Saturday, June 22, 2019

USKUP YANG MENULIS DOKUMEN KERJA SINODE AMAZON INGIN MEROMBAK...



Bishop Erwin Kräutler of Xingu, Brazil.GLOBART / YouTube
BLOGSABORTIONCATHOLIC CHURCHMARRIAGE Thu Jun 20, 2019 - 12:12 pm EST

USKUP YANG MENULIS DOKUMEN KERJA SINODE AMAZON INGIN MEROMBAK ATURAN IMAMAT DAN MENAHBISKAN WANITA UNTUK MENJADI IMAM


by MAIKE HICKSON


19 Juni 2019 (LifeSiteNews) - Uskup Erwin Kräutler, penulis utama instrumentum laboris (dokumen kerja) untuk Sinode Amazon 2019 Oktober mendatang, yang dirilis pada 17 Juni 2019 lalu, adalah pendukung kuat pentahbisan pria dan wanita yang sudah menikah untuk menjadi imam. Sebagaimana The Tablet menulis: “Uskup Erwin Kräutler, seorang pendukung kuat bagi pentahbisan imam yang menikah dan imam wanita, adalah penulis dokumen kerja untuk Sinode yang akan datang.” Sementara uskup itu mungkin memiliki kolaborator lain, tetapi paus Francis sendiri telah mempercayakan kepada Kräutler dengan keseluruhan tugas ini.

Pada bulan Juni 2018, LifeSiteNews melaporkan tentang sebuah buku tahun 2016 yang ditulis oleh Uskup Kräutler, di mana dia berdebat keras guna mendukung para imam wanita. Judul buku ini: Be Courageous! Setelah menunjukkan bukti bahwa di wilayah Amazon, ada banyak wanita yang sudah memimpin Liturgi Sabda (dalam Novus Ordo) pada hari Minggu, maka uskup Austria ini mengusulkan bahwa mereka juga bisa dipersiapkan “sehingga mereka dapat memimpin perayaan Ekaristi untuk paroki mereka. Untuk paroki mereka! Batasan ini bagi saya adalah penting.”

Menurut Kräutler, dokumen Paus Yohanes Paulus II tahun 1994, Ordinatio Sacerdotalis, yang secara definitif menegaskan kembali ketidakmungkinan penahbisan perempuan, itu “bukanlah doktrin.” Ia bahkan menyatakan bahwa Paus Francis - yang dengannya Kräutler telah mendiskusikan gagasan-gagasan Uskup Fritz Lobinger mengenai pentahbisan, di Barat, imam yang sudah menikah - akan terbuka untuk menerima ide seperti itu. Uskup itu menjelaskan, “Meskipun demikian, saya tidak percaya bahwa dia akan mengatakan 'tidak' untuk pentahbisan imam wanita."

Lebih lanjut Kräutler menjelaskan dalam bukunya tahun 2016, bahwa sejak pernyataan Paus Yohanes Paulus II tentang pertanyaan adanya imam wanita "sangat menentukan," maka Paus Francis "tidak akan melakukan apa-apa sendirian mengenai masalah imamat, selibat dan tahbisan wanita, tetapi hal itu akan dilakukan bersama dengan para uskup. "Setiap keputusan dalam hal itu tentu saja tidak boleh segera dilaksanakan di seluruh dunia, tetapi hanya secara regional saja pada awalnya.”

“Beberapa keyakinan dan interpretasi tertentu, yang dulu disajikan dengan penuh semangat, dan bahkan dipertahankan sebagai hal yang tidak dapat dirubah,” tambah uskup itu, ”sering kali, hal itu benar-benar berubah dalam perjalanan sejarah.” Dia merujuk contohnya pada teks Vatikan II, Dignitatis Humanae, ‘yang demi kebaikan’, menghapuskan Daftar Kesalahan Pius IX, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan beragama.

Dengan demikian, ada baiknya untuk mempelajari posisi uskup ini, kepada siapa paus Francis telah mempercayakan begitu banyak hal dan kepada siapa paus Francis meminta dia pada tahun 2014 untuk membuat “proposal yang berani.” Pada audiensi yang sama itu, paus Francis berdiskusi dengan uskup Austria itu - yang diangkat menjadi Uskup di Xingu, Brasil pada 1981 dan pensiun pada 2015 – berdiskusi mengenai tulisan Uskup Fritz Lobinger, yang, bersama dengan teolog pastoral Paul Zulehner, mengusulkan untuk menahbiskan imam pria dan wanita yang sudah menikah. Zulehner menjelaskan usulan mereka dalam artikel yang baru-baru ini diterbitkan di jurnal Jerman Herder Korrepondenz.

Pastor-pastor paruh waktu ini, Zulehner dan Lobinger, menjelaskan bahwa mereka akan memiliki keluarga dan menjalankan profesi mereka sendiri, sementara mereka masih menjadi sukarelawan sebagai imam di komunitas lokal mereka, bersama dengan beberapa "anggota tim." Seorang imam selibat kemudian akan "bertanggung jawab" atas beberapa orang yang seperti mereka. Pembentukan imam jenis baru ini, kata Zulehner, akan dijamin dengan bantuan kursus selama tiga tahun, mungkin terkait dengan universitas lokal. Lobinger dan Zulehner menyebut para imam ini sebagai “imam dari jenis yang berbeda,” dan mereka tidak berbicara tentang “viri probati,” tetapi lebih kepada “personae probatae,” karena ungkapan ini “akan menjaga kemungkinan tetap terbuka jika paroki juga dapat memilih perempuan sebagai personae probatae."

Dengan dipilihnya Uskup Kräutler dan Uskup Lobinger untuk menduduki jabatan dan posisi yang penting, hal ini menunjukkan bahwa paus Francis benar-benar bersikap terbuka untuk menyetujui penahbisan wanita sebagai imam. Baru-baru ini, pada 10 Mei 2019, paus berkata bahwa pembicaraan tentang diakon wanita masih terbuka, untuk merujuk pada perubahan di dalam Gereja:

Hal ini memang benar, tetapi Gereja terus berkembang dalam perjalanannya yang tetap setia kepada Pewahyuan. Kami tidak dapat mengubah Pewahyuan. Memang benar Pewahyuan itu berkembang. Kata yang penting adalah "perkembangan" – ia berkembang sesuai dengan waktu. Dan kita bersama dengan waktu, memahami iman dengan lebih baik dan lebih baik lagi. Cara untuk memahami iman hari ini, setelah Vatikan II, berbeda dari cara memahami iman sebelum Vatikan II. Mengapa? Karena ada perkembangan ilmu. Anda benar. Dan ini bukan sesuatu yang baru, karena hakikat dari Pewahyuan ada dalam pergerakan yang terus menerus untuk mengklarifikasi dirinya sendiri.

Mari kita kembali kepada Uskup Kräutler, untuk memahami semangat dokumen kerja dari Sinode Amazon yang akan datang, yang telah dia persiapkan.

Dalam sebuah buku tahun 1992 yang berjudul My Life Is like the Amazon River (“Mein Leben ist wie der Amazonas”), uskup itu berkata tentang suku asli Indian bahwa “kami akan menghormati budaya mereka, mempelajari bahasa mereka, dan berada di pihak mereka ketika mereka membela hak-hak mereka”(hlm. 64). Dia sama sekali tidak menyebutkan bahwa dia ingin mengajak mereka kepada iman Katolik. Menurut sebuah laporan di surat kabar Jerman Die Zeit: bagi Kräutler, misi di antara orang-orang Indian “tidak berarti demi pertobatan.”

Pastor Franz Helm, seorang imam misionaris Austria, baru-baru ini mengutip ucapan Uskup Kräutler yang mengatakan, “Saya belum membaptis seorang Indian, dan saya juga tidak akan melakukannya.” (LifeSiteNews menghubungi Uskup Kräutler memintanya untuk memverifikasi kutipan ini.) Franz Helm menambahkan dalam ucapannya kepada LifeSiteNews bahwa, pada tahun 1990-an, ketika dia menjadi sekretaris jenderal Missio Austria (sebuah karya misionaris kepausan), kutipan ini "dikirimkan kepada saya." Dia juga menjelaskan bahwa selama "Kekristenan tidak diinkulturasikan" di wilayah Amazon, “seorang Indian hampir tidak bisa menjadi seorang Kristen pada saat yang sama. Karena, untuk menjadi seorang Kristen, seorang Indian harus melepaskan keberadaannya sebagai orang Indian.” Sebagai contoh, dia menunjuk Liturgi Romawi bersama dengan bentuk-bentuk sosial dan jabatan-jabatan yang tidak bisa disesuaikan dengan budaya Indian.

Sebuah sumber di Austria, seorang jurnalis, mengkonfirmasi kepada LifeSiteNews bahwa kutipan yang disebutkan di atas dari Uskup Kräutler, sudah cukup terkenal dan tidak pernah ditolak oleh uskup itu, meskipun hal itu telah berulang kali dimuat di media.

Dalam sebuah laporan tahun 2000, Uskup Kräutler, dikutip dalam ceramah yang mengatakan: “Kami berharap sebuah Kristianitas dan Gereja yang juga memiliki sifat-sifat asli (lokal). Tidak ada lagi pertobatan formal dan cepat kepada iman kristiani melalui baptisan pada pusat karya Gerejani untuk orang-orang Indian, tetapi haruslah ada sebuah inkulturasi yang menanyakan jejak-jejak mana yang juga ditinggalkan Tuhan dalam agama-agama alami (setempat)."

Tentang masalah pembunuhan bayi di antara suku-suku asli di wilayah Amazon, Uskup Kräutler menulis sebuah pernyataan pada tahun 2009, di mana dia mengakui bahwa “di antara beberapa suku Indian Brazil, masih ada budaya pembunuhan bayi.” Dia bahkan mengenang satu kejadian khusus di mana seorang wanita Indian mengubur bayinya hidup-hidup, dan berkata bahwa dia memberikan putrinya "kembali kepada Bumi" karena dia tidak bisa menangani anak kembar pada saat yang sama. “Artinya,” Kräutler menjelaskan, “adalah kebiasaan, dalam hal kelahiran anak kembar, untuk mempercayakan ke pada bumi salah satu dari anak-anak itu.” Syukurlah, bayi perempuan yang dikubur ini bisa diselamatkan.

Kräutler secara eksplisit menolak gagasan bahwa negara dapat menuntut mereka yang melakukan kejahatan semacam itu. Sebaliknya, dia mendukung "meyakinkan orang-orang, dengan kesabaran pastoral, bahwa kematian seorang anak yang ada pada budaya tertentu adalah anakronistis dan memotong strategi hidup mereka sendiri."

“Kami selalu berjuang demi pertahanan hidup secara fisik dan budaya orang Indian,” katanya melanjutkan, “dan kami melakukannya atas dasar Injil, dan bukan dengan bantuan Injil fundamentalisme.” Dengan demikian, uskup Kräutler menolak gagasan menghukum pembunuhan bayi, karena "di sini, atas nama hak asasi manusia dan dengan dalih menekan pembunuhan bayi, pembunuhan etnis yang luas, maka budaya pembunuhan seperti itu, sedang diterapkan." Dan uskup Kräutler menyetujui hal ini.

No comments:

Post a Comment