Tuesday, June 14, 2016

SEORANG (LAGI) ILMUWAN KATOLIK....





SEORANG (LAGI) ILMUWAN KATOLIK MENGAJUKAN KEBERATAN ATAS AMORIS LAETITIA


By Maike Hickson on June 13, 2016






Jumat lalu, Steve Skojec melaporkan tanggapan yang mengesankan sekaligus cukup menusuk  yang ditulis oleh seorang profesor berbahasa Jerman, Josef Seifert, yang dipublikasikan oleh situs pribadi Profesor de Mattei Corrispondenza Romana. Tampaknya bahwa umat Katolik konservatif semakin tersentuh hati mereka dan mereka merasa perlu untuk menyampaikan suara mereka yang bertentangan dengan arah yang sedang ditempuh oleh Paus Francis sekarang, dimana dia berusaha untuk mengarahkan Gereja Katolik.

Sekarang kita melihat seorang lagi ilmuwan Katolik terkenal dari AS, filsuf dan mantan dekan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Amerika, Jude P. Dougherty, yang menerbitkan sebuah kritik yang sama pada 1 Juni di surat kabar Katolik The Wanderer. Didalam konteks masa kepausan Paus Francis ini, Dougherty memilih sebagai judul artikelnya - "Ambiguitas yang disengaja" - yang meringkaskan sebuah metode strategis yang menyeluruh - yaitu berupa kebohongan - tapi dengan secara sengaja menggunakan kalimat-kalimat yang jauh lebih sulit untuk dikritik. Selanjutnya Dougherty mengatakan:

Para penulis dan telecaster sering menggunakan cara ini ketika mereka tidak yakin akan fakta-fakta yang mereka miliki. Para politisi sering menggunakannya dalam menciptakan undang-undang yang kemudian memungkinkan kebebasan interpretasi yang bertentangan dengan pengadilan, regulator, dan jaksa. Paus Francis, yang selama ini tidak pernah berbicara secara jelas, menggunakannya sedemikian rupa hingga dalam masalah doktrinal, apa yang sebelumnya sudah pasti, kini menjadi bermasalah.

Dengan mengacu kepada kejadian-kejadian baru yang benar-benar menusuk oleh Uskup Agung Bruno Forte, Dougherty mengatakan: "Uskup Agung Bruno Forte menyampaikan opini bahwa dengan diundangkannya Amoris Laetitia, akibatnya, para reformis (para heterodox, yang menghendaki pembaharuan didalam Gereja) di kubu Walter Kardinal Kasper mendapatkan apa yang mereka inginkan."

Didorong oleh pernyataan yang berani dan jelas dari filsuf Jerman, Robert Spaemann, filsuf AS ini semakin memperjelas pandangan kritisnya sendiri atas Paus Francis. Kutipan pertama Spaemann:

Setiap kardinal, dan juga setiap uskup dan imam dipanggil untuk mempertahankan disiplin Katolik dari sakramen-sakramen dalam bidang dan tanggung jawabnya sendiri dan agar mengakuinya secara terbuka jika Paus tidak bersedia untuk melakukan koreksi ... .Dalam tahun-tahun mendatang mungkin diperlukan Paus sesudah ini, agar secara resmi meluruskan kesalahan ini.

Dougherty kemudian menambahkan kritiknya sendiri atas Amoris Laetitia, sebagai berikut:

“Dengan meneliti teks Amoris Laetitia kami menemukan bahwa catatan kaki 315 mengundang perhatian terhadap kenyataan bahwa dalam situasi dosa yang jelas, adalah mungkin bagi seorang bajingan untuk secara subyektif merasa tidak bersalah. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

"Dalam hal melakukan suatu dosa berat, maka beratnya dosa itu saja tidaklah cukup; karena pengetahuan penuh dan kesengajaan juga diperlukan. "

Disinilah letak masalahnya. Seorang bapa pengakuan mungkin mengetahui bahwa seorang peniten tidak mengakukan dosa tertentu karena dia tidak tahu bahwa itu adalah dosa. Jika ini yang terjadi, si peniten itu bisa secara sah menerima absolusi. Tetapi bapa pengakuan wajib untuk meluruskan dan memperbaiki cara berpikir dan hati nurani yang cacat dari si peniten itu  melalui proses pembentukan hati nurani yang benar. Pertanyaan berikutnya yang sangat penting adalah : "Dapatkah praktek yang sudah benar secara doktrinal ini diperluas bagi pasangan yang bercerai dan menikah lagi?" Jawabannya adalah "Tidak." Si peniten, sekali menyadari bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan ajaran Gereja, maka dia harus menahan diri untuk tidak usah menerima Komuni Kudus.

Profesor Dougherty disini memperlihatkan dengan jelas di mana ambiguitas Paus Francis dimulai. Dia menyebutnya sebagai "pengajaran yang ambigu dari Paus Francis mengenai perkawinan dan keluarga serta masalah yang lainnya"; dan dia menekankan bahwa tindakan tersebut "memiliki efek merusak kepercayaan kepada otoritas moral Gereja." Dalam membela kritik dari Robert Spaemann, Dougherty menunjukkan bahwa Spaemann berbicara dalam tradisi hukum alam "yang diwakilinya sendiri dimana Gereja sendiri ikut bertanggung jawab ." Dia melanjutkan dengan menjelaskan tingginya nilai ajaran moral Gereja tradisional:

Gereja tidaklah menciptakan moralitas, tetapi selama berabad-abad Gereja telah mengundangkan prinsip-prinsip moral yang tertinggi yang dikenal oleh manusia. Jelaslah bahwa  disiplin yang terkait dengan sakramen yang disahkan secara ilahiah adalah merupakan wilayah Gereja. Melalui sakramen-sakramen gereja telah mengajarkan dan menganjurkan perilaku moral pribadi. Dan upaya ini telah memberikan kontribusi yang luar biasa bagi pembentukan budaya Barat.

Dengan nada yang sedih, Dougherty juga menunjukkan bahwa saat ini, di saat yang penuh kekacauan ini, kita, bahkan lebih dari saat sebelumnya, membutuhkan pengajaran moral yang jelas: "Pada saat ketika Eropa dikepung oleh militan Islam, maka dunia Barat memerlukan suara  moral dari Gereja, lebih dari pada saat-saat sebelumnya. Namun sayangnya, di tingkat tertinggi, nampaknya gereja tidak terlibat sama sekali dalam masalah yang sangat penting ini, serba tidak pasti didalam pelaksanaan otoritas tradisionalnya.

Filsuf Amerika ini kemudian menyimpulkan, sebagai seorang saksi Katolik, dia merasa keberatan dengan tindakan seorang paus yang nampak sedang merusak inti ajaran Gereja tentang pernikahan dan keluarga, dan filsuf ini melakukannya dengan panggilan yang keras kepada umat awam agar melakukan penolakan:

Taruhannya tidak pernah begitu tingginya. Dengan arus keras dari Protestan yang melahirkan paham liberal Zeitgeist, Gereja Katolik sendiri sebenarnya dapat mengajar secara otoritatif. Diagnosa yang tepat adalah langkah pertama dalam penyembuhan penyakit apapun. Mungkin hal ini berlangsung secara halus misalnya dalam bentuk suara-suara dari umat awam yang disampaikan untuk menolak sikap kepemimpinan yang serba tidak pasti ini.

Kita mungkin diingatkan di sini oleh Uskup Athanasius Schneider yang berulang kali mengatakan beberapa waktu yang lalu bahwa "ini adalah saat bagi umat awam." Wartawan Katolik Edward Pentin baru-baru ini juga menerbitkan di akun Twitter-nya kritikan lain terhadap Amoris Laetitia, termasuk kata-kata berikut ini: ‘Hirarki Gereja nampaknya mengalami sebuah kelumpuhan yang aneh'; dimanakah 'nabi-nabi yang benar'? "

Di hadapan begitu banyaknya sikap diam atau kelumpuhan di antara hierarki Gereja ini memang semakin diperlukan sikap yang lebih berani dan berpengetahuan luas dari umat awam, seperti misalnya Profesor Jude Dougherty ini.

No comments:

Post a Comment