Thursday, October 17, 2019

Di Dalam Lemari Vatikan - 3. Bab 1 - Domus Sanctae Marthae



  


DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel




KEKUASAAN

HOMOSEXUALITAS

KEMUNAFIKAN




  




DAFTAR ISI

 

CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT


Bab 1. Domus Sanctae Marthae

 







  


BAGIAN I

FRANCIS



Bab 1



"Selamat malam," kata suara itu. "Aku ingin mengucapkan terima kasih."

Dengan ibu jari dan jari kelingking mendekat ke telinganya, Francesco Lepore (nama samaran) menceritakan dan menirukan percakapan teleponnya, kepadaku. Dia baru saja mengangkat, dan bahasa tubuhnya sekarang tampak sama pentingnya dengan kata-kata yang diucapkan teman bicaranya yang misterius di Italia, dengan aksen yang kuat. Lepore ingat detail terkecil dari panggilan itu.

“Saat itu 15 Oktober 2015, sekitar jam lima kurang seperempat, saya ingat dengan sangat jelas. Ayah saya baru saja meninggal, beberapa hari sebelumnya, dan saya merasa sendirian dan ditinggalkan. Saat itulah ponsel saya berdering. Tidak ada nama yang muncul. Saya menjawab sedikit secara mekanis.”

“Ya?”

Suara itu berlanjut: “Buona sera! Paus Francis di sini. Saya menerima surat Anda. Kardinal Farina menyerahkannya kepada saya dan saya memanggil Anda untuk memberi tahu Anda bahwa saya sangat tersentuh oleh keberanian Anda dan kejelasan serta ketulusan surat Anda.”

“Bapa Suci, sayalah yang tersentuh oleh panggilan Anda, dan bahwa Anda melakukan upaya untuk memanggil saya. Sebenarnya Anda tidak perlu menelpon saya. Saya hanya merasa perlu menulis surat kepada Anda.”

“Tidak, sungguh, saya tersentuh oleh ketulusan Anda, oleh keberanian Anda. Saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda sekarang, tetapi saya ingin melakukan sesuatu.”

Suara gemetar, suara Francesco Lepore, dikejutkan oleh pesan yang tak terduga, ragu-ragu. Setelah hening sesaat, paus kembali melanjutkan.

“Boleh aku minta bantuanmu?” “Bantuan apa?”

"Maukah Anda berdoa untuk saya?” Francesco Lepore tidak menjawab apa pun.

“Pada akhirnya saya memberi tahu dia bahwa saya sudah lama berhenti berdoa. Tetapi jika paus ingin, dia bisa berdoa untuk saya,” kata Francesco Lepore kepada saya.

Paus Francis menjelaskan kepadanya bahwa dia 'sudah berdoa' untuknya, sebelum bertanya kepadanya: 'Dapatkah saya memberkatimu?'

“Saya menjawab dengan tegas atas pertanyaan dari Paus Francis ini: ‘tentu saja.’ Ada keheningan sebentar, sekali lagi dia mengucapkan terima kasih dan percakapan berakhir sampai disitu.”

Setelah beberapa saat, Francesco Lepore berkata kepada saya: “Anda tahu, saya tidak terlalu menyukai paus ini. Saya tidak banyak membela Francis, tetapi saya sangat tersentuh dengan sikapnya. Saya tidak pernah membicarakannya, saya menyimpannya sendiri, seperti rahasia pribadi. Ini adalah pertama kalinya saya memberi tahu seseorang mengenai hal itu.” (Cardinal Farina, yang saya wawancarai dua kali di apartemen Vatikannya, mengonfirmasi kepada saya bahwa dia telah menyerahkan surat Lepore kepada paus, dan soal keaslian panggilan telepon Francis.)

Ketika dia menerima panggilan itu, Francesco Lepore sedang berselisih dengan Gereja. Dia baru saja mengundurkan diri dan sekarang, dalam ungkapan yang khusus, 'diturunkan derajatnya menjadi seorang awam'. Imam intelektual yang merupakan kebanggaan para kardinal di Vatikan telah menggantungkan jubahnya. Dia baru saja menulis surat kepada paus Francis, bak ‘sebuah pesan dalam botol yang dilemparkan ke laut’ dengan dorongan kekuatan yang berasal dari kesedihan, sebuah surat di mana dia menuturkan kisahnya sebagai seorang imam homoseksual yang telah menjadi penerjemah paus khusus bahasa Latin. Untuk menyelesaikan masalahnya. Untuk mendapatkan kembali kesadarannya dan meninggalkan kemunafikan. Dengan gerakan tubuhnya, seolah Lepore membakar harapannya.

Tetapi panggilan yang penuh berkat dari paus Francis itu mengembalikan dia ke masa lalu yang tak ingin dia lupakan, ke sebuah halaman yang ingin dia putar ulang: cintanya pada bahasa Latin dan imamat; pertobatan; penahbisannya sebagai seorang imam; hidupnya di kediaman di Santa Marta; persahabatan khususnya dengan begitu banyak uskup dan kardinal; percakapannya yang tak berkesudahan tentang Kristus dan homoseksualitas, dengan jubah resmi, sering dalam bahasa Latin.

Kehilangan ilusi? Ya tentu saja. Kebangkitannya cepat: seorang imam muda yang terikat dengan para kardinal paling bergengsi, dan segera melayani tiga orang paus. Mereka memiliki ambisi untuknya; dia dijanjikan karier di istana apostolik, bahkan mungkin keuskupan atau, siapa tahu, menerima jubah merah dan topi merah! (cardinal)

Itu terjadi sebelum dia membuat keputusan. Francesco harus menengahi antara Vatikan dan homoseksualitas - dan, tidak seperti banyak pastor yang lebih suka menjalani kehidupan ganda, dia memilih koherensi dan kebebasan. Paus Francis tidak membahas masalah gay secara langsung dalam percakapan singkat itu, tetapi jelas bahwa kejujuran pastor Lepore itulah yang mendorong paus Francis untuk menelepon Francesco Lepore secara pribadi.

“Dia (paus) tampak tersentuh oleh ceritaku, dan mungkin juga oleh fakta bahwa aku telah mengungkapkan praktik yang lumrah terjadi di Vatikan kepadanya: betapa tidak berperikemanusiaan atasanku memperlakukan aku – betapa tidak manusiawi para atasanku dalam memperlakukan aku, banyak droits du seigneur (hak istimewa para tuan) di Vatikan - dan bagaimana mereka telah meninggalkan aku segera setelah aku berhenti menjadi seorang imam,” demikian dia menambahkan.

Lebih penting lagi, paus Francis secara eksplisit berterima kasih kepada Francesco Lepore karena mengistimewakan 'kebijaksanaan' tentang homoseksualitasnya, suatu bentuk 'kerendahan hati' dan 'kerahasiaan' daripada gembar-gembor di hadapan publik yang memekakkan telinga.

Tidak lama kemudian, Mgr Krzysztof Charamsa, seorang imam yang dekat dengan Kardinal Ratzinger, yang bersikap lebih vokal, dan kehadirannya di depan umum akan memicu reaksi keras dari Vatikan. Paus tidak akan memanggilnya!

Di sini kita memahami aturan ‘lemari’ yang tidak tertulis. Jika Anda ingin berintegrasi dengan Vatikan, patuhilah sebuah kode, yang terdiri dari: menoleransi homoseksualitas para pastor dan uskup, ikut menikmatinya jika perlu, tetapi merahasiakannya dalam semua kasus. Toleransi akan berjalan dengan bijaksana. Dan seperti Al Pacino di The Godfather, Anda tidak boleh mengkritik atau meninggalkan 'keluarga' Anda. ‘Jangan pernah memusuhi keluarga.’ (yang dimaksud ‘keluarga’ disini adalah keluarga homosex).

Seperti yang akan saya temukan dalam penyelidikan panjang ini, menjadi gay di kalangan para pastor berarti menjadi bagian dari semacam norma. Menjadi homoseksual dimungkinkan di Vatikan, mudah, biasa, dan bahkan didorong; tetapi kata 'visibilitas' dilarang. Menjadi homoseksual secara diam-diam berarti menjadi bagian dari ‘keluarga paroki'; menjadi orang yang membuka skandal berarti ‘memisahkan diri dari keluarga.’

Sejalan dengan 'kode' atau ‘aturan’ ini, panggilan Paus Francis kepada Francesco Lepore sekarang menjelaskan makna yang sepenuhnya.

Saya pertama kali bertemu Lepore pada awal penyelidikan ini, beberapa bulan sebelum suratnya dan telepon dari Paus. Pria ini yang secara profesional diam, penerjemah bijaksana dari Bapa Suci, setuju untuk berbicara dengan saya secara terbuka. Saya baru saja memulai buku ini dan memiliki beberapa kontak di dalam Vatikan: Francesco Lepore adalah salah satu pastor gay saya yang pertama, sebelum puluhan lainnya. Saya tidak akan pernah berpikir bahwa para imam di Tahta Suci, dan bahkan anggota Garda Swiss (tentara keamanan di Vatikan), akan mengaku kepada saya dalam jumlah banyak seperti ini.

Mengapa mereka berbicara? Semua orang mengaku di Roma: para imam, Garda Swiss, para uskup, 'monsignori' yang tak terhitung jumlahnya dan, bahkan lebih dari yang lain, para kardinal. Burung-burung kenari yang nyata! Semua ‘orang-orang yang mulia’ itu sangat cerewet kecuali Anda tahu cara mendekati mereka, dan kadang-kadang mereka hampir terlalu cerdik dan sering tidak bijaksana. Masing-masing dari mereka memiliki alasannya sendiri: karena beberapa keyakinan, karena ambil bagian dalam pertempuran ideologis yang sengit yang sekarang sedang diperjuangkan di dalam Vatikan, antara tradisionalis dan liberal; bagi orang-orang lain, itu adalah bentuk kelaparan akan pengaruh dan, kita bahkan dapat mengatakan: itu adalah sebuah kesombongan. Beberapa orang berbicara karena mereka homoseksual dan ingin menceritakan semuanya, tentang orang lain, karena dengan begitu sebenarnya mereka ingin berbicara tentang diri mereka sendiri. Yang terakhir, beberapa ada yang bersifat ekspansif karena kepahitan hidup, karena selera dan nafsu-nafsu skandal dan gosip jahat. Para kardinal tua hanya hidup dengan kegelisahan dan pencemaran nama baik. Mereka membuat saya berpikir tentang klub-klub homofilik yang tenang pada 1950-an yang dengan kejam mengejek semua orang: duniawi dan beracun!, karena mereka tidak bisa menerima sifat mereka sendiri. ‘Lemari’ adalah tempat kekejaman yang paling luar biasa. Dan Vatikan adalah sebuah 'lemari’  raksasa.

Francesco Lepore ingin meninggalkannya. Dia segera memberi tahu saya nama aslinya, menyetujui agar percakapan kami direkam dan dipublikasikan.

Pada pertemuan pertama kami, yang dimediasi oleh seorang teman bersama, Pasquale Quaranta, seorang jurnalis La Repubblica, Lepore tiba agak terlambat di lantai dua restoran Eataly di Piazza della Repubblica, Roma, tempat kami sepakat untuk bertemu, karena pemogokan transportasi kesekian kalinya. Saya memilih Eataly, yang berusaha di bidang 'makanan lambat saji', pemasok perdagangan dan 'buatan Italia', karena itu adalah lokasi yang relatif aman dan jauh dari Vatikan, di mana orang dapat berkomunikasi secara bebas. Menu disini menawarkan 10 jenis pasta (yang rasanya agak mengecewakan), dan 73 jenis pizza. Lepore dan saya sering bertemu di sana, untuk berdiskusi panjang, hampir setiap bulan, tentang spageti all'amatriciana - favorit saya, meskipun hampir tidak sesuai dengan diet 'rendah karbohidrat' saya. Dan, beberapa kali, mantan pastor itu tiba-tiba nampak menjadi bersemangat.

Banyak orang yang mengatakan kepada saya bahwa mereka menganggap Gereja sebagai 'ibu kedua': dan kami tahu pentingnya kultus – yang selalu tidak rasional dan memilih sendiri - dari perawan yang masih suci hingga kepada persaudaraan ini. Mamma! Banyak penulis homoseksual, dari Marcel Proust hingga Pasolini, melalui Julien Green atau Roland Barthes, dan bahkan Jacques Maritain, telah menyanyikan lagu cinta mereka yang penuh gairah terhadap ibu mereka, sebuah efusi emosional yang tidak hanya penting tetapi sering merupakan salah satu kunci untuk melakukan sensor-diri (banyak penulis dan pastor baru menerima sifat homoseksualitas mereka setelah kematian ibu mereka). Mamma, yang selalu tetap setia pada putranya yang kecil, memberinya kasih dan menjaga putranya seolah-olah dia adalah dagingnya sendiri, memahami segalanya - dan dengan bebas dia melakukannya!

Francesco Lepore, di sisi lain, ingin mengikuti jejak ayahnya. Pada foto yang agak kekuningan yang ditunjukkannya kepada saya, nampak kerahnya berkilauan, putih laksana kapur di bawah jubah hitam: Francesco Lepore baru saja ditahbiskan sebagai pastor. Rambut pendeknya disisir dengan rapi dan wajahnya tertutup rapat; berbeda dengan hari ini, ketika dia telah memiliki janggut lebat dan kepala yang benar-benar botak. Apakah ini pria yang sama? Imam yang tertindas dan imam yang diduga homoseksual, adalah dua sisi dari realitas tunggal.

"Saya lahir di Benevento, sebuah kota di Campania, sedikit di sebelah utara Napoli," Lepore memberi tahu saya. “Orang tua saya Katolik, meskipun mereka tidak terlalu rajin beribadah. Segera saya mulai merasakan ketertarikan yang mendalam pada agama. Saya suka gereja."

Banyak imam homoseksual yang saya wawancarai menggambarkan 'ketertarikan' itu kepada saya. Sebuah pencarian misterius untuk memperoleh rahmat. Menyatu dengan daya tarik terhadap sakramen-sakramen, kemegahan tabernakel, tirai gandanya, ciborium, dan monstran. Keajaiban bilik pengakuan dosa, kamar di pojok gereja, menjadi fantastik oleh janji-janji yang menyertainya. Prosesi, rekoleksi, spanduk. Jubah berkilauan, segala asesorinya, alba, stola. Keinginan untuk menembus rahasia sakristi. Dan kemudian musiknya: vesper yang dinyanyikan, suara para pria dan kemerduan organ. Dan tidak lupa: prie-dieux!

"Ayah saya adalah seorang guru bahasa Latin dan saya ingin belajar bahasa untuk mendekati dunia itu," Lepore melanjutkan. “Saya belajar bahasa Latin dengan sempurna. Dan sejak usia 10 atau 11 saya ingin bergabung dalam seminari."

Tapi yang dia lakukan, bertentangan dengan nasihat orang tuanya: pada usia 15 dia sudah ingin 'merangkul', seperti kata pepatah, karier gerejawi.

Sebuah jalur klasik bagi para imam muda secara umum: seminari di sekolah tata bahasa Katolik, kemudian lima tahun pendidikan tinggi dalam bidang filsafat dan teologi, diikuti oleh 'pelayanan', di Italia yang dikenal sebagai 'ordo kecil', dengan para sahabat dan pembantunya, sebelum diakonat dan penahbisan.

"Saya menjadi seorang imam pada usia 24, pada 13 Mei 2000, pada saat ada Jubilee dan Pawai Gay Sedunia," kata Franceso Lepore, dalam resume yang mencekam.

Pria muda itu memahami dengan sangat cepat bahwa hubungan antara imamat dan homoseksualitas bukanlah kontradiktif, atau bahkan sejalan, seperti yang awalnya dia pikirkan.

“Saya selalu sadar bahwa saya adalah homoseks. Pada saat yang sama, saya memiliki semacam dorongan – penolakan terhadap keinginan semacam itu. Bergerak dalam lingkungan yang menganggap homoseksualitas secara intrinsik adalah buruk, dan membaca buku-buku teologi yang mendefinisikannya sebagai dosa, maka untuk waktu yang lama saya mengalaminya sebagai rasa bersalah. Jalan yang saya pilih untuk meninggalkan rasa bersalah itu adalah menolak ketertarikan seksual dengan memindahkannya kepada ketertarikan religius: Saya membuat pilihan kesucian dan seminari. Bagi saya, menjadi seorang imam adalah semacam solusi untuk menebus kesalahan yang tidak saya lakukan. Selama tahun-tahun pembinaan di Universitas Opus Dei di Roma, saya mengabdikan diri saya dengan sangat kuat untuk berdoa, saya bertapa, dan lebih jauh, dengan menerima hukuman fisik, bahkan mencoba menjadi seorang Fransiskan untuk menghayati agama saya secara lebih intens, dan berusaha, bagaimanapun juga, untuk tetap suci selama lima tahun, bahkan tanpa melakukan masturbasi.

Perjalanan Francesco Lepore, antara dosa dan mati raga (penyiksaan), dengan kebutuhan yang berkobar untuk menghindari keinginan-keinginan jasmani dengan cara mengorbankan kendala yang paling berat, hampir menjadi perbuatan yang normal di Italia abad kedua puluh. Untuk waktu yang lama, karier gerejawi adalah solusi ideal bagi banyak homoseksual yang merasa sulit untuk menerima orientasi pribadi mereka. Ada puluhan ribu imam Italia dengan tulus percaya bahwa panggilan religius adalah 'solusi' untuk 'masalah sexual mereka'. Itulah aturan pertama ‘Lemari’: Untuk waktu yang lama imamat adalah jalur pelarian ideal bagi kaum homoseksual muda. Homoseksualitas adalah salah satu kunci panggilan mereka.

Mari kita memikirkan pola itu sejenak. Untuk memahami perjalanan sebagian besar kardinal dan imam yang tak terhitung jumlahnya yang akan kita temui dalam buku ini, kita harus memulai dengan proses seleksi yang hampir seperti ‘seleksi alamnya Darwin,’ yang dilaksanakan secara sosiologis. Di Italia, hal itu bahkan telah menjadi aturan sejak lama. Para pria muda banci ini yang khawatir akan nafsu-nafsu mereka; anak-anak lelaki yang merasakan kecenderungan terhadap teman-teman terbaik dan sesama jenis mereka, yang diejek karena nada suara mereka; para homoseksual yang mencari identitas diri tanpa ingin menyatakan diri; para seminaris yang tidak berada di jalan yang benar – semua ini memiliki beberapa pilihan solusi di Italia pada 1930-an, 40-an atau 50-an. Beberapa dari mereka menjadi dewasa sebelum waktunya, hampir secara atavistis, mencari jalan bagaimana mengubah homoseksualitas menjadi kekuatan, untuk mengubah kelemahan menjadi keuntungan: dengan menjadi seorang imam. Hal ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan kembali kuasa atas hidup mereka sendiri, membayangkan bahwa mereka menjawab panggilan ganda: panggilan dari Kristus dan panggilan pada keinginan mereka sendiri.

Apakah mereka punya pilihan lain? Di sebuah kota kecil Italia di Lombardy, atau sebuah desa di Piedmont, tempat banyak kardinal berasal, homoseksualitas masih dianggap jahat pada saat itu. Orang-orang sulit memahami 'kemalangan kelam' ini; mereka takut akan janji 'cinta ganda dan rumit' ini, menurut istilah dari si Penyair; mereka takut akan merasakan 'kebahagiaan yang tak terkatakan!’ bahkan ‘tak tertahankan'! Menyerah pada masalah itu, meski tetap diam-diam, berarti mereka memilih kehidupan yang penuh kebohongan atau larangan; menjadi seorang imam, di sisi lain, tampaknya seperti sebuah bentuk pelarian. Dengan bergabung menjadi klerus, semuanya menjadi lebih sederhana bagi homoseksual yang tidak berani mengambil risiko: dia pergi dan tinggal di antara anak laki-laki dan mengenakan pakaian; dia berhenti ditanyai tentang pacar-pacarnya. Teman-teman sekolahnya, yang sudah membuat lelucon tidak menyenangkan atas dirinya, akan merasa terkesan; setelah lama diejek, dia sekarang menikmati kehormatan besar; dia telah bergabung dengan ras orang-orang pilihan, setelah menjadi ras terkutuk; dan Mamma, saya ulangi, yang telah memahami segalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mendorong panggilan ajaib ini. Yang paling penting, kesucian terhadap wanita serta janji selibat, tidaklah menakutkan; justru sebaliknya: dia dengan gembira memeluk kedua janji itu! Di Italia antara tahun 1930 dan 1960, fakta bahwa seorang homoseksual muda harus memilih pentahbisan dan 'sumpah selibat di antara laki-laki' ini ada dalam urutan prioritas, dan memang hal itu ditentukan oleh keadaan.

Seorang rahib Benediktin Italia, yang adalah salah satu pejabat senior di Universitas Sant'Anselmo di Roma, menjelaskan logika ini kepada saya: “Bagi saya pilihan imamat pada awalnya merupakan produk dari iman yang dalam dan vital. Tetapi secara retrospektif saya juga menganalisisnya sebagai cara untuk menjaga seksualitas saya tetap terkendali. Saya selalu tahu bahwa saya gay, tetapi baru setelah usia 40 tahun saya bisa menerima aspek fundamental identitas saya ini."

Semua karier itu unik, tentu saja. Banyak imam di Italia mengatakan kepada saya bahwa mereka baru menyadari homoseksualitasnya setelah ditahbiskan atau ketika mereka mulai bekerja di Vatikan. Banyak dari mereka, pada kenyataannya, menyadari keterbatasan dirinya baru setelah usia 40, atau selama tahun 1970-an.

Atas pemilihan sosiologis dari imam-imam ini, kita juga dapat menambahkan pemilihan para uskup, yang semakin memperbesar fenomena ini. Kardinal homosex memiliki hak istimewa untuk memilih para pembantu yang memiliki kecenderungan yang sama, dan yang pada gilirannya, mereka memilih imam-imam gay. Nuncios, para duta besar paus yang diberi tugas memilih para uskup, dan di antaranya mencakup persentase homoseksual mencapai tingkat rekor, pada gilirannya melakukan sebuah seleksi 'alami'. Menurut semua pernyataan yang telah saya kumpulkan, para imam yang memiliki kecenderungan seperti itu dianggap disukai ketika homoseksualitas mereka bisa ditebak. Lebih tepatnya, tidak jarang nuncio atau uskup mempromosikan seorang imam yang juga bagian dari 'paroki' karena dia mengharapkan ‘imbalan’ sebagai balasannya.

Itulah aturan kedua dari ‘Lemari’: Homoseksualitas menyebar semakin dekat ke tempat-tempat yang suci; ada semakin banyak homoseksual ketika seseorang mendaki tangga hierarki Katolik. Di Kolese Kardinal dan di Vatikan, proses seleksi istimewa dapat dikatakan sempurna; homoseksualitas menjadi aturan, dan heteroseksualitas menjadi pengecualian.

Saya benar-benar memulai buku ini pada April 2015. Pada suatu malam editor Italia saya, Carlo Feltrinelli, mengundang saya untuk makan malam di restoran Rovelli di Via Tivoli di Milan. Kami sudah saling kenal, karena dia telah menerbitkan tiga buku saya, dan saya ingin berbicara dengannya tentang buku ini. Selama lebih dari setahun saya telah menyelidiki soal homoseksualitas di dalam Gereja Katolik, melakukan banyak wawancara di Roma dan di berbagai negara, membaca banyak buku tentang masalah ini, tetapi proyek saya masih tetap hipotetis. Saya telah memiliki subjek, tetapi tidak memiliki cara menuliskannya.

Pada kuliah umum di Naples dan Roma tahun itu saya mengatakan, berbicara tentang kaum gay Katolik: “Suatu hari nanti, sejarah Vatikan ini harus diceritakan.” Seorang penulis muda Neapolitan mengingatkan saya akan ungkapan itu, dan jurnalis La Repubblica, Pasquale Quaranta, seorang teman yang telah menemani saya sejak saat itu dalam persiapan buku ini, juga mengingatkan saya pada kata-kata saya. Tetapi subjek saya masih tetap tidak dapat dilacak.

Sebelum makan malam, saya membayangkan bahwa Carlo Feltrinelli akan menolak proyek semacam itu. Saya akan meninggalkannya jika memang begitu, dan buku ‘In the Closet of the Vatican’ tidak akan pernah melihat terangnya siang hari. Justru yang sebaliknya terjadi. Penerbit Boris Pasternak, dari Günter Grass dan, baru-baru ini, dari Roberto Saviano, membombardir saya dengan pertanyaan dan bertanya kepada saya tentang ide-ide saya sebelum mengatakan, untuk mendorong saya bekerja sambil membuat saya waspada: “Buku ini harus diterbitkan di Italia dan, pada saat yang sama, di Perancis, Inggris dan Amerika Serikat, untuk memberinya bobot yang lebih besar. Apakah Anda punya foto? Pada saat yang sama, Anda harus menunjukkan kepada saya bahwa Anda tahu lebih banyak tentang hal itu daripada membiarkannya.”

Dia mengisi anggur pada gelasnya dan terus berpikir keras. Dan tiba-tiba dia menambahkan, dengan menekankan huruf tambahan: “Tapi mereka akan berusaha membunuuhhmuu…!!!”

Saya telah diberi lampu hijau. Saya terjun ke dalam petualangan ini dan mulai tinggal di Roma setiap bulan. Tetapi saya masih tidak tahu bahwa saya akan melakukan penyelidikan di lebih dari tiga puluh negara, selama empat tahun. Akhirnya buku In Closet of the Vatican diluncurkan. Apapun yang terjadi!

Di Via Ostiense no.178, di selatan Roma, Al Biondo Tevere menjadi seorang pekerja resto. Sungai Tiber mengalir di kaki teras - karena itulah dipakai nama restorannya. Tidak ada yang istimewa, jauh dari pusat, tidak menarik banyak tamu dan, pada bulan Januari itu sangat dingin. Kenapa Francesco Gnerre mengatur untuk bertemu denganku di tempat terpencil seperti itu?

Seorang pensiunan profesor sastra, Gnerre, mengabdikan sebagian besar penelitiannya untuk menulis litratur tentang gay Italia. Dia juga telah menuliskan namanya, lebih dari empat puluh tahun, pada ratusan ulasan buku di berbagai jurnal homoseksual.

“Ada ribuan orang gay seperti saya membangun perpustakaan mereka berdasarkan artikel dari Francesco Gnerre di Babilonia dan Pride," saya diberitahu oleh jurnalis Pasquale Quaranta, yang mengatur acara makan malam itu. Gnerre telah memilih tempat itu dengan sengaja. Di Al Biondo Tevere, pembuat film Italia, Pier Paolo Pasolini, makan malam pada malam 1 November 1975, bersama Giuseppe Pelosi, pelacur muda yang membunuhnya beberapa jam kemudian di sebuah pantai di Ostia. 'Perjamuan terakhir' ini, tepat sebelum sebuah peristiwa kejahatan yang paling mengerikan dan terkenal dalam sejarah Italia, anehnya hal itu diperingati pada dinding-dinding restoran ini. Kliping pers, foto dari pemotretan, gambar diam, seluruh alam semesta Pasolini hidup kembali di dinding-dinding enamel restoran.

"Asosiasi gay terbesar adalah Vatikan," kata Francesco Gnerre sebagai antipasi.

Dan kritikus sastra meluncurkan cerita panjang tentang hubungan yang rumit antara para imam Italia dan homoseksualitas, dan, di antaranya, tempat-tempat pertemuan mereka yang aman. Dia mengungkapkan homoseksualitas dari beberapa novelis Katolik dan juga berbicara kepada saya tentang Dante: "Dante bukanlah homofobik," kata Gnerre menjelaskan. “Ada empat referensi untuk homoseksualitas di dalam buku The Divine Comedy di bagian-bagian yang disebut 'Inferno' dan 'Purgatory', meski hal itu tidak ada di bagian 'Surga'! Dante bersimpati pada karakter tokoh gay-nya, Brunetto Latini, yang juga guru retorikanya yang lama. Dan bahkan jika dia menempatkannya di tingkatan ketiga dari ketujuh tingkatan neraka, dia masih menghormati keadaan homoseksual." Mengambil jurusan sastra, Latin, dan budaya untuk mencoba menyelesaikan dilema-nya sendiri, pastor Francesco Lepore juga menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencoba memecahkan kode pesan-pesan tersembunyi dalam sastra atau film - puisi-puisi Pasolini, Leopardi, Carlo Coccioli, Memoirs of Hadrian oleh Marguerite Yourcenar, film-film Visconti, belum lagi tokoh-tokoh homoseksual dalam Divine Comedy karya Dante. Adapun banyak imam dan kaum homoseksual Italia yang merasa tidak nyaman dengan keadaan mereka sendiri, literatur memainkan peran utama dalam hidupnya: 'perlindungan teraman adalah menjadi imam', seperti yang mereka katakan.

"Melalui literatur-lah saya mulai memahami banyak hal," Lepore menambahkan. "Saya sedang mencari kode-kode dan kata sandinya."

Berusaha mencoba dan menguraikan kode-kode itu, kami mungkin tertarik pada tokoh kunci lain yang kami bicarakan, dengan akademisi Francesco Gnerre: Marco Bisceglia. Bisceglia memiliki tiga macam kehidupan. Dia adalah salah satu pendiri Arcigay, asosiasi homoseksual utama Italia selama 40 tahun terakhir. Bahkan hari ini Arcigay memiliki beberapa ratus ribu anggota, tersebar di sekitar komite lokal di lebih dari lima puluh kota di negara ini. Sebelum itu, Bisceglia adalah, pertama-tama, sebagai seorang imam.

“Marco pergi ke seminari karena dia yakin bahwa dirinya mendapat panggilan dari Allah. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia percaya, dengan itikad baik, akan panggilan religiusnya, tetapi dia baru menemukan panggilan sejatinya ketika dia berusia lebih dari 50 tahun: itu adalah homoseksualitas. Sudah sejak lama dia berusaha menekan orientasi seksualnya. Saya pikir jalan itu sangat khas di Italia. Seorang anak laki-laki yang lebih suka membaca daripada main sepak bola; anak laki-laki yang tidak merasa tertarik pada anak perempuan; dan yang tidak benar-benar mengerti sifat dari keinginan-keinginannya; seorang anak lelaki yang tidak mau mengakui hasratnya yang gagal untuk keluarga dan ibunya: semua itu menuntun homoseksual muda Italia secara alami menuju seminari. Tapi yang mendasar pada diri Marco Bisceglia adalah: dia bukan orang munafik. Selama beberapa dekade, sementara dia tetap berada di dalam Gereja, dia tidak menjalani kehidupan gay; hanya pada saat dia menjalani homoseksualitasnya secara berlebihan, barulah dia bertobat.”

Potret hangat ini yang dibuat untuk saya oleh Gnerre, yang mengenal akrab Bisceglia, mungkin menyembunyikan siksaan dan krisis psikologis imam Jesuit ini. Dan kemudian dia beralih ke teologi pembebasan, dan tampaknya memiliki beberapa perbedaan pendapat dengan hierarki Katolik, yang mungkin membawanya ke arah militansi gay. Setelah menjadi imam lagi di akhir hidupnya, setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan gay aktiv, dia meninggal karena AIDS pada tahun 2001.

Tiga kehidupan, kemudian menjadi: imam; militan gay yang menentang imam; terakhir menjadi seorang yang sekarat karena AIDS yang mendamaikan dirinya dengan Gereja. Penulis biografinya, Rocco Pezzano, yang saya wawancarai, masih merasa kagum dengan 'kehidupan pecundang' ini, di mana Marco Bisceglia bergerak dari satu kegagalan kepada kegagalan berikutnya tanpa pernah benar-benar bisa menemukan jalannya. Francesco Gnerre lebih murah hati: dia menekankan 'koherensi' Marco dan gerakan 'kehidupan yang menyakitkan tetapi luar biasa'.

Imam-imam dan homoseksual: dua sisi dari koin yang sama? Tokoh lain dari gerakan gay Italia, Gianni Delle Foglie, pendiri toko buku gay pertama di Milan, yang tertarik pada penulis Katolik homoseksual, mengatakan: Para gay ini hampir berada sendirian di hadapan Vatikan. Tetapi mungkin itu bagus: tinggalkan kami bersama! Pertempuran antara kaum gay dan Vatikan adalah perang di antara para pria homosex!

Di Roma itulah Francesco Lepore mengalami petualangan seksual pertamanya, ketika, seperti halnya bagi banyak imam Italia, ibu kota - kota Hadrian dan Michelangelo - mengungkapkan atraksi uniknya. Di sanalah dia menemukan bahwa kaul kemurnian tidaklah begitu dihormati, dan bahwa mayoritas imam adalah homoseksual.

“Saya menemukan diri saya sendirian di Roma, dan di sanalah saya menemukan rahasianya: para imam sering menjalani kehidupan yang tidak bermoral. Itu adalah dunia yang sama sekali baru bagi saya. Saya memulai hubungan sex dengan seorang imam yang berlangsung selama lima bulan. Ketika kami berpisah, saya mengalami krisis yang mendalam. Krisis spiritual pertamaku. Bagaimana saya bisa menjadi seorang imam, dan pada saat yang sama, menjalani homoseksualitas saya?"

Lepore berbicara tentang masalah itu dengan para bapa pengakuannya, juga dengan seorang imam Yesuit (kepada siapa dia menceritakan semua rinciannya) dan kemudian dengan seorang uskup (yang mengabaikan mereka). Mereka semua mendorong dia untuk bertahan dalam imamat, untuk berhenti berbicara tentang homoseksualitas dan tidak perlu merasa bersalah. Dia secara langsung dibuat mengerti bahwa dia dapat menjalani seksualitasnya selama dia tetap bijaksana dan tidak mengubahnya menjadi identitas yang militan.

Saat itulah namanya dipromosikan untuk posisi bergengsi di dalam Sekretariat Negara di istana kerasulan Vatikan, yang setara dengan posisi perdana menteri bagi paus.

“Mereka mencari seorang imam yang pandai berbicara bahasa Latin dengan sempurna, dan karena desas-desus telah beredar bahwa saya sedang mengalami krisis, ada seseorang mengajukan nama saya. Mgr Leonardo Sandri, yang sejak itu menjadi kardinal, menghubungi uskup saya dan mengundang saya untuk bertemu orang-orang di bagian bahasa Latin. Mereka memaksa saya mengikuti tes bahasa Latin dan saya lulus. Saya ingat bahwa mereka masih menjaga jarak dengan saya, yang membuktikan bahwa mereka tahu saya ini gay: dengan ucapan penuh sindiran, mereka mengatakan kepada saya bahwa "…jika saya telah mencapai tingkat yang tepat untuk memenuhi syarat jabatan", saya harus mulai “mendedikasikan hidup saya kepada paus dan melupakan yang lainnya.”

Pada 30 November 2003, pastor Neapolitan bergabung dengan Domus Sanctae Marthae, kediaman resmi para kardinal di Vatikan - dan rumah Paus Francis saat ini.

Anda hanya dapat mengunjungi Domus Sanctae Marthae dengan izin khusus, dan hanya pada hari Rabu dan Kamis pagi, antara pukul 10 hingga tengah hari, ketika paus berada di St. Peter's. Mgr. Battista Ricca, direktur kediaman Sanctae Marthae yang terkenal, yang memiliki kantor di sana, memberi saya izin yang diperlukan. Dia menjelaskan kepada saya secara terinci bagaimana caranya melewati pemeriksaan polisi, dan kemudian cek dari Garda Swiss. Saya sering bertemu prelatus ini dengan mata yang cair, orang luar yang dekat dengan Francis, yang telah mengetahui kemenangan dan kegagalan, dan siapa saja yang akan berakhir, seperti yang akan kita lihat, memberi saya izin untuk tinggal di salah satu tempat tinggal Vatikan.

Dengan 5 lantai dan 120 kamar tidur, Domus Sanctae Marthae bisa menjadi motel biasa di pinggiran kota Atlanta atau Houston jika paus tidak tinggal di sana. Modern, impersonal, dan sederhana, kediaman ini kontras dengan keindahan istana kerasulan.

Ketika, dengan diplomat Fabrice Rivet, saya mengunjungi Loggia Ketiga yang terkenal di istana apostolik, saya kagum dengan mappae mundi yang dilukis di dinding, hewan liar bergaya Raphael, dan langit-langit yang dicat tercermin dalam kostum Garda Swiss. Tidak ada yang seperti itu di Santa Marta.

"Di tempat ini agak dingin, itu benar," kata Harmony setuju, seorang wanita muda dari asal-usul Sisilia yang diberi tugas untuk mengajak saya berkeliling.
                                                                                     
Pada panel di dekat pintu masuk, saya perhatikan: ‘harap memakai pakaian yang layak’. Dan sedikit lebih jauh ada tulisan: 'dilarang memakai celana pendek atau rok pendek'. Saya juga memperhatikan sejumlah tas merek Gammarelli - merek dagang mewah pakaian kepausan, menunggu di bagian resepsion Saint Martha. Aula audiensi yang terhubung dan ruang pers juga cukup sederhana, dan semuanya hambar: kejayaan dari selera yang buruk.

Di ruang pertemuan Paus saya menemukan lukisan besar yang memperlihatkan Perawan Guadalupe, yang melambangkan semua religiositas takhayul Amerika Latin: sebuah hadiah yang diberikan kepada paus oleh Uskup Agung dan Kardinal Meksiko, Norberto Rivera Carrera, yang mungkin mencari pengampunan untuk semua relasinya dan dosanya. (Kardinal telah dikritik karena tanggapannya yang negativ atas tuduhan pelecehan seksual terhadap para imam, termasuk tuduhan terhadap Marcial Maciel yang terkenal itu. Ia dipensiun oleh Francis pada tahun 2017.)

Beberapa meter dari situ ada sebuah kapel yang disediakan untuk paus: ia merayakan misa di sana dengan sebuah jemaat kecil pada pukul tujuh setiap pagi. Ini sangat sederhana, seperti ruang makan, tapi jauh lebih besar, dan seperti kantin di tempat kerja. Harmony menunjukkan kepadaku meja, sedikit terpisah dari yang lain, tempat Francis mengambil makanannya, bersama dengan paling banyak enam orang.

Di lantai dua ada apartemen pribadi Bapa Suci, yang tidak boleh dikunjungi siapa pun. Saya ditunjukkan replika persisnya di sayap yang berlawanan: ini adalah suite sederhana yang terdiri dari ruang duduk kecil dan kamar tidur dan tempat tidur tunggal. Salah satu Garda Swiss yang melindungi paus, dan yang sering menghabiskan malam di luar pintu kamarnya, akan mengkonfirmasi informasi ini. Saya akan sering bertemu dengannya di Roma, dan kami bahkan akan melakukan kunjungan rutin ke Makasar Café di Borgo, sebuah bar anggur tidak jauh dari Vatikan, di mana saya akan bertemu semua orang yang ingin bertemu saya secara diam-diam. Selama berbulan-bulan, seperti yang akan kita lihat, pemuda ini akan menjadi salah satu informan saya tentang kehidupan gay di Vatikan.

Sekarang kita berada di binatu. Anna adalah seorang wanita kecil, lembut, sangat saleh, dan Harmony memperkenalkan dia kepadaku sebagai 'tukang cuci’ paus. Pada dua kamar di sebelah kiri kapel kepausan, biarawati ini dengan setia merawat pakaian paus Francis. Dengan hati-hati, dia membuka, seolah-olah itu adalah kafan suci, cawan dan alb untuk menunjukkan kepada saya (tidak seperti pendahulunya, Francis menolak untuk mengenakan rochet atau mozzetta merah).

“Anda dapat melihat berbagai kebiasaan yang dikenakan oleh yang mulia (paus). Pada umumnya putih; hijau untuk hari biasa; merah dan ungu untuk acara-acara khusus; dan yang terakhir adalah perak, tetapi Bapa Suci tidak pernah menggunakan warna itu,” jelas Anna kepada saya.

Ketika saya bersiap-siap untuk meninggalkan Domus Sanctae Marthae, saya bertemu Gilberto Bianchi, tukang kebun paus, seorang Italia yang periang, pelayan setia Bapa Suci, dan sangat memperhatikan pohon jeruk milik paus, yang telah ditanam di luar, di depan kapel kepausan.

“Roma bukanlah Buenos Aires,” kata Gilberto yang selalu khawatir, memberi tahu saya.

Saat dia menyirami anggrek, tukang kebun Bapa Suci itu menambahkan: “Tadi malam terlalu dingin untuk pohon jeruk, pohon lemon, pohon mandarin. Saya tidak tahu apakah pohon-pohon itu akan selamat."
Sekarang merasa khawatir sendiri, saya mengamati pohon-pohon berbaris di dinding, berharap bahwa mereka akan mampu melewati musim dingin. Dan ya, kami tidak berada di Buenos Aires!

“Dinding yang kau lihat di sana, di sebelah kapel, tempat pohon-pohon jeruk berada, menandai perbatasan,” kata Harmony tiba-tiba berkata kepadaku.

"Perbatasan apa?"

“Perbatasan Vatikan! Karena di sisi lain ada Italia."

Dalam perjalanan keluar dari Domus Sanctae Marthae, tepat di pintu depan, saya mendapati diri saya berhadap-hadapan dengan sebuah tempat payung yang berisi sebuah payung besar dengan warna pelangi: bendera pelangi!

"Ini bukan payung milik Paus," kata Harmony dengan cepat, seolah-olah dia mencurigai adanya kesalahpahaman.

Dan sementara para Pengawal Swiss memberi hormat kepada saya dan para polisi menurunkan pandangan mereka ketika saya pergi, saya mulai berkhayal. Milik siapakah payung cantik dengan warna-warni pelangi tidak alami ini? Mgr. Battista Ricca, direktur Santa Marta, yang dengan ramah mengundang saya untuk mengunjungi kediaman yang menjadi tanggung jawabnya? Apakah itu ditinggalkan di sana oleh salah satu asisten paus? Atau oleh seorang kardinal yang cappa magna-nya (sejenis jubah yang besar) berjalan sangat baik dengan payung pelangi?

Bagaimanapun, saya membayangkan adegan itu: pemiliknya yang beruntung, mungkin seorang kardinal atau monsignore, berjalan-jalan di taman-taman Vatikan dengan bendera pelangi di tangannya! Siapa dia? Beraninya dia? Atau mungkin dia tidak menyadarinya? Saya membayangkan dia berjalan di Via delle Fondamenta dan kemudian Rampa dell'Archeologia, untuk mengunjungi Benediktus XVI, yang hidup tertutup di biara Mater Ecclesiae. Kecuali, di bawah payung beraneka warna itu, dia melakukan tur kecil ke Istana Tahta Suci, kantor Kongregasi untuk Ajaran Iman, Inkuisisi lama. Mungkin payung pelangi itu tidak memiliki pemilik yang dikenal, dan dia juga ada di dalam ‘lemari.’ Payung itu terletak disitu. Lalu ada orang yang meminjamnya, dan mengembalikannya, dan mengambilnya lagi, dan menggunakannya. Lalu saya membayangkan para imam melewatinya, menukarnya sesuai dengan keadaan dan cuaca buruk.

Sebagian ‘mengucapkan doa kepada pelangi’; beberapa berjalan di dekat Air Mancur Triton atau Menara Saint John; beberapa orang pergi dan memberi penghormatan kepada patung yang paling dihormati di taman-taman Vatikan, salah satunya adalah patung Bernard dari Clairvaux, pembaharu hebat dan doktor Gereja, yang dikenal karena puisi-puisi homofilnya dan cintanya kepada uskup agung Irlandia Malachy of Armagh. Apakah penempatan patung kaku ini, yang membangkitkan kehidupan ganda di jantung Katolik Roma, merupakan simbol dalam dirinya sendiri?

Bagaimana saya ingin menjadi pengamat yang bijaksana, seorang penjaga Swiss yang bertugas, seorang resepsionis di Santa Marta, untuk mengikuti kehidupan payung pelangi itu, 'perahu mabuk' itu, dengan tingkah lebih ringan dari pada gabus yang menari-nari di taman-taman Vatikan? Mungkinkah bendera pelangi ini - 'terkutuk oleh pelangi', dalam kata-kata sang Penyair - menjadi kode rahasia sebuah 'parade buas'? Kecuali, pada kenyataannya, tujuan utamanya adalah untuk melindungi orang dari hujan?

"Saya datang ke Saint Martha di akhir tahun 2003," Francesco Lepore melanjutkan.

Meskipun dia adalah imam termuda yang bekerja di tahta suci, dia mulai hidup di antara para kardinal, uskup, dan nuncios (dubes) tua Vatikan. Dia kenal dan tahu mereka semua, telah menjadi asisten beberapa dari mereka, bisa mengukur besarnya hadiah-hadiah mereka dan kelemahan-kelemahan kecil mereka dan telah bisa menebak rahasia-rahasia mereka.

"Orang-orang yang bekerja dengan saya tinggal di sana, dan bahkan Mgr. Georg Gänswein, yang akan menjadi sekretaris pribadi Paus Benediktus XVI, tinggal di sana juga, bersama kami."

Lepore menghabiskan satu tahun di kediaman yang terkenal ini, yang terbukti menjadi sarang homo-erotisme besar yang sangat mengejutkan. “Saint Martha adalah tempat kekuasaan,” dia menjelaskan. “Ini adalah persimpangan besar antara ambisi dan intrik, tempat yang penuh dengan kompetisi dan iri hati. Sejumlah besar imam yang tinggal di sana adalah homoseksual, dan saya ingat, selama makan, selalu ada lelucon terus-menerus tentang masalah sex. Nama-nama julukan diberikan kepada para kardinal gay, peran mereka sebagai perempuan, dan itu membuat seluruh meja tertawa. Kami tahu nama-nama orang yang memiliki pasangan atau yang membawa anak laki-laki dari luar kedalam Saint Martha untuk menghabiskan malam bersama mereka. Banyak dari mereka menjalani kehidupan ganda: menjadi imam di Vatikan di siang hari; menjadi homoseksual di bar dan klub di malam hari. Seringkali para uskup itu memiliki kebiasaan mendorong kemajuan karir pada para imam muda seperti saya, seminaris, Garda Swiss, atau umat awam yang bekerja di Vatikan."

Beberapa dari mereka telah memberi tahu saya tentang 'makanan yang merusak skandal' di mana para pastor menceritakan kisah-kisah pengadilan kepausan dengan keras dan kisah-kisah tentang anak laki-laki dengan sangat perlahan. Ah, gurauan di Domus Sanctae Marthae! Bisikan yang juga saya temui di Domus Internationalis Paulus VI, Domus Romana Sacerdotalis atau di apartemen Vatikan, ketika saya tinggal dan makan siang di sana juga.

Francesco Lepore melanjutkan: “Salah satu imam di Santa Marta bekerja di Sekretariat Negara. Dia dekat dengan Kardinal Giovanni Battista Re. Pada waktu itu dia punya teman seorang muda dari Slavia, dan di malam hari dia sering membawanya ke kediamannya untuk ‘tidur’ dengannya. Kemudian dia menyerahkannya kepada kami sebagai anggota keluarganya: diakui sebagai keponakannya. Tentu saja tidak ada yang jatuh cinta kepadanya! Suatu hari, ketika imam itu  dipromosikan, desas-desus mulai melayang. Kemudian sebuah pernyataan publik dibuat oleh Kardinal Giovanni Battista Re dan Uskup Fernando Filoni yang mengkonfirmasi bahwa orang Slavia muda itu memang anggota keluarganya dan kasus itu ditutup!"

Jadi kemaha-hadiran homoseksual di Vatikan bukan hanya masalah beberapa domba hitam, atau 'jaring yang menangkap ikan buruk,’ seperti yang dikatakan Josef Ratzinger. Itu bukanlah sebuah 'lobi' atau gerakan pembangkang; juga bukan sekte freemasonry di dalam Tahta Suci: itu adalah sebuah sistem. Itu bukan minoritas kecil, tetapi mayoritas besar.

Pada titik ini dalam percakapan, saya meminta Francesco Lepore untuk memperkirakan ukuran komunitas ini, termasuk semua kecenderungannya.

“Saya pikir persentasenya sangat tinggi. Saya bisa mengatakannya di sekitar 80 persen."

Saat berdiskusi dengan seorang uskup agung non-Italia, yang saya temui beberapa kali, dia mengkonfirmasi kepada saya: “Tiga dari lima paus terakhir dikatakan homofilik, beberapa asisten dan sekretaris negara mereka juga, serta sebagian besar kardinal dan para uskup di Kuria. Tapi itu bukan masalah mengetahui apakah para imam Vatikan memiliki kecenderungan semacam ini: mereka memang punya. Ini masalah mengetahui - dan ini, pada kenyataannya, adalah perdebatan yang sebenarnya - apakah mereka sedang mempraktekkan atau tidak melakukan tindakan homoseksual. Di situlah segalanya menjadi semakin rumit. Beberapa uskup yang memiliki kecenderungan homosex, tidak melakukan perbuatan homoseksualitas mereka. Mereka mungkin homofilik dalam kehidupan dan budaya mereka, tetapi tanpa memiliki identitas homoseksual."

Selama sekitar selusin wawancara, Francesco Lepore memberi tahu saya tentang kegilaan besar di Vatikan. Kesaksiannya tidak dapat disangkal. Dia memiliki beberapa kekasih di antara uskup agung dan uskup; dia telah diusulkan oleh sejumlah kardinal yang kita diskusikan: sebuah daftar tanpa akhir. Saya telah dengan cermat memeriksa semua cerita itu, saya sendiri menghubungi para kardinal, uskup agung, monsignori, nuncios, asisten, pastor biasa atau para bapa pengakuan yang mengaku bertugas di St. Peter, semuanya pada dasarnya adalah homoseksual.

Untuk waktu yang lama Lepore berada di dalam sistem. Namun itu mudah, ketika seorang kardinal dengan diam-diam tertarik pada Anda, atau ketika seorang monsignore secara tidak proporsional melamar Anda, mudah untuk melihat hal-hal 'yang tertutup dalam lemari', para gay yang sedang ‘berlatih’ dan anggota lain dari 'paroki'. Saya sendiri pernah mengalaminya. Ya, permainan ini terlalu mudah ditebak!

Karena meski ketika Anda seorang bujangan yang sudah dikenal, dikurung di sebuah lemari yang bisa dengan mudah menjadi tempat yang aman, dan Anda telah bersumpah akan hidup selibat secara heteroseksual, selalu ada saat ketika Anda mau menyerahkan diri Anda.

Berkat jasa Lepore, dan segera, melalui proses jaringan, dan berkat jasa 28 orang informan, para pastor, dan orang-orang awam lainnya, di dalam Vatikan - dan yang secara terbuka mengaku gay kepada saya - saya tahu sejak awal penyelidikan saya, ke mana harus pergi. Saya telah mengidentifikasi orang-orang yang berasal 'dari paroki' bahkan sebelum saya bertemu mereka. Saya tahu para asisten untuk didekati dan nama-nama monsignori yang harus saya ajak berteman. Tidak ada kekurangan untuk mencari orang semacam itu.

Saya tidak akan pernah melupakan percakapan tanpa akhir dengan Lepore di malam hari kota Roma, di mana ketika saya menyebutkan nama kardinal atau uskup agung tertentu, saya akan segera melihat dia bersemangat, meledak dengan sukacita dan akhirnya berseru, melambaikan tangannya di udara: "Gayissimo!"

Untuk waktu yang lama Francesco Lepore adalah salah satu imam favorit di Vatikan. Dia muda dan menawan - bahkan seksi. Dia juga seorang intelektual yang sangat pandai. Dia memikat baik secara fisik maupun intelektual. Pada siang hari dia menerjemahkan dokumen-dokumen resmi paus ke dalam bahasa Latin dan menjawab surat-surat yang ditujukan kepada Bapa Suci. Dia juga menulis artikel budaya untuk l'Osservatore romano, surat kabar resmi Vatikan.

Kardinal Ratzinger, calon Paus Benediktus XVI, pada waktu itu prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, setuju untuk menulis kata pengantar untuk kumpulan esai ilmiah Lepore, dan memuji imam muda itu.

"Saya memiliki kenangan yang sangat menyenangkan tentang saat itu," kata Lepore kepada saya, "tetapi masalah homoseksual tetap, lebih mendesak dari sebelumnya. Saya merasa bahwa hidup saya sendiri bukan lagi milik saya. Dan kemudian saya dengan cepat tertarik pada budaya gay Roma: Saya mulai menghadiri klub-klub olahraga, heteroseksual pada awalnya, tetapi orang sudah tahu tentang itu. Aku mulai jarang merayakan misa, keluar dengan pakaian sederhana, tanpa jubah atau kerah imamat. Saya segera tidak tidur lagi di Saint Martha. Atasan saya diberitahu tentang hal itu. Mereka ingin saya berganti pekerjaan, mungkin memindahkan saya dari Vatikan, dan pada saat itulah Mgr. Stanisław Dziwisz, sekretaris pribadi Paus Yohanes Paulus II, dan direktur Osservatore Romano, dimana saya banyak menulis di media itu, ikut campur tangan dalam permintaan saya. Mereka berusaha mengizinkan saya untuk tinggal di Vatikan."

Dalam buku ini kita sering bertemu dengan Stanisław Dziwisz, yang sekarang seorang pensiunan kardinal di Polandia, tempat saya bertemu dengannya. Untuk waktu yang lama dia adalah salah satu dari orang-orang yang paling kuat di Vatikan, secara efektif menjalankan tugasnya bersama dengan sekretaris utama negara, Angelo Sodano, ketika kesehatan John Paul II memburuk. Akan menjadi eufemisme untuk mengatakan bahwa legenda kelam mengelilingi klerus Polandia yang giat ini. Tetapi jangan maju dulu; pembaca akan memiliki semua waktu di dunia untuk memahami sistem.

Jadi, terima kasih kepada Dziwisz, Francesco Lepore yang ditunjuk sebagai sekretaris pribadi Kardinal Jean-Louis Tauran, seorang Prancis yang sangat berpengaruh, seorang diplomat berpengalaman dan 'menteri' urusan luar negeri untuk John Paul II. Saya akan bertemu Tauran empat kali, dan dia akan menjadi salah satu informan dan kontak reguler saya di Vatikan. Terlepas dari kepribadiannya yang tak terduga, saya mengembangkan kasih sayang kepada kardinal yang luar biasa ini, yang sangat menderita karena Parkinson sejak lama sebelum akhirnya menyerah pada musim panas tahun 2018, tepat ketika saya merevisi versi terakhir buku ini.

Berkat Tauran pula, yang sangat sadar akan homoseksualitasnya, Lepore mengejar hidupnya sebagai seorang intelektual di Vatikan. Kemudian dia bekerja untuk kardinal Italia, Raffaele Farina, yang mengelola perpustakaan Vatikan dan arsip rahasia, dan kemudian bekerja pada penggantinya, Uskup Agung, Jean-Louis Bruguès. Dia bertanggung jawab atas penerbitan manuskrip langka; dia mengedit koleksi kolokia teologis yang diterbitkan oleh pers resmi Tahta Suci.

“Kehidupan ganda saya, kemunafikan yang membakar itu, sangat membebani saya,” Lepore melanjutkan. "Tapi saya tidak punya keberanian untuk membuang semuanya dan meninggalkan imamat."

Akhirnya, dia melepaskan hidup panggilannya, dengan hati-hati mencari cara terbaik untuk melakukannya tanpa menimbulkan skandal.

“Saya terlalu pengecut untuk mengundurkan diri. Karena kelemahan saya, saya ingin memastikan bahwa keputusan itu tidak berasal dari saya.”

Menurut versi yang dia berikan kepada saya (yang dikonfirmasi oleh Kardinal Jean-Louis Tauran dan Farina), dia sengaja memilih untuk berkonsultasi dengan banyak situs gay online, mengaksesnya di komputernya dari Vatikan, dan membiarkan komputernya tetap terbuka, sambil menggabungkan berbagai artikel dan berbagai situs web.

“Saya tahu betul bahwa semua komputer Vatikan berada di bawah kendali ketat, dan bahwa ulah saya akan dapat terlihat dengan cepat. Dan itulah yang terjadi. Saya dipanggil dan berbagai hal terjadi dengan sangat cepat: tidak ada pengadilan, dan tidak ada hukuman. Disarankan agar saya kembali ke keuskupan saya, di mana saya akan mengambil posisi penting. Namun hal itu saya tolak."

Insiden itu ditanggapi dengan serius; memang pantas, di mata Vatikan. Kemudian Francesco Lepore diterima oleh Kardinal Tauran, yang sangat sedih dengan apa yang baru saja terjadi.

“Tauran dengan ramah menegur saya karena bersikap naif, karena tidak mengetahui bahwa ‘Vatikan memiliki mata di mana-mana,’ dan bahwa saya harus lebih berhati-hati. Dia tidak menyalahkan saya karena menjadi gay, hanya karena telah ketahuan! Dan begitulah semuanya berakhir. Beberapa hari kemudian saya meninggalkan Vatikan; dan saya berhenti menjadi pastor untuk selamanya."


No comments:

Post a Comment