Sunday, October 27, 2019

Di dalam Lemari Vatikan – 5. Bab 3 – Buenos Aires


 








DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel




KEKUASAAN

HOMOSEXUALITAS

KEMUNAFIKAN

 

  


DAFTAR ISI

CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT


Bab 1. Domus Sanctae Marthae
Bab 2. Teori Gender
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?



 

BAGIAN I

FRANCIS



Bab 3
Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?



“Siapakah saya hingga berhak menilai?” Giovanni Maria Vian mengulangi frasa ini, tampaknya dia masih berusaha menemukan maknanya yang lebih dalam. “Siapakah saya hingga berhak menilai?” Apakah ini doktrin baru? Sebuah ungkapan akan diartikan lebih atau kurang, secara acak? Vian tidak benar-benar tahu harus berpikir apa tentang ungkapan itu. Siapakah dia hingga berhak menilai?

Ungkapan itu, dalam bentuk interogatif, diucapkan oleh Paus Francis pada malam 28 Juli 2013 di pesawat yang membawanya kembali dari Brasil. Disiarkan ke seluruh dunia, frasa itu langsung menjadi ungkapan paling terkenal dari kepausan. Dalam rasa empati, itu sangat mencerminkan Francis, paus 'ramah-gay' yang ingin memutuskan hubungan dengan homofobia para pendahulunya.

Giovanni Maria Vian, meski tugasnya tidak boleh mengomentari kata-kata paus seperti yang diucapkannya, tetapi dia tetap harus berhati-hati. Dia memberi saya transkrip resmi dari ‘khotbah improvisasi’ yang disampaikan Francis. Setelah dimasukkan kembali ke dalam konteks balasan Francis, itu tidak sepenuhnya pasti, katanya kepada saya, bahwa ucapan itu dapat dimaknai dengan cara yang 'ramah gay'.

Sebagai seorang awam, Vian adalah seorang akademisi yang suka disebut 'profesor', dan direktur Osservatore Romano, koran Tahta Suci. Koran harian resmi ini diterbitkan dalam lima bahasa, dan kantornya berlokasi di jantung Vatikan.

"Paus banyak berbicara pagi ini," Vian menjelaskan ketika saya tiba.

Korannya menerbitkan semua intervensi oleh Bapa Suci, pesannya, tulisannya. Itu adalah laksana ‘Pravda Vatikan.’

"Kami adalah surat kabar resmi, itu sudah jelas, tetapi kami juga memiliki bagian yang lebih bebas, dengan editorial, artikel tentang budaya, penulisan yang lebih independen," tambah Vian, mengetahui bahwa kesempatannya untuk bermanuver sangat kecil.

Mungkin untuk membebaskan dirinya dari berbagai kendala yang ada di Vatikan, dan untuk menunjukkan semangat kenakalannya, dia dikelilingi oleh patung-patung Tintin. Kantornya dipenuhi dengan poster-poster The Black Island, Tongkat Raja Ottokar, miniatur Tintin, Snowy, dan Kapten Haddock. Sebuah invasi yang aneh dari benda-benda pagan di jantung Tahta Suci! Dan saya berpikir bahwa semua itu tidak pernah terpikir oleh Hergé untuk menyimpan Tintin di Vatikan!

Saya berbicara terlalu cepat. Vian menempatkan saya dalam posisi pendengar setia, dengan cara bercerita tentang artikel panjang di Osservatore Romano tentang Tintin yang dikatakan membuktikan bahwa, terlepas dari karakternya yang nakal dan sumpah serapah yang berkesan, reporter muda Belgia ini adalah 'pahlawan Katolik' yang terinspirasi oleh 'humanisme Kristen'.

Osservatore Romano adalah pro-Bergoglio di bawah Francis, dan pro-Ratzinger di bawah Benedict XVI,” jelas seorang diplomat yang bermarkas di Tahta Suci.
Kolega lain di Osservatore Romano mengonfirmasi bahwa majalah itu ada untuk 'meredakan semua skandal'.

“Sikap diam dari Osservatore Romano juga berbicara,” Vian memberi tahu saya, meski dengan humor. Dalam penyelidikan saya, saya sering mengunjungi kantor surat kabar itu. Profesor Vian akan setuju untuk diwawancarai dengan direkam sebanyak lima kali, dan tanpa direkam lebih sering lagi, seperti halnya enam rekannya yang bertanggung jawab atas edisi Spanyol, Inggris dan Perancis.

Adalah seorang jurnalis Brasil, Ilze Scamparini, koresponden Vatikan untuk saluran TV Globo, yang berani menghadap paus secara langsung dengan pertanyaan tentang 'lobi gay'. Adegan itu diputar di pesawat dalam perjalanan kembali dari Rio ke Roma. Itu adalah akhir dari konferensi pers yang di-improvisasi dan paus merasa lelah, selalu diapit oleh Federico Lombardi, juru bicaranya. "Satu pertanyaan terakhir?" tanya Lombardi, dengan tergesa-gesa untuk mengakhiri sesi tanya jawab itu. Saat itulah Ilze Scamparini mengangkat tangannya. Di sini saya akan mengutip dialog yang terjadi, dari transkrip asli yang diberikan kepada saya oleh Giovanni Maria Vian.

‘Saya ingin meminta izin untuk mengajukan pertanyaan yang sedikit rumit. Sebuah gambaran lain telah beredar di seluruh dunia: tentang Mgr. Ricca, dan juga informasi tentang kehidupan pribadinya. Bapa Suci, saya ingin tahu apa yang Anda rencanakan untuk dilakukan soal ini. Bagaimana harapan Yang Mulia untuk mengatasi masalah ini, dan bagaimana Anda berencana untuk menghadapi pertanyaan tentang lobi gay?"

“Terkait dengan Mgr. Ricca,” jawab paus, “saya telah melakukan apa yang direkomendasikan oleh hukum kanonik: melakukan investigatio praevia (penyelidikan awal). Investigasi ini belum menyimpulkan apa pun yang dituduhkan kepadanya. Kami tidak menemukan apa pun. Itu jawaban saya. Tetapi ada sesuatu yang ingin saya tambahkan: Saya melihat hal itu sering terjadi di Gereja, di luar kasus ini, tetapi dalam kasus ini juga, orang mencari-cari, misalnya, untuk menemukan ‘dosa-dosa kaum remaja’ dan kemudian menerbitkannya. Tidak ada kejahatan, kalau begitu? Kejahatan adalah sesuatu, penyalahgunaan anak di bawah umur adalah kejahatan. Tidak, dosa. Tetapi jika seorang awam, atau seorang imam, atau seorang biarawati, telah melakukan dosa dan kemudian bertobat, Tuhan mengampuni ... Tetapi mari kembali kepada pertanyaan Anda yang lebih konkret: Anda berbicara tentang lobi gay. Baiklah! Banyak yang ditulis tentang lobi gay. Saya belum menemukan seorang pun di Vatikan yang telah memberi saya kartu identitasnya dengan tulisan ‘gay.’ Mereka bilang ada beberapa. Saya percaya bahwa ketika Anda menemukan diri Anda berhadapan dengan orang seperti itu Anda harus membedakan antara fakta menjadi ‘gay’ dari orang yang menjadi anggota sebuah lobi gay saja. Karena tidak semua lobi itu baik. Yang ini adalah buruk. Jika seseorang adalah gay dan mencari Tuhan, jika mereka menunjukkan itikad baik, siapakah saya hingga berhak untuk menghakimi? Masalahnya adalah pada orang yang memiliki kecenderungan ini, mengubah kecenderungan itu menjadi lobi. Itu masalah yang lebih serius sejauh yang saya ketahui. Terima kasih banyak Anda telah mengajukan pertanyaan itu. Terima kasih banyak!”

Mengenakan pakaian serba hitam, dan dengan sedikit kedinginan, pada hari pertama saya bertemu dengannya, Pastor Federico Lombardi mengingat konferensi pers itu dengan sangat jelas. Sebagai seorang Jesuit yang baik, dia mengagumi ungkapan paus yang baru. ‘Siapakah saya hingga berhak untuk menilai?’ Barangkali, tidak pernah ada ungkapan Francis yang begitu mahir dalam dialektika Jesuit. Paus ‘menjawab pertanyaan dengan pertanyaan!’

Kami berada di markas Yayasan Ratzinger, di mana Lombardi sekarang menjadi presiden, di lantai dasar sebuah gedung Vatikan di Via della Conciliazione, Roma. Saya akan mewawancarainya beberapa kali di kantornya tentang tiga paus yang telah dia layani - Yohanes Paulus II, Benediktus XVI dan Francis. Dia adalah kepala layanan pers yang pertama dari tiga paus ini, dan menjadi juru bicara bagi para penerusnya.

Lombardi adalah seorang pria yang lembut dan sederhana, yang mengabaikan gaya glamor dan  keduniawian, seperti yang dilakukan oleh banyak imam Vatikan. Saya dikejutkan oleh kerendahan hatinya, yang sering mengesankan banyak orang yang telah bekerja dengannya. Sementara itu Giovanni Maria Vian, misalnya, hidup sendirian di sebuah menara kecil yang megah di taman-taman Vatikan, maka Lombardi lebih memilih untuk berbagi hidupnya dengan rekan-rekan Jesuitnya di sebuah ruangan sederhana di komunitas mereka. Kami berada jauh dari apartemen para kardinal terkenal yang sering saya kunjungi di Roma, seperti apartemen Raymond Burke, Camillo Ruini Paul Poupard, Giovanni Battista Re, Roger Etchegaray, Renato Raffaele Martino, dan banyak lainnya. Belum lagi istana Kardinal Betori, yang saya kunjungi di Florence, atau Carlo Caffarra di Bologna, atau Kardinal Carlos Osoro di Madrid. Dalam hal apa pun, tempat tinggal Lombardi tidaklah seperti apartemen lainnya, yang belum saya kunjungi, apartemen dari mantan menteri luar negeri Angelo Sodano dan Tarcisio Bertone, yang mengejutkan orang-orang dengan kemewahan yang luar biasa dan ukuran besarnya.

“Ketika paus Francis mengucapkan kata-kata itu, ‘Siapakah aku hingga berhak untuk menilai?’ saya berada di sampingnya. Reaksi saya agak campur aduk, bisa dibilang. Anda tahu, Francis sangat spontan saat itu, dia berbicara dengan sangat bebas. Dia menerima pertanyaan tanpa mengetahuinya terlebih dahulu, tanpa persiapan. Ketika Francis berbicara secara bebas, selama satu setengah jam di pesawat, tanpa catatan, dengan 70 orang jurnalis, itu adalah spontan, itu sangat jujur. Tetapi apa yang dia katakan belum tentu merupakan bagian dari doktrin; ini adalah percakapan biasa dan harus dianggap demikian. Ini masalah hermeneutika.”

Dengan kata 'hermeneutics,' yang diucapkan oleh Lombardi, yang pekerjaannya selalu berhubungan dengan penafsiran teks, seakan dia membangun sebuah hirarki untuknya dan memberi makna pada frasa atau perkataan dari para paus dimana dia pernah menjadi juru bicara mereka, saya merasa bahwa pastor Yesuit ini ingin mengurangi pentingnya sikap pro-gay dari Francis.

Dia menambahkan: “Yang saya maksud disini adalah bahwa frasa ini bukanlah bukti dari sebuah pilihan atau sebuah perubahan doktrin. Tapi itu memang memiliki aspek yang sangat positif: ini adalah masalah situasi pribadi. Ini adalah pendekatan yang didasarkan pada kedekatan, pendampingan, perawatan pastoral. Tetapi itu tidak berarti bahwa (menjadi gay) itu adalah baik. Ini berarti bahwa paus tidak merasa bahwa dirinya berada pada tempatnya untuk menghakimi."

“Apakah ini adalah formula a la Yesuit? Apakah ini Jesuitical?"

“Ya, jika Anda suka mengatakan seperti itu, itu adalah ungkapan a la Yesuit. Itu adalah pilihan belas kasihan, cara pastoral atas dilema pribadi. Ini adalah ungkapan kebijaksanaan. (Francis) sedang mencari sebuah jalan. Dalam satu cara dia berkata: "Aku ada bersamamu untuk melakukan perjalanan." Tetapi Francis juga menjawab pada situasi individu (dalam kasus Mgr. Ricca) dengan tanggapan pastoral; dalam masalah doktrin, dia tetap setia.

Di hari yang lain, ketika saya menanyai Kardinal Paul Poupard tentang debat semantik yang sama, dalam salah satu pertemuan rutin kami di rumahnya, pakar Kuria Roma ini, yang 'dekat dengan lima orang paus' seperti yang dia katakan sendiri, mengamati : “Jangan lupa bahwa Francis adalah paus Yesuit Argentina. Seperti yang saya katakan: Jesuit dan Argentina. Kedua kata itu penting. Yang berarti bahwa ketika dia mengucapkan frasa ‘Siapakah saya hingga berhak untuk menilai?’ yang penting bukanlah apa yang dia katakan tetapi bagaimana hal itu diterima. Ini agak mirip dengan teori pemahaman St. Thomas Aquinas: ‘setiap hal diterima sesuai dengan apa yang ingin dipahami.' “

Francesco Lepore hampir tidak yakin dengan penjelasan Paus Francis. Dan dia juga tidak berbagi 'hermeneutika' dari eksegetiknya.

Bagi mantan imam ini, yang mengenal Mgr. Ricca dengan baik, jawaban paus ini adalah contoh umum dari pembicaraan-ganda (sikap mendua).

“Jika kita mengikuti alasaannya, paus mengatakan bahwa Mgr. Ricca adalah gay di masa mudanya, tetapi dia tidak lagi menjadi seperti itu sejak dia ditahbiskan menjadi imam. Jadi apa yang diampuni oleh Tuhan adalah dosa masa mudanya. Namun paus pasti tahu bahwa fakta-fakta tersebut terjadi baru-baru ini."

Sebuah kebohongan? Setengah bohong? Bagi seorang Jesuit, kata mereka, mengatakan kebohongan sama dengan mengatakan setengah benar! Lepore menambahkan: “Ada aturan tidak tertulis di Vatikan, yaitu bahwa seorang klerus harus didukung dalam segala keadaan. Francis telah melindungi Battista Ricca terhadap dan melawan semua orang, seperti halnya John Paul II melindungi Stanisław Dziwisz dan Angelo Sodano, atau ketika Benediktus XVI membela Georg Gänswein dan Tarcisio Bertone sampai akhir, di hadapan semua kritikan. Paus adalah seorang raja. Dia dapat melindungi orang-orang yang dia sukai dalam segala keadaan, tanpa ada yang bisa menghentikannya.”

Di awal persoalan ini ada investigasi terperinci oleh majalah Italia L'Espresso, pada bulan Juli 2013 dimana halaman depannya dikhususkan sepenuhnya untuk meliput masalah Vatikan dan dengan berani majalah itu memberi judul: 'Lobi gay'. Dalam artikel ini, Mgr. Ricca disajikan dengan nama aslinya sebagai memiliki hubungan intim dengan seorang tentara Garda Swiss ketika dia bekerja di kedutaan Tahta Suci di Swiss dan kemudian di Uruguay.

Kehidupan malam dari Battista Ricca di Montevideo sangat rinci diungkapkan: dia dikatakan telah dipukuli pada suatu malam di tempat pertemuan umum, dan telah kembali ke rumah dinas dubes dengan wajah bengkak setelah meminta bantuan beberapa imam untuk meminta tolong polisi. L'Espresso melaporkan bahwa di lain waktu, dia ditemukan terjebak di tengah malam di dalam lift, yang sayangnya rusak, di kantor kedutaan Vatikan, dan belum juga ditolong oleh petugas pemadam kebakaran sampai pagi, ketika dia ditemukan bersama dengan seorang 'pemuda tampan' yang telah terjebak dengannya. Ini adalah sebuah keberuntungan yang busuk!

Majalah itu, yang mengutip nuncio sebagai sumber, juga menyebutkan koper-koper milik tentara Garda Swiss, yang diduga kekasih Ricca, di mana 'sebuah pistol, sejumlah besar kondom dan alat-alat pornografi' dikatakan telah ditemukan. Juru bicara paus Francis, Federico Lombardi, seperti biasa, membantah fakta-fakta itu, yang menurut pendapatnya, 'tidak dapat dipercaya.'

“Cara dimana perselingkuhan ini dikelola oleh Vatikan cukup lucu. Begitu juga respons dari paus. Dia berkata: Itu adalah dosa ringan! Itu adalah masa lalu! Seperti ketika Presiden Bill Clinton dituduh menggunakan narkoba dan meminta maaf, menambahkan bahwa dia telah merokok ganja tetapi tanpa menghirupnya! Ini membuat terkekeh seorang diplomat yang berbasis di Roma yang mengenal seluk beluk Vatikan dengan sangat baik.

Pers sangat terhibur dengan kesengsaraan sang klerus, kehidupan ganda yang dituduhkan kepadanya, dan kegagalannya dalam menangani kasusnya. Pada saat yang sama, kita tidak boleh lupa bahwa serangan itu datang dari Sandro Magister, seorang ahli Vatikan yang pro-Ratzinger berusia 75 tahun yang hebat. Mengapa hal itu terjadi secara tiba-tiba dan 12 tahun setelah peristiwa tersebut, apakah dia sengaja mempermalukan Mgr. Ricca?

Kasus Mgr. Ricca ini sebenarnya adalah ‘penyamaan skor’ antara sayap konservatif Vatikan, sebut saja faksi pro-Ratzinger, dan sayap moderat yang mewakili Francis, dan, khususnya, antara dua kubu homoseksual. Mgr. Ricca adalah seorang diplomat tanpa menjadi nuncio, dan seorang 'Prelato d’Onore di Sua Santità' (wali kehormatan paus) yang tidak terpilih menjadi uskup. Mgr.Battista Ricca adalah salah satu rekan terdekat Bapa Suci. Dia bertanggung jawab atas Domus Sanctae Marthae, kediaman resmi paus, dan juga mengelola dua tempat tinggal kepausan lainnya. Yang terakhir, dia adalah salah satu perwakilan paus tertinggi di Bank Vatikan yang sangat kontroversial itu, yang dikatakan bahwa klerus itu juga terlibat skandal keuangan.

Jadi dugaan homoseksualitasnya hanyalah dalih untuk melemahkan Francis. Agresi yang telah membuatnya menjadi korban, ketika penugasannya menjadi nuncio dieksploitasi, ketika ada lebih banyak umat Katolik membelanya dari para agresornya, mengingat kekerasan yang dideritanya. Mengenai lelaki muda dengan siapa dia ditemukan di dalam lift, haruskah kita tunjukkan di sini bahwa dia adalah orang dewasa yang melakukan tindakan homosex dengan pria itu? Kita bisa menambahkan bahwa salah satu penuduh Ricca itu, diketahui, menurut sumber saya, adalah seorang homofobik dan homoseksual juga! Permainan-berstandar-ganda yang cukup tipikal di Vatikan.

Jadi perselingkuhan Ricca ini berada dalam urutan penyamaan skor antara faksi-faksi gay yang berbeda di dalam Kuria Roma - yang para korbannya termasuk Dino Boffo, Cesare Burgazzi, Francesco Camaldo dan bahkan mantan sekretaris jenderal Kota Vatikan, Carlo Maria Viganò - dan kami memiliki kesempatan untuk menceritakan kisah mereka nanti. Setiap kali, para imam atau umat awam dikecam oleh para klerus, namun sebagian besar dari mereka sendiri secara finansial adalah korup atau diturunkan jabatannya karena perilaku yang tidak pantas secara seksual. Dan di sini kita memiliki aturan lain dari Lemari, yang kelima: Rumor, gosip, penyamaan-skor, balas dendam dan pelecehan seksual memang marak di Tahta Suci. Masalah gay adalah salah satu sumber utama dari persekongkolan ini.

“Tahukah Anda bahwa paus dikelilingi oleh kaum homoseksual?” Demikian saya ditanya dengan mata terbelalak oleh seorang uskup agung yang nama panggilannya di Kuria Romawi adalah ‘la Païva’, seperti penghormatan yang diberikan kepada seorang marquess dan pelacur terkenal. Jadi itulah yang akan saya ungkapkan dalam buku ini.

Yang Mulia La Païva, dengan siapa saya secara teratur menikmati makan siang dan makan malam, mengetahui semua rahasia Vatikan. Saya bertindak seolah-olah saya naif: "Menurut definisi, tidak ada yang mempraktikkan heteroseksualitas di Vatikan?"

"Ada banyak gay di Vatikan," kata La Païva melanjutkan, "Sangat banyak."

"Saya tahu ada kaum homoseks di dalam rombongan John Paul II dan rombongan Benedict XVI, tetapi saya tidak tahu tentang Francis."

"Ya, banyak orang di Santa Marta adalah bagian dari ‘paroki,’ " kata La Païva, menggunakan dan menyalahgunakan formula esoterik ini. "Menjadi paroki," dia mengulangi sambil tertawa. Dia bangga dengan ekspresinya, seolah-olah dia telah menemukan roti irisan. Saya kira dia telah menggunakannya ratusan kali selama karirnya yang panjang, tetapi pada kesempatan ini, sebutan ‘paroki’ itu disediakan untuk orang yang diinisiasi, dimana sebutan itu memiliki efek yang diinginkan.

Menjadi bagian dari ‘paroki' bahkan bisa menjadi sub-judul buku ini. Ungkapannya kuno dalam bahasa Perancis dan Italia: Saya menemukannya di bahasa gaul homoseksual tahun 1950-an dan 1960-an. Kata ‘paroki’ itu mungkin sudah ada sebelum tahun-tahun itu, begitu mirip dengan ungkapan dalam Sodom and Gomorrah karya Marcel Proust dan Notre Dame des Fleurs karya Jean Genet - meskipun saya tidak berpikir kata itu muncul di salah satu dari buku-buku itu. Apakah ini lebih merupakan ungkapan vernakular, dari ‘bar gay’ tahun 1920-an dan 30-an? Bukan tidak mungkin. Bagaimanapun, ia secara heroik menggabungkan alam gerejawi dengan dunia homoseksual.

"Kau tahu aku menyukaimu," La Païva mengatakan secara tiba-tiba. “Tapi saya tidak setuju dengan Anda karena tidak memberi tahu saya jika Anda lebih suka pria atau wanita. Mengapa Anda tidak memberi tahu saya? Apakah Anda setidaknya seorang simpatisan?"

Saya terpesona oleh keterusterangan La Païva ini. Uskup agung itu berpikir keras, dan bahkan menikmati dirinya sendiri dan membiarkan saya melihat dunianya, dengan keyakinan bahwa itu akan memungkinkan dia untuk memenangkan persahabatan dengan saya. Dia mulai mengungkap misteri Vaticannya Francis, di mana homoseksualitas adalah sebuah rahasia hermetis, sebuah freemasonry yang tidak bisa ditembus. La Païva yang ceroboh itu membagikan rahasianya: bahwa dia adalah seorang pria penasaran! Dua kali lebih ingin tahu daripada rata-rata orang pada subjek: bi-curious. Ini fakta! Di sini dia merinci nama-nama dan gelar-gelar para 'praktisi' dan 'non-praktisi' homosexual, sementara pada saat yang sama dia mengakui bahwa homofil (sikap suka dengan homosex) yang ditambahkan kepada tindakan homoseksual bersama-sama, merupakan mayoritas besar dari Kolese para kardinal!

Hal yang paling menarik, tentu saja, adalah 'sistemnya'. Menurut La Païva, kehadiran homoseksual di dalam Kuria secara luas adalah konstan dari satu paus ke paus berikutnya. Jadi mayoritas rombongan Paus Yohanes XXIII, Paulus VI, Yohanes Paulus I, Yohanes Paulus II, Benediktus XVI dan Francis dikatakan sebagai orang-orang ‘dari paroki’.

Dihukum untuk hidup bersama ‘fauna’ yang sangat tidak biasa ini, Paus Francis melakukan apa yang dia bisa. Dengan semboyan ‘Siapakah aku ini hingga berhak untuk untuk menilai?’ dia mencoba mengubah kesepakatan dasar. Untuk melangkah lebih jauh akan menyentuh doktrin, dan dia segera memulai perang di dalam Kolese para Kardinal. Jadi ambiguitas tetap lebih disukai, yang cocok dengan sifat paus Yesuit ini, yang cukup mampu ‘mengatakan sesuatu dan kebalikannya dalam satu kalimat.’ Dia menjadi ramah-gay dan juga anti-gay – sebuah karunia yang luar biasa! Perkataannya di depan publik sering bertentangan dengan tindakan pribadinya.

Begitulah Francis terus-menerus membela kaum migran tetapi, sebagai penentang perkawinan gay, dia mencegah imigran gay yang tidak berdokumen untuk bisa menikmati regularisasi ketika mereka memiliki pasangan yang menetap. Francis juga menyebut dirinya seorang 'feminis', tetapi menghalangi wanita yang tidak dapat memiliki anak pilihannya sendiri dengan menolak pilihan perawatan kesuburan yang dibantu secara medis. Mgr. Viganò menuduhnya pada tahun 2018 di dalam 'Testimonianza' dengan mengatakan bahwa paus dikelilingi oleh kaum homoseksual dan terlihat terlalu ramah terhadap kaum gay; pada saat yang sama, Francis menyarankan untuk menggunakan disiplin psikiatri untuk mengatasi kaum homoseksual muda (pernyataan ini yang kemudian dia sesali).

Dalam pidatonya di depan konklaf ketika pemilihannya sebagai paus, Jorge menetapkan prioritasnya: ‘kaum pinggiran'. Di matanya, konsep ini, yang akan bermanfaat baginya, mencakup pinggiran 'geografis', umat Kristiani di Asia, Amerika Selatan, dan Afrika, yang jauh dari Katolik Roma yang kebarat-baratan, dan juga pinggiran 'eksistensial', untuk menyatukan semua orang dimana Gereja telah meninggalkan mereka di pinggir jalan. Terutama di antara mereka, menurut wawancara yang dia sampaikan kepada Jesuit, Antonio Spadaro, adalah pasangan yang bercerai, minoritas dan homoseksual. Di luar ide-ide ini ada simbol-simbol. Begitulah cara Francis secara terbuka bertemu dengan Yayo Grassi, berusia 67 tahun, salah satu mantan siswa gaynya, disertai dengan pacarnya (homosex) Iwan, orang Indonesia, di kedutaan Vatikan di Washington. Foto selfie dan video menunjukkan pasangan itu memeluk Bapa Suci.

Menurut sejumlah sumber, siaran pertemuan antara paus dan pasangan gay ini bukan sekedar kebetulan. Awalnya hal itu disajikan sebagai 'pertemuan pribadi', pertemuan yang hampir tidak disengaja, oleh juru bicara Paus, Federico Lombardi, kemudian dikatakan menjadi 'audiensi' yang sebenarnya, hal ini juga dibenarkan oleh Lombardi.

Sementara itu, harus dikatakan bahwa kontroversi telah pecah. Paus, dalam perjalanan yang sama ke Amerika Serikat, bertemu - di bawah tekanan dari nuncio kerasulan yang sangat homofobik Mgr. Viganò - seorang politisi lokal dari Kentucky, Kim Davis, yang menolak untuk menyetujui pernikahan gay di wilayahnya, meskipun dia sendiri dua kali bercerai. Dalam menghadapi protes yang diprovokasi oleh tokoh homofobik terkenal ini, paus berbalik dan membantah bahwa dia mendukung posisi Davis (politisi itu ditangkap dan dipenjara sebentar karena menolak untuk mematuhi hukum Amerika). Untuk menunjukkan bahwa dia tidak berniat membiarkan dirinya terperangkap dalam debat ini, dan sementara menyesali kerusakan yang disebabkan di belakangnya oleh Viganò (yang akan segera dia singkirkan dari Washington), paus mengimbangi gerakan homofobik Viganò dengan cara menerima, secara publik, mantan murid gay dan teman kencannya. Sebuah tindakan mendua, dengan segala perangkap irenisisme Yesuit yang sangat kental.

Contoh pengangkatan yang kacau dari duta besar Perancis untuk Tahta Suci mengungkapkan ambiguitas yang sama, dan juga sikap Machiavellianisme tertentu di pihak Paus Francis. Orang yang dimaksud adalah Laurent Stéfanini: dia adalah seorang diplomat tingkat tinggi, seorang Katolik yang taat, dianggap agak sayap kanan, dan anggota awam dari Ordo Malta. Seorang profesional yang sangat terhormat, dia adalah kepala protokol di Istana Élysée di bawah Nicolas Sarkozy, dan di masa lalu dia adalah orang nomor 2 di kedutaan yang sama. Presiden François Hollande memilih untuk mengangkatnya sebagai duta besar Perancis untuk Vatikan pada Januari 2015, dan pengangkatannya secara resmi disampaikan kepada paus. Apakah pengumuman secara publik, yang muncul dalam jurnal satir Le Canard Enchaîné, adalah prematur? Tetap saja bahwa paus menunda persetujuannya. Motifnya: diplomat itu gay!

Ini bukan pertama kalinya seorang duta besar Perancis diinterogasi oleh Roma karena homoseksualitasnya. Hal itu pernah terjadi pada tahun 2008 untuk pencalonan Jean-Loup Kuhn-Delforge, seorang homoseksual yang secara terbuka mengakuinya, dan dia sedang dalam relasi homosex dengan rekannya, seorang diplomat yang oleh Nicolas Sarkozy akan dipindah ke Vatikan. Paus Benediktus XVI menolak untuk memberikan persetujuannya selama setahun, memaksakan minta penggantian kandidat. Di sisi lain, perlu juga ditunjukkan bahwa di masa lalu beberapa duta besar Perancis untuk Tahta Suci telah secara terbuka mengaku homoseksual; ini adalah bukti bahwa aturan kepausan kadang-kadang dapat dilanggar.

Kali ini kasus Stéfanini diblokir pada tingkat tinggi. Paus Francis memveto pengusulannya. Apakah dia tersinggung karena orang lain berusaha memaksakan keinginannya? Apakah dia berpikir bahwa suatu upaya sedang dilakukan untuk memanipulasi dirinya dengan memaksakan seorang duta besar gay padanya? Apakah proses persetujuan melalui nuncio apostolik ke Paris dilewati? Apakah Stéfanini menjadi korban kampanye yang dituduhkan kepadanya di Perancis (kita tahu bahwa duta besar Bertrand Besancenot, yang dekat dengan Ordo Malta, mengawasi penugasan itu)? Haruskah kita mencari intrik di sayap kanan Kuria, yang berusaha menggunakan kasus perselingkuhan untuk menjebak paus?

Keruwetan ini diduga muncul dari krisis diplomatik akut antara Francis dan François ketika Presiden Hollande memberikan dukungan kuat pada pencalonan Stéfanini, nominasi yang sekali lagi ditolak oleh paus. Tidak akan ada duta besar Perancis untuk Vatikan, kata Hollande keras, jika paus menolak untuk menerima M. Stéfanini!

Dalam hal ini, para komplotan nyaris tidak peduli dengan konsekuensi bagi partai yang bersangkutan, yang kehidupan pribadinya sekarang dipajang di depan umum. Adapun untuk membela Gereja, seperti yang mereka bayangkan, mereka sebenarnya justru melemahkannya dengan menempatkan paus dalam situasi yang sangat sulit. Francis wajib menerima Stéfanini dengan segala hormat, dan dengan permintaan maaf, dengan salah satu ironi diplomasi Jesuit, dia mengatakan kepadanya bahwa dia tidak memiliki sesuatu yang melawan dia secara langsung!

Uskup Agung Paris, pada gilirannya, didorong untuk mencoba menyelesaikan masalah ini, seperti kardinal Perancis Jean-Louis Tauran, seorang lelaki yang dekat dengan paus, yang tidak menemukan sesuatu yang aneh dalam pencalonan seorang duta besar gay - justru sebaliknya! Di pihak Roma, Kardinal Pietro Parolin, orang nomor 2 di Vatikan, bahkan harus pergi ke Paris untuk bertemu François Hollande, dimana dalam diskusi yang menegangkan, bertanya langsung kepadanya apakah masalahnya mungkin 'homoseksualitas Stéfanini'. Menurut cerita bahwa presiden mengatakan kepada salah satu penasihatnya, Parolin, yang tampak sangat gelisah tentang masalah ini, dan secara pribadi terpengaruh, hingga wajahnya merona merah tua karena malu, ketakutan, tergagap bahwa masalahnya tidak ada hubungan dengan homoseksualitasnya ...

Ketidaktahuan Paus Francis tentang Perancis terungkap sebagai hasil dari permasalahan ini. Francis, yang tidak mau menunjuk satu pun kardinal Perancis dan, tidak seperti semua pendahulunya, dia tidak mau berbicara bahasa Perancis, dan yang - sayangnya! - kelihatannya membingungkan antara kata sekularisme dengan atheisme, dan tampaknya paus menjadi korban manipulasi yang kodenya tidak dia mengerti.

Sebagai korban sampingan, Laurent Stéfanini terperangkap dalam tembak-menembak kritik, dalam pertempuran di luar dirinya, dan yang tidak lagi menjadi fokusnya. Di Roma, itu adalah serangan oleh sayap Ratzinger, dimana Stéfanini sendiri secara luas dikenal sebagai homoseksual, yang menggerakkan bidaknya di sekitar papan catur untuk mempermalukan Paus Francis. Ordo Malta, di mana diplomat itu menjadi anggota, terbagi antara tren 'tertutup' yang kaku dan tren 'tertutup' yang fleksibel, berbenturan di sekitar kasusnya (Cardinal Raymond Burke, pelindung ordo berdaulat itu, dikatakan telah 'dibuat kebingungan’ oleh pencalonan Stéfanini). Nuncio di Paris, Mgr. Luigi Ventura, seorang mantan nuncio di Chili (yang dekat dengan Kardinal Angelo Sodano dan Legiun Kristus yang dipimpin oleh Marcial Maciel) saat ini mendapat kecaman dari pers karena gagal menghentikan kejahatan pedofil dari Pastor Fernando Karadima, memainkan permainan-ganda dengan menentang penunjukan Stefanini yang akan membawa pihak-pihak yang berkepentingan di Paris dan Roma membutuhkan waktu yang lama untuk memecahkan masalahnya. Di Perancis, kasus ini menjadi kesempatan bagi kaum kanan dan kiri untuk menyamakan skor mereka, dengan latar belakang perdebatan seputar hukum pernikahan gay: François Hollande melawan Nicolas Sarkozy; ‘La Manif pour tous’, organisasi anti-perkawinan-gay, melawan Hollande; dan hak golongan ekstrem melawan hak golongan moderat. Presiden Hollande, yang dengan tulus mendukung pencalonan Stéfanini, pada akhirnya merasa geli melihat adanya hak untuk mencabik-cabik diri sendiri yang menyangkut nasib diplomat senior Sarkozyist ini, seorang Katolik yang taat ... dan juga seorang homoseks. Dia mengajarkan pelajaran yang benar tentang kemunafikan mereka! (Di sini, saya menggunakan wawancara saya dengan beberapa penasihat Presiden Hollande dan perdana menteri Prancis Manuel Valls, serta pertemuan dengan penasihat pertama dubes Vatikan untuk Paris, Mgr. Rubén Darío Ruiz Mainardi.)

Dalam sedikit manuver yang lebih bersifat Machiavellian, salah satu penasihat François Hollande menyarankan bahwa, jika pencalonan Stéfanini ditolak, salah satu dari tiga nuncio yang berbasis di Paris atau perwakilan Vatikan akan dipanggil ke istana Élysée untuk diberhentikan, karena homoseksualitas mereka sudah terkenal di dunia. Quai d'Orsay (yang merupakan alamat Kementerian Luar Negeri Perancis, di mana terdapat banyak personil yang homoseksual, begitu banyaknya mereka hingga kadang-kadang disebut sebagai 'Gay d'Orsay').

“Anda tahu para diplomat Vatikan di Paris, Madrid, Lisbon, London! Mereka menolak Stéfanini karena homoseksualitasnya. Ini adalah keputusan paling lucu yang dibuat oleh kepausan ini! Jika nuncio gay di Tahta Suci ditolak, apa yang akan terjadi dengan wakil apostolik yang tersisa di mana saja di dunia?” kata seorang duta besar Perancis sambil tersenyum, karena dia pernah memegang jabatan di Tahta Suci.

Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard Kouchner, membenarkan dalam sebuah diskusi di rumahnya di Paris: “Vatikan menganggap saya sebagai orang yang memiliki posisi yang buruk untuk menolak kandidat homoseksual! Saya memiliki masalah yang sama ketika kami ingin menunjuk Jean-Loup Kuhn-Delforge sebagai duta besar Perancis untuk Vatikan, ketika dia memiliki relasi homosex dengan pacarnya. Kami menghadapi penolakan yang sama. Sama sekali tidak boleh melakukan diskriminasi atas seorang diplomat senior berdasarkan homoseksualitasnya. Kami tidak bisa menerimanya! Jadi, saya dapat mengungkapkan kepada Anda hari ini bahwa saya menelepon rekan saya, Mgr. Jean-Louis Tauran, yang setara dengan Menteri Luar Negeri di Vatikan, dan memintanya untuk menarik nuncio apostoliknya dari Paris, yang dia lakukan segera. Saya berkata kepadanya: "Ini adalah gayung bersambut!" (Dua diplomat Vatikan yang saya ajak bicara untuk menguji dua versi masalah ini, dan dia menyatakan bahwa nuncio telah berhenti pada akhir masa jabatan lima tahunnya yang normal.)

Satu kesaksian penting di sini: Eduardo Valdés, dari Argentina, dekat dengan paus, dan dia adalah duta besar untuk Tahta Suci selama urusan Stéfanini berlangsung.

“Saya yakin,” dia menjelaskan kepada saya selama percakapan di Buenos Aires, “bahwa semua orang yang menentang pengangkatan Stefanini sebagai duta besar adalah sama seperti dia (homoseksual). Itu adalah sama dengan kemunafikan! Selalu menggunakan standar ganda yang sama! Ini adalah cara yang paling praktis dan paling cepat mengutuk kaum homoseksual.”

Selama lebih dari 14 bulan jabatan itu tetap kosong, sampai François Hollande menyerah dan menunjuk seorang diplomat yang disepakati bersama yang akan mengakhiri karirnya, untuk menikah dengan anak-anak. Sementara itu, Stéfanini akan dengan senang hati menyatakan bahwa penunjukan diplomatik ini bukan lagi menjadi haknya, seperti halnya dia telah memilih homoseksualitasnya! (Sumber-sumber saya tentang 'berkas Stéfanini' ini, terlepas dari nama-nama yang disebutkan di atas, Kardinal Tauran, Uskup Agung François Bacqué dan selusin diplomat Vatikan lainnya; empat orang duta besar Perancis untuk Tahta Suci: Jean Guéguinou, Pierre Morel, Bruno Joubert dan Philippe Zeller; dan tentu saja duta besar Bertrand Besancenot dan Laurent Stéfanini.)

Jadi, apakah Francis ramah terhadap gay seperti yang orang-orang katakan? Beberapa orang berpikir begitu, dan menceritakan kisah ini untuk mendukung tesis mereka. Dalam suatu audiensi antara paus dan kardinal Jerman, Gerhard Müller, yang saat itu menjabat sebagai prefek Kongregasi untuk Doktrin Iman, yang terakhir tiba dengan membawa arsip dari seorang teolog tua yang dikatakan telah dikecam karena homofilia. Dia bertanya kepada paus tentang sanksi yang akan dia ambil. Paus dikatakan telah menjawab (menurut cerita yang disampaikan kepada saya oleh dua saksi di dalam Kongregasi, yang mendengarnya dari bibir Müller): “Bukankah lebih baik mengundang dia untuk minum bir, bicaralah kepadanya seperti seorang saudara dan temukan solusi untuk masalah itu?”

Kardinal Müller, yang tidak merahasiakan kebenciannya terhadap kaum gay, benar-benar kaget dengan jawaban Francis ini. Kembali di kantornya, dia bergegas untuk menceritakan anekdot itu kepada rekan-rekannya dan asisten pribadinya. Dia dikatakan telah mengkritik Paus dengan kasar karena ketidaktahuannya tentang Vatikan, kesalahan penilaiannya tentang homoseksualitas dan kelemahannya dalam mengelola file kasus. Semua kritikan ini sampai ke telinga Francis, yang kemudian bertindak menghukum Müller secara metodis: pertama-tama dengan menjauhkan dia dari rekan-rekannya satu demi satu, kemudian dengan mempermalukannya di depan umum, sebelum menolak untuk memperpanjang jabatannya hingga beberapa tahun ke depan dan membuatnya terpaksa mengambil pensiun dini. (Saya bertanya kepada Müller tentang hubungannya dengan paus selama wawancara di rumahnya, dan saya mendasarkan sebagian tulisan ini pada kesaksiannya.)

Mungkinkah paus memikirkan tentang kardinal konservatif seperti Müller atau Burke, ketika dia mengecam gosip tentang Kuria? Dalam sebuah misa di Vatikan pada 22 Desember 2014, kurang dari setahun setelah pemilihannya, Bapa Suci melancarkan serangannya. Hari itu, menghadapi para kardinal dan uskup yang berkumpul untuk menerima berkat Natal, Francis membuat mereka semua mendengar: paus membuat daftar katalog 15 'penyakit' Kuria Romawi, termasuk 'spiritual Alzheimer' dan 'skizofrenia eksistensial'. Paus secara khusus menargetkan kemunafikan para kardinal dan uskup yang menjalani ‘kehidupan tersembunyi dan sering kacau,' dan dia mengkritik 'gosip' mereka, sebuah ‘terorisme pembicaraan yang lepas kontrol’ yang asli.

Tuduhan-tuduhan yang dilontarkannya cukup berat, tetapi paus masih belum menemukan kalimat pamungkasnya, yang bisa membunuh karir korbannya. Dia melakukannya pada tahun berikutnya, di salah satu homilinya di Santa Marta, pada 24 Oktober 2016 (menurut transkrip resmi Radio Vatikan, yang akan saya kutip di sini, mengingat pentingnya kata-katanya): “Di balik kekakuan ada sesuatu yang tersembunyi dalam kehidupan seseorang. Kekakuan bukanlah hadiah dari Tuhan. Kelembutan, ya, kebaikan, ya, kebajikan, ya, pengampunan, ya. Tetapi kekakuan, tidak! Di balik kekakuan selalu ada sesuatu yang tersembunyi, dalam banyak kasus adalah berupa kehidupan-ganda, tetapi ada juga sesuatu seperti penyakit. Betapa kaku penderitaannya: ketika mereka bersikap tulus dan menyadari hal itu, mereka justru menderita! Dan betapa mereka sungguh menderita!”

Pada akhirnya, Francis menemukan formulanya: "Di balik kekakuan, selalu ada sesuatu yang tersembunyi, dalam banyak kasus kehidupan-ganda." Ungkapannya disingkat untuk membuatnya lebih efektif, sering diulang oleh orang-orang dekatnya: "Orang yang kaku menjalani kehidupan ganda.” Dan sementara dia tidak pernah menyebutkan nama, tetapi tidak sulit bagi kita untuk menebak para kardinal dan uskup yang dia maksudkan.

Beberapa bulan kemudian, pada 5 Mei 2017, paus melanjutkan serangannya, hampir dengan istilah yang sama: “Ada orang-orang yang kaku dengan menjalani kehidupan-ganda: mereka tampak tampan dan jujur, tetapi ketika tidak ada orang yang melihat mereka, mereka melakukan hal-hal yang buruk... Mereka menggunakan kekakuan untuk menutupi kelemahan, dosa, dan gangguan kepribadiannya ... Orang-orang munafik yang kaku, orang-orang dengan kehidupan-ganda.”

Sekali lagi, pada tanggal 20 Oktober 2017, Francis menyerang para kardinal Kuria yang dia gambarkan sebagai 'orang munafik', 'hidup dengan menonjolkan penampilan': “Seperti gelembung sabun, (orang-orang munafik) ini menyembunyikan kebenaran dari Tuhan, dari orang lain dan dari diri mereka sendiri, memperlihatkan wajah mereka dengan gambaran yang saleh, seakan mau menunjukkan penampilan kekudusan ... Di luar, mereka menampilkan diri mereka sebagai orang benar, sebagai orang yang baik; mereka suka terlihat ketika mereka berdoa dan ketika mereka berpuasa, ketika mereka memberikan sedekah. Tapi itu semua hanyalah penampilan luar dan di dalam hati mereka tidak ada apa-apanya ... Mereka mengenakan make-up pada jiwa mereka, mereka hidup dengan make-up: kekudusan adalah make-up untuk mereka ... Berbohong, banyak melakukan kerusakan, kemunafikan, hal itu membahayakan: itu adalah cara hidup mereka.”

Francis terus mengulangi ide-ide ini, seperti pada Oktober 2018: “Mereka kaku. Tetapi Yesus tahu jiwa mereka. Dan kita dikejutkan oleh hal itu ... Mereka kaku, tetapi di balik kekakuan selalu ada masalah, masalah serius ... Berhati-hatilah jika berada di sekitar mereka yang kaku. Berhati-hatilah di sekitar orang Kristen, apakah mereka orang awam, pastor atau uskup, yang menampilkan dirinya kepada Anda sebagai orang yang ‘sempurna.’ Mereka kaku. Hati-hati. Mereka tidak memiliki semangat Tuhan."

Francis telah mengulangi rumusan-rumusan ini, dan cukup parah jika menuduh, begitu seringnya hal itu dilakukan sejak awal kepausannya sehingga kita harus mengakui bahwa paus ini berusaha menyampaikan pesan kepada kita. Apakah dia menyerang lawan konservatifnya dengan mencela permainan-ganda mereka tentang moralitas seksual dan uang? Itu sudah pasti.

Kita bisa melangkah lebih jauh: paus memperingatkan para kardinal konservatif atau tradisional tertentu, yang menolak reformasi yang dilakukannya, dengan membuat mereka sadar bahwa dia tahu tentang kehidupan tersembunyi mereka. (Penafsiran ini bukan dari saya; beberapa kardinal, uskup agung, nuncio, dan imam, telah mengkonfirmasi strategi seperti ini yang dilakukan oleh paus.)

Sementara itu, Francis yang jahil itu terus berbicara tentang masalah gay dengan caranya sendiri, yaitu dengan cara Jesuit. Dia mengambil langkah maju, lalu mundur. Kebijakan-kebijakan kecilnya selalu ambigu dan sering bertentangan satu sama lain. Francis, sepertinya, tidak selalu berpikir lurus dan konsisten.

Apakah ini masalah komunikasi yang sederhana? Sebuah strategi yang salah untuk bermain-main dengan pihak oposisi, kadang-kadang mengaduk-aduk pikirannya dan kadang-kadang membuatnya harus bersikap licik, karena dia tahu bahwa bagi lawan-lawannya penerimaan homoseksualitas adalah masalah mendasar dan pertanyaan yang bersifat pribadi. Apakah kita sedang berurusan dengan seorang paus yang berkemauan lemah yang meniupkan panas dan dingin secara tak beraturan karena kelemahan intelektual dan kurangnya keyakinan, seperti yang dikatakan para pencela paus, kepada saya? Bahkan para ahli Vatikan yang paling tajam sekali pun sedikit tersesat. Pro-gay atau anti-gay, sulit untuk dikatakan. "Kenapa tidak minum bir bersama seorang gay?" demikian usul Francis. Intinya, itulah yang telah dia lakukan, beberapa kali, di kediaman pribadinya di Santa Marta atau selama perjalanannya. Misalnya, dia secara tidak resmi menerima Diego Neria Lejarraga, seorang waria, terlahir sebagai wanita, ditemani oleh pacarnya (perempuan). Pada kesempatan lain, pada tahun 2017, Francis secara resmi menerima di Vatican Xavier Bettel, Perdana Menteri Luksemburg (pria) bersama suaminya (homosex), Gauthier Destenay, seorang arsitek Belgia.

Sebagian besar kunjungan-kunjungan ini diselenggarakan oleh Fabián Pedacchio, sekretaris pribadi paus, dan Georg Gänswein, prefek rumah kepausan. Dalam foto-foto, kita melihat Georg dengan hangat menyambut tamu-tamu LGBT-nya, yang memiliki keseruan tertentu ketika kita mengingat kritik Gänswein yang sering terhadap para homoseksual.

Adapun Pedacchio, dari Argentina, yang kurang dikenal oleh masyarakat luas, dia telah menjadi kolaborator terdekat paus sejak 2013 dan tinggal bersamanya di Santa Marta, di salah satu kamar di samping kamar Francis, nomor 201, di lantai dua (menurut seorang Garda Swiss yang saya wawancarai, dan menurut Viganò dalam bukunya 'Testimonianza'). Pedacchio adalah sosok misterius: wawancaranya jarang, atau telah dihapus dari internet; dia tidak banyak bicara; biografinya yang resmi sangat minim. Dia juga menjadi sasaran serangan dalam masalah sex dari sayap kanan Kuria Roma.

“Dia adalah pria yang keras. Dia adalah seperti pria jahat yang dibutuhkan oleh setiap pria yang baik dan murah hati di sisinya," demikian saya diberitahu oleh Eduardo Valdés, mantan duta besar Argentina untuk Tahta Suci.

Dalam dialektika klasik 'polisi jahat' dan 'polisi baik' ini, Pedacchio banyak dikritik oleh mereka yang tidak memiliki keberanian untuk menyerang paus secara langsung. Jadi para kardinal dan uskup di Kuria mengecam kehidupan reyot Pedacchio dan menggali sebuah akun yang katanya telah dibuka di jaringan kencan sosial Badoo untuk 'mencari teman intim' (laman itu ditutup ketika keberadaannya diungkapkan oleh pers Italia), tetapi tetap dapat diakses di memori web dan apa yang dikenal sebagai 'web dalam'). Dalam akun Badoo ini, dan dalam beberapa wawancara, Mgr. Pedacchio menyatakan bahwa dirinya menyukai opera dan memuja film sutradara Spanyol Pedro Almódovar, setelah melihat 'semua filmnya' yang, seperti yang dia akui, mengandung 'adegan seks panas' Maka panggilan hidup imamatnya diduga berasal dari seorang pastor 'yang cukup istimewa' yang kemudian mengubah hidupnya. Sedangkan untuk Badoo, Pedacchio mengecam sebuah komplotan rahasia yang memusuhinya dan berkata bahwa itu adalah sebuah akun palsu.

Bersikap tuli terhadap segala kritik yang ditujukan kepada kelompoknya yang paling dekat, Paus Francis melanjutkan kebijakan langkah-kecilnya. Setelah kejadian pembantaian atas 49 orang di sebuah klub gay di Orlando, Florida, paus mengatakan, sambil menutup matanya sebagai tanda kesedihan: “Saya pikir Gereja harus meminta maaf kepada orang-orang gay yang telah dikutukinya (seperti juga Gereja harus) meminta maaf kepada orang miskin, kepada wanita yang telah dieksploitasi, kepada kaum muda yang telah kehilangan pekerjaan, dan karena telah memberikan restunya kepada begitu banyak persenjataan (militer).'

Sejalan dengan kata-kata penuh ‘belas kasih’ ini, Francis tidak fleksibel dalam masalah 'teori gender'. Delapan kali antara 2015 dan 2017 dia menyatakan pendapat yang menentang ideologi 'gender', yang dia sebut 'setan'. Kadang-kadang dia melakukannya secara dangkal, tanpa mengetahui tentang subjeknya, seperti yang dia lakukan pada Oktober 2016 ketika dia mengecam buku pelajaran sekolah Perancis yang menyebarkan 'indoktrinasi teori gender yang licik,' sebelum penerbit Perancis dan Kementerian Pendidikan Nasional mengkonfirmasi bahwa 'ini adalah buku pelajaran, sama sekali tidak menyebutkan atau merujuk pada teori gender.' Kesalahan paus tampaknya bersumber pada 'berita-berita palsu' yang disampaikan oleh asosiasi Katolik yang dekat dengan ujung kanan Perancis, dan kemudian paus mengutipnya tanpa memeriksa kebenarannya.

Salah satu sekretaris Francis adalah monsignore yang bijaksana yang membalas setiap minggu untuk sekitar lima puluh surat paus, di antaranya ada yang paling sensitif. Dia setuju untuk bertemu saya, secara anonim.

“Bapa Suci tidak tahu bahwa salah satu sekretarisnya adalah seorang pastor gay!” kata dia mengaku kepada saya dengan bangga.

Imam ini memiliki akses ke semua bagian Vatikan, mengingat fungsi yang dia pegang bersama paus, dan selama beberapa tahun terakhir kami telah membuat kebiasaan untuk bertemu secara teratur. Salah satu tempat ini, adalah restoran Coso di Via Lucina, dimana sumber saya itu memberi tahu saya sebuah rahasia yang tidak ada orang lain yang tahu, dan hal itu menunjukkan sisi lain dari Francis.

Sejak kalimatnya yang berkesan, 'Siapakah saya hingga berhak untuk menilai?' Paus telah mulai menerima sejumlah besar surat dari kaum homoseksual yang berterima kasih atas perkataannya itu dan mereka meminta nasihat kepadanya. Korespondensi besar ini dikelola di Vatikan oleh dinas Sekretariat Negara, dan lebih khusus lagi oleh bagian yang dikelola oleh Mgr. Cesare Burgazzi, yang bertanggung jawab atas semua korespondensi Bapa Suci. Menurut anak buah Burgazzi, yang juga telah saya wawancarai, surat-surat ini 'sering berisi perkataan putus asa'. Surat-surat itu datang dari para seminaris atau pastor yang kadang-kadang 'hampir melakukan bunuh diri' karena mereka tidak dapat mendamaikan homoseksualitas mereka dengan iman mereka.

"Sudah lama kami membalas surat-surat itu dengan sangat teliti, dan surat-surat itu diberi tanda tangan Bapa Suci," demikian sumber saya memberi tahu saya. "Surat-surat dari para homoseksual selalu diperlakukan dengan banyak pertimbangan dan keterampilan, mengingat adanya sejumlah besar gay di antara para monsignori di Sekretariat Negara Vatikan."

Tetapi suatu hari Paus Francis memutuskan bahwa dia tidak puas dengan pengelolaan korespondensi, dan menuntut agar layanan itu direorganisasi. Paus menambahkan satu instruksi yang cukup mengganggu, menurut sekretarisnya: “Tiba-tiba, paus meminta kami untuk berhenti membalas surat-surat dari kaum homoseksual. Kami harus mengklasifikasikan surat-surat itu sebagai ‘tidak dijawab.’ Keputusan itu amat  mengejutkan kami. Berlawanan dengan apa yang mungkin dibayangkan, paus ini sesungguhnya tidak ramah terhadap kaum gay. (Dua pastor lain di Sekretariat Negara mengkonfirmasi keberadaan instruksi ini, tetapi tidak pasti apakah itu berasal dari paus sendiri; mungkin hal itu disarankan oleh salah satu pembantunya.)

Dari informasi yang saya miliki, monsignori dari Sekretariat Negara masih melanjutkan 'pekerjaan perlawanan,' seperti yang dikatakan oleh salah seorang dari mereka: ketika homoseksual atau imam gay mengekspresikan niat mereka untuk bunuh diri dalam surat-surat mereka, sekretaris paus berkumpul bersama untuk membubuhkan tanda tangan Bapa Suci pada jawaban yang komprehensif, tetapi menggunakan eufemisme halus. Tanpa paus sendiri menyadari telah melakukannya, tetapi paus Francis ‘seolah’ terus mengirim surat-surat penuh belas kasih kepada kaum homoseksual. Hal ini dilakukan atas prakarsa Sekretariat Negara.



















No comments:

Post a Comment