Monday, August 24, 2015

Surat dr Pastor Alexander Lucie-Smith



Mengapa saya ikut menanda-tangani surat yang mendesak agar sinode tetap memegang teguh ajaran Gereja mengenai perkawinan
http://www.catholicherald.co.uk/commentandblogs/2015/03/25/why-i-signed-the-letter-urging-the-synod-to-stand-firm-on-marriage/



posted Wednesday, 25 Mar 2015


Saya tidak merasa ragu sedikitpun juga ketika menanda-tangani surat itu, dan saya merasa bersyukur kepada para pemrakarsa surat itu yang telah menjalankan tugasnya. 

Kembali pada beberapa waktu yang lalu, tak lama setelah penerbitan ensiklik Humanae Vitae, sekelompok umat Katolik Inggris yang dianggap saleh, menulis surat kepada The Times dan mengungkapkan perbedaan pandangan mereka atas ajaran ensiklik itu. Saat itu, saya dengar, hal itu cukup menimbulkan sensasi besar. Sebenarnya, hampir setiap penandatangan surat perbedaan pendapat itu seharusnya telah mati sekarang, tetapi saya ingat ada seseorang menunjukkan kepadaku seorang rohaniwan universitas, sudah tua, pensiunan, sebagai penandatangan pada beberapa tahun yang lalu, dimana hal ini hanya sebagai ingatan sejarah dan rasa ingin tahu masa lalu. Saat ini surat yang berisi perbedaan pendapat kepada majalah Times itu telah dilupakan. Sedangkan surat Ensiklik Humane Vitae tetap hidup, dan memang ia menjadi semakin penting, menurut pendapat saya, sementara waktu berlalu.

Kini kita memiliki sebuah surat yang baru, namun bukan mengenai perbedaan pendapat : ada hampir 500 imam Inggris (saya adalah satu diantaranya) yang memberikan dukungan kepada ajaran Gereja tradisional, (http://www.catholicherald.co.uk/news/2015/03/24/nearly-500-priests-in-england-and-wales-urge-synod-to-stand-firm-on-communion-for-the-remarried/) sebagai bentuk kepatuhan kepada uskup-uskup yang meminta kami untuk menyebar-luaskan pandangan dan pendapat kami ini, dan tentu saja demi kepatuhan kepada Paus, yang telah meminta kepada umat untuk berbicara secara bebas, secara berani. Itulah yang dimasudkan oleh kata “parrhesia”, seperti yang sering diucapkan sendiri oleh Paus. 

Saya tidak memiliki keraguan sedikitpun juga dalam menanda-tangani surat itu dan saya merasa bersyukur kepada pemrakarsa penulisan surat itu dalam menjalankan tugasnya. Ada beberapa alasan bagi hal ini. Beberapa diantaranya adalah :

Pertama-tama, saya adalah seorang teolog moral. Itu adalah tugas saya, dan terasa sangat penting bagi saya bahwa isu moral yang mendasarinya tidak menjadi kabur disini. Ya, memang ada isu-isu pastoral, namun tak akan ada solusi pastoral tanpa mempertimbangkan kebenaran moral. Yang cukup aneh, namun nampaknya hanya ada sedikit saja teolog moral yang ikut ambil bagian dalam sinode (2014) itu. Teologi pastoral adalah berkaitan dengan penerapan dari teologi moral. Berbicara tentang ketentuan pastoral tanpa menghormati moral apapun adalah laksana sebuah diskusi kecil di sebuah kamar dimana oxygen dikeluarkan semua dari kamar itu. 

Kedua, seperti halnya semua penanda-tangan surat itu, saya adalah seorang imam paroki. Saya tahu bahwa perceraian bukan lagi sebuah masalah sebagaimana adanya. Tentu saja disitu terlibat orang-orang yang bercerai dan orang-orang yang kawin lagi didalam paroki saya. Namun ada lebih banyak lagi yang tidak pernah menikah. Perceraian bukanlah masalah dari masayarakat yang maju seperti kita saat ini, namun masalahnya adalah bahwa perceraian itu begitu kuat dan maraknya hingga ia bisa menggerogoti perkawinan. Perkawinan telah menjadi ‘secarik kertas’, sebuah mata uang yang tak bernilai. Kita perlu membangun kembali institusi perkawinan dari dasarnya sampai ke atas. 

Hal ini berlaku bagi masyarakat maju, seperti kita sekarang. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang sedang berkembang? Saya menghabiskan waktu 4 tahun di Nairobi bekerja dalam berbagai situasi pastoral maupun mengajar, dan disanapun kami membangun sebuah ‘kesadaran akan nilai perkawinan’. Dan kita perlu untuk terus membangunnya. Kita perlu membangun model perkawinan Kristiani untuk menghadapi perkawinan poligami, perkawinan sementara serta kebiasaan kumpul kebo. Kita telah memulai disana, namun itu adalah sebuah jalan panjang ke depan. Maka adalah penting sekali agar sinode tidak menggerogoti tugas kita semua disini maupun di negara berkembang. 

Ke tiga, saya ikut menanda-tangani surat itu karena saya khawatir akan masa depan. Seperti apa jadinya sebuah masyarakat jika tanpa perkawinan (sah)? Nampaknya kita sedang menuju kesana. Jika kita atau orang lain mengijinkan adanya perkawinan kedua, dimana perkawinan pertama terbukti consummatum ac ratum, maka kita telah memberi ijin bagi terjadinya perkawinan sementara, dan yang lebih buruk lagi dari pada itu, kita menjadikan setiap perkawinan, yang semula bersifat absolut, kini menjadi tidak pasti, hanya kebetulan saja. Ini akan menjadi sebuah bencana. 

Peristiwa ini telah terjadi pada beberapa bagian dunia saat ini. Uparaca perkawinan sipil (tolong diingat, kita juga menghormati perkawinan sipil antara non-Katolik sebagai hal yang mengikat) berbicara tentang hubungan yang permanen dan selamanya, namun dengan diberikannya kemudahan bagi perceraian, apakah orang-orang yang ikut menyaksikan perkawinan sipil itu diyakinkan bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah persekutuan yang abadi sedang terjadi? Sekali lagi, berbicara kepada seorang teman dari komunitas agama yang lain, dia mengatakan kepada saya bahwa gerejanya sendiri, yang memiliki tata upacara perkawinan yang berbicara tentang perkawinan abadi, namun secara realita telah melupakan konsep keabadian itu. Dia berkata :”Setiap perkawinan adalah tak bisa diceraikan hingga saatnya kita mengatakan bahwa perkawinan itu dibubarkan.” Keadaan seperti inikah yang akan kita tuju?

Akhirnya seperti yang dikatakan oleh Rowan Williams : Yesus nanti adalah yang mempertanyakan jawaban kita, bukannya Dia yang memberikan jawaban atas pertanyaan kita. Tentu saja Dia melakukan hal ini di bidang perkawinan. Sabda Tuhan sudah cukup jelas, Sabda bersejarah yang tak pernah dianggap serius oleh manusia : 

Maka datanglah orang-orang Parisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu kata Yesus kepada mereka: "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah." (Mark 10:2-12).

Tak seorangpun bisa menyangkal bahwa ini adalah sebuah ajaran yang amat menantang. Namun janganlah putus asa. Kita bisa menghadapi tantangan itu. Untuk itulah Kristus mati di kayu salib bagi kita.


No comments:

Post a Comment