Thursday, May 26, 2016

Vol 1 - Bab 23 : Lamanya waktu di Api Penyucian



Volume 1 : Misteri Keadilan Allah

Bab 23

Lamanya waktu di Api Penyucian
Pemimpin Cistercian dan Paus Innocentius III
John de Lierre.

Didalam kisah ‘the Life of St. Lutgarda’, yang ditulis oleh sahabatnya, Thomas de Cantimpre, disebutkan ada seorang religius yang sangat bersemangat, namun karena besarnya semangat itu maka dia dihukum selama 40 tahun didalam Api Penyucian. Adalah seorang kepala dari ordo Cistercian, yang bernama Simon, yang sangat menghormati St.Lutgarda. Orang kudus itu dengan sukarela mematuhi nasihat Simon, dan terjadilah sebuah persahabatan spirituil diantara mereka. Namun sang Kepala biara itu bersikap kurang sabar terhadap bawahannya, termasuk juga terhadap orang kudus itu. Dia bersikap tegas terhadap dirinya sendiri dan terhadap tugasnya, dan dia melaksanakan ketegasan ini dalam semua masalah disiplin didalam biara, hingga sampai terlalu keras, hingga dia melupakan pelajaran dari Guru Ilahi, yang mengajarkan kita untuk bersikap rendah hati dan patuh. Setelah dia meninggal, dan ketika St.Lutgarda berdoa tekun dan melakukan silih bagi jiwa Simon, Simon menampakkan diri kepada St.Lutgarda dan mengatakan bahwa dirinya dihukum selama 40 tahun tinggal didalam Api Penyucian. Untunglah Simon memiliki sahabat St.Lutgarda yang sangat bermurah hati sekali dan tegar. St.Lutgarda meningkatkan doa-doanya dan matiraga dan dia menerima janji dari Allah bahwa jiwa yang meninggal itu, Simon, akan segera dibebaskan. Dan orang kudus yang sangat murah hati itu, St.Lutgarda, menjawab :”Aku tak akan berhenti menangis, aku tak akan berhenti mengganggu KerahimanMu hingga aku bisa melihat dia dibebaskan dari rasa sakitnya”.
Karena aku telah menyebutkan nama St.Lutgarda, maka aku akan berbicara tentang penampakan yang penting dari Paus Innocentius III. Aku mengakui bahwa penelitian dari peristiwa ini telah mengejutkan diriku, dan aku akan melewatkannya secara diam-diam. Aku merasa enggan untuk memikirkan bahwa ada seorang Paus, telah dikutuk hingga begitu lama dan mengerikan didalam Api Penyucian. Kita tahu bahwa Innocentius III yang mengetuai Konsili Lateran pada 1215, adalah salah satu Paus yang terbesar yang pernah menduduki kursi St.Petrus. Rasa belas kasihannya dan semangatnya telah menuntunnya melaksanakan karya-karya agung dari Gereja Allah serta berbagai disiplin suci. Bagaimana bisa kita mengakui bahwa orang seperti itu akan dihukum dengan begitu kejamnya oleh Pengadilan Yang Utama ? Bagaimana bisa kita menyelaraskan pencerahan yang diterima oleh St.Lutgarda dengan Kerahiman Ilahi ? Aku berharap untuk menganggapnya sebagai sebuah ilusi saja, dan aku mencari-cari alasan untuk mendukung pendapatku ini. Sebaliknya, aku mendapati bahwa kebenaran dari penampakan St.Lutgarda itu diakui oleh para pengarang yang terkenal dan hal itu juga tidak ditolak oleh siapapun. Lebih lagi, penulis biografi, Thomas de Cantimpre, amat jelas sekali dan pada saat yang sama amat mempertahankan kebenaran hal itu. “Perhatikanlah, pembaca”, demikian tulis Thomas pada akhir bukunya, “hal ini keluar dari mulut Lutgarda yang suci itu dimana aku mendengar kesalahan-kesalahan yang diungkapkan oleh almarhum, dan yang tidak kutuliskan disini karena rasa hormatku kepada Paus itu”.
Disamping itu jika melihat peristiwa itu sendiri, bisakah kita menemukan alasan yang layak untuk mempertanyakan hal itu ? Tidakkah kita tahu bahwa Paus yang datang dihadapan penghakimanNya adalah sama perlakuannya dengan orang-orang yang paling sederhana, bahwa semua orang besar maupun hina adalah sama dihadapanNya, dan bahwa masing-masing orang menerima hukuman sesuai dengan perbuatannya ? Apakah kita tidak tahu bahwa mereka yang memegang kekuasaan atas orang lain memiliki tanggung jawab yang besar dan dia harus tunduk kepada hari penghitungan yang keras itu ? Judicium durissimum his qui praesunt fiet (Penghakiman yang amat keras diperlakukan bagi mereka yang memegang kekuasaan, Keb. 6:6). Adalah Roh Kudus sendiri yang mengatakan hal itu. Bollandist menambahkan,  kini Innocentius III yang telah memerintah selama 18 tahun, dan ditengah saat-saat yang penuh kekacauan., bukankah ada tertulis bahwa pengadilan Allah adalah tak terduga, dan seringkali berbeda sekali dengan pengadilan manusia ? Judicia tua abyssus multa (Mzm. 35:7).
Realitas dari penampakan ini tak bisa dipertanyakan. Aku tidak melihat adanya alasan untuk menyembunyikan hal itu karena Allah tidak mengungkapkan misteri-misteri alam ini bagi tujuan yang lain kecuali agar hal itu diketahui demi kemuliaan GerejaNya. 
Paus Innocentius III meninggal pada 16 Juli 1216. Pada hari yang sama dia menampakkan diri kepada St.Lutgarda di biara Aywieres, Brabant. St.Lutgarda terkejut karena dia mengira melihat hantu yang diselimuti oleh nyala api. Dia bertanya kepada penampakan itu, siapa dirinya, dan apa yang dia inginkan. “Aku adalah Paus Innocentius III”, katanya. “Mungkinkah engkau Bapa Kepala kami semua yang berada dalam keadaan seperti itu ?”. “Hal ini adalah benar. Aku sedang menebus tiga buah kesalahanku yang bisa membuatku musnah untuk selamanya. Terima kasih atas jasa dari Perawan Maria Terberkati, aku telah memperoleh pengampunan atas kesalahan itu, namun aku harus menebus dosa-dosa itu. Celaka ! Sangat mengerikan sekali ! Dan hal itu akan berlangsung selama berabad-abad jika kamu tidak mau menolong aku. Demi nama Maria, yang telah memperoleh karunia bagiku hingga aku bisa meminta kepadamu seperti ini, tolonglah aku”. Dengan kalimat ini dia lalu menghilang. Lutgarda menceritakan hal ini kepada para Suster anggota ordonya dan bersama-sama mereka berdoa dan melaksanakan karya-karya penitensial demi Paus yang mereka hormati itu, dimana kematiannya dinyatakan kepada mereka beberapa minggu kemudian oleh sumber lain.  
Marilah kita menambahkan disini sebuah kenyataan yang cukup menghibur yang kita temukan didalam kisah kehidupan orang kudus yang sama ini, St.Lutgarda. Ada seorang imam pengkhotbah yang terkenal bernama John de Lierre. Dia adalah orang yang saleh dan dikenal baik oleh Lutgarda. Dia telah membuat sebuah perjanjian dengan St.Lutgarda, dimana mereka saling berjanji bahwa siapa yang lebih dahulu meninggal, dengan seijin Allah, dia akan menampakkan diri kepada sahabatnya. Ternyata John meninggal lebih dahulu. Didalam melakukan perjalanan ke Roma karena suatu keperluan bagi kaum religius, John meninggal diantara pegunungan Alpen. Dengan penuh kesetiaan kepada janjinya, dia menampakkan diri kepada St.Lutgarda di biara Aywieres. Demi melihat John, orang kudus itu tak memiliki sedikitpun pikiran bahwa John telah meninggal. Lutgarda mengundang John pergi ke ruang tamu, sesuai adat kebiasaan didalam biara itu, untuk berbincang-bincang dengannya. “Aku tidak lagi berada di dunia ini”, demikian kata John, “dan aku datang kesini untuk memenuhi janjiku kepadamu”. Demi mendengar kalimat ini, Lutgarda segera berlutut dan dia tertegun untuk beberapa saat. Lalu dengan memandang kearah sahabatnya yang terberkati itu, dia bertanya :”Mengapa kamu berpakaian mewah seperti itu ? Apa arti dari tiga macam pakaian yang menghiasi dirimu itu ?”. John menjawab :”Pakaian putih ini menunjukkan kemurnian perawan, yang telah kumiliki dan selalu kupertahankan. Seragam merah ini menunjukkan kerja keras dan penderitaan yang telah menguras habis tenagaku secara dini. Dan mantel biru ini yang menutupi semuanya, menunjukkan kesempurnaan kehidupan spirituil”. Setelah mengucapkan kalimat ini tiba-tiba dia meninggalkan Lutgarda, yang pikiran dan hatinya terpecah, antara menyesali kehilangan Pastor John yang amat baik hati itu, dan kebahagiaan yang dia alami karena John sudah bersukacita saat itu.
St.Vincent Ferrer, seorang pekerja yang mengagumkan dari ordo St.Dominikus, yang berkotbah dengan sangat baik sekali tentang kebenaran besar dari Penghakiman Allah, memiliki seorang saudara perempuan yang tidak bisa tergerak menjadi baik, oleh kata-kata maupun contoh dari sauadaranya yang suci itu. Adik perempuannya ini penuh dengan semangat keduniawian, diracuni oleh segala kenikmatan dunia ini, dan dia berjalan dengan langkah kaki yang cepat menuju kehancurannya yang kekal. Sementara itu St.Vincent berdoa terus demi pertobatan adiknya dan akhirnya doa-doanya itu dikabulkan. Si pendosa yang malang itu jatuh sakit parah, dan pada saat kematiannya, didalam dirinya, dia mengaku dosa dengan perasaan yang sungguh bertobat.  
Beberapa hari setelah kematiannya, ketika St.Vincent mempersembahkan Misa Kudus, adiknya itu nampak kepadanya ditengah suatu nyala api dan menjadi mangsa dari siksaan-siksaan yang tak terkatakan lagi sakitnya. “Celaka ! saudaraku yang terkasih !”, kata adiknya itu, “aku dihukum untuk menjalani siksaan ini hingga saat Penghakiman Akhir nanti. Sebenarnya kamu bisa menolong aku. Manfaat dari Misa Kudus adalah sangat besar sekali. Persembahkanlah bagiku sekitar 30 kali Misa Kudus agar aku bisa mengharapkan hasil yang menggembirakan”. Lalu St.Vincent segera memenuhi permintaan adiknya. Dia mempersembahkan 30 kali Misa Kudus dan pada kali yang ke 30 dari Misa Kudus itu, adiknya muncul dihadapannya dengan dikelilingi oleh para malaikat dan kemudian dia naik ke Surga. Terima kasih atas jasa-jasa keutamaan dari kurban Misa Kudus yang Ilahi itu, hingga sebuah penebusan dosa yang berabad-abad lamanya bisa dikurangi menjadi 30 hari saja.
Contoh ini menunjukkan kepada kita lamanya rasa sakit didalam Api Penyucian yang dialami oleh suatu jiwa, serta akibat yang sangat besar yang ditimbulkan oleh Misa Kudus, ketika Tuhan merasa berkenan untuk menerapkan hal itu bagi suatu jiwa. Namun penerapan ini, seperti halnya semua permohonan lainnya, tidaklah selalu terjadi demikian, paling tidak, tidak selalu dengan kelimpahan yang sama besar.


No comments:

Post a Comment