus secara terbuka dan langsung menolak Paus St. Petrus karena dia membahayakan Iman. Para Bapa dan Doktor Gereja menekankan bahwa kita harus "berani" melawan atasan, termasuk Paus, "tanpa rasa takut", ketika kita membela Iman; Paus yang menyimpang dari Iman harus ditentang secara terbuka karena adanya bahaya bagi umat beriman, yang bisa menjadi salah dan dituntun menuju kesesatan.
Beberapa Paus telah mengatakan kepada kita bahwa seorang Paus dapat “menjadi loyo dan menjadi bidaah" dan "tidak percaya" kepada Iman; bahwa "sulit diterima" jika ada Paus bisa "berbuat salah dalam hal Iman", dia bisa "menyampaikan ajaran sesat" melalui berbagai keputusannya; dan bahwa "banyak Paus Roma yang sesat"; bahwa Paus mungkin sesat dan "mengajarkan sesuatu yang [...] bertentangan dengan iman Katolik", dimana dalam hal ini kita harus mengikuti perintah :"tidak usah mengikutinya"; dan bahwa bidaah kepausan "membuat perlawanan dari bawahan kepada atasan mereka menjadi sah, beserta penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran yang merusak dari Paus."
Dan
akhirnya, kita telah melihat bahwa para kudus dan
para teolog yang telah diakui, selama berabad-abad ini telah mengatakan kepada kita bahwa adalah
mungkin terjadi "beberapa upaya baru yang semakin menyebar
luas untuk meracuni, bukan saja sebagian kecil dari Gereja, tetapi
seluruh Gereja sekaligus",
dan bisa saja terjadi bahwa "umat Katolik yang tetap setia kepada
Tradisi hanya berupa segelintir orang
saja".
Jika
hal ini terjadi maka perhatian yang besar bagi masing-masing orang adalah
untuk "makin mendekatkan dirinya kepada ajaran lama yang
tidak lagi dapat disesatkan oleh pembaharuan yang palsu" - dan itu adalah "umat
Katolik yang setia kepada tradisi" yang merupakan " orang-orang yang membentuk Gereja sejati
dari Yesus Kristus.
"Selanjutnya, seorang Paus
dapat "merusak Gereja melalui tindakan jahatnya" dan kemudian "akan dianggap salah jika kita membiarkan dia untuk bertindak seperti
itu"; "sebaliknya, ada
kewajiban untuk melawan dia"; ada "sebuah tugas untuk mencegah dia, dan juga
kewajiban untuk menentangnya dan melawannya"; "dia
bisa ditolak dan pelaksanaan atas
perintah-perintahnya bisa dicegah"
dengan melalui "perlawanan terbuka".
Sekali
lagi, "adalah sah untuk menentang dia secara terbuka; "setiap orang, pada kenyataannya, memiliki hak untuk menentang tindakan yang tidak adil dan untuk mencegah,
jika dia mampu, pelaksanaannya." Memang,
"sangat penting untuk melawan
seorang Paus yang secara jelas akan
menghancurkan Gereja." Dia "tidak harus
dipatuhi" dan adalah "sah untuk melawannya"
jika dia bertindak bertentangan dengan keadilan dan kebaikan bersama.
Seorang Paus tidak memiliki hak untuk mengajarkan sesuatu baru.
Adalah "sah untuk menolak dia
dengan cara tidak melakukan apa
yang dia perintahkan dan mencegah
agar keinginannya tidak dilaksanakan seandainya dia mau menghancurkan
Gereja.
No comments:
Post a Comment