Tuesday, October 8, 2019

VORTEX - LAPORAN SINGKAT AMAZON: “SAYA MENGINGINKAN KEBINGUNGAN”





 

Vortex - LAPORAN SINGKAT AMAZON: Saya mengINGINkan keBINGUNGan”

 



by Michael Voris, S.T.B.  •  ChurchMilitant.com  •  October 7, 2019


Tapi, mengapa kebingungan?

Setiap sinode di sini, di Roma, di bawah kepemimpinan Francis, selalu memperkenalkan kosakata baru, istilah-istilah baru dan tema-tema baru yang menghasilkan banyak kebingungan - yang berarti tidak ada yang tahu sedikit pun apa arti yang sebenarnya.

Bergantung pada siapa yang membacanya atau siapa yang mendengarkannya, mereka dapat mengartikan seratus hal yang berbeda atas kalimat yang sama. Istilah-istilah ini tampaknya memang sengaja dibiarkan ambigu.

Jika Anda mau mengacaukan tatanan yang ada, maka ambiguitas adalah cara dan dinamika yang sangat membantu.

Misalnya, dalam konferensi pers hari ini, istilah-istilah elastis (istilah karet) telah muncul di mana-mana: ‘ruang untuk para murid;’ ‘ekspresi otentik;’ ‘Gereja yang tidak tertutup;’ ‘sebuah Gereja yang belajar dari orang-orang hutan;’ ‘mendengarkan sinode;’ ‘Gereja yang tidak merujuk pada diri sendiri;’ dan tentu saja ‘Jalur-jalur Baru.’

Istilah-istilah ini tidak memiliki maknanya sendiri yang sebenarnya. Ia perlu diberi makna, dan di sinilah letaknya bahaya dari sinode ini. Kebingungan merajalela dalam kosa kata semacam ini.
Tetapi ada penjelasan untuk ini dan itu yang sebenarnya cukup sederhana – harus membuka mata.

Paus Francis sedang bercakap-cakap dengan beberapa kawan karib beberapa waktu lalu, dan salah satu dari mereka mengamati bahwa beberapa kosa kata paus Francis membingungkan dan membutuhkan kejelasan. Dan tanggapan Paus tentu mengungkapkan banyak hal.

Paus berkata saat itu, "Saya menginginkan kebingungan." Komentar ini sangat mengejutkan, membangkitkan ketakutan di dalam jiwa – dan perhatian besar.

Dia berkata, "Saya menginginkan kebingungan." Mari kita ulangi, Paus berkata, "Saya menginginkan kebingungan." Komentar ini sangatlah mengejutkan, ia membangkitkan ketakutan di dalam jiwa serta perhatian yang amat besar!!!

Tetapi memiliki manfaat, dimana kalimat itu membingkai seluruh nuansa kepausan ini serta seluruh tindakannya. Kontradiksi diri, penolakan untuk merespons dubia dan sebagainya. Pertanyaan yang diajukan orang adalah: Mengapa? Mengapa Paus menginginkan kebingungan?

Jawaban atas pertanyaan itu mungkin tersembunyi dalam filosofi beberapa orang Amerika Selatan yang sangat mempengaruhi paus masa depan - orang-orang seperti Juan Carlos Scannone, yang mengembangkan apa yang disebutnya ‘teologi kerakyatan,’ serta seorang penyair Rubén Darío. Tidak ketinggalan pula dari daftar ‘orang-orang berpengaruh’ itu adalah pendukung besar dari teologi pembebasan, Gustavo Gutiérrez.

Secara kolektif, para filsuf (teologi pembebasan) ini berpendapat bahwa untuk menjungkirbalikkan tatanan yang mapan, maka kebingungan harus dipromosikan.

Maka kebingungan akan mempromosikan sebuah konflik, dan dari konflik itu, realitas baru akan dibawa masuk.

Hal ini kemudian memunculkan serangkaian ide-ide yang lain. Jika Paus mendorong kebingungan sehingga realitas baru bisa lahir, apakah realitas baru ini sudah dia bayangkan dan, dalam benaknya, apakah realitas itu adalah tujuannya? Atau apakah sesuatu berkembang begitu saja dan di mana pun realits itu jatuh, maka ia akan jatuh begitu saja, dan kemudian kita yang akan berurusan dengan realitas baru itu, saat ia muncul dengan sendirinya?

Misalnya, setelah Misa pembukaan di St. Peter, tiba-tiba ada sekelompok orang Indian dari Amazon membentangkan spanduk yang isinya menjunjung tinggi dan menghormati Ibu Pertiwi. Mereka sempat diusir dengan cepat oleh para penjaga Vatikan, tetapi mereka masih sempat membuat pernyataan yang disaksikan oleh publik.

Teologi Bunda Bumi atau Ibu Pertiwi, mengangkat ciptaan ke status ilahi. Itu sebabnya Ibu Pertiwi mereka sembah. Dan itu adalah paganisme.

Apa pun yang terjadi dan dimaksudkan dengan semua ini, jelas bahwa setidaknya beberapa orang akan menyimpulkan bahwa Bumi Pertiwi memiliki semacam pijakan yang sama atau sejajar dengan Gereja Katolik, dan bahwa keduanya entah bagaimana, dapat disintesis.

Nah hal itu akan menciptakan sebuah agama yang sama sekali baru.

Hal ini jadi semakin jelas dalam konferensi pers hari ini, ketika sebuah pertanyaan diajukan tentang makna atau simbolisme dari patung wanita hamil dan telanjang yang dipresentasikan kepada Paus pada upacara penyembahan berhala serta penanaman pohon di taman Vatikan, hari Jumat, 4 Oktober 2019.

Tidak ada hal seperti itu, tidak ada perintah Ilahi, bahwa Gereja boleh menjadi sebuah Gereja yang sangat banyak mendengarkan apa saja, termasuk mendengarkan paganisme dan bidaah.

Seorang wartawan bertanya kepada panelis apa arti patung itu, apa yang diwakili olehnya. Apakah itu Perawan Maria? Apakah itu Ibu Pertiwi? Atau yang lain?

Jawaban yang diberikan tidak memberikan kejelasan – hal ini tidak terlalu mengejutkan. Jawabannya adalah, intinya, ia memiliki arti yang berbeda untuk orang yang berbeda - cukup adil, bukan? itu benar, bukan? Tapi itulah masalah.

Katolisitas memiliki ciri khas: kejernihan; 2000 tahun pemikiran yang jernih.
Dan sementara tidak ada kosakata manusia yang dapat menangkap semua misteri Iman dan wahyu ilahi, itu dapat mengesampingkan proposisi yang menentangnya. Ini bisa mengarah pada kontradiksi dan kelemahan logis yang tidak boleh diizinkan terjadi.

Karya teologi lebih merupakan karya negasi daripada penegasan positif. Itu membuat kita merenungkan misteri apa yang tersisa setelah semua yang tidak benar telah disaring.

Ibadah penyembahan Ibu Pertiwi tidak bisa secara logis berdiri di samping agama Katolik. Keduanya saling bertentangan.

Jika Ibu Pertiwi adalah "ilahi" dan harus disembah, yang pastinya ada dalam budaya Amazon, maka Ibu Pertiwi yang ciptaan manusia itu akan setara kedudukannya dengan Tuhan (kita) yang tidak diciptakan.

Maka itu adalah bidaah, karena ia menyangkal makna keilahian itu sendiri. Bahaya-bahaya dalam Sinode Amazon inilah yang membuat banyak sekali umat beriman di dunia sangat memperhatikan semua pembicaraan dan ungkapan serta kosa kata yang ambigu.

Dalam konsepsinya sendiri, caranya mengekspresikan diri, itu adalah anti-Katolik - bukan hanya non-Katolik, tetapi anti-Katolik.


Tidak ada hal seperti itu, tidak ada perintah Ilahi, bahwa Gereja boleh menjadi sebuah Gereja yang sangat banyak mendengarkan apa saja, termasuk mendengarkan paganisme dan bidaah.


No comments:

Post a Comment