Wednesday, June 15, 2016

KITA SEDANG DIUJI



KITA SEDANG DIUJI :
Seorang akademisi Katolik mengatakan bahwa anjuran PF (AL) menghadirkan bahaya bagi Gereja 
oleh : Claire Chretien
 


Dr. Anna M. Silvas, seorang profesor di University of New England dan salah satu ahli mengenai para Bapa Gereja, menyampaikan kritik kerasnya pada anjuran Amoris Laetitia.

14 Juni 2016 (LifeSiteNews) – seorang filsuf Katolik terkenal dan ahli mengenai para Bapa Gereja, telah bergabung dengan ‘paduan suara’ yang saat ini semakin berkembang dengan menyatakan keprihatinannya yang sangat mendalam atas implikasi dari nasihat dan anjuran yang kontroversial dari Paus Francis : Amoris Laetitia.

"Apa yang tadinya sudah pasti, namun kini menjadi bermasalah," karena ambiguitas yang ditanda-tangani Paus, demikian tulis Dr. Jude P. Dougherty, dekan emeritus dari School of Philosophy di The Catholic University of America, dalam kolom di media ‘The Wanderer’.

‘Pembicaraan internal’ kini terjadi di dalam Gereja atas masalah Komuni Kudus bagi orang yang bercerai dan menikah lagi, yang meruntuhkan otoritas moral Gereja, demikian tulis Dougherty, pada saat "peradaban Barat itu sendiri, yang terlepas dari sumber utamanya, nampaknya kini dipertaruhkan. "

Setelah dirilisnya Amoris Laetitia, para kardinal dan uskup yang mendukung perubahan didalam praktek sakramental mengklaim memperoleh kemenangan, dengan alasan bahwa catatan kaki 351 dari Amoris Laetitia membuka pintu bagi perubahan yang signifikan terhadap sakramen-sakramen bagi mereka yang hidupnya bermasalah dan yang selama ini diajarkan oleh Gereja bahwa cara hidup seperti itu adalah berdosa.

Banyak penulis Katolik ortodoks sepakat bahwa Amoris Laetitia bertentangan dengan ajaran Gereja tentang masalah ini dan menyatakan keprihatinan mereka bahwa hal itu akan menyebabkan penistaan ​​dan kehancuran di dalam gereja.

Dengan ‘satu goresan pena,’ saja Paus Francis telah merubah ‘kekacauan menjadi prinsip’ dan dia sedang menuntun Gereja ‘menuju perpecahan,’ demikian kata Profesor Robert Spaemann, seorang filsuf Katolik terkemuka dan teman dekat Paus Emeritus Benediktus XVI. Perpecahan seperti itu bukan saja akan terjadi di bagian ‘tepi’ saja, tetapi justru di pusat Gereja, dia memperingatkan, dan menyatakan bahwa Amoris Laetitia adalah jelas ‘pelanggaran’ terhadap ajaran Gereja.

Paus Francis kemudian mengatakan bahwa dia tidak ingat dengan catatan kaki yang paling terkenal itu.

“Selain posisi akademiknya, apa yang memberikan kewenangan kepada Robert Spaemann untuk bersuara adalah tradisi hukum alam yang diwakilinya dimana dalam masalah inilah Gereja sendiri harus bertanggung jawab," demikian tulis Dougherty.

Dia melanjutkan :

Gereja tidaklah menciptakan moralitas, tetapi selama berabad-abad Gereja telah mengundangkan prinsip-prinsip moral yang tertinggi yang dikenal oleh manusia. Jelaslah bahwa  disiplin yang terkait dengan sakramen yang disahkan secara ilahiah adalah merupakan wilayah Gereja. Melalui sakramen-sakramen gereja telah mengajarkan dan menganjurkan perilaku moral pribadi. Dan upaya ini telah memberikan kontribusi yang luar biasa bagi pembentukan budaya Barat.

Kita telah kehilangan semua tempat berpijak, seperti kisah ‘Alice in Wonderland’

Dr. Anna M. Silvas, seorang profesor di Universitas New England dan di Universitas Katolik Australia dan salah satu ahli terkenal mengenai para Bapa Gereja, menyampaikan kritik yang keras terhadap Amoris Laetitia ‘di hadapan kerumunan uskup-uskup dan imam-imam’ di Melbourne Australia. Seorang wartawan Katolik Italia, Sandro Magister, kembali menerbitkan seluruh komentar di blog-nya Chiesa dan menyebutnya sebagai berita yang "Harus dibaca. brilian, mengena, cerdik, langsung. Sebuah contoh yang jelas dari ‘parresìa’ yang merupakan tugas dari setiap orang yang telah dibaptis. "

Dr.Silvas menulis bahwa Amoris Laetitia telah merusak ajaran Gereja dengan menerima usulan Kardinal Walter Kasper bahwa mereka yang telah berada didalam persekutuan dengan Gereja dan yang melakukan tindakan perzinahan, dalam beberapa keadaan tertentu, mereka diijinkan untuk menerima Komuni Kudus.

Dr.Silvas mengkritik ambiguitas dan subjektivisme ddokumen AL, yang merupakan ‘bahasa emosi’ dari Paus Francis, yang lebih mencerminkan ‘mentalitas media populer’, bukannya mencerminkan pemikiran dari para Bapa Gereja, dan ‘perjalanan panjang lahirnya AL itu bisa saja diberikan oleh wartawan sekuler yang tak beriman sekalipun’ yang seringkali tidak menyebut kata ‘Kristus’ sama sekali.

“Bahkan bagian ‘yang paling spirituil’ sekalipun dari AL tidak bisa mengatakan bahwa dokumen itu telah menghindari terjadinya ambiguitas," demikian tulis Dr.Silvas.

Dr.Silvas juga menganalisa bagian pengantar dari Amoris Laetitia yang berbicara mengenai gagasan bahwa seseorang yang berada dalam situasi dosa berat, dia masih bisa hidup dan bertumbuh dalam rahmat Allah. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa dosa berat menyebabkan ‘hilangnya kebajikan ilahi serta rahmat pengudusan, artinya status dalam keadaan rahmat. Jika hal itu tidak ditebus melalui penyesalan dan pengampunan Tuhan, maka hal itu menyebabkan pengucilan dari Kerajaan Kristus dan kematian kekal didalam neraka "(CCC 1861). (CCC 1861. Dosa berat, sama seperti kasih, adalah satu kemungkinan radikal yang dapat dipilih manusia dalam kebebasan penuh. Ia mengakibatkan kehilangan kebajikan ilahi, kasih, dan rahmat pengudusan, artinya status rahmat. Kalau ia tidak diperbaiki lagi melalui penyesalan dan pengampunan ilahi, ia mengakibatkan pengucilan dari Kerajaan Kristus dan menyebabkan kematian abadi di dalam neraka karena kebebasan kita mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan keputusan yang definitif dan tidak dapat ditarik kembali.)

Dr.Silvas menulis:
Doktrin baru yang telah dikibarkan oleh Paus Francis beberapa saat sebelumnya sekarang diulangi dan ditegaskan kembali: seseorang bisa berada dalam situasi dosa berat – karena memang itulah yang sedang dia bicarakan – dimana si pendosa masih bisa hidup dan bertumbuh dalam rahmat Allah, ‘sambil menerima pertolongan dari Gereja’, dimana catatan kaki nomor 351 yang terkenal itu menyatakan, bahwa dalam kasus-kasus tertentu, si pendosa itu bisa menerima Sakramen Pengakuan dan Komuni Kudus. Saya yakin bahwa sekarang ini ada banyak yang sibuk mencoba 'menafsirkan' semuanya ini sesuai dengan 'kontinuitas hermeneutik', untuk menunjukkan keharmonisannya, saya kira, dengan Tradisi. Saya bisa menambahkan bahwa dalam catatan kaki nomor 305, Paus Francis mengutip perkataannya sendiri sampai empat kali. Bahkan, nampak bahwa Paus Francis 'paling sering mengutip referensi dari perkataannya sendiri didalam ‘Amoris Laetitia', dan hal itu cukup menimbulkan tanda tanya.

"Saya merasa bahwa kita telah kehilangan semua tempat berpijak, dan kita terjatuh, seperti Alice, ke dalam alam semesta yang paralel, di mana tidak ada yang pasti," tulis Silva.

Dengan mengutip Sabda Yesus Kristus, "Siapa yang menceraikan isterinya dan menikah dengan orang lain, berbuat zina terhadap istrinya" (Mrk 10:11) dan rasul Paulus, "Dia akan berzinah jika dia tinggal dengan pria lain sementara suaminya masih hidup"(Rom 7: 3), Dr.Silva menulis:

Seperti ledakan yang memekakkan telinga, istilah ‘perzinahan’ sepenuhnya tidak ada dalam kosa kata ‘Amoris Laetitia’. Sebaliknya kita menemukan sesuatu yang disebut 'hubungan yang tidak wajar’, atau ‘situasi yang tidak wajar’, dengan kata ‘tidak wajar’ ini dalam tanda kutip, seakan mau menjauhkan penulisnya dari penggunaan kata ini.

"Jikalau kamu mengasihi Aku", demikian Sabda Tuhan kita, “patuhilah segala perintahKu” (Yoh 14:15), dan Injil serta surat-surat Yohanes mengulangi nasihat dari Tuhan ini dengan berbagai cara. Artinya bahwa tingkah laku kita bukanlah dibenarkan oleh perasaan subjektif kita, melainkan, kecenderungan subjektif kita dibuktikan didalam perilaku kita, yaitu, dalam tindakan kepatuhan kita. Namun sayangnya, jika kita melihat didalam AL, kita mendapati bahwa perintah-perintah Allahpun tidak ada didalam kosa kata AL, seperti misalnya ketaatan. Sebaliknya kita menemukan sesuatu yang disebut ‘cita-cita’, yang muncul berulang-ulang di seluruh dokumen ini.

Kata lain yang tidak saya temukan dalam dokumen ini: takut akan Tuhan. Anda tahu, bahwa kekaguman atas realitas dari kedaulatan Tuhan adalah awal dari kebijaksanaan, yang merupakan salah satu karunia Roh Kudus dalam Sakramen Krisma. Namun, sungguh, rasa takut yang suci ini (takut kepada Tuhan) telah lama hilang dari diskusi-diskusi Katolik modern. Ini adalah ungkapan bahasa Semit untuk "eulabeia" dan "eusebia" dalam bahasa Yunani, atau dalam bahasa Latin, "Pietas" dan "religio", inti dari kecenderungan yang mengarah kepada Allah, dan inilah semangat yang pokok dalam agama.

Kata lain yang juga tidak ada dalam ‘AL’ adalah ‘keselamatan kekal’. Ya, tidak ada disebutkan didalam dokumen AL bahwa jiwa yang tak dapat mati ini membutuhkan keselamatan kekal! Benar, kita memiliki ‘kehidupan kekal’ dan ‘keabadian’ yang disampaikan dalam nomor 166 dan 168, namun nampaknya sebagai ‘pemenuhan yang tak terelakkan’ dari tujuan hidup yang diajarkan kepada anak-anak, tanpa ada penekanan bahwa keharusan untuk memiliki kehidupan rahmat dan perjuangan merupakan syarat untuk memperoleh keselamatan kekal.

Orang Parisi sejati: Cardinal Kasper dan kelompoknya

"Seluruh masalah yang disampaikan pada bab delapan adalah bermasalah, bukan hanya nomor 304 dan catatan kaki 351, "tulis Dr.Silva mengenai bagian yang paling kontroversial dari anjuran AL ini. "Begitu saya selesai membacanya, saya berpikir: Ini sangat jelas, seperti dentang lonceng. Paus Francis memang sengaja menginginkan beberapa usulan Kasper dari sejak awal"

"Disinilah Kasper telah menang," lanjutnya. "Ini semua menjelaskan komentar singkat PF pada akhir Sinode 2015 , ketika dia mengecam ‘kaum Parisi yang berpikiran sempit’- jelas disini yang dimaksud adalah mereka yang kecewa karena hasil sinode yang hanya menuruti agenda PF sendiri. Parisi? Sebuah bentuk kecerobohan dari bahasanya! Mereka adalah kaum modernis, penganut paham Yudaisme, tuan dari sepuluh ribu nuansa - dan yang paling ngotot, mereka yang gigih menjunjung tinggi praktek perceraian dan pernikahan kembali. Analogi yang nyata dari sifat kaum Parisi dalam seluruh masalah ini adalah Kasper dan sekutu-sekutunya."

Sepanjang masa kepausannya, Paus Francis telah mengkritik orang-orang yang ‘berpikiran sempit,’ umat Katolik yang ‘kaku’. Dalam pidato penutupan pada Sinode 2015 tentang keluarga,  Paus Francis mengutuk umat Katolik yang ‘bersembunyi di balik ajaran Gereja’ dan ‘duduk di kursi Musa dan menghakimi, kadang-kadang dengan pikiran merasa unggul namun dangkal, pada kasus-kasus sulit dan keluarga yang terluka."

Catatan kaki 351 menyiratkan bahwa dalam situasi dosa, “...adalah mungkin bagi seorang bajingan untuk merasa tidak bersalah," tulis Dougherty. Namun catatan kaki ini menyajikan harapan bahwa jika bapa pengakuan ‘mungkin menyadari bahwa si peniten tidak mengakukan suatu dosa karena dia tidak tahu bahwa itu adalah dosa’. Jika ini terjadi, maka si peniten dapat menerima absolusi secara sah.

Dengan kata lain, jika seorang Katolik tidak tahu bahwa tindakannya adalah dosa, maka dia tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya itu.

"Tapi bapa pengakuan wajib untuk meluruskan hal ini dengan memperbaiki hati nurani yang cacat dan dengan membimbing peniten melewati proses pembentukan hati nurani yang benar," demikian kata Dougherty. Pertanyaan kunci kemudian menjadi: "Dapatkah praktek yang sudah benar secara doktrinal ini diperluas bagi pasangan yang bercerai dan menikah lagi?" Jawabannya adalah "Tidak." Si peniten, sekali menyadari bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan ajaran Gereja, maka dia harus menahan diri untuk tidak usah menerima Komuni Kudus.

Pertempuran berikutnya : pengakuan Gereja atas hubungan (perkawinan) sejenis?

Amoris Laetitia nampaknya merangkul etika-situasional – yaitu gagasan bahwa moralitas itu bervariasi menurut keadaan yang ada padahal hal ini sebenarnya justru merusak dan memutar-balikkan ajaran Paus Yohanes Paulus II dan Konsili Vatikan II, demikian Dr.Silva menulis. Sejarawan ini memperkirakan bahwa Gereja akan segera menghadapi pertempuran yang sama dalam masalah perkawinan sesama jenis.

"Jika ada kemungkinan untuk membuat sebuah pembenaran atas suatu keadaan perzinahan, dengan alasan mempertimbangkan 'unsur-unsur konstruktif dari situasi yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja tentang pernikahan' (n. 292), 'ketika perkawinan semacam ini mencapai sebuah stabilitas tertentu, yang diakui secara hukum, yang ditandai dengan kasih sayang yang mendalam dan tanggung jawab terhadap ‘anak-anak mereka (n. 293) dll, berapa lama anda bisa menunda menerapkan penalaran yang sama atau garis pendapat yang sama untuk membenarkan perkawinan sesama jenis? "tanya dia.

Para pemimpin gereja akan harus membuat disposisi praktis sehubungan dengan masalah pelik yang dbawa oleh 'Amoris Laetitia,' dan mereka memiliki kewajiban untuk berbicara tentang kebenaran, demikian Dr.Silva menyimpulkan. Dia memperingatkan para uskup bahwa mereka harus siap untuk menghadapi penganiayaan yang dapat datang dari dalam Gereja karena mereka mempertahankan iman:

... dalam pikiran kita, kita seharusnya tidak memiliki keraguan dalam mewartakan ajaran Injil, dan tidak akan pernah ragu. Jelaslah bahwa dengan strategi apapun untuk mendorong dikeluarkannya klarifikasi resmi dari Gereja dalam hal praktik pastoral yang dapat dibuat, haruslah dicoba. Secara khusus saya mendesak hal ini kepada para uskup. Beberapa dari anda mungkin berada dalam situasi yang sangat sulit dalam kaitannya dengan rekan-rekan anda, yang selalu menuntut sikap bijaksana dari bapa pengakuan. Apakah anda siap untuk menerima cambukan, (arti kiasan), yang mungkin anda hadapi? Anda tentu saja bisa memilih keselamatan ilusi karena kedangkalan berpikir yang konvensional ditengah sorakan kegembiraan yang dangkal dari para sahabat anda, atau cobaan yang besar dari kaum rohaniwan sesama anda. Saya tidak memberi saran atas hal ini. Saat-saat sekarang ini sangatlah serius dan gawat, mungkin jauh lebih serius dan lebih gawat daripada yang kita duga. Kita sedang diuji. Tetapi "Tuhan ada di sini. Dia memanggil Anda ".

No comments:

Post a Comment