Mengapa saya ikut
menanda-tangani surat yang mendesak agar sinode tetap memegang teguh ajaran
Gereja mengenai perkawinan
http://www.catholicherald.co.uk/commentandblogs/2015/03/25/why-i-signed-the-letter-urging-the-synod-to-stand-firm-on-marriage/
posted Wednesday, 25 Mar
2015
Saya tidak merasa ragu
sedikitpun juga ketika menanda-tangani surat itu, dan saya merasa bersyukur
kepada para pemrakarsa surat itu yang telah menjalankan tugasnya.
Kembali pada
beberapa waktu yang lalu, tak lama setelah penerbitan ensiklik Humanae Vitae,
sekelompok umat Katolik Inggris yang dianggap
saleh, menulis surat kepada The
Times dan mengungkapkan perbedaan
pandangan mereka atas ajaran ensiklik
itu. Saat itu, saya dengar,
hal itu cukup menimbulkan sensasi besar.
Sebenarnya, hampir setiap penandatangan
surat perbedaan pendapat itu seharusnya telah mati sekarang, tetapi saya ingat ada seseorang menunjukkan kepadaku seorang rohaniwan
universitas, sudah tua, pensiunan, sebagai penandatangan pada beberapa tahun yang lalu, dimana hal
ini hanya sebagai ingatan sejarah dan rasa ingin tahu masa
lalu. Saat ini surat yang berisi perbedaan
pendapat kepada majalah Times itu telah dilupakan. Sedangkan surat Ensiklik Humane Vitae
tetap hidup, dan memang ia menjadi semakin penting, menurut pendapat
saya, sementara waktu berlalu.
Kini kita memiliki sebuah
surat yang baru, namun bukan mengenai perbedaan pendapat : ada hampir 500 imam
Inggris (saya adalah satu diantaranya) yang memberikan dukungan kepada ajaran
Gereja tradisional, (http://www.catholicherald.co.uk/news/2015/03/24/nearly-500-priests-in-england-and-wales-urge-synod-to-stand-firm-on-communion-for-the-remarried/)
sebagai bentuk kepatuhan kepada uskup-uskup yang meminta kami untuk
menyebar-luaskan pandangan dan pendapat kami ini, dan tentu saja demi kepatuhan
kepada Paus, yang telah meminta kepada umat untuk berbicara secara bebas,
secara berani. Itulah yang dimasudkan oleh kata “parrhesia”, seperti yang
sering diucapkan sendiri oleh Paus.
Saya tidak memiliki
keraguan sedikitpun juga dalam menanda-tangani surat itu dan saya merasa
bersyukur kepada pemrakarsa penulisan surat itu dalam menjalankan tugasnya. Ada
beberapa alasan bagi hal ini. Beberapa diantaranya adalah :
Pertama-tama, saya adalah
seorang teolog moral. Itu adalah tugas saya, dan terasa sangat penting bagi
saya bahwa isu moral yang mendasarinya tidak menjadi kabur disini. Ya, memang
ada isu-isu pastoral, namun tak akan ada solusi pastoral tanpa mempertimbangkan
kebenaran moral. Yang cukup aneh, namun nampaknya hanya ada sedikit saja teolog
moral yang ikut ambil bagian dalam sinode (2014) itu. Teologi pastoral adalah
berkaitan dengan penerapan dari teologi moral. Berbicara tentang ketentuan
pastoral tanpa menghormati moral apapun adalah laksana sebuah diskusi kecil di
sebuah kamar dimana oxygen dikeluarkan semua dari kamar itu.
Kedua, seperti halnya
semua penanda-tangan surat itu, saya adalah seorang imam paroki. Saya tahu
bahwa perceraian bukan lagi sebuah masalah sebagaimana adanya. Tentu saja
disitu terlibat orang-orang yang bercerai dan orang-orang yang kawin lagi
didalam paroki saya. Namun ada lebih banyak lagi yang tidak pernah menikah.
Perceraian bukanlah masalah dari masayarakat yang maju seperti kita saat ini,
namun masalahnya adalah bahwa perceraian itu begitu kuat dan maraknya hingga ia
bisa menggerogoti perkawinan. Perkawinan telah menjadi ‘secarik kertas’, sebuah
mata uang yang tak bernilai. Kita perlu membangun kembali institusi perkawinan
dari dasarnya sampai ke atas.
Hal ini berlaku bagi
masyarakat maju, seperti kita sekarang. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang
sedang berkembang? Saya menghabiskan waktu 4 tahun di Nairobi bekerja dalam
berbagai situasi pastoral maupun mengajar, dan disanapun kami membangun sebuah
‘kesadaran akan nilai perkawinan’. Dan kita perlu untuk terus membangunnya.
Kita perlu membangun model perkawinan Kristiani untuk menghadapi perkawinan
poligami, perkawinan sementara serta kebiasaan kumpul kebo. Kita telah memulai
disana, namun itu adalah sebuah jalan panjang ke depan. Maka adalah penting
sekali agar sinode tidak menggerogoti tugas kita semua disini maupun di negara
berkembang.
Ke tiga, saya ikut
menanda-tangani surat itu karena saya khawatir akan masa depan. Seperti apa
jadinya sebuah masyarakat jika tanpa perkawinan (sah)? Nampaknya kita sedang
menuju kesana. Jika kita atau orang lain mengijinkan adanya perkawinan kedua,
dimana perkawinan pertama terbukti consummatum ac ratum, maka kita telah memberi ijin bagi terjadinya
perkawinan sementara, dan yang lebih buruk lagi dari pada itu, kita menjadikan
setiap perkawinan, yang semula bersifat absolut, kini menjadi tidak pasti,
hanya kebetulan saja. Ini akan menjadi sebuah bencana.
Peristiwa ini telah
terjadi pada beberapa bagian dunia saat ini. Uparaca perkawinan sipil (tolong
diingat, kita juga menghormati perkawinan sipil antara non-Katolik sebagai hal
yang mengikat) berbicara tentang hubungan yang permanen dan selamanya, namun
dengan diberikannya kemudahan bagi perceraian, apakah orang-orang yang ikut
menyaksikan perkawinan sipil itu diyakinkan bahwa mereka sedang menyaksikan
sebuah persekutuan yang abadi sedang terjadi? Sekali lagi, berbicara kepada
seorang teman dari komunitas agama yang lain, dia mengatakan kepada saya bahwa
gerejanya sendiri, yang memiliki tata upacara perkawinan yang berbicara tentang
perkawinan abadi, namun secara realita telah melupakan konsep keabadian itu.
Dia berkata :”Setiap perkawinan adalah tak bisa diceraikan hingga saatnya kita
mengatakan bahwa perkawinan itu dibubarkan.” Keadaan seperti inikah yang akan
kita tuju?
Akhirnya seperti yang
dikatakan oleh Rowan Williams : Yesus nanti adalah yang mempertanyakan jawaban
kita, bukannya Dia yang memberikan jawaban atas pertanyaan kita. Tentu saja Dia
melakukan hal ini di bidang perkawinan. Sabda Tuhan sudah cukup jelas, Sabda
bersejarah yang tak pernah dianggap serius oleh manusia :
Maka datanglah
orang-orang Parisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya:
"Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” Tetapi
jawab-Nya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?” Jawab mereka:
"Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu
kata Yesus kepada mereka: "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa
menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan
mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu
daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ketika mereka sudah
di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu
kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin
dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan
jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat
zinah." (Mark 10:2-12).
Tak seorangpun bisa
menyangkal bahwa ini adalah sebuah ajaran yang amat menantang. Namun janganlah
putus asa. Kita bisa menghadapi tantangan itu. Untuk itulah Kristus mati di
kayu salib bagi kita.
No comments:
Post a Comment