Sunday, June 5, 2016

Seorang imam Jesuit dari Jerman ....



Seorang imam Jesuit dari Jerman mengatakan bahwa Gereja Katolik hendaknya berjuang mendukung homosex sebagai hak asasi manusia.



By Maike Hickson on June 1, 2016

Pada tanggal 25 Mei 2015, situs resmi dari uskup-uskup Jerman, katholisch.de, melaporkan sebuah wawancara yang diberikan oleh seorang imam Jesuit terkenal,  Pastor Klaus Mertes. Dalam wawancara itu, yang awalnya diberikan kepada surat kabar Jerman, taz, Mertes mengklaim bahwa bagi Gereja Katolik di Barat butuh waktu 200 tahun untuk bisa memahami keadaan "di mana kita berada sekarang" sehubungan dengan pertanyaan mengenai homoseksualitas. Dia melanjutkan: "Di Afrika atau Asia Tenggara, orang masih berada pada titik yang sangat berbeda. Perjuangan untuk merebut dan membela hak-hak homoseksual adalah merupakan proyek di seluruh dunia yang layak untuk dijalankan didalam Gereja." Dalam rangka untuk membuat jalan masuk yang lapang bagi masalah homoseksualitas, Mertes mengusulkan agar Magisterium Gereja "merenungkan moralitas seksual demi kemurahan hati, dan tidak usah mengingat alasan alami yang memandang tindakan perkawinan dengan cara yang tertutup, tanpa memperhitungkan [sic] konteks yang berbeda." Menurut Mertes, moralitas seksual menurut ajaran Katolik telah "terjebak dalam sebuah keterikatan."

Ini adalah argumen yang dapat ditemukan berulang kali, kadang tidak secara terus terang, selama diskusi baru-baru ini seputar sinode tentang pernikahan dan keluarga, yaitu: untuk memisahkan tindakan perkawinan dari aspek prokreasinya (pembentukan keturunan). Jika tindakan perkawinan tidak terikat secara moral pada tindakan prokreasi atau penciptaan kehidupan baru, maka homoseksualitas, demikian beberapa orang berpikir, bisa dengan lebih untuk dipertimbangkan sebagai perbuatan yang tidak berdosa.

Misalnya seorang teolog Jerman terkenal (Stephan Goertz proposed in 2015) pernah mengusulkan pada 2015 :
Pada zaman dulu, kata teolog (Goertz), "menghasilkan keturunan adalah tujuan pertama yang diberikan Tuhan pada tindakan seksualitas." Pada waktu itu, seksualitas dan menghasilkan keturunan memiliki tujuan pertama untuk mengamankan kelangsungan hidup masyarakat; Namun, "keadaan itu bukan lagi menjadi keadaan kita saat ini, dan bahwa, sejak KV II, hal itu juga tidak lagi menjadi atau tidak lagi ditekankan pada ajaran moral kita tentang seksualitas."

Kembali kepada Pastor Mertes, penting untuk dicatat bahwa dia juga secara eksplisit mengusulkan gagasan bahwa Gereja Katolik sekarang harus "benar-benar menganggap serius soal homoseksualitas dalam kaitannya dengan masalah hak asasi manusia.” Dia melanjutkan : "Gereja harus memanfaatkan pengaruhnya di seluruh dunia sehingga hak-hak paling dasar dari kaum homoseksual akan dipertahankan di mana saja...." Mertes merasa  geram karena Gereja begitu pasiv dalam hal ini (homoseksualitas), sementara itu Gereja lebih menyuarakan masalah-masalah yang lain daripada membela hak-hak asasi manusia yang fundamental ini." Imam Jesuit dari German itu juga menunjukkan rasa simpati bagi kaum homoseksual yang meninggalkan Gereja karena Gereja tidak merubah sikapnya terhadap mereka dengan cepat: "Saya menghormati hal itu, ketika orang-orang homoseksual banyak yang meninggalkan Gereja" demikian Mertes menambahkan. Mertes juga sangat senang ketika di Irlandia, akhirnya, "setelah pertarungan selama satu dekade" sekarang (dengan pengesahan secara hukum atas "pernikahan" sesama jenis) telah bersikap terbuka terhadap hak-hak kaum homoseksual. Beginilah yang seharusnya. Proses itu harus terjadi dari dalam (Gereja), maka semuanya akan menjadi efektif dan berkelanjutan. "

Kalimat terakhir dari Pastor Mertes juga mengingatkan kita akan metode Gramscian untuk merubah budaya dari dalam. Sebagai wartawan Katolik, Edward Pentin, baru-baru ini mengutip seorang pejabat Gereja yang mengatakan :’Saya merujuk hal ini sebagai perbandingan dengan bulan April, ketika mengutip sebuah laporan dari Pentin tentang penerapan Amoris Laetitia:

“It’s very Gramscian,” said one Church philosophy scholar, referring to the 20th-century Italian Marxist who advocated spreading Communist ideology [and “cultural hegemony”] through cultural infiltration. “The defiance of traditional orthopraxy is also an attack on orthodoxy, for every principled change of practice necessarily entails a change in principles.”

"Sungguh sangat Gramscian sekali," kata salah seorang ahli filosofi Gereja, dengan mengacu pada perkataan seorang Marxist Italia abad 20 ini yang menganjurkan penyebaran ideologi komunis (serta "hegemoni budaya") melalui infiltrasi budaya. "Penyimpangan ortopraksi tradisional juga merupakan serangan terhadap ortodoksi, karena setiap perubahan praktek yang mendasar tentu memerlukan perubahan dalam fondasi dasarnya juga."

Sungguh, ucapan-ucapan seperti yang dilakukan oleh Pastor Mertes ini (serta Stephan Goerzt) akan semakin banyak kita dengar dan kita jumpai, tanpa ada teguran ataupun pelurusan dari pihak hirarki Gereja. Sungguh menyedihkan!


No comments:

Post a Comment