Tuesday, June 14, 2016

KELEMAHAN AMORIS LAETITIA TELAH MENETES KE TINGKAT PAROKI



KELEMAHAN AMORIS LAETITIA TELAH MENETES KE TINGKAT PAROKI

oleh Pastor Brian Harrison, O.S

 
The Rev. Brian W. Harrison, O.S., M.A., S.T.D., a priest of the Society of the Oblates of Wisdom, is a retired Associate Professor of Theology of the Pontifical Catholic University of Puerto Rico in Ponce, P.R. In 1997 he gained his doctorate in Systematic Theology, summa cum laude, from the Pontifical Athenæum of the Holy Cross in Rome. Since 2007 Fr. Harrison has been scholar-in-residence at the Oblates of Wisdom Study Center in St. Louis, Missouri, is well-known as a speaker and writer. He is the author of three books and over 130 articles in Catholic books, magazines and journals in the U.S.A., Australia, Britain, France, Spain and Puerto Rico.

Paragraf berikut adalah kutipan dari email yang saya terima baru-baru dari seorang wanita Katolik yang taat di  St Louis yang kadang-kadang mengunjungi gereja saya untuk mengikuti Misa Kudus. Dia telah memberikan izin, dengan sedikit editing dari saya, agar tulisannya (pengalamannya) untuk disampaikan kepada orang lain yang mungkin merasa khawatir tentang dampak pada tingkatan akar-rumput dari Amoris Laetitia. Pengalamannya mungkin menjadi contoh dari situasi yang sekarang sedang dan akan muncul lebih banyak dan lebih sering lagi, sebagai akibat dari anjuran tendensius, yaitu Anjuran Apostolik Amoris Laetitia (AL) yang menjadi tuntunan bagi pendampingan pastoral terhadap umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi.

Aku sangat prihatin tentang gejolak yang akan ditimbulkan oleh AL di tingkat paroki. Aku sudah melihat hal ini terjadi pada teman baikku yang berada dalam situasi pernikahan yang tidak wajar. Pastor yang baru bertugas di tempatku, mengundang mereka untuk menerima Komuni Kudus karena mereka ‘tentu saja telah bertobat atas dosa mereka’. Lalu temanku itu menyampaikan hal ini kepada kelompok doa dimana aku mengikutinya, dan mereka memberitahu kami bahwa setelah tidak menerima Komuni sejak pernikahan sipil mereka lebih dari 25 tahun yang lalu - namun mereka berdua selalu pergi ke Misa Kudus – dan mereka sekarang boleh menerima Komuni Kudus (atas seijin pastor yang baru itu). Semua orang dalam kelompok doa ini mengungkapkan kebahagiaan dan dukungan mereka - kecuali aku dan suamiku.

Kami (aku dan suamiku) hanya bisa duduk tertegun karena kami melihat bahwa tidak seorangpun didalam kelompok doa ini yang mengkhawatirkan jiwa pasangan yang bermasalah itu jika mereka menerima Komuni secara tidak layak. Pastor itu - yang merupakan seorang pastor yang sudah tua - telah menuntun mereka melakukan dosa besar. Aku sudah menyarankan kepada suamiku bahwa kelompok doa kami sebaiknya berganti nama saja dengan memakai nama ‘yang tidak berbau Katolik’. Aku menganjurkan kepada temanku yang bermasalah dalam perkawinannya itu agar membaca buku (‘lima kardinal’), Remaining in the Truth of Christ, yang segera mereka laksanakan.

Tapi mereka masih saja menerima Komuni. Aku hanya membawa mereka didalam doa-doaku. Aku bertanya-tanya berapa banyak pasangan lain yang telah disesatkan oleh pastor seperti itu. Dan jika pastor itu membiarkan saja dosa itu, aku bisa membayangkan dosa-dosa apa lagi yang akan dibiarkannya terus berlangsung?.

Begitulah kesaksian di atas memberikan indikasi adanya perpecahan dan kebingungan atas masalah yang kini sedang menyebar pada banyak, atau sebagian besar, keuskupan, karena pastor yang berbeda akan menafsirkan dan menerapkan AL dengan cara yang berbeda pula. Sangat mungkin bahwa jika anda bercerai dan menikah lagi secara sipil, maka Pastor X di Paroki A akan memberikan Komuni, tetapi Pastor Y di Paroki B tidak bersedia memberikan Komuni. (Apa yang menjadi dosa berat di satu paroki, tetapi menjadi baik-baik saja di paroki lain!)

No comments:

Post a Comment